{"title":"Fungsi dan Kedudukan Advokat Sebagai Penegak Hukum dan Penemu Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana","authors":"Azmi Syahputra","doi":"10.25105/prio.v4i3.387","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v4i3.387","url":null,"abstract":"Pasal 24 UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman merupakan bagian yang terpenting dalam prinsip negara hukum guna mewujudkan suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan. Untuk terselenggaranya prinsip negara hukum tersebut salah satunya diperlukan porfesi advokat Sistem Peradilan Pidana Indonesia mengatur peran dan fungsi advokat sebagai bagian dari badan-badan lain dalam kekuasaan kehakiman dan karenanya berlaku pula prinsip-pinsip kekuasaan kehakiman pada advokat yang salah satunya advokat dapat pula menemukan hukum dan menciptakan hukum melalui jasa hukumnya dalam pembelaan terhadap kepentingan hukum tersangka dan terdakwa maupun karena tanggung jawab moral profesinya. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan berusaha menemukan konsep advokat sebagai penemu hukum. Konsep advokat sebagai penemu hukum hukum ini sangat relevan diantara miskinnya penemuan hukum dalam putusan hakim di tingkat pertama maupun di tingkat banding yang kebanyakan cenderung hanya menguatkan putusan hakim di tingkat pertama demikian pula di tingkat Mahkamah Agung masih salah dalam menerapkan hukum maupun akibat adanya Undang-undang yang sarat dengan kepentingan politik serta praktik penegakan hukum yang buruk. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang no. 18 tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”, maka kedudukan adavokat adalah setara atau sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Hakim). Realita praktik penegakan hukum oleh advokat di Indonesia menunjukkan bahwa advokat belum melaksanakan fungsi dan kedudukan sebagaimana filosofi funsgsi dan kedudukan advokat.Penulis menggunakan Teori Hak Asasi Manusia sebagai Grand Theory, Sistem Peradilan Pidana sebagai Middle Range Theory dan Teori Bantuan Hukum sebagai Applied Theory. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan hukum normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundag-undangan serta pendekatan kasus didukung pula oleh pendekatan historis dan perbadingan hukum dengan spesifikasi yang bersifat deskriptif analitis,. Data utama yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder meliputi bahan hukum primer bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan dengan secara yuridis kualitatif.Hasil penelitian ini menunjukkan peraturan perundang-undangan yang berlaku belum memberikan pengakuan yang maksimal terhadap advokat dalam menjalankan profesinya. Bahwa advokat dalam praktiknya belum dapat dikategorikan sebagai penegak hukum, penempatan advokat sebagai subsistem dalam sistem peradilan harus diimplementasikan dengan pengaturan dalam Undang-undangan secara konkrit bahwa setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana wajib didampingi oleh advokat dalam setiap proses pemeriksaan tanpa adanya pembatasan berdasarkan ancaman hukuman pidana terhadap tersangka/terdakwa. Dalam Rancanga","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"219 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122849341","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Penggunaan Hukum Disiplin (Corporal Punishment) pada Anak Di Lingkungan Sekolah Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia","authors":"Rusmilawati Windari","doi":"10.25105/prio.v4i3.388","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v4i3.388","url":null,"abstract":"Perkembangan internasional dewasa ini menunjukkan bahwa praktek penggunaan corporal punishment terhadap anak di segala situasi baik di rumah, sekolah, maupun, sistem peradilan pidana anak tidak lagi dibenarkan. Hukuman fisik (corporal punishment) yang acapkali digunakan sebagai metode yang ampuh untuk mendidik dan mendisiplinkan anak mulai dipandang sebagai salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi anak atas keutuhan integritas fisik dan mentalnya. Tidak seperti negara-negara di Eropa yang kebanyakan telah melakukan gerakanhukum (legal movement) dengan melarang segala bentuk praktek corporal punishment terhadap anak, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pelarangan atas praktek corporal punishment masih menuai perdebatan. Di Indonesia, istilah corporal punishment ini lebih banyak dikaitkan dengan konteks peradilan pidana, dan bukan dalam konteks upaya merawat dan mendidik anak di lingkungan rumah dan sekolah. Belum adanya aturan yang spesifik memberikan definisi yuridis maupun larangan akan praktek corporal punishment terhadap anak tersebut, menyebabkan praktek corporal punishment tersebut masih dipandang sebagai bentuk penganiayaan pada umumnya walaupun secara kontekstual keduanya memiliki hakekat yang berbeda.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"110 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122566146","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kajian Yuridis Ruang Gerak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi","authors":"I. Setiabudhi","doi":"10.25105/prio.v4i1.374","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v4i1.374","url":null,"abstract":"Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengikutsertakan masyarakat/LSM telah diatur dalam United Nations Convention Against Corruption 2003, khususnya pada Pasal 13 disebutkan antara lain, bahwa “masing-masing negara pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang semestinya, dalam kewenangannya dan sesuai dengan prinsip-pirinsip dasar hukum internalnya, meningkatkan partisipasi aktif perorangan dan kelompok di luar sector publik, seperti masyarakat sipil, organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/LSM) dan organisasi-organisasi berbasis masyarakat. Selanjutnya bagaimana pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan kita terhadap ruang yang diberikan kepada LSM dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan jaminan yang sanagt tegas dalam Pasal 28 E ayat (3) bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluakan pendapat “Ketetapan MPR –RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, antara lain disebutkan…… di samping itu terdapat desakan yang kuat dari masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, memberikan kesempatan kepada masyarakat/LSM untuk ikut berpartisipasi. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam bab V, khususnya pada pasal 41 dan pasal 42. Demikian pula halnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 68 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Secara lebih khusus peran serta masyarakat dalam hal ini lebih banyak dilalukan oleh LSM, diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 71 tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Agar LSM memiliki ruang gerak dalam menjalankan fungsinya secara efektif falam pemberantasan tindak pidana korupsi, diharapkan kepada pemerintah untuk memberikan perhatian kepada LSM mencakup antara lain: Pertama, adanya peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit tentang kedudukan/keberadaan, bagi LSM untuk melakukan aktivitasnya. Kedua, adanya pengakuan/jaminan yang dirumuskan dalam peraturan perundangan-undangan ataupun kebijakan pemerintah, bahwa LSM diberikan ruang yang jelas secara independen dalam upaya pemberantsan korupsi; Ketiga, menjamin akses LSM terhadap sumberdaya dari berbagai sumber untuk melaksanakan kegiatannya.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"32 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127725723","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Potret Efektivitas Penerapan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta","authors":"Simona Bustani","doi":"10.25105/prio.v4i2.378","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v4i2.378","url":null,"abstract":"Di era globalisasi yang berlandaskan pada pasar bebas membawa pengaruh yang cukup besar bagi tatanan kehidupan masyarakat.nPerubahan terjadi di semua aspek kehidupan termasuk aspek hukum. Salah satunya terjadi perubahan UUHC 2002 agar mendukung pasar bebas. Selama ini penerapan perlindungan hak cipta mengalami berbagai kendala. Oleh karenanya permasalahanya: apakah penerapan UUHC2002 telah cukup efektif dalam melindungi pencipta ataupun pemegang hak cipta atas karya yang dihasilkannya? Untuk mengkaji efektivitas penerapan suatu UUHC 2002 digunakan teori sistem hukum dari Freidman yang terdiri dari sub sistem substansi, sub sistem struktur dan sub system budaya hukum. Berkaitan dengan sub sistem substansi mengantisipasi kelemahan UUHC 2002, maka Pemerintah mengeluarkan RUU Hak Cipta, yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam RUU Hak Cipta ada beberapa revisi yang dapat meningkatkan efektivitas penerannya, diantaranya pada Pasal 2 RUU Hak Cipta lebih mendalam dalam memaparkan tentang Hak Cipta, selanjutnya telah diatur dalam Pasal 17 RUU Hak Cipta mengenai karya yang tidak dilindungi hak cipta. Selain itu, istilah folklore dalam Pasal 10 ayat 2 UUHC telah diubah dengan istilah ekspresi budaya tradisional dalam RUU Hak Cipta. Namun, ruang lingkupnya masih tetap sama. Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) RUU Hak Cipta, adanya pengaturan ekspresi budaya tradisional harus mengemban kepentingan masyarakat yang tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Perubahan yang secara signifikatn mengalami perbedaan adalah pada Pasal 67 RUU Hak Cipta mengenai hak pelaku telah diatur secara lebih rinci.Berkaitan dengan sub struktur telah ada Dirjen Hak Kekayaan Intelektual dan Tim Nasional untuk menanggulangi Pelanggaran HKI, dalam dalam RUU Hak Cipta juga direncanakan Lembaga Manajeman Kolektif Nasional. Namun, pada sub budaya hukum masih memiliki banyak kendala, karena masyarakat belum mampu menghargai karya cipta orang lain. Budaya hukum masyarakat mengeristal menjadi kesadaran hukum. Untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat masih membutuhkan perjalanan yang panjang. Oleh karenanya, untuk meningkatkan efektivitas perlindungan hak cipta membutuhkan peraturan pelaksana undang-undang hak cipta selain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang pentingnya hak cipta melalui sosialisasi dan pendidikan hukum.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"213 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124203707","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Review Pemagangan Luar Negeri Dalam Rangka Penempatan (Studi Mengenai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 08 Tahun 2008)","authors":"Andari Yurikosari","doi":"10.25105/prio.v5i1.394","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v5i1.394","url":null,"abstract":"The activity of an apprentice ships are in a particular agency or company. With the events of this internship, the students are expected to know about there all picture of the real world. This activity is also expected to the students to encourage their knowledge with the experience and skills to students before they actually plunge and compete in the world of work. Thus it will formearly work attitude, discipline, perseverance and honesty in students before they actually work. Apprentice ship program became one of the solutions to over come unemployment because it can increase human resources, broaden the knowledge and skills of job seekers work so easily absorbed in the world of work. Pattern trainee role as a bridge between the world of education of the needs of companies or jobs. The role of apprenticeship is very important, not merely for improving the quality of labor, but also can facilitate the companies in finding qualified workers and in accordance with the competencies they need. Carried out on the basis of apprenticeship agreement between participants with employers made in writing. Apprenticeship agreement shall contain the rightsand obligations of participant sand employers and apprentice shipperiod as stipulated in Act 13 of 2003 on employment. The form of the Government’s attention to the interns stipulated in Act 13 of 2003 on employment in particular ofArticles 21 to 30 and more specifically set forth in the Regulation of the Minister of Man power and Transmigration No. per 22/men/IX/2009 on the Implementation of Apprenticeship in the interior. With the regulations governing apprenticeship program is expected to legal protection againts violation of the rights-the right to apprentices and harmful things for both apprentices and corporate intern ships. Law No. 13 of 2003 on the Regulation of the Minister of Labour and Manpower and Transmigration No.PER.22/MEN/IX/2009 on the Implementation of Apprenticeship also regulate how the procedures and requirements about things-things related to apprenticeship, there for the legal protection of apprentices apprenticeship, especially in the country should going well and fit because it has been stipulated in the laws or regulations of the minister. While some of the problems that occur based on a review of apprenticeship studies, the formulated some of the issues that will be studied as follows: how the implementation of foreign apprenticeship in Semarang, Central Java, Denpasar city of Bali Province, the city of Yogyakarta Special Region of Yogyakarta based on the laws and regulations regarding apprenticeship, how to identify requirements for the implementation and post a good apprenticeship in enterprises as well as in apprenticeship training institutions in accordance with the purpose of apprenticeship, what are the factors that lead to failure in over seas apprenticeship program associated with the expected output of the apprenticeship program and monitoring functions of the Department ","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122768809","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Aspek Keabsahan Perjanjian Dalam Hukum Kontrak (Suatu Perbandingan Antara Indonesia dan Korea Selatan)","authors":"Novina Sri Indiraharti","doi":"10.25105/prio.v4i1.373","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v4i1.373","url":null,"abstract":"Hukum kontrak merupakan bidang hukum yang sangat penting di era globalisasi terutama dalam mendukung sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Keberlakuan perjanjian sebagai hukum hukum yang mengikat para pihak yang berkontrak hanya akan berlaku, jika dibuat secara sah. Begitu pula transaksi bisnis yang berlaku di Korea Selatan maupun di Indonesia, tidak terlepas dari syarat sahnya perjanjian. Penulisan ini berusaha memberikan suatu ilustrasi deskriptif dengan cara membandingkan pengaturan keabsahan perjanjian dalam peraturan perundang-undangan yang digunakan di Korea Selatan dan di Indonesia, tanpa adanya penganalisisan lebih lanjut. Dalam Korean Civil Code dan KUH Perdata, ternyata keduanya mengatur mengenai ketentuan hukum perjanjian, termasuk pengaturan mengenai keabsahan bagu suatu perjanjian. Adanya pengaturan tersebut, maka terdapat kesamaan dalam pengertian perjanjiaannya, syarat sahnya perjanjian, akibat dari suatu perjanjian, dan penfsiran perjanjian. Tetapi untuk sahnya perjanjian dalam Korean Civil Code harus memenuhi 7 (tujuh) unsur sedangkan dalam KUH Perdata harus memenuhi 4 (empat) syarat. Selain itu untuk sahnya perjanjian, Korean Civil Code menetapkan bahwa perjanjian harus dibuat baku dan wajib diserahkan kepada Kementrian Hukum untuk disahkan. Apabila lalai, maka dapat membatalkan perjanjiannya dan kepada para pihak dapat dikenakan sanksi.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127491278","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengaturan Rahasia Bank (Bank Secrecy) di Indonesia (Studi Perbandingan Bank Secrecy di Thailand)","authors":"Atika Indriyani","doi":"10.25105/prio.v3i1.358","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v3i1.358","url":null,"abstract":"Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank sebagai lembaga perantara keuangan, harus menjaga kepercayaan masyarakat yang telah diberikan kepadanya dengan menjamin tingkat keamanan dana yang dipercayakan nasabah kepada bank. Bentuk penjagaan keamanan ini diwujudkan bank dengan menjaga rahasia nasabah dari siapapun yang tidak berwenang (secrecy). Bagaimanakah ruang lingkup pengertian rahasia bank serta informasi apa sajakah yang dapat diberikan oleh bank dalam melaksanakan ketentuan yang berkaitan dengan Rahasia Bank di Indonesia dan di Thailand merupakan masalah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dengan melakukan perbandingan hukum, sifat penelitian deskriptif dengan menggunakan sumber data sekunder serta dianalisis secara kualitatif. Dari pengolahan dan analisis data yang dilakukan diperolah kesimpulan bahwa di Indonesia terdapat ruang lingkup yang berbeda antara UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 di mana pengertian yang terdapat dalam ketentuan UU No. 10 Tahun 1998 ruang lingkup rahasia bank dibatasi atau dipersempit hanya untuk nasabah penyimpan dan simpanannya. Sedangkan di Thailand tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang Rahasia Bank (Bank Secrecy), Antara Indonesia dan Thailand pada prinsipnya sama dalam rangka membuka informasi kepada pihak-pihak tertentu dalam kaitannya dengan “rahasia bank”.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"69 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121024357","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional","authors":"Romli Atmasasmita","doi":"10.25105/prio.v3i1.354","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v3i1.354","url":null,"abstract":"Laporan Panel Tingkat Tinggi PBB Tahun 2004, yang berjudul “Ancaman, Tantangan, dan Perubahan (Threats, Challenge, and Change) menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) kelompok (clusters) Ancaman Abad 21 yaitu, Ancaman ekonomi dan sosial, termasuk kemiskinan dan kerusakan lingkungan, konflik antar negara, konflik di dalam negara termasuk perang sasudara, genosida dan peristiwa kejahatan skala besar lainnya, ancaman senjata nuklir, radiologi, kimia dan biologi, terorisme, dan kejahatan transnasional terorganisasi. Tiga pilar penting dan relevan sebagai tanggung jawab keamanan bersama negara-negara (collective security responsibility) dalam menghadapi keenam ancaman tersebut, yaitu pertama, ancaman masa kini tidak mengenal batas wilayah negara, kedua, tidak ada satupun negara betapa kuatnya, dapat dengan upaya sendiri menghindari dari kerentanan terhadap keenam ancaman tersebut, dan ketiga, tidak dapat diasumsikan bahwa setiap negara selalu akan mampu atau mau memenuhi tanggung jawab melindungi rakyatnya tanpa menyentuh (berdampak) terhadap negara tetangganya. Laporan PBB tersebut di atas merupakan sinyal bagi Indonesia bahwa, perubahan peraturan perundang-undangan Indonesia khusus untuk mengantisipasi ke-enam ancaman tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi sistem hukum pidana nasional yang akan datang. Dalam perkembangan sistem hukum Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial sampai dengan saat ini, dapat bedakan 4 (empat) model hukum, yaitu pertama, model hukum kolonial yang sangat represif, kedua model hukum pembangunan, ketiga model hukum progresif dan keempat model hukum integratif. Meski demikian, 3 model hukum yang sangat mungkin menjadi upaya solusi sementara dalam menghadapi tantangan kehidupan sebagai dampak perkembangan sosial, budaya, abad 21 dan di masa yang akan datang. Kata Kunci: Ancaman Abad 21 – 3 model paradigma hukum – pembangunan","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"31 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132640789","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kendala Kepesertaan Program Jaminan Sosial Terhadap Pekerja di Sektor Informal: Studi Kasus di Kota Surabaya","authors":"T. ., Soewartoyo -","doi":"10.25105/prio.v3i3.367","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v3i3.367","url":null,"abstract":"The social security is a national citizen’s right, include to the workers. However, in the reality is not all workers have been touched in the social security Indonesian programs. This paper will descript why the social security programs is not yet succeed for participation workers in Indonesia. This study is part of the results of research conducted by LIPI Population Research Center. This study approach used a desk literature review and the survey approach which be located at informal sector workers settlement in Surabaya. The analysis uses descriptive method that to discuss how the implementation of the social security programs were done by the government policies. This study found that the implementation of the social security not yet was followed by the majority of the informal sector workers. This is because due to the several constraints, such as, the workers are still not understand about of the National Social Security program; they have not get access to this program. Another factor is the education level of workers is low, its doe to their knowledge is lower. Therefore the situation brought the less access to information for the programs by the informal workers.Keywords : the social security program, the informal sector workers, information","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124673804","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perlindungan Pekerja Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Atas Inisiatif Pengusaha Berdasarkan Konvensi ILO No. 158","authors":"B. Santoso","doi":"10.25105/prio.v3i2.361","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v3i2.361","url":null,"abstract":"This article examines the extent to which the ILO Convention No. 158 Tahun 1982 provides worker protection againts termination of employment at the initiative of the employer. The results of the analysis found that the Convention clearly demonstrates awareness of the need to balance worker protection from unjustified dismissal againts the need to ensure labour market flexibility, such as employers can not terminate the worker for reasons economic and technology to undertake preventive measures, in cosultation with workers.Tulisan ini menganalisis sejauh mana Konvensi ILO 158 Tahun 1982 memberi perlindungan kepada pekerja dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pengusaha. Hasil analisis menyimpulkan bahwa Konvensi ini menunjukkan kesadaran mengenai pentingnya untuk memberikan perlindungan pekerja atas PHK yang tidak adil karena praktek fleksibilitas pasar kerja, misalnya menutup kemungkinan pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan-alasan yang terkait hak asasi manusia, mewajibkan pengusaha yang bermaksud melakukan PHK atas alasan ekonomi dan teknologi untuk melakukan upaya-upaya pencegahan, berkonsultasi dengan perwakilan pekerja, dan memberitahukan kepada pihak berwenang mengenai rencana PHK tersebut.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"25 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123728855","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}