{"title":"BEBERAPA JENIS FITOESTROGEN SEBAGAI TERAPI UNTUK PENUAAN KULIT PADA PEREMPUAN PASCAMENOPAUSE","authors":"Mutiara Ramadhiani, Shannaz Nadia Yusharyahya, Rinadewi Astriningrum, Andon Hestiantoro","doi":"10.33820/mdvi.v48i4.157","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i4.157","url":null,"abstract":"Penuaan merupakan proses perubahan dinamis yang ditandai oleh kemunduran progresif berbagai sistem tubuh disertai penurunan kapasitas fisiologis. Salah satu faktor intrinsik penuaan kulit pada perempuan adalah penurunan kadar hormon estrogen di dalam tubuh saat memasuki masa pascamenopause. Estrogen merupakan hormon yang memiliki peran penting dalam regulasi fisiologis kulit. Berkurangnya kadar estrogen dapat mempercepat proses penuaan kulit yang ditandai dengan penurunan ketebalan, elastisitas, dan hidrasi kulit. Selama ini pemberian terapi hormon estrogen terbukti dapat mengurangi gejala penuaan kulit pada perempuan pascamenopause, namun terapi ini berpotensi meningkatkan risiko terjadinya efek samping berat contohnya kanker payudara, kanker endometrium, dan kanker ovarium. Fitoestrogen merupakan senyawa nonsteroid berasal dari tanaman yang memiliki aktivitas biologik serupa dengan estrogen. Setiap jenis fitoestrogen memiliki aktivitas biologik yang berbeda satu sama lain. Studi terkini menunjukkan bahwa fitoestrogen dapat menjadi terapi alternatif untuk mengatasi penuaan kulit pada perempuan pascamenopause. Fitoestrogen yang diberikan baik secara oral maupun topikal terbukti dapat meningkatkan elastisitas, ketebalan, dan kelembaban kulit serta mengurangi pigmentasi dan proses inflamasi pada kulit. ","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"39 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74353425","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"CAULIFLOWER-LIKE APPEARANCE CUTANEOUS PAPILLOMA","authors":"D. Sinambela, Remenda Siregar","doi":"10.33820/mdvi.v48i4.160","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i4.160","url":null,"abstract":"ABSTRAKCutaneous papilloma (CP) adalah neoplasma jinak jaringan ikat dermis, terdiri dari jaringan fibrosa longgar, dan tampak sebagai papula bertangkai sewarna kulit hingga hiperpigmentasi yang biasanya bersifat asimptomatis apabila tidak disertai adanya peradangan dan iritasi. Terdapat 3 tipe CP yang umum ditemui, yaitu furrowed papule CP,  filiform CP dan bag-like CP. Pada tulisan ini dilaporkan suatu kasus cauliflower-like appearance CP yang merupakan gambaran klinis tidak biasa dari CP.Dilaporkan suatu kasus pada perempuan berusia 45 tahun dengan keluhan timbul benjolan yang berjonjot-jonjot pada kelopak mata bawah sebelah kanan sejak 3 tahun lalu. Benjolan tersebut berjonjot-jonjot, lunak, tidak terasa nyeri, tidak gatal dan tidak berdarah. Pada pemeriksaan dermatologis pada regio orbita dextra (lower eyelid) tampak nodul hiperpigmentasi, soliter, permukaannya verukosus, dan teraba lunak. Ukuran 1cm x 1cm.  Pada pemeriksaan dermoskopi polarized dan non polarized didapatkan gambaran cerebriform (brain-like) pattern dan comedo like opening. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan sediaan jaringan dengan pelapis epitel skuamous berlapis yang mengalami hiperkeratosis, akantosis dan papilomatosis. Stroma terdiri dari jaringan ikat fibrous yang diinfiltrasi sel-sel radang limfosit yang minimal dan tampak struktur adneksa kulit dalam batas normal dengan kesimpulan suatu cutaneous papilloma. Pasien selanjutnya ditatalaksana dengan bedah eksisi.Kata Kunci: Cauliflower-like appearance, Cutaneous papilloma, Skin tag","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"29 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80385147","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PENGGUNAAN TELEMEDISIN PADA DERMATOLOGI DI ERA DIGITAL","authors":"Jeffrey Giantoro, Fajar Waskito","doi":"10.33820/mdvi.v48i4.125","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i4.125","url":null,"abstract":"Telemedisin merupakan teknologi komunikasi yang berkembang dengan mengumpulkan informasi klinis untuk mendukung memenuhi kebutuhan kesehatan pasien dari jarak jauh. Bidang dermatologi sesuai untuk penerapan telemedisin karena mayoritas kelainan kulit dapat terlihat dengan mata. Teledermatologi (TD) didefinisikan sebagai praktik layanan dermatologi jarak jauh dengan bantuan teknologi komunikasi. Tingginya prevalensi penyakit kulit, wilayah yang luas, variasi kondisi ekonomi, kemajuan teknologi, dan peningkatan kebutuhan layanan dermatologi membuat TD semakin diperlukan. Pelaksanaan TD memerlukan kerjasama dengan provider yang mengerti dan memahami berbagai aturan di bidang kesehatan, mampu membangun serta membina hubungan antara pasien dan provider, serta menjalin kerjasama dengan asuransi kesehatan. Ada tiga jenis modalitas teknologi TD, yaitu store and forward (SNF), real time (RT), dan hybrid. TD juga mempunyai empat macam model praktek, yaitu konsultasi, triase, direct care, dan follow-up. Modalitas teknologi dan variasi model praktek mendukung TD menjadi alternatif dalam pelaksanakan layanan kesehatan sehingga dapat mengurangi angka kunjungan yang tidak perlu, memonitor perkembangan penyakit kulit kronis, memberikan rekomendasi terapi terkini, mengedukasi dan membuat pasien lebih berperan aktif dalam berkomunikasi dengan dermatologis.Kata kunci: dermatologi, teledermatologi, telemedisin, dermatologis","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"2 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"83239874","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Stefani Reditya Anggraini, P. K. Esti, Eka Komarasari
{"title":"TERAPI ALTERNATIF REAKSI KUSTA","authors":"Stefani Reditya Anggraini, P. K. Esti, Eka Komarasari","doi":"10.33820/mdvi.v48i4.304","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i4.304","url":null,"abstract":"Kusta merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Dalam perjalanan penyakit kusta dapat terjadi episode akut yang disebut reaksi kusta. Menurut World Health Organization (WHO), pemberian kortikosteroid merupakan terapi lini pertama reaksi kusta, namun kortikosteroid memiliki berbagai efek samping jika digunakan dalam jangka panjang. Banyak pula kasus reaksi kusta berulang yang resisten atau bergantung terhadap kortikosteroid, sehingga terapi alternatif dapat menjadi pilihan untuk kasus-kasus tersebut. Terapi alternatif yang kami jabarkan adalah pentoksifilin, siklosporin, azatioprin, metotreksat dan agen biologik (apremilast, Inhibitor TNF- -α dan IL-17). Artikel ini akan memaparkan indikasi hingga efek samping dari terapi alternatif untuk reaksi kusta. Studi mengenai terapi alternatif masih cukup terbatas (seperti studi kasus, case series, studi randomized control trial dalam skala kecil). Namun, didapatkan hasil yang cukup menjanjikan. Metotreksat merupakan terapi alternatif yang unggul dikarenakan memiliki hasil yang menjanjikan berdasarkan beberapa studi kasus yang telah dilakukan dan saat ini tengah dilakukan studi multi-senter randomized control trial dalam skala besar. Maka dari itu, masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai penggunaan terapi alternatif pada reaksi kusta dan penggunaanya saat ini perlu dilakukan dengan penuh pertimbangan dan hati-hati.","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"75 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88065362","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
M. Y. Listiawan, Natalia Tanojo, Cindy Fransisca, Putri Hendria Wardhani
{"title":"ANALISIS FAKTOR RISIKO REAKSI KUSTA: STUDI RETROSPEKTIF DI RUMAH SAKIT RUJUKAN TERSIER INDONESIA TAHUN 2015-2020","authors":"M. Y. Listiawan, Natalia Tanojo, Cindy Fransisca, Putri Hendria Wardhani","doi":"10.33820/mdvi.v48i4.282","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i4.282","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Kusta merupakan penyakit tropis terabaikan. Pada perjalan penyakit kusta yang kronis, sering terjadi reaksi kusta dengan episode subakut akibat respon imunologis terhadap antigen Mycobacterium. leprae . Pada kusta, penting diketahui berbagai faktor pemicu yang mungkin akan mencetuskan reaksi kusta, karena memiliki efek signifikan terhadap kualitas hidup. Metode: Studi ini merupakan studi retrospektif analitik dengan data yang diambil dari rekam medis seluruh pasien kusta baru dari tahun 2015-2020. Seluruh varian data dianalisis dengan Pearson’s Chi Square dan Kruskal Wallis test. Analisis regresi logistik multivariat digunakan untuk mengkalkulasi risiko reaksi kusta.Hasil & Diskusi: Reaksi tipe 1 lebih sering terjadi pada kusta borderline dengan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) negatif. Reaksi tipe 2 umum terjadi pada kusta tipe lepromatosa dengan IB  ≥3 + (p=0.001) dan IM 1-5%. Pada analisis multivariat, hanya IB 3+ atau lebih yang memiliki korelasi positif dengan kemunculan reaksi kusta.Kesimpulan:  Klinisi perlu menggunakan klasifikasi Ridley and Jopling dan pemeriksaan IB  serta IM untuk mengetahui risiko terjadinya reaksi kusta. Kata Kunci: penyakit tropis, faktor risiko, reaksi kusta","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"27 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"85603053","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Plant Stem Cell sebagai Antipenuaan Kulit","authors":"Arridha Hutami Putri, Nelva Karmila Jusuf","doi":"10.33820/mdvi.v48i4.119","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i4.119","url":null,"abstract":"PENDAHULUANÂ Stem cell sering disebut sebagai sel punca atau sel induk, bertanggung jawab atas regenerasi dan pemeliharaan jaringan serta memiliki karakteristik yang unik yaitu menghasilkan salinan dirinya dan keturunan sel yang berbeda ketika membelah.1 Stem cell yang berasal dari tumbuhan memiliki sifat membantu merangsang dan meregenerasi tanaman setelah cedera. Sifat unik plant stem cell telah menjadi bidang yang banyak diminati baru-baru ini, terutama dalam mengembangkan kosmetik baru dan mempelajari bagaimana ekstrak/phytohormone ini dapat mempengaruhi kulit. Usaha regeneratif yang dilakukan tumbuh-tumbuhan tidak hanya pada perbaikan jaringan akibat kerusakan, tetapi juga perkembangan tumbuhan yang baru.2,3Penuaan kulit merupakan suatu proses kompleks yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal serta melibatkan seluruh lapisan epidermis dan dermis.4,5 Tujuan dari kosmetik antipenuaan modern adalah untuk memperbaiki tampilan kulit dengan menstimulasi dan meregenerasi proses fisiologis alami demi perbaikan kondisi kulit dan perlindungan dari berbagai faktor yang menyebabkan penuaan, terlepas berapapun usia sesungguhnya. Kandungan yang menarik perhatian adalah plant stem cell, telah dinyatakan memberikan efek proteksi terhadap stem cell manusia dengan cara menstimulasi regenerasi kulit dan mencegah proses penuaannya.4Â Penuaan KulitPenuaan adalah proses biologis yang tak terhindarkan, kompleks dan dinamis yang ditandai dengan kemunduran progresif dari berbagai sistem pada tubuh dan penurunan kapasitas cadangan fisiologis.5 Kulit manusia mengalami dua jenis penuaan yaitu penuaan intrinsik dan ekstrinsik. Penuaan intrinsik mencakup serangkaian perubahan fisiologis bertahap yang merupakan konsekuensi dari waktu ke waktu dan dipengaruhi genetik dan hormonal. Penuaan ekstrinsik merupakan perubahan struktural dan fungsional yang disebabkan oleh faktor eksogen, terutama paparan sinar matahari (disebut juga photoaging), alkohol, merokok, malnutrisi dan lingkungan yang merugikan, namun dalam kondisi tertentu masih dapat dihindari.5-7Proses penuaan kulit intrinsik ditandai dengan adanya proses penuaan seluler, penurunan kapasitas proliferasi, penurunan kemampuan perbaikan deoxyribonucleic acid (DNA), stres oksidatif dan mutasi gen.8 Fungsi sawar kulit terganggu akibat perubahan struktur filamen keratin dan penurunan filagrin.Dalam hormonal, hormon seks terutama estrogen mempengaruhi sintesis kolagen, asam hialuronat, elastin dan komponen lain dari matriks ekstraseluler. Bersama-sama, ketiga komponen ini memberikan tampilan kulit yang sehat dan muda.Perubahan biokimia yang terjadi pada kolagen, elastin dan komponen dasar kulit menyebabkan penuaan kulit.5,9 Umumnya terjadi pada area kulit yang terlindungi dari paparan sinar matahari dengan klinis yang relatif lebih ringan, ditandai dengan tampilan kulit kering, pucat dan kendur dengan kerutan halus dan atau berbagai bentuk neoplasma jinak.10Sumber terbesar penuaan ekstrinsik adalah akumulasi dan papara","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"46 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"85422685","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PENATALAKSANAAN PSORIASIS TIPE PLAK DENGAN KOMBINASI TERAPI SECUKINUMAB DAN METOTREKSAT : SERIAL KASUS","authors":"Lukman Ariwibowo, Densy Violina Haryanti, Eka Narayana, Eko Riyanto, Dian Ardiana","doi":"10.33820/mdvi.v48i3.281","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i3.281","url":null,"abstract":"Psoriasis tipe plak merupakan penyakit radang kulit kronik dan residif, memiliki dasar genetik dengan karakteristik gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis. Psoriasis tipe plak merupakan bentuk terbanyak yang diderita, mencapai sekitar 90% seluruh kejadian psoriasis. Tata laksana psoriasis derajat sedang dan berat umumnya dimulai dengan terapi kombinasi dan rotasi antara terapi topikal, fototerapi, sistemik nonbiologik. Apabila terapi-terapi tersebut dianggap tidak efektif dan kurang berespons, pemberian terapi sistemik biologik perlu dipertimbangkan. Metotreksat merupakan salah satu terapi sistemik nonbiologik konvensional yang mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis DNA, sehingga menghasilkan kerja antimitotik dan antiinflamasi di epidermis. Secukinumab adalah inhibitor IL-17A yang menunjukkan efikasi pada terapi psoriasis tipe plak derajat sedang hingga berat dan artritis psoriatik. Serial kasus ini melaporkan dua kasus psoriasis tipe plak yang diterapi dengan kombinasi  secukinumab 150 mg/4 minggu dan metotreksat 10 mg/minggu. Setelah 24 minggu didapatkan remisi psoriasis tipe plak mencapai PASI > 90 tanpa efek samping.Kata kunci:  agen biologik - metotreksat  - PASI - psoriasis tipe plak - secukinumab","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"42 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"89792339","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Grady Garfendo, F. Fitriani, Inda Astri Aryani, Soenarto K, Nopriyati Nopriyati, S. Diba
{"title":"PIGMENTED PURPURIC DERMATOSES","authors":"Grady Garfendo, F. Fitriani, Inda Astri Aryani, Soenarto K, Nopriyati Nopriyati, S. Diba","doi":"10.33820/mdvi.v48i3.278","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i3.278","url":null,"abstract":"Pigmented purpuric dermatoses (PPD) merupakan kelompok penyakit kulit tidak mengancam jiwa dengan perjalanan penyakit kronik. Penyakit dibagi menjadi beberapa varian dengan gambaran klinis berbeda yaitu Schamberg disease (SD), Majocchi purpura (MP), pigmented purpuric lichenoid dermatosis (PPLD) of Gourgerot and Blum, eczematid-like purpura of Doucas and Kapetanakis (EPDK), liken aureus (LA) dan granulomatous pigmented purpura (GPP). Tipe SD merupakan varian paling sering ditemukan. Gambaran khas berupa makula jingga kemerahan disertai bintik-bintik purpura menyerupai serbuk cayenne pepper. Etiologi pasti belum diketahui namun beberapa obat dan penyakit tertentu dapat menjadi pemicu. Dilatasi dan fragilitas kapiler disertai ruptur kapiler papila dermis diduga berperan dalam patogenesis. Baku emas pemeriksaan PPD adalah histopatologik berupa temuan infiltrat limfositik perivaskular, ekstravasasi eritrosit dan deposit hemosiderin. Dermoskopi dapat membantu membangun diagnosis dengan ditemukan red dots/red globules serta coppery-brown background. Pemeriksaan darah lengkap, marker antibodi dan pencitraan non-invasif digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Edukasi pasien mengenai penyakit yang dapat kambuh namun self-limiting penting diberikan. Hingga saat ini pedoman tatalaksana belum ada namun penggunaan beberapa obat menunjukkan efektivitas sebagai terapi PPD. Kata kunci: diagnosis, gambaran klinis, pigmented purpuric dermatoses","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"19 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88531057","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Joses Saputra, Rahadi Rihatmadja, Eyleny Meisyah Fitri, Endi Novianto, Cinthia Christina Dewi
{"title":"GENERALIZED FIXED DRUG ERUPTION: SEBUAH LAPORAN KASUS JARANG","authors":"Joses Saputra, Rahadi Rihatmadja, Eyleny Meisyah Fitri, Endi Novianto, Cinthia Christina Dewi","doi":"10.33820/mdvi.v48i3.275","DOIUrl":"https://doi.org/10.33820/mdvi.v48i3.275","url":null,"abstract":"Generalized fixed drug eruption (GFDE) merupakan varian klinis fixed drug eruption (FDE) yang muncul berupa lesi multifokal dengan pola sebaran lebih luas. Faktor pemicunya adalah pajanan berulang terhadap obat-obatan tertentu. Seorang laki-laki, 60 tahun, berobat untuk keluhan bercak merah gelap keunguan yang meluas pada sejumlah lokasi tubuh beberapa jam setelah minum obat bebas yang mengandung metampiron, tiamin, piridoksin, sianokobalamin, dan trimetilxantin. Konsumsi obat yang sama sebelumnya tidak menimbulkan keluhan, namun pasien mengalami ruam serupa terbatas pada beberapa lokasi tubuh enam tahun yang lalu setelah minum obat herbal, menyisakan bercak hiperpigmentasi. Pada pemeriksaan fisis didapatkan makula-plak merah gelap keunguan, makula hiperpigmentasi pekat, multipel, diskoid sampai oval, sirkumskrip-difus yang tersebar di seluruh tubuh. Pemeriksaan histopatologis menunjukkan interface dermatitis dan nekrosis epidermis, sesuai dengan FDE. Pemberian kortikosteroid oral setara prednison 0,5 mg/kgBB/hari menghilangkan ruam secara cepat. Temuan bercak merah gelap keunguan multifokal dengan pola sebaran luas saat ini dan hiperpigmentasi akibat reaksi di masa lalu, serta keterangan konsumsi obat tersangka sebelumnya, umumnya cukup untuk menegakkan diagnosis GFDE., Meskipun metampiron sangat dicurigai berdasarkan beberapa laporan kasus terdahulu substansi penyebab sebenarnya pada pasien belum dapat ditentukan hingga dibuktikan dengan hasil positif uji tempel obat.Kata kunci: generalized fixed drug eruption, hipersensitivitas obat kortikosteroid, metampiron","PeriodicalId":18377,"journal":{"name":"Media Dermato Venereologica Indonesiana","volume":"29 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"85495317","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}