{"title":"Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia di Kawasan Ambalat","authors":"Ida Kurnia","doi":"10.25105/prio.v2i2.329","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i2.329","url":null,"abstract":"Penetapan batas maritim suatu negara pantai dengan negara yang berhadapan maupun negara yang berdampingan tentunya perlu untuk segera diselesaikan. Begitu juga denga Negara Indonesia yang merupakan negara pantai. Penetapan batas maritim akan membawa konsekuensi kepada yurisdiksi, hak berdaulat dan kedaulatan suatu negara. Demikian juga dengan penetapan batas maritim antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia di Kawasan Ambalat perlu dilakukan serangkaian tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang mengarah kepada penyelesaian sengketa, mengingat Kawasan Ambalat termasuk ke dalam Kedaulatan Negara Indonesia dan pada sisi lain Negara Malaysia sudah melakukan tindakan yang menyimpang.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124323528","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Paradigma Baru dalam Pengaturan Anti Korupsi di Indonesia Dikaitkan dengan UNCAC 2003","authors":"Yenti Garnasih","doi":"10.25105/prio.v2i3.334","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i3.334","url":null,"abstract":"Permasalahan memerangi tindak pidana korupsi memang selalu saja harus dikembangkan, karena ternyata angka korupsi selalu saja meningkat demikian juga dengan modus yang dilakukannya. Sejalan dengan itu paradigma yang dikembangkanpun selalu juga progresif dan inovatif. Masyarakat internasionalpun memberikan perhatian yang tinggi untuk upaya penanganan korupsi ini termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa yang telah melahirkan Convention Againts Corruption pada tahun 2003 yang menjadi guide lines bagi negara-negara yang mempunyai komitmen terhadap upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi termasuk Indonesia. Setelah meratifikasi UNCAC ini maka tentunya Indonesia harus memperbaharui berbagai ketentuan terkait tindak pidana korupsi, selain itu sebenarnya setiap negara berkewajiban secara periodik untuk mengevaluasi bagaimana instrumen hukum dan langkah-langkah administratif yang ada dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi. Dalam kerangka pembangunan hukum ke depan yang sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum maka diperlakukan suatu langkah-langkah strategis, agar secara proporsional dan kondisional serta prioritas dalam rangka meningkatkan akselerasi reformasi hukum yang mencakup substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130539438","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kasasi Terhadap Putusan Bebas","authors":"Ramelan -","doi":"10.25105/prio.v2i3.333","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i3.333","url":null,"abstract":"Putusan bebas sering menimbulkan reaksi dan polemik, baik menyangkut penerapan hukum maupun perasaan keadilan. Secara normatif menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas dalam perkara pidana tidak dapat diajukan permintaan kasasi. Praktek peradilan melalui putusan yang telah menjadi yurisprudensi, maupun pandangan teoritik berpendapat bahwa putusan bebas dapat diajukan permohonan kasasi asalkan penuntut umum dapat membuktikan dalam memori kasasinya, bahwa putusan bebas tersebut merupakan pembebasan murni.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"56 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134408857","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Aspek Hukum Perkawinan WNI Beda Agama yang DIlangsungkan di Luar Wilayah Indonesia","authors":"Gusti Ayu Tirtawati, Retna Dwi Savitri","doi":"10.25105/prio.v2i3.335","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i3.335","url":null,"abstract":"Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, menyatakan bahwa perkawinan antar agama tidak dapat dilaksanakan. Tetapi, ternyata perkawinan beda agama masih saja terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh Warga Negara Indonesia yang pluralis agamanya. Untuk menghindar berlakunya hukum Indonesia maka para pasangan beda agama tersebut melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Perkawinan beda agama secara implisit tidak diatur secara khusus dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun demikian, perkawinan beda agama dilangsungkan di luar negeri tetap harus memenuhi syarat materiil dan syarat formal yang masing-masing diatur dalam Pasal 16 AB dan Pasal 18 AB. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga bagi WNI yang berbeda agama tetap harus tunduk pada UU ini. Lebih lanjut, dalam UU dinyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri harus dicatatkan, namun perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, di dalam Pasal 35 butir a, yang menyatakan bahwa “hal demikian sepanjang pencatatan perkawinan tersebut telah melalui penetapan Pengadilan, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan pada Instansi Pelaksana”, sehingga atas perkawinan tersebut dapat dimungkinkan untuk dicatatkan. Adapun akibat hukum perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri karena penyelundupan hukum tentunya membawa akibat bagi isteri dan anak-anaknya.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130306791","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Resensi Buku Pendekatan Baru dalam Kriminologi","authors":"Ermania Widjajanti","doi":"10.25105/prio.v2i2.330","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i2.330","url":null,"abstract":"Judul Buku: Pendekatan Baru dalam KriminologiPenulis: Koesriani SiswosubrotoPenerbit: Universitas Trisakti, Jakarta, IndonesiaTahun Terbit: Maret, 2009ISBN: 978-979-26-8938-9 ","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116968694","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Rekonstruksi Pasal 44 KUHP dan VeRP dalam Sistem Peradilan Pidana","authors":"Dyah Irawati","doi":"10.25105/prio.v2i2.327","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i2.327","url":null,"abstract":"Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sering dikejutkan berbagai peristiwa tindakan manusia yang nampak sangat kejam, keji, sadis, bahkan sulit untuk diterima nalar manusia. Masyarakat beranggapan pelaku tindak pidana tersebut adalah orang “gila”. Untuk menentukan hubungan kausalitas kondisi kejiwaan seorang pelaku dan tindak pidana, secara tepat hanya dilakukan melalui pemeriksaan klinis dokter ahli jiwa/ psikiater. Hasil pemeriksaan dokter ahli jiwa/ psikiater dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum Psichiatrycum (VeRP), VeRP dapat digunakan sebagai alat bukti surat, namun jika hakim merasa kurang jelas dengan VeRP, maka hakim dapat memanggil psikiater sebagai saksi ahli. Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana adalah wewenang hakim, namun demikian psikiater dapat membantu hakim dalam memberikan putusan yang tepat dan berkeadilan. Diharapkan VeRP dapat digunakan sejak awal proses sistem peradilan pidana berjalan. Pasal 44 KUHP belum sepenuhnya mengakomodasi kondisi kejiwaan pelaku tindak pidana, karena Pasal 44 KUHP tidak mengatur kondisi kejiwaan pelaku yang kurang mampu bertanggungjawab. Dalam tulisan ini dibahas mengenai rekonstruksi Pasal 44 KUHP dengan mengacu pada Konsep KUHP Baru.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"91 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123773577","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Penerapan Ketentuan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus Kredit Macet Perbankan","authors":"Dian Adriawan Dg. Tawang","doi":"10.25105/prio.v2i4.338","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i4.338","url":null,"abstract":"Sejalan dengan usaha memperbaiki dan meperkokoh perekonomian nasional perlu pula diperhatikan pembenahan sektor perbankan nasional. Peranan sektor perbankan nasional harus ditingkatkan sesuai dengan fungsinya, baik untuk menghimpun dana dari masyarakat maupun menyalurkan dana kepada masyarakat. Tahun 2009, dalam hal penyaluran kredit perbankan terlihat adanya tanda-tanda yang memburuk. Namun Bank Indonesia menyadari bahwa perbankan tidak mau menggenjot penyaluran kredit karena alasan kehati-hatian. Pengelola bank hati-hati di masa krisis agar tak terjebak dalam peningkatan kredit bermasalah termask “kredit macet”. Ketakutan tersebut disebabkan karena proses penyelesaian redit macet menggunakan pendekatan instrumen hukum pidana, yakni penerapan UU Pemberantasan Tindak Piana Korupsi. Berangkat dari uraian tersebut timbul pertanyaan, Apakah sudah tepat penerapan ketentuan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait adanya kredit macet di Lembaga Perbankan? Berdasarkan Putusan MA terhadap kasus ECW Neloe, tergambar adanya penerapan UUPTK untuk kasus kredit macet. Berdasarkan analisis teoritik seharusnya aparat penegak hukum meberlakukan UU Perbankan sebagai realisasi asas lex specialis derogate legi generate, hal ini disebabkan karena subjek maupun objek dari kejahatan telah secara rinci diatur dalam UU Perbankan. Hal ini juga untuk menghindari semakin sulitnya pencairan kredit yang sangat ditunggu-tunggu oleh pengusaha dalam rangka menggerakkan sektor riil.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"07 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127245270","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Aspek Monopoli Atas Cabang Produksi yang Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha","authors":"A. Anggraini","doi":"10.25105/prio.v2i4.337","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i4.337","url":null,"abstract":"Istilah monopoli seringkali diterjemahkan secara negatif oleh berbagai kalangan mengingat dampak terhadap penyalahgunaannya seringkali menghambat persaingan dan bahkan merugikan masyarakat. Definisi monopoli dalam UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya ditulis UU Nomor 6/1999) adalah “penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh salah satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”. Monopoli di beberapa negara kadangkala diperlukan oleh masyarakat terutama di sektor-sektor industri yang strategis, yang pada dasarnya termuat juga dalam Pasal 33 UUD 1945. Penguasaan atas cabang-cabang produksi tersebut oleh UUD 1945 diserahkan kepada negara agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemberian kekuasaan kepada negara diartikan sebagai pemberian kewenangan untuk mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum antara orang-orang dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Pasal 51 UU Nomor 5/1999 menyiratkan pengertian bahwa pelaksanaan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan oleh negara terhadap kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa tidak selamanya monopoli dilarang, bahkan dalam hal-hal tertentu monopoli oleh negara di sektor industri strategis dikecualikan oleh sebuah undang-undang.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129772638","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Makna Pemilu/Pilkada Demokratis dan Efisien dalam Rangka Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensiil","authors":"M. Amir","doi":"10.25105/prio.v2i3.336","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i3.336","url":null,"abstract":"Amandemen terhadap UUD 1945 telah menjadi acuan dalam melakukan perundang-undangan di bidang politik. Untuk mengimplementasikan UUD 1945, setidak-tidaknya ada 5 permasalahan mendasar, yaitu pengaturan sistem kepartaian yang demokratis, mandiri dan tangguh dalam NKRI, terselenggaranya pemilu/pilkada yang demokratis, membangun sistem perwakilan rakyat yang kredibel dan aspiratif, terbentuknya pemerintahan yang stabil, kapabel dan responsif, dan terciptanya pola hubungan antar lembaga negara yang sinergis dalam sistem pemerintahan presidensiil.Pemilihan presiden secara langsung diselenggarakan dalam rangka terbentuknya pemerintahan yang stabil, kapabel dan responsif guna memperkuat sistem pemerintahan presidensiil. Demikian pula Pilkada secara langsung yang diselenggarakan secara demokratis secara berjenjang akan menciptakan pola hubungan antara lembaga negara yang sinergis dengan sistem pemerintahan presidensiil (redaksi)","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"174 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116131593","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Urgensi Pengaturan ekspresi Budaya (Folklore) Masyarakat Adat","authors":"Simona Bustani","doi":"10.25105/prio.v2i4.340","DOIUrl":"https://doi.org/10.25105/prio.v2i4.340","url":null,"abstract":"Perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional (folklore) dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta sangat tidak memadai. Penyebabnya adalah adanya pertentangan filosofi dalam hak cipta yang berkonsep individual dengan filosofi ekspresi budaya tradisional (folklore) yang berkonsep komunal. Hal ini menimbulkan tingginya pelanggaran pihak asing terhadap karya ekspresi budaya tradisional (folklore) masyarakat adat. Sehingga timbul pertanyaan “perlindungan hukum bagaimana yang tepat untuk melindungi karya ekspresi budaya tradisional (folklore) masyarakat adat di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 huruf (J) Convention on Biological Diversity yang selanjutnya disingkat CBD, meperkenalkan sistem sui generis yang memberikan peluang bagi negara yang memiliki kekayaan ekspresi budaya tradisional (folklore) untuk mengatur perlindungan ekspresi budaya tradisional (folklore) sesuai dengan kepentingan negara masing-masing termasuk Indonesia. Oleh karena itu, lahirnya peraturam hukum yang khusus dalam melindungi ekspresi budaya tradisional (folklore), merupakan kebutuhan yang mendesak. Selain itu, dengan adanya peraturan tersebut, maka pihak asing dapat memanfaatkan ekspresi budaya tradisional (folklore) Indonesia secara legal dan juga Pemerintah dapat memperoleh manfaat ekonomi dari penggunaan ekspresi budaya tradisional (folklore) tersebut. Selain itu, langkah awal yang harus dilakukan Pemerintah adalah melakukan pendataan karya ekspresi budaya tradisional (folklore) di seluruh wilayah Indonesia, agar dapat dijadikan sebagai alat bukti terhadap pihak asing apabila terjadi pelanggaran.","PeriodicalId":335820,"journal":{"name":"Jurnal Hukum PRIORIS","volume":"106 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-05-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133741199","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}