{"title":"KEBERHASILAN MASKULINISASI DAN KINERJA REPRODUKSI IKAN GAPI, Poecilia reticulata DIBERI EKSTRAK SERBUK SARI PINUS MELALUI PAKAN","authors":"E. Kusuma, Agus Sudrajat, H. Arfah, A. Alimuddin","doi":"10.15578/jra.16.3.2021.177-183","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.3.2021.177-183","url":null,"abstract":"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas suplementasi ekstrak serbuk sari pinus melalui pakan terhadap maskulinisasi dan kinerja reproduksi ikan gapi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas lima perlakuan dengan tiga ulangan, yaitu meliputi suplementasi 10 mg ekstrak serbuk sari pinus per kg pakan (SSP10), 50 mg kg-1 pakan (SSP50), 250 mg kg-1 pakan (SSP250), 1 mg 17b-metiltestosteron per kg pakan sebagai kontrol positif (MT atau kontrol-2), dan perlakuan tanpa suplementasi ekstrak serbuk sari pinus (kontrol-1). Ikan uji yang digunakan adalah induk gapi bunting diberi pakan perlakuan selama 15 hari dan dipelihara sampai anak kelahiran pertama (B1) dan kedua (B2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak serbuk sari pinus mampu meningkatkan persentase nisbah kelamin jantan pada B1, namun tidak pada B2. Suplementasi ekstrak serbuk sari pinus pada induk bunting tidak memengaruhi kinerja reproduksi. Persentase nisbah kelamin jantan B1 pada perlakuan SSP50 dan SSP250 tidak berbeda nyata, secara berurutan 63,9% dan 66,4%; tetapi keduanya lebih tinggi dibandingkan kontrol-1 (31,3%); namun masih lebih rendah dibandingkan perlakuan MT (81,9%) (P<0,05). Perlakuan MT pada B2 memiliki nisbah kelamin jantan tertinggi (48,4%) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Suplementasi ekstrak serbuk sari pinus melalui pakan efektif dalam meningkatkan persentasi nisbah kelamin jantan ikan gapi pada dosis 50 mg kg-1. Ekstrak serbuk sari pinus dapat digunakan untuk maskulinisasi ikan gapi.The aim of this study was to evaluate the effectiveness of pine pollen extract supplementation through feed on masculinization and reproductive performance of guppy. This study used a completely randomized design consisting of five treatments with three replications. The treatments were the supplementation of pine pollen extract of 10 mg kg-1 of feed (SSP10), 50 mg kg-1 of feed (SSP50), and 250 mg kg-1 of feed (SSP250). Control treatments consisted of the supplementation of 1 mg 17b-methyltestosterone per kg of feed as a positive control (MT or control-2), and without supplementation pine pollen extract in feed (control-1). The test fish used were livebearer guppy brooders. The test fish were given treatment feed for 15 days and continued until the first (B1) and second (B2) offsprings were born. This study showed that the administration of pine pollen extract in feed was able to increase the percentage of male sex ratio in B1, but not in B2. Supplementation of pine pollen extract did not affect the tested fish’s reproductive performance. The percentages of male sex ratio B1 in the SSP50 and SSP250 treatments were not significantly different, 63.9% and 66.4%, respectively. Despite that, both treatments had a higher male sex ratio than control-1 (31.3%), yet lower than the MT treatment (81.9%) (P<0.05). The MT treatment at B2 had the highest male sex ratio (48.4%) and was significantly different from the othe","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"103 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133886453","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PROFIL HEMOLIM SIPUT GONGGONG, Laevistrombus turturella ASAL PERAIRAN PESISIR PULAU BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU SEBAGAI KANDIDAT BIOTA BUDIDAYA","authors":"Muzahar Muzahar, Aminatul Zahra, Rika Wulandari","doi":"10.15578/jra.16.3.2021.195-201","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.3.2021.195-201","url":null,"abstract":"Siput gonggong, Laevistrombus turturella termasuk komoditas perikanan laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Hemolim pada siput berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh dan reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui total hemosit dan diferensial hemosit pada siput gonggong asal Pulau Bintan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2021. Sampel siput gonggong berasal dari perairan laut Kampung Madong dan Lobam. Hemolim diambil dari otot kaki gonggong untuk pemeriksaan total hemosit dan diferensial hemosit. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan total hemosit, persentase hyalin dan sel granular siput gonggong dari Kampung Madong dan Lobam relatif sama dan dalam kisaran normal (< 1,0 x 106 sel/mm3). Jumlah total hemosit siput gonggong asal Kampung Madong dan Lobam secara berturut-turut adalah berkisar antara 77.000-166.600 sel/mm3 dan 71.000-165.000 sel/mm3, persentase sel hyalin berkisar antara, 58%-80% dan 52%-70%, serta persentase sel granular berkisar antara 20%-42% dan 30%-48%. Oleh karena nilai total hemosit dan diferensial hemosit relatif sama maka siput gonggong asal Kampung Madong disarankan sebagai kandidat calon induk karena memiliki ukuran tubuh 6,52 ± 5,61 cm lebih besar dibandingkan asal Lobam 5,27 ± 0,40 cm.Gonggong conch, Laevistrombus turturella is a marine gastropod highly valued as a seafood commodity in Bintan Island Riau Islands Province. The farming technology of the species is currently not available due to limited information on its biology including its immune system and reproduction. Hemolymph in conchs plays an important role in gonggong conch body’s defense system and reproduction. This study aimed to determine the total haemocytes and hemocytic differential of gonggong conchs originated from Bintan Island. The research was conducted between July-August 2021. The gonggong conch samples were collected from the coastal waters of Kampung Madong and Lobam. Hemolymph was taken from the gonggong conch leg muscles for examination of total hemocytes and hemocytic differential and analyzed descriptively. The results showed that the total hemocytes, percentage of hyaline and granular cells of gonggong conchs from Kampung Madong and Lobam were relatively similar and within the normal range (< 1.0 x106 cell/mm3). The total number of haemocytes of gonggong conchs from Kampung Madong and Lobam ranged from 77,000-166,600 cells/mm3and 71,000-165,000 cells/mm3; respectively, while the percentages of hyaline cells ranged between 58%-80% and 52%-70%, respectively, and the percentage of granular cells ranged between 20%-42% and 30%-48%. Gongong conch from Kampung Madong had a body size of 6.52 ± 5.61 cm which was larger than that of Lobam with body size of 5.27 ± 0.40 cm. Because both had relatively similar values of total haemocytic and haemocytic differential, the gonggong conch from Kampung Madong was suggested as the best candidate for broodstock.","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"77 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128785724","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Astried Sunaryani, T. Jasalesmana, Livia Rossila Tanjung
{"title":"EVALUASI KUALITAS AIR PADA SISTEM RESIRKULASI BUDIDAYA IKAN GURAMI, Osphronemus goramy MENGGUNAKAN PEMODELAN DINAMIKA SISTEM","authors":"Astried Sunaryani, T. Jasalesmana, Livia Rossila Tanjung","doi":"10.15578/jra.16.3.2021.155-165","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.3.2021.155-165","url":null,"abstract":"Perkembangan teknologi dalam pembudidayaan ikan menggunakan sistem resirkulasi sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir karena bersifat ramah lingkungan dan memberikan banyak keuntungan yaitu mampu memproduksi ikan dengan kepadatan tinggi. Namun, penurunan kualitas air akibat limbah dari feses dan sisa pakan dapat membahayakan sintasan ikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas air, khususnya konsentrasi amonia pada sistem resirkulasi budidaya ikan gurami, Osphronemus goramy melalui pemodelan dinamika sistem. Simulasi pemodelan dilakukan dengan software Vensim PLE menggunakan data sekunder. Selama 30 hari periode simulasi, konsentrasi amonia dalam kolam ikan meningkat sampai dengan hari ke-15, kemudian turun bertahap hingga hari ke-30. Konsentrasi amonia yang aman diperoleh dari laju resirkulasi 50 dan75 L/jam dengan sintasan ikan gurami 95%. Persentase eror sebesar 8,6% dibandingkan dengan data hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa model dinamika sistem ini valid dan dapat digunakan untuk pemantauan kualitas air, khususnya amonia, dalam budidaya ikan gurami yang menggunakan sistem resirkulasi.The development of recirculating aquaculture systems (RAS) has been rapidly increased in recent years due to environmental and economic advantages, i.e., the system can support farmed fish at high density. However, declining water quality in RAS could occur as a result of the accumulation and decomposition of fecal and uneaten feed materials that can be harmful to fish. This study was conducted to evaluate water quality, particularly the concentration of ammonia in the recirculation system of gouramy, Osphronemus goramy aquaculture through a system dynamics model. The model simulation was performed via Vensim PLE software using datasets from secondary sources. During the 30-days of simulation period, the ammonia concentration in the fish pond increased until day 15, then decreased gradually until day 30. Safe ammonia concentrations were obtained from recirculation rates of 50 and 75 L h-1 with gouramy survival rate of 95%. The percentage error of 8.6% compared to the previous experimental data shows that the prediction of the developed system dynamics model is valid and acceptable. The model can therefore be used for water quality monitoring, particularly for ammonia concentration in gouramy farming using recirculating aquaculture systems.","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"40 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114693893","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
B. Iswanto, Rommy Suprapto, I. Imron, Joni Haaryadi, Pudji Suwargono, Maya Febriana Pangestika, Ilmalizanri Ilmalizanri
{"title":"KERAGAAN ZOOTEKNIS DAN BIOMETRIK-MORFOLOGIS IKAN LELE MUTIARA, Clarias gariepinus ALBINO","authors":"B. Iswanto, Rommy Suprapto, I. Imron, Joni Haaryadi, Pudji Suwargono, Maya Febriana Pangestika, Ilmalizanri Ilmalizanri","doi":"10.15578/jra.16.3.2021.135-144","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.3.2021.135-144","url":null,"abstract":"Pemuliaan ikan lele Afrika, Clarias gariepinus melalui seleksi individu selama tiga generasi telah menghasilkan strain baru ikan lele tumbuh cepat yang diberi nama Mutiara. Pemijahan induk ikan lele Mutiara dapat menghasilkan benih albino. Keragaan zooteknis dan karakteristik fenotipe-morfologis ikan lele Mutiara albino perlu dieksplorasi untuk mengevaluasi potensi pengembangannya. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi keragaan pertumbuhan, sintasan, hubungan panjang-bobot, faktor kondisi, dan karakteristik biometrik ikan lele Mutiara albino dibandingkan yang berwarna normal. Pengamatan keragaan pertumbuhan dilakukan selama 20 hari tahap pemeliharaan larva, 30 hari tahap pendederan dan 45 hari tahap pembesaran. Analisis hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi, serta karakterisasi biometrik dilakukan pada akhir tahap pembesaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan ikan lele Mutiara albino berdasarkan parameter bobot selama tahap pemeliharaan larva, pendederan, dan pembesaran tidak berbeda dari yang berwarna normal (P>0,05); sedangkan keragaan pertumbuhan berdasarkan parameter panjang totalnya lebih rendah (P<0,05). Sintasan ikan lele Mutiara albino selama tahap pemeliharaan larva, pendederan, dan pembesaran tidak berbeda (P>0,05) dari yang berwarna normal. Hubungan panjang-bobot ikan lele Mutiara albino bersifat alometrik positif (W = 0,0021L3,45), sama dengan yang berwarna normal (W = 0,0044L3,16). Ikan lele Mutiara albino memiliki tubuh yang lebih gemuk (faktor kondisi sebesar 0,88 ± 0,08) dibandingkan yang berwarna normal (faktor kondisi sebesar 0,73 ± 0,05). Secara biometrik, ikan lele Mutiara albino memiliki proporsi kepala yang lebih besar dan jumlah jari-jari sirip punggung dan sirip dubur yang lebih sedikit dibandingkan yang berwarna normal. Secara umum, keragaan aspek zooteknis ikan lele Mutiara albino relatif sama dengan yang berwarna normal, sehingga potensial sebagai komoditas budidaya.A breeding program of the African catfish, Clarias gariepinus via three generations of individual selection resulted in a new fast-growing strain, namely Mutiara. Breeding of the Mutiara African catfish might result in albino individuals. Zootechnical and morphological-phenotypic performances of the albino should be evaluated to determine its potential as an aquaculture strain. The present study aimed to obtain information on the growth performance, survival, length-weight relationship, condition factors, and biometric characteristics of the albino compared to those of the normal ones. The growth performance was observed during 20 days of larval rearing, 30 days of nursery, and 45 days of grow-out phases. While, length-weight relationship, condition factors, and biometric characteristics were measured at the end of the grow-out phase. The present study revealed that the growth performance of the albino based on body weight during larval rearing, nursery, and grow-out phases was not different (P>0.05), whereas its growth","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"102 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128843156","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tutik Kadarini, M. Yamin, N. Nurhidayat, Lili Sholichah
{"title":"PERTUMBUHAN IKAN MAS KOKI, Carrasius auratus PADA SISTEM AKUAPONIK DENGAN TANAMAN AIR YANG BERBEDA","authors":"Tutik Kadarini, M. Yamin, N. Nurhidayat, Lili Sholichah","doi":"10.15578/jra.16.3.2021.167-176","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.3.2021.167-176","url":null,"abstract":"Akuaponik adalah budidaya ikan dan tanaman hidroponik yang dipelihara bersama dalam satu sistem yang terintegrasi. Limbah budidaya ikan yang berasal dari sisa pakan dan metabolisme akan menghasilkan NH3 yang dalam dosis tertentu dapat meracuni ikan. Penggunaan tanaman dalam sistem akuaponik akan mereduksi konsentrasi NH3 sehingga meningkatkan kualitas air yang pada akhirnya akan mengoptimalkan pertumbuhan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan ikan mas koki, Carrasius auratus, pertumbuhan tanaman yang dipelihara pada sistem akuaponik dengan jenis tanaman air berbeda. Sebanyak 20 ekor ikan mas koki, berukuran panjang total 2,79 ± 0,25 cm dan bobot 0,24 ± 0,083 g ditebar per wadah. Wadah yang digunakan berupa 12 pasang yang setiap pasangnya terdiri atas akuarium untuk tanaman air dan galon plastik volume 17 L untuk ikan mas koki yang dirangkai menggunakan sistem resirkulasi tertutup. Penelitian didesain dalam rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah tiga jenis tanaman air berbeda yaitu: (1) ikan mas koki + tanaman melati air (Echinodorus palifolius); (2) ikan mas koki + tanaman air anubias (Anubias barteri); (3) ikan mas koki + tanaman bacopa (Bacopa australis); dan (4) ikan mas koki tanpa ada tanaman air. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan ikan dan tanaman air, sintasan ikan, dan kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang total dan bobot ikan mas koki (7,50 ± 0,05 cm dan 5,21 ± 0,10 g) yang dipelihara dalam sistem akuaponik dengan tanaman melati air lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dibanding kontrol (7,19 ± 0,16 cm; dan 4,64 ± 0,23 g). Kadar amonia pada perlakuan tanaman melati air (0,411 mg/L) lebih rendah dibanding kontrol (0,630 mg/L), karena akar tanaman menyerap amonia di air, tanaman hias air dapat digunakan dalam sistem akuaponik ikan air tawar.Aquaponics is the cultivation of fish and hydroponic plants together in one integrated system. Fish farming wastes sourced from uneaten feed and faecal materials produce ammonia (NH3) of which in certain doses can poison the fish. The use of plants in aquaponic systems will keep the concentration of NH3, at a balanced level thereby increasing water quality which will optimize the fish growth. This study aimed to determine the growth of gold fish, Carrasius auratus reared in aquaponic systems using different types of aquatic plants. A total of 20 gold fish (total length of 2.79 ± 0.25 cm and weight of 0.24 ± 0.083 g) were reared per tanks. A pair of containers was used consisted of aquariums for aquatic plants and plastic gallons (volume 17 L) for gold fish arranged in a closed recirculation system. The total number of containers used were 12 pairs. The experiment was arranged using a completely randomized design (CRD) consisting of four treatments and three replications. The treatments consisted of: (1) gold fish + Echinodorus palifolius; (2) gold fish + Anubias barteri; (3) gold f","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114899742","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PENGGUNAAN SUMBER KALSIUM DARI CANGKANG TIRAM, KEPITING DAN REMIS TERHADAP MOULTING DAN PERTUMBUHAN UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei","authors":"Muliani Muliani, Saiful Adhar, Rachmawati Rusydi, Erlangga Erlangga, Prama Hartami, Munawwar Khalil, D. Laili","doi":"10.15578/jra.16.3.2021.185-193","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.3.2021.185-193","url":null,"abstract":"Penggunaan sumber kalsium sintetik dengan ukuran partikel yang relatif besar di tambak diduga menyebabkan ketidaksempurnaan moulting pada budidaya udang vaname, Litopenaeus vannamei. Salah satu sumber yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan kalsium selama proses moulting adalah limbah cangkang dari biota perairan budidaya lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan sumber kalsium dari cangkang moluska yang berbeda terhadap performa moulting dan pertumbuhan udang vaname. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2021 bertempat di Laboratorium Hatchery dan Teknologi Budidaya Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non-faktorial dengan empat perlakuan tiga ulangan, yakni: A (penambahan tepung cangkang tiram 75 mg/L), B (penambahan tepung cangkang kepiting 75 mg/L), C (penambahan tepung cangkang remis 75 mg/L), dan D (kontrol), masing-masing tiga ulangan. Tahapan-tahapan dalam membuat tepung yaitu pencucian, penjemuran, penumbukan, pengayakan, dan pembuatan nannokalsium (furnace). Parameter yang diamati selama penelitian antara lain: jumlah individu moulting, kecepatan moulting, laju pertumbuhan harian, dan kandungan kalsium cangkang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan A (penambahan tepung cangkang tiram 75 mg/L) menghasilkan jumlah individu moulting sebesar 77,50%; kecepatan moulting 2,00 hari; laju pertumbuhan harian 3,31%; dan tingkat sintasan 93,33%. Penelitian ini menghitung bahwa 1 ha tambak udang membutuhkan 6 kg tepung cangkang untuk mencukupi kebutuhan kalsium udang budidaya. Parameter kualitas air tambak yang diukur (suhu, pH, oksigen terlarut, salinitas, dan amonia) menunjukkan nilai optimal untuk pertumbuhan udang vaname. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kalsium dari cangkang tiram paling baik dalam meningkatkan proses moulting udang vaname dan merekomendasikan penggunaannya sebagai alternatif sumber kalsium untuk menggantikan kalsium dari batu gamping.The use of synthetic calcium sources with relatively large particle sizes in brackishwater ponds is suspected of causing moulting imperfection in cultured Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. One of the sustainable sources to supply calcium needs during the moulting process is the shell waste from other farmed aquatic biota. This study aimed to evaluate the use of calcium sources from different mollusk shells on the moulting and growth performance of Pacific white shrimp. The research was conducted between August-September 2021 at the Hatchery and Cultivation Technology Laboratory, Faculty of Agriculture, Malikussaleh University. The study used a non-factorial completely randomized design (CRD) with four treatments, namely: the addition of A (75 mg/L oyster shell flour), B (75 mg/L crab shell flour), C (75 mg mussel shell flour), and D (control, 0 mg/L of shell flour) in the rearing media with three replications. The shell flour was transformed into ","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"27 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126707798","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"SEBARAN VERTIKAL TOTAL NITROGEN, TOTAL FOSFAT, DAN AMONIA PADA PERAIRAN PESISIR YANG BERDEKATAN DENGAN KAWASAN BUDIDAYA LAUT DI BALI UTARA","authors":"Reagan Septory, Afifah Nasukha, Sudewi Sudewi, Ananto Setiadi, Ketut Mahardika","doi":"10.15578/jra.16.2.2021.125-134","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.2.2021.125-134","url":null,"abstract":"Buangan limbah organik dari kegiatan budidaya ikan berdampak pada naiknya konsentrasi senyawa nitrogen di perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran vertikal konsentrasi total nitrogen (TN), total fosfat (TP), dan amonia pada perairan pesisir yang berdekatan dengan kawasan budidaya ikan laut di Bali Utara. Titik sampling dipilih pada kedalaman 5, 10, 15, 20, dan 30 meter dengan arah tegak lurus garis pantai di kawasan perbenihan ikan dengan tingkat aktivitas tinggi (Desa Gerokgak dan Desa Penyabangan) dan tiga titik sampling di sekitar karamba jaring apung (KJA) di Teluk Kaping, Desa Sumberkima. Sampel air diambil pada bagian permukaan, tengah, dan dasar pada tiap titik sampling. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019 dengan dua periode waktu yaitu bulan April sampai Juni dan Agustus sampai Oktober dengan satu kali pengambilan contoh air setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran konsentrasi TN, TP, dan amonia secara vertikal cenderung homogen pada tiap titik pengamatan. Konsentrasi TN, TP, dan amonia selama penelitian berturut-turut adalah 1,2-1,5 mg/L; 0,081-0,090 mg/L; dan 0,054-0,057 mg/L. Nilai tersebut berada di bawah baku mutu air untuk kebutuhan budidaya ikan. Sebaran konsentrasi senyawa nitrogen dan fosfat secara vertikal di lokasi penelitian relatif homogen pada semua lapisan kedalaman air yang diamati. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa proses percampuran masa air terjadi secara merata di kawasan tersebut. Kualitas perairan di lokasi penelitian masih sesuai dengan nilai baku mutu untuk kegiatan budidaya laut.Direct discharge of organic waste from aquaculture platforms is likely to increase nitrogen concentration in the surrounding waters. The study aimed to investigate the vertical distribution of total nitrogen (TN), total phosphorus (TP), and ammonia concentration in the coastal waters adjacent to the three densest mariculture sites in North Bali (Gerokgak, Penyabangan, and Kaping Bay). Field surveys were conducted six times within two periods namely April to June and August to October 2019. Samples of different water columns (surface, middle, and bottom) were collected using a Nansen water sampler in each sampling point. The samples were immediately analyzed at the Research Institute for Mariculture and Fishery Extension, Gondol. Total nitrogen, total phosphate, and ammonia were analysed using sulfuric acid destruction and distillation, nitrate-acid destruction, and phenol-spectrophotometer, respectively. The result showed that TN, TP, and ammonia levels were 1.2-1.5 mg/L, 0.081-0.090 mg/L, and 0.054-0.057 mg/L, respectively. The vertical distribution of nitrogen and phosphorus compounds at all layers of water column were relatively homogenous indicating a strong mixing between the seawater layers. Thus, the study concludes that the variations of all water quality parameters are within the water quality standard needed for mariculture activities.","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128286566","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PENGARUH SUMBER KARBON YANG BERBEDA UNTUK PEMBENTUKAN FLOK DAN EFEKNYA PADA PERTUMBUHAN DAN SINTASAN UDANG VANAME, Litopenaeus vannamei","authors":"Erlangga Erlangga, Cut Nuraini, Salamah Salamah","doi":"10.15578/jra.16.2.2021.107-115","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.2.2021.107-115","url":null,"abstract":"Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies udang introduksi yang sudah banyak dibudidayakan di tambak di Indonesia. Permasalahan pada budidaya udang vaname di tambak dengan padat tebar tinggi dan penggunaan pakan protein tinggi adalah tingginya akumulasi residu/limbah budidaya. Salah satu cara memanfaatkan limbah budidaya yaitu sistem heterotrof dengan menggunakan teknologi bioflok dengan memanipulasi rasio perbandingan karbon nitrogen (C/N ratio) di dalam media budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pembentukan flok pada pemeliharaan udang vaname dengan pemberian sumber karbon yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan acak lengkap yang terdiri atas lima perlakuan, yaitu: kontrol, molase, tepung terigu, tepung maizena, dan air tebu; masing-masing tiga ulangan. Setiap perlakuan diberikan pada wadah pemeliharaan udang vaname untuk menumbuhkan flok dengan menambahkan probiotik komersil. Analisis data yang dilakukan antara lain pertumbuhan dan sintasan udang, FCR, ukuran flok, volume flok, kandungan gizi flok, dan parameter kualitas air yang mendukung kehidupan udang vaname. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sumber karbon berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang. Pemberian tepung terigu dalam pembentukan flok merupakan sumber karbon yang terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan udang vaname dengan pertambahan bobot 0,56 g; panjang 1,96 cm; dan sintasan 90,67%; dengan nilai FCR 1,10; kandungan protein flok sebesar 27,15%; ukuran flok 450 mikron; dan volume flok 88 mL/L. Nilai kisaran parameter kualitas air DO 5,5-6,5 mg/L; pH 6,8-8,0; suhu 26°C-30°C; salinitas 30-33 ppt; dan amonia 0,1-1,54 mg/L. Implikasi penelitian ini membuktikan pemberian sumber karbon memberikan pengaruh terhadap peningkatan flok dan mampu meningkatkan pertumbuhan dan sintasan udang vaname. Sebaiknya diperlukan penelitian lebih spesifik untuk mencari dosis terbaik dan maksimal dari sumber karbon tepung terigu untuk pembentukan flok, pertumbuhan, dan sintasan udang vaname.Vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) is an introduced species of shrimp that has been widely farmed in brackishwater ponds in Indonesia. Vannamei shrimp farmed in ponds with high stocking density and fed with high protein feed produce large quantities of residues/waste. Reducing the waste could be achieved by using biofloc technology to manipulate the carbon nitrogen ratio (C/N ratio) in the culture media. This study aimed to evaluate the formation of flocks grown on different carbon sources in the rearing media of vannamei shrimp. The study used an experimental method with a completely randomized design consisting of five treatments, namely: control, molasses, wheat flour, corn starch, and sugarcane juice, each with three replications. Data analysis was carried out on shrimp growth and survival, FCR, floc size, floc volume, floc nutrient content, and water quality parameters that support the life of vannamei shrimp. The","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128277349","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Wahyulia Cahyanti, Adang Saputra, Anang Hari Kristanto
{"title":"PERFORMA REPRODUKSI DAN LARVA IKAN GABUS (Channa striata Blkr) DENGAN BEBERAPA TEKNIK PEMIJAHAN","authors":"Wahyulia Cahyanti, Adang Saputra, Anang Hari Kristanto","doi":"10.15578/jra.16.2.2021.99-106","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.2.2021.99-106","url":null,"abstract":"Sejumlah penelitian terhadap ikan gabus (Channa striata Blkr) telah dilakukan mulai dari pembenihan dan pembesaran, namun masih belum banyak informasi ilmiah terkait performa reproduksi dan larva yang dihasilkan baik dari pemijahan alami maupun pemijahan semi-alami (induksi hormonal). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan teknik pemijahan yang tepat untuk ikan gabus. Dalam penelitian ini digunakan induk jantan dan betina dengan tingkat kematangan gonad (TKG) yang seragam (yaitu pada TKG-IV). Penelitian memakai empat perlakuan stimulasi hormon, yaitu A (kontrol, tanpa stimulasi hormon), B (induk jantan dan betina distimulasi hormon), C (induk betina distimulasi hormon), D (induk jantan distimulasi hormon). Hormon yang digunakan untuk menginduksi induk betina dan jantan adalah LHRHa + anti dopamin. Masing-masing perlakuan menggunakan tiga pasang induk. Parameter performa reproduksi yang diamati meliputi fekunditas, diameter telur, lama waktu menetas, dan volume kuning telur. Untuk performa larva dilakukan pengamatan laju penyerapan kuning telur, pertumbuhan panjang dan bobot larva, laju pertumbuhan spesifik, dan sintasan. Dari penelitian diperoleh bahwa ikan perlakuan-A dan B mampu berovulasi hingga menetas, perlakuan-C berhasil ovulasi namun gagal menetas, sedangkan perlakuan-D tidak mampu ovulasi. Fekunditas dan derajat penetasan hasil pemijahan alami paling tinggi (1.832 ± 13 butir dan 97,20 ± 2,49%). Namun, waktu ovulasi dan waktu menetas pemijahan alami (159,50 ± 0,50 jam dan 3.210,00 ± 5,00 menit) lebih lama dibanding pemijahan buatan (26,00 ± 2,00 jam dan 2.370.00 ± 15,00 menit). Abnormalitas terjadi pada perlakuan-B (1,30 ± 0,42%), sedangkan larva hasil perlakuan-A tidak ada yang abnormal. Berdasarkan hasil penelitian ini selain pemijahan alami, ikan gabus dapat dipijahkan secara buatan melalui stimulasi hormon pada induk jantan dan betina.Various studies on snakehead fish (Channa striata Blkr) have been carried out from breeding, nursery, to grow-out. Nevertheless, information regarding reproductive performance and produced larvae either from natural spawning or semi-natural (hormonal induction) spawning are still limited in the literature. This study aimed to determine the appropriate spawning technique for snakehead fish. In this study, the fish males and females were used with a uniform gonad maturity level. The study used four hormone stimulation treatments, namely: A (control, without hormone stimulation), B (male and female parents were hormone-stimulated), C (hormone-stimulated female parent), D (hormone-stimulated male parent). The hormone used to induce female and male broodstock was LHRHa + anti-dopamine. Each treatment used three pairs of parents. Parameters of reproductive performance observed included fecundity, egg diameter, hatching time, and egg yolk volume. For larval performance, observations were made of the rate of egg yolk absorption, growth in length and weight of larvae, specific growth rate, and survival. The re","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129730290","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Erma Primanita Hayuningtyas, Eni Kusrini, Shofihar Sinansari, Melta Rini Fahmi
{"title":"VARIASI GENETIK TIGA GENERASI IKAN HIAS CUPANG ALAM ENDEMIK DARI ACEH Betta rubra, Perugia 1893 (Pisces: Osphronemidae), HASIL BUDIDAYA","authors":"Erma Primanita Hayuningtyas, Eni Kusrini, Shofihar Sinansari, Melta Rini Fahmi","doi":"10.15578/jra.16.2.2021.71-82","DOIUrl":"https://doi.org/10.15578/jra.16.2.2021.71-82","url":null,"abstract":"Betta rubra merupakan salah satu spesies ikan cupang alam endemik dari Aceh. Keberadaannya yang hampir dinyatakan punah sebelum ditemukan kembali pada tahun 2007. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji keragaman genetik dan potensi genetik dari ikan Betta rubra dari tiga generasi yang sudah dibudidayakan untuk perbaikan genetik di Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Depok, Jawa Barat, Indonesia. Jumlah sampel yang digunakan pada populasi G-0 adalah enam ekor, sedangkan pada populasi G-1 dan G-2 masing-masing 10 ekor. Ikan uji yang digunakan diambil sirip ekornya untuk analisis secara genotipe dengan randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) menggunakan primer yaitu OPZ-9, OPB-6, dan OPZ-13. Sebelum diambil sirip ekornya ikan terlebih dahulu difoto di atas millimeter block untuk data truss morfometrik (fenotipe). Hasil menunjukkan ikan Betta rubra populasi alam (G-0) memiliki nilai heterozigositas 0,1872 dan derajat polimorfisme 47,06% yang lebih rendah dibandingkan generasi G-1 dengan heterozigositas 2,421 dan derajat polimorfisme 64,71%. Populasi G-2 memiliki nilai heterozigositas 0,1577 dan derajat polimorfisme 44,12%. Koefisien keragaman secara fenotipe populasi G-1 memiliki variasi lebih tinggi dibanding populasi G-0 dan G-2. Hubungan kekerabatan antara G-1 dengan G-0 dan G-2 berbeda nyata (P<0,05), sedangkan hubungan antara G-1 dengan G-2 tidak berbeda nyata (P>0,05), sehingga antara populasi G-0 dan G-2 membentuk cluster terpisah dengan G-1. Keragaman genetik pada tiga generasi Betta rubra memiliki pola yang sama baik secara fenotipe maupun genotipe.Betta rubra is one of the endemic species of Betta fish from Aceh. The fish was almost declared extinct before it was rediscovered in 2007. The purpose of this study was to examine the genetic diversity and genetic potential of Betta rubra from three generations which have been reared for genetic improvement at the Research Institute for Ornamental Fish Culture, Depok, West Java, Indonesia. The number of fish for G-0 population used in the study was six fish whilst G-1 and G-2 populations were 10 fish. Tail fins from each fish were sampled for genotype analysis using randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) using primers OPZ-9, OPB-6, and OPZ-13. Before tail fin collection, the fish was photographed on a millimeter block for truss morphometric data measurement (phenotype). The results showed that the Betta rubra wild population (G-0) had heterozygosity of 0.1872 and polymorphism of 47.06% which were lower than the G-1 population with heterozygosity of 2.421 and polymorphism of 64.71%. The G-2 population had heterozygosity of 0.1577 and polymorphism of 44.12%. The phenotype coefficient of variation in the G-1 population higher than the G-0 and G-2 populations. The kinship relationship between G-1 with G-0 and G-2 was significantly different (P<0.05), while the relationship between G-1 and G-2 was not significantly different (P>0.05). This research concludes that the populations of G-0 an","PeriodicalId":112729,"journal":{"name":"Jurnal Riset Akuakultur","volume":"61 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130981690","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}