{"title":"PENCABUTAN HAK POLITIK MANTAN TERPIDANA KASUS KORUPSI BERDASARKAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA","authors":"Celia Santa Katarina","doi":"10.37477/sev.v4i1.156","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v4i1.156","url":null,"abstract":"Penelitian ini menjelaskan tentang pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam persepektif hak asasi manusia. Penelitian ini dilatarbelakangi dengan adanya wacana untuk mencabut hak politik terpidana korupsi secara permenen. Wacana tersebut timbul karena banyaknya mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat pada pemilu 2019. Selain itu, wacana tersebut muncul karena makin melemahnya kepercayaan rakyat terhadap wakilnya, hal itu dipicu dari tidak terpenuhinya tujuan pemidanaan dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun wacana pencabutan hak politik secara permenen tersebut bukan berarti tanpa penolakan. Berbagai pihak menyatakan bahwa pencabutan hak politik terhadap terpidana korupsi secara permenen merupakan pelanggaran HAM karenanya tidak boleh dilakukan. Penelitian ini memiliki rumusan masalah antara lain, bagaimana konsep pencabutan hak politik di Indonesia dan bagaimana pencabutan hak politik terhadap terpidana korupsi ditinjau dari hak asasi manusia. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka digunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki konsep pencabutan hak poltik sebagai mana diatur dalam Pasal 35 dan 38 KUHP namun kurang kuat untuk memenuhi tujuan pemidanaan karenanya harus dirubah, dan pencabutan hak politik bukanlah merupakan bentuk diskriminasi terhadap hak asasi manusia.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"82 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116311053","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KEDUDUKAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG MEMBATALKAN AKTA NOTARIIL","authors":"S. Eunice","doi":"10.37477/SEV.V4I1.131","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/SEV.V4I1.131","url":null,"abstract":"Artikel ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan akta di bawah tangan dan akta notarill. Dalam kasus ini Putusan Nomor 738/Pdt.6/2016/PN.Sby menyatakan batal akta jual beli antara Nyonya Hierawati dan Nyonya Maria Magda. Putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 83/PDT/2018/PT.SBY. Akta jual beli yang merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (Pasal 1867 KUH Perdata), sedangkan Surat pernyataan yang merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya hilang apabila disangkal dan dalam putusan ini pihak tergugat tidak membenarkan isi dari surat pernyataan tersebut. Bahwa sesuai dengan yurisprudensi MA RI Nomor 167 K/SIP/1959 menyatakan bahwa jika tanda tangan surat yang merupakan akta di bawah tangan diakui namun isi dari akta dibawah tangan itu disangkal maka nilai kekuatan formil dan pembuktian surut tersebut runtuh dan anjlok. Sehingga akta jual beli tidak dapat dibatalkan oleh surat pernyataan yang merupakan akta di bawah tangan.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"51 10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129818608","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PEMBERIAN JASA HUKUM SECARA CUMA-CUMA OLEH NOTARIS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014","authors":"H. Firdaus","doi":"10.37477/sev.v4i1.81","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v4i1.81","url":null,"abstract":"Salah satu kewajiban notaris memberikan pelayanan hukum dalam hal pembuatan akta secara cuma-cuma atau tanpa memungut biaya kepada masyarakat yang tidak mampu secara tegas diatur baik dalam UUJN maupun dalam Kode Etik Notaris. Hal ini menegaskan bahwa notaris wajib mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarat dan Negara dalam menjalankan kewenangannya juga diharuskan sesuai dengan amanat UUJN dan kode etik, antara lain misalnya terhadap orang-orang yang miskin, notaris membebaskan honorarium dalam pembuatan akta atau jasa hukum lainnya berkenaan dengan akta, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 37 UUJN. Rumusan masalah dalam peneliitan yuridis normative ini adalah 1) Apakah penolakan pemberian jasa hukum cuma-cuma oleh notaris dapat dibenarkan? 2) Bagaimana perlindungan hukum bagi orang yang tidak mampu dalam mendapatkan jasa hukum cuma-cuma oleh notaris? Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa : 1) Notaris tidak dibenarkan menolak permohonan klien yang tidak mampu untuk meminta layanan jasa hukum Notaris di bidang kenotariatan secara cuma-cuma tanpa memungut honorarium, karena hal pemberian jasa hukum dibidang kenotariatan secara cumacuma kepada orang yang tidak mampu tersebut merupakan kewajiban Notaris yang harus dilaksanakan sebagaimana ketentuan Pasal 37 ayat (1) UUJN. Penolakan terhadap klien yang meminta jasa hukum merupakan pelanggaran Notaris sebagaimana ketentuan Pasal 37 ayat (2) UUJN. 2) Bentuk perlindungan hukum dari orang yang tidak mampu yang tidak mendapatkan layanan jasa hukum dari seorang Notaris secara cuma-cuma adalah: a. Notaris yang bersangkutan dijatuhi sanksi administratif yang bersangkutan. Sanksi administratif tersebut bisa berupa pemberhentian sementara, atau pemberhentian dengan hormat, atau pemberian dengan tidak hormat disesuaikan dengan tingkat dan beratnya pelanggaran. Penjatuhan sanksi administratif kepada Notaris ini dengan tujuan ada efek jera baik terhadap Notaris yang bersangkutan maupun terhadap Notaris lain. b. Orang tidak mampu tersebut dapat meminta jasa hukum bidang kenotariatan kepada Notaris lain.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121758544","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT J.K. ATAS KELALAIAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP PASIEN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT","authors":"K. Agung","doi":"10.37477/sev.v4i1.76","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v4i1.76","url":null,"abstract":"Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi, maupun hukum pidana. Untuk menunjang tercapainya keberhasilan pembangunan kesehatan, maka diperlukan keserasian antara kepentingan pasien dengan kepentingan tenaga kesehatan. Selain itu rumah sakit sebagai penyelenggara kesehatan juga harus memenuhi tugas dan fungsinya untuk mencapai pelayanan kesehatan yang berkualitas baik dengan memenuhi kewajibannya yaitu duty ofcare yang berarti memberikan pelayanan secara baik dan wajar. Hak-hak pasien telah diatur dengan tegas dalam Pasal 32 UndangUndang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, sehingga apabila pasien dirugikan akibat kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maka rumah sakit dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pandangan bahwa rumah sakit kebal terhadap hukum sudah tidak berlaku sejak munculnya kasus Bing V Thuning yang diputus oleh New York Court of Appeals yang menyatakan bahwa rumah sakit harus bertanggungjawab dan pandangan tersebut sudah tidak lagi berlaku. Pertanggungjawaban rumah sakit sendiri di Indonesia sudah diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Untuk menentukan pertanggungjawaban rumah sakit tersebut harus juga dilihat dari segi hubungan terapeutik antara rumah sakit-pasien, maupun dokter-pasien.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"81 16 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122657375","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PERSPEKTIF PEREMPUAN TERHADAP PROSTITUSI","authors":"Nadia Putri Pascawati","doi":"10.37477/sev.v4i1.82","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v4i1.82","url":null,"abstract":"Perempuan dalam jeratan dunia prostitusi tanpa disadari menjadi hal yang marak terjadi. Dunia prostitusi terbagi menjadi beberapa kelas sosial. Berbicara prostitusi pasti juga berbicara tentang kelas sosial. Undang-undang menjamin penghidupan yang layak, dan sama kedudukannya di mata hukum bagi tiap-tiap warga negaranya. Seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 27 tentang Hak Asasi Manusia. Disamping itu perempuan dianggap sebagai mahkluk yang lemah yang dapat diperdagangkan adalah perspektif yang harus kita semua perangi. Banyak buku sejarah yang mengatakan bahwa menjadi seorang perempuan artinya menjadi perhiasan bagi laki-laki. Pemikiran-pemikiran seperti ini yang melemahkan mental perempuan. Padahal banyak undang-undang di Indonesia yang melindungi hak-hak perempuan. Akibatnya banyak perempuan yang putus asa dan memilih jalan pintas untuk bertahan hidup dengan masuk ke dunia prostitusi. Hukum positif di Indonesia hanya mengatur tentang orang yang memperdagangkan orang lain saja. Sementara orang yang diperdagangkan tidak dikenai hukuman apapun. Faktanya, banyak di masyarakat yang terjadi adalah orang yang diperdagangkan meminta secara aktif kepada mucikari untuk diperdagangkan. Adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 untuk memberi sanksi kepada pelaku prostitusi diharapkan sebagai bentuk peringatan keras untuk memberantas prostitusi itu sendiri. Perlu disadari bahwa dalam prostitusi perempuan bukan hanya berperan sebagai korban tetapi juga sebagai pelaku. Jika tidak ada pelaku maka perbuatan prostitusi tersebut juga tidak akan ada. Sehingga tidak saja mucikari dan pengguna jasa yang menjadi sasaran hukum sementara perempuan yang menjajahkan dirinya dilindungi oleh hukum dan dianggap sebagai korban, sementara faktanya perempuan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai korban yang berada dibawah paksaan ataupun ancaman kekerasan. Pada kenyataannya prostitusi itu ada dan tetap akan terus ada walaupun kita membuat peraturan-peraturan untuk melarang keberadaannya bahkan prostitusi telah melibatkan anak-anak dibawah umur yang seharusnya dilindungi hak-haknya oleh orang-orang dewasa disekitarnya. Pada kondisi seperti itu, yang terbaik adalah kita membuat peraturan-peraturan untuk mengaturnya. Jadi, prostitusi tetap dapat dilakukan tetapi kondisi pelaksanaannya harus secara jelas didefinisikan di dalam undang-undang. Dalam karya ilmiah ini menggunakan metode teknik pengumpulan data kepustakaan dari data primer dan sekunder dengan analisis data deskriptif.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"415 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124168517","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KEPASTIAN HUKUM MENGENAI JANGKA WAKTU SEBAGAI TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DI INDONESIA","authors":"J. Christian","doi":"10.37477/SEV.V3I2.72","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/SEV.V3I2.72","url":null,"abstract":"Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sistem pemerintahan maupun penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab hukum acara pidana (KUHAP) sebagai pedoman untuk penegakan hukum materiil. Tersangka mempunyai seperangkat hak yang telah diatur dalam KUHAP, berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) KUHAP bahwa tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. KUHAP sebagai pedoman untuk penegakan hukum materiil tidak mengatur mengenai jangka waktu penyidikan dan tidak mengatur mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada tersangka yang perkaranya tidak dilimpahkan dalam proses penuntutan dan tidak diberikan surat perintah penghentian penyidikan sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Di dalam beberapa hal yaitu UU Pengadilan HAM dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 12 tahun 2009 tentang pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana dilingkungan kepolisian Indonesia telah mengatur jangka waktu penyidikan. UU Pengadilan HAM tidak dapat diterapkan dalam semua tindak pidana di Indonesia melainkan hanya khusus dapat diterapkan dalam tindak pidana HAM berat, sedangkan peraturan kepala kepolisian negara republik Indonesia tidak mengatur secara jelas mengenai berapa lama dapat dilakukan perpanjangan waktu penyidikan dan peraturan tersebut diatas hanya berlaku dalam ruang lingkup kepolisian, sedangkan Pejabat Pegawai Negeri Sipil juga termasuk dalam penyidik. Serta peraturan tersebut tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"206 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115728433","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KEKERASAN FISIK YANG DILAKUKAN OLEH RESIDIVIS TERHADAP ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK","authors":"Cindy Febriana Pualam","doi":"10.37477/sev.v3i2.73","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v3i2.73","url":null,"abstract":"Anak merupakan bagian dari generasi muda adalah sebagai salah satu sumber daya manusia yang memiliki potensi serta penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis. Perlindungan anak maupun remaja merupakan kegiatan ataupun usaha yang di lakukan secara sadar oleh berbagai pihak, untuk keamanan serta kesejahteraan dan terpenuhinya hak-hak yang seharusnya diterima dan dimiliki oleh anak bahkan sebelum lahir, anak sudah dilindungi oleh undang-undang. Hakhak dan kewajiban anak menjadi hal-hal yang wajib dipenuhi serta sepatutnya untuk diperjuangkan. Terdapat Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana di dalam konsiderans terdapat kalimat yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu bahwa, perlindungan khusus terhadap anak korban kekerasan diatur di dalam Pasal 68 Undang-Undang Perlindungan Anak. Sedangkan, larangan kekerasan terhadap anak diatur di Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak. Kemudian berbicara mengenai residivis adalah pengulangan tindak pidana yang sejenis oleh pelaku yang sama yang sebelumnya sudah pernah diadili dan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini diatur didalam Pasal Pasal 486, 487, dan 488 KUHP dimana terdapat pemberatan pidana bagi tindak pidana yang masuk di dalam pasal-pasal tersebut.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"67 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124242076","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PERJANJIAN WARALABA DALAM KEGIATAN JENIS USAHA RITEL","authors":"E. Santosa","doi":"10.37477/sev.v3i2.71","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v3i2.71","url":null,"abstract":"Salah satu jenis usaha yang berkembang dalam dunia swasta saat ini adalah usaha waralaba atau franchise. Penyelenggaraan usaha Waralaba disepakati dalam Perjanjian Waralaba. Perjanjian Waralaba pada umumnya termasuk di dalamnya Perjanjian Waralaba Dalam Kegiatan Jenis Usaha Ritel dibuat dalam bentuk Perjanjian Baku yang pada umumnya mengandung klausula Eksonerasi untuk lebih memberikan perlindungan kepada salah satu pihak. Perjanjian Baku cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil bagi Penerima Waralaba. Di dalam Perjanjian Baku dapat ditemukan pihak yang mempunyai bargaining position kuat dan pihak yang lemah bargaining position-nya. Berdasarkan kepada uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bentuk klausula baku dalam Perjanjian Waralaba Jenis Usaha Ritel dan perlindungan hukum bagi pihak Penerima Waralaba terkait dengan risiko keuangan.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121996318","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"TANGGUNG GUGAT DOKTER ATAS KELALAIANNYA DALAM MENYAMPAIKAN INFORMED CONSET DAN HASIL OPERASI YANG TIDAK SESUAI DENGAN KEINGINAN PASIEN","authors":"Bezaleel Nugraha Santoso","doi":"10.37477/sev.v3i2.75","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v3i2.75","url":null,"abstract":"Masyarakat bukan hanya menjadi objek melainkan juga subjek dalam penyelenggaraan kesehatan, oleh karenanya, penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan. Dalam penerapan profesinya, seorang dokter tidak dapat dipisahkan dari hukum kesehatan. Perlu diingat bahwa seorang dokter adalah seorang manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, kekeliruan atau malpraktek dalam menjalankan profesinya. Seorang dokter dapat dimintakan tanggung jawab apabila melakukan kesalahan dengan sengaja ataupun lalai. Tanggung jawab seorang dokter dapat dimintakan berdasarkan hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Dalam hukum perdata, tanggung jawab seorang dokter dapat dimintakan berdasarkan perbuatan melanggar hukum dan wanprestasi. Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak tidak melakukan apa yang diperjanjikan, melakukan yang diperjanjikan tetapi terlambat dan melaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan perbuatan melanggar hukum terpenuhi apabila memenuhi empat unsur yakni adanya perbuatan melaggar hukum, harus ada kesalahan, harus ada kerugian yang ditimbulkan dan adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Perbuatan melanggar hukum bukan berarti hanya melanggar undang – undang saja, tetapi juga bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati – hatian.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131036399","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kewenangan Ombudsman Dalam Penyelesaian Pengaduan Pelayanan Publik","authors":"Eufemia Lawati Salabbaet","doi":"10.37477/sev.v3i1.129","DOIUrl":"https://doi.org/10.37477/sev.v3i1.129","url":null,"abstract":"To prevent maladministration a special institution has been formed to handle maladministration in public services, namely the Ombudsman. The Ombudsman is authorized to process complaints from the public, including adjudication. The authority of the Ombudsman through the adjudication channel becomes a contradiction because the adjudication decision is not final and does not bind the parties, because the adjudication decision has only value as a recommendation. Based on the duties and authorities given to the Ombudsman, the process of resolving complaints of public services by the Ombudsman is the settlement of maladministration reported by the public and settlement of maladministration on its own initiative. The adjudication decision by the Ombudsman also does not provide legal certainty for the parties. Article 1 paragraph (11) of Law No. 25 of 2009 concerning Public Services needs to be changed by placing the adjudication process as the initial litigation process. Then it is necessary to change in Article 1 paragraph (7) of Law No. 37 of 2008 concerning the Ombudsman that the recommendation became one of the points in the dictum of the court's ruling.","PeriodicalId":241926,"journal":{"name":"SAPIENTIA ET VIRTUS","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131312130","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}