{"title":"Pembatasan Hak Veto dalam DK-PBB Terkait Konflik Bersenjata di Suriah","authors":"Danang Wahyu Setyo Adi","doi":"10.56370/jhlg.v1i9.222","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i9.222","url":null,"abstract":"Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi tatanan internasional baru yang dibentuk setelah kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pasca perang dunia. Di dalam PBB, terdapat organ-organ penting salah satunya adalah Dewan Keamanan (Security Council) dengan lima anggota tetap meliputi Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Perancis dan China. Lima anggota tetap tersebut memiliki kewenangan untuk mengeluarkan hak Veto terhadap kebijakan yang akan ditetapkan. Termasuk salah satunya adalah kebijakan untuk mengeluarkan resolusi terhadap kasus konflik bersenjata di Suriah. Tulisan ini akan membahas dengan lebih mendalam berkaitan dengan kebijakan resolusi tersebut ditinjau dari sumber hukum internasional dan teori-teori yang berkaitan. Termasuk dalam hal ini penulis mengritisi konsepsi hak Veto yang melekat pada lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang seharusnya ditujukan dan digunakan untuk mencapai perdamaian dunia dan bukan untuk kepentingan tertentu.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116053368","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Ganti Rugi Korban Terorisme Ditinjau dari Perspektif Sosio-Legal","authors":"Fazal Akmal Musyarri","doi":"10.56370/jhlg.v1i9.223","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i9.223","url":null,"abstract":"Aksi Terorisme merupakan bentuk kejahatan nyata yang pernah menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Bahkan, di akhir 2020 ini, ditemukan jejak gembong yang disinyalir merupakan pelatihan terorisme di wilayah Jawa Barat. Hal ini mendorong bukan saja kajian mengenai kejahatan terorisme tapi juga perlu untuk memikirkan nasib dari orang-orang yang menjadi korban tindak pidana terorisme sebagai suatu Extra Ordinary Crime. Terorisme dikatakan sangat jahat karena sifatnya yang terorganisir dan dapat menimbulkan korban nyawa, luka fisik, hingga kerugian baik secara materiil maupun non-materiil. Hal inilah yang perlu dibahas juga dalam perspektif hukum. Bukan hanya dari segi normatif karena pada dasarnya, pengaturan mengenai ganti kerugian terhadap korban terorisme masih menimbulkan tanda tanya dalam kondisi pelaku yang meninggal dunia atau belum ditemukannya sindikasi yang bertanggungjawab terhadap aksi terorisme. Oleh karena itulah di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai ganti rugi korban terorisme tidak hanya dari pandangan normatif akan tetapi juga sosio-legal.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"34 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131505521","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
F. Ramadhan, Fazal Akmal Musyarri, Maya Maulidya Nasmi
{"title":"Urgensi Pembentukan Solusi Perlindungan Hukum bagi Penganut Agama dan Kepercayan Minoritas di Indonesia","authors":"F. Ramadhan, Fazal Akmal Musyarri, Maya Maulidya Nasmi","doi":"10.56370/jhlg.v1i9.224","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i9.224","url":null,"abstract":"Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan budaya di dalamnya, termasuk agama yang dianut oleh masyarakat. Namun fakta di lapangan, hanya agama dan kepercayaan mayoritas saja yang diakui oleh masyarakat dan pemerintah. Padahal di dalam konstitusi tidak ada peraturan yang mengharuskan setiap warga negara menganut enam agama mayoritas tersebut. Artinya, agama minoritas selain enam agama tersebut diperbolehkan berkembang di Indonesia asalkan masih dalam batas kewajaran. Konstitusi yang mengandung peraturan yang membahas kebebasan beragama diantaranya tercantum dalam Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun jika diperhatikan baik-baik, Undang-Undang tersebut berisi pernyataan yang dapat menimbulkan salah penafsiran. Salah penafsiran tersebut dapat berakibat fatal terutama bagi penganut agama minoritas di luar agama yang diakui di Indonesia. Akibat paling jelas adalah adanya diskriminasi terhadap golongan minoritas tersebut, baik dalam hal kekerasan fisik maupun di bidang administrasi. Contohnya, masyarakat Ahmadiyah yang tidak tenang dalam menjalankan ibadah dan masyarakat Sunda Wiwitan yang hingga saat ini sulit mendapatkan surat-surat administrasi resmi karena terbentur dengan masalah kolom agama. Selama ini, agama dan kepercayaan minoritas eksistensinya kurang diakui bahkan cenderung dianggap sesat oleh masyarakat. Padahal, mereka juga memiliki hak yang meliputi hak internal dan hak eksternal kebebasan beragama yang seharusnya tidak dapat dikurangi oleh siapapun. Jika ditelusuri ke belakang, ternyata salah satu penyebabnya adalah kerancuan pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu tadi.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"47 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134056893","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kritik Entitas Homogen Masyarakat Adat pada Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 Melalui Feminist Political Ecology","authors":"Linda Dewi Rahayu","doi":"10.56370/jhlg.v1i8.215","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i8.215","url":null,"abstract":"Pada usia kemerdekan NKRI yang sudah mendekati usia satu abad, konsep impian negara kesejahteraan faktanya hanya sebatas retorika dan belum mempunyai ruh yang sesuai dengan amanat konstitusi. Kemasan Hukum yang dibalut dalam teks peraturan perundang-undangan seakan selalu kurang mampu menciptakan keadilan lingkungan hidup dan perlindungan atas hak sipil politik dan hak sosial ekonomi rakyat dalam setiap pasalnya. Sejak masa kolonial terdapat berbagai sistem tenurial yang diterapkan oleh berbagai komunitas adat di Indonesia bertentangan dengan kerangka hukum yang mendukung kontrol negara terhadap tanah-tanah hutan dan teritorialisasi penguasaan hutan, yang merupakan cara dimana kekuasaan negara atas wilayah hutan berlaku pada batas-batas wilayah hutan yang dterapkan secara politis oleh negara. Padahal seharusnya kehadiran hukum bermakna dapat menghadirkan ketertiban dan perlindungan terhadap hak demokrasi masyarakat selaku obyek hukum. Selalu kepentingan golongan tertentu yang lebih didahulukan dibandingkan kepentingan rakyat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, dengan teknik analisis hermeneutika hukum. Sehingga dapat ditelisik entitas homogen sebagai kritik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menggunakan konsep Feminist Political Ecology, sehingga dapat dilihat pada realita bahwasanya perempuan adat belum memperoleh pengakuan yang utuh sebagai penyandang hak tambahan.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"2014 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127437914","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Implikasi Yuridis Pemberlakuan Wacana Earth to Earth Transportation oleh SpaceX","authors":"Tasya Ester Loijens","doi":"10.56370/jhlg.v1i8.221","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i8.221","url":null,"abstract":"Perkembangan teknologi yang pesat memungkinkan manusia memanfaatkan sumber daya alam yang sebelumnya sulit dijangkau sekalipun seperti sumber daya yang terdapat di ruang angkasa. Dengan adanya kemajuan tersebut, hukum juga turut berkontribusi melalui hukum internasional yang mengatur tentang aspek yang berhubungan dengan pemanfaatan ruang angkasa yang sering dikenal sebagai Five United Nations Treaties on Outer Space. Pada 2017, CEO SpaceX (perusahaan kedirgantaraan swasta Amerika), Elon Musk, mengumumkan rencana pemanfaatan transportasi yang sebelumnya digunakan untuk memindahkan objek dari Planet Bumi ke Ruang Angkasa yaitu Roket, untuk digunakan sebagai transportasi publik yang digunakan sebagai sarana mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain di Bumi. Hal ini menarik karena konsepnya menggunakan Ruang Angkasa setelah permukaan udara Planet Bumi sehingga menimbulkan kontemplasi baru terkait perizinan dan aspek legalitasnya. Dalam tulisan ini, penulis bermaksud mengkaji dari perspektif hukum internasinal dengan pengaturan internasional yang berkaitan dengan hukum udara dan luar angkasa.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"188 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132790027","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Anotasi atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter","authors":"Fazal Akmal Musyarri","doi":"10.56370/jhlg.v1i7.230","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i7.230","url":null,"abstract":"Wacana mengenai pengaturan matang Pendidikan Karakter mengemuka beberapa beberapa waktu terakhir. Hal ini karena pendidikan akademik belum walaupun mempengaruhi intelegensia akan tetapi belum tentu membangun karakter seorang manusia. Di titik inilah diperlukan adanya Pendidikan Karakter yang bukan hanya menyokong kebutuhan akademik akan tetapi juga sifat dan karakter Sehingga pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mulai mengembangkan sistem Pendidikan Karakter yang diejawantahkan melalui sistem pendidikan nasional dan diterapkan di sekolah-sekolah nusantara. Secara normatif, pengaturan tentang Pendidikan Karakter tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai implementasi dari Pendidikan Karakter dan efektivitasnya disesuaikan dengan pemikiran esensial Ki Hadar Dewantara.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-10-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127403735","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019","authors":"Melta Setya Rahayu Pujianti","doi":"10.56370/jhlg.v1i5.211","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i5.211","url":null,"abstract":"Negara Indonesia merupakan negara yang berada di kawasan persimpangan antarsamudera, antarbenua, antarbudaya, antarkekuatan ekonomi, bahkan antarperadaban yang mengakibatkan munculnya potensi bencana dan kejadian-kejadian luar biasa atau dikenal dengan Keadaan Darurat (State Emergency). Oleh karena itu, perangkat peraturan perundang-undangan dalam keadaan normal tidak compatible apabila diterapkan dalam keadaan tidak normal karena umumnya keadaan tidak normal merupakan sesuatu yang unpredictable. Di Indonesia, dasar konstitusional dalam menjalankan Hukum Darurat diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Sayangnya, Pasal 12 UUD 1945 hanya sekali dirujuk dalam peraturan perundang-undangan berlabel “darurat” dan selebihnya tidak merujuk, termasuk UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Padahal, Pasal 12 UUD 1945 menjadi legitimasi untuk menerapkan peraturan perundang-undangan secara luar biasa. Dengan tidak merujuknya UU No. 6 Tahun 2018 kepada Pasal 12 UUD 1945, maka idealnya UU No. 6 Tahun 2018 merupakan rezim hukum biasa. Namun, melihat rumusan Pasal 4 dan 10 ayat (1) mengandung makna bahwa UU No. 6 Tahun 2018 berjalan sebagai Hukum Darurat. Timbul anomali di satu sisi UU No. 6 Tahun 2018 merupakan hukum biasa, namun diterapkan dalam Keadaan Darurat. Hal tersebut yang coba penulis permasalahkan dalam kekarantinaan kesehatan di daerah. Dengan anomali dalam UU No. 6 Tahun 2018, pelaksanaan Keadaan Darurat ada pada domain Pemerintah Daerah dan tidak melibatkan DPRD. Padahal dalam penanganan Keadaan Darurat banyak bersinggungan dengan fungsi DPRD.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114449998","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Analisis Perbandingan Kedudukan dan Kewenangan Menteri dalam UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan, Konstitusi RIS, dan UUDS RI","authors":"J. Collins","doi":"10.56370/jhlg.v1i5.210","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i5.210","url":null,"abstract":"Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar dan tertinggi yang memuat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara sehingga sifatnya harus lebih stabil dibandingkan produk hukum lainnya. Terlebih apabila Suatu Konstitusi mengandung jiwa dan semangat suatu negara yang apabila terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar tersebut juga dapat membawa perubahan yang besar dan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan suatu negara. Bahkan keinginan dan aspirasi rakyat juga dapat termanifestasi dalam konstitusi tersebut. Di Indonesia sendiri, konstitusinya berubah-ubah seiring perjalanan historiografi bangsa. Dimulai dari dirumuskannya Undang-Undang Dasar 1945 pasca merdeka, kemudian berubah menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat, bertransformasi kembali menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, hingga kembali lagi diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945 berikut beserta amandemen-amandemen yang menyertainya. Secara teoritis, pergantian UUD setidak-tidaknya membawa perubahan struktur pemerintahan negara dan kemungkinan yang lebih jauh lagi ialah perubahan dasar filsafat negara, tujuan negara, dan kebijakan negara. Hal ini juga berlaku pula pada sistem atau konsep Menteri seiring dengan perubahan konstitusi di Indonesia, yang akan dibahas selanjutnya dalam tulisan ini.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122763847","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Puspita Putri Sunarso, E. Rahmawati, Fazal Akmal Musyarri
{"title":"Urgensi Penambahan Parameter Potensi Lokal dalam Pengalokasian Formulasi Dana Desa sebagai Upaya Pengembangan Pariwisata Lokal di Indonesia","authors":"Puspita Putri Sunarso, E. Rahmawati, Fazal Akmal Musyarri","doi":"10.56370/jhlg.v1i5.212","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i5.212","url":null,"abstract":"Perkembangan pariwisata di Indonesia dewasa ini mengalami peningkatan yang signifikan. Pariwasata merupakan salah satu penyumbang pendapatan devisa negara yang cukup besar. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari sektor pariwisata pada tahun 2010 sebesar 261,05 Triliun Rupiah. Angka tersebut meroket menjadi 461,36 Triliun Rupiah pada tahun 2015. Hal tersebut tidak terlepas dari peranan potensi pariwisata yang besar di Indonesia. Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas pulau-pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke yang mempunyai potensi pariwisata yang cukup beragam. Dalam bentangan wilayah Indonesia tersebut, terdapat satuan terkecil masyarakat yang disebut dengan desa. Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa. Desa merupakan bagian terkecil pada suatu wilayah yang memiliki potensi-potensi tertentu yang dapat dikembangkan tidak hanya berdasarkan keadaan geografisnya, namun juga dapat memanfaatkan kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat. Misalnya desa yang berada di daerah pesisir dapat mengembangkan potensi pariwisata budidaya perikanan dan sumber daya perairan. Sedangkan desa yang berada di daerah pegunungan dapat mengembangkan potensi pariwisata berbentuk edukasi berbasis ekowisata. Sektor pariwisata desa juga dapat dikembangkan dari kekayaan budaya yang hidup diantara masyarakat. Namun seiring berkembangnya waktu, problematika muncul dalam upaya pengelolaan pariwisata. Problematika tersebut yaitu kurang optimalnya peran pemerintah dalam mengelola potensi pariwisata terutama di desa. Di sisi lain, dalam rangka mengoptimalisasi kewenangan desa sebagai tatanan pemerintahan terkecil yang berwenang mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, pemerintah dalam Undang-Undang Desa memberikan bantuan finansial berupa Dana Desa yang berasal dari dana alokasi dasar sebesar 90% yang besarannya sama untuk semua desa kemudian ditambah dengan Dana Formulasi sebesar 10% yang menjadi pembeda nominal dana desa yang diterima. Dana Formulasi disesuaikan dengan Jumlah Penduduk Desa (25%), Jumlah Penduduk Miskin Desa (35%), Luas Wilayah Desa (10%) dan tingkat kesulitan geografis (30%). Sayangnya pembagian parameter tersebut bersifat konsumtif dan bukan produktif, dalam artian tidak terdapat pembagian parameter untuk Potensi Lokal desa yang berbeda antara desa yang satu dengan desa yang lain. Oleh karena itu, penulis menggagas ide berupa penambahan parameter Potensi Lokal desa dalam pembagian Dana Formulasi dana desa. Metode penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Adapun penambahan parameter Potensi Lokal dalam pembagian Dana Formulasi dana desa mencakup potensi sektor pariwisata desa. Dengan diimplementasikannya gagasan ini diharapkan dapat mengoptimalisasi upaya pengelolaan pariwisata serta meningkatkan potensi sektor pariwisata di pedesaan Indonesia.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"78 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114465831","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"INTROSYM : Reformulasi Stolen Asset Recovery dalam Sistem Pemeriksaan Delik Korupsi Sektor Swasta","authors":"Melta Setya Rahayu Pujianti, Fazal Akmal Musyarri, Paradisa Eksakta Gheosa","doi":"10.56370/jhlg.v1i4.207","DOIUrl":"https://doi.org/10.56370/jhlg.v1i4.207","url":null,"abstract":"“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” adalah adagium Lord Acton, sebagai refleksi adanya penyelewengan eksekutif dalam bentuk intervensi terhadap independensi saksi dari perusahaan terlapor. Selaras dengan pemikiran Romli Atmasasmita yang menyatakan meningkatnya angka korupsi di sektor swasta disebabkan karena ketidakberanian saksi dalam melaporkan kasus itu. Didukung oleh Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM yang menyebutkan kerugian negara akibat korupsi swasta mencapai 40,53%, penulis menggagas ide Integrated Proofing System (INTROSYM), yang merupakan sistem penindakan kasus korupsi terpadu yang melibatkan perusahaan yang meliputi tahapan pelaporan saksi dari pihak dalam (whistle blower). Namun terdapat aset korupsi yang dilarikan ke luar negeri, terutama ke negara tertentu seperti Swiss. Negara tersebut menyimpan rahasia aset dengan ketat sehingga sulit untuk dilakukan pembuktian meskipun pihak yang meminta pembukaan kasus dan pembuktian adalah negara tempat pihak pemilik aset. Sehingga dibutuhkan suatu regulasi khusus yang dapat membuka transparansi pembuktian aset suatu perusahaan yang disimpan di luar negeri. Stolen Asset Recovery (StAR) merupakan kerjasama antara World Bank dan merupakan produk dari United Nation of Drugs and Crime yang mengimplementasikan UNCAC. StAR memudahkan negara dalam membuka kasus dan melakukan pembuktian terhadap aset perusahaan. Selama ini sudah banyak negara yang menerapkan STAR, namun hanya diterapkan pada aset yang dimiliki oleh individu maupun pejabat negara. Sehingga StAR dapat lebih dioptimalkan fungsinya dengan menerapkannya pada aset yang dimiliki oleh perusahaan. Diharapkan pengejakulantahan INTROSYM dapat menurunkan tindak pidana korupsi di sektor swasta yang susah di brantas dan diselesaikan di ranah hukum Indonesia.","PeriodicalId":360944,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Lex Generalis","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-07-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126850695","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}