{"title":"Analisis Faktor Risiko Oxygenation Index, Oxygen Saturation Index, dan Rasio Pao2/Fio2 sebagai Prediktor Mortalitas Pasien Pneumonia COVID-19 dengan ARDS di Ruang Perawatan Intensif Isolasi Khusus RSUD Dr Soetomo","authors":"Samuel Hananiel Rory, Arie Utariani, B. Semedi","doi":"10.15851/jap.v9n1.2275","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v9n1.2275","url":null,"abstract":"Pada kasus berat, pneumonia COVID-19 terjadi perburukan secara cepat dan progresif yang menyebabkan ARDS. Pengukuran parameter oksigenasi seperti oxygenation index (OI) dan oxygen saturation index (OSI) pada beberapa penelitian menunjukkan superioritas dibanding dengan rasio PaO2/FiO2 dalam menilai status oksigenasi dan derajat keparahan ARDS. Penelitian ini bertujuan melakukan analisis faktor risiko OI, OSI, dan Rasio PaO2/FiO2 terhadap mortalitas pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS. Penelitian ini adalah penelitian analitik observaional dengan desain cohort-prospective terhadap pasien dewasa pneumonia COVID-19 dengan ARDS berdasar atas kriteria Berlin. Data perhitungan OI, OSI, dan rasio PaO2/FiO2 diambil pada 30 menit pertama pascapemasangan ventilator mekanik. Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor risiko OI, OSI, dan rasio PaO2/FiO2 terhadap mortalitas 28 hari pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS. Hasil penelitian didapatkan pada 77 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi, hanya variabel OI yang terbukti signifikan sebagai prediktor independen mortalitas dengan nilai p 0,043, sementara OSI dan rasio PaO2/FiO2 tidak signifikan. Dari ketiga variabel, OI mempunyai AUC tertinggi, yakni 0,935 dibanding dengan variabel OSI dan rasio PaO2/FiO2. Simpulan, OI terbukti sebagai prediktor independen mortalitas pada pasien pneumonia COVID-19 dengan ARDS.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-04-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44845758","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Prediksi Berat Badan Pasien Pediatri: Analisis Akurasi Mercy Method","authors":"Khildan Miftahul Firdaus, Arie Utariani","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2098","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2098","url":null,"abstract":"Resusitasi pediatri bergantung pada berat badan untuk menentukan ukuran alat resusitasi, dosis obat, jumlah cairan, hingga dosis defibrilasi yang dibutuhkan. Berat badan aktual pada kondisi kegawatan sering kali sulit diukur sehingga membutuhkan suatu metode prediksi. Mercy method merupakan salah satu modalitas prediksi berat badan berbasis panjang yang dapat digunakan. Tujuan, menganalisis akurasi Mercy method sebagai metode prediksi berat badan pasien pediatri. Metode, dalam penelitian analitik observasional ini dilakukan pengukuran berat badan, panjang lengan, dan lingkar lengan atas tengah pada pasien usia 2 bulan–16 tahun di IRNA Pediatri RSUD Dr. Soetomo periode Desember 2019 hingga Maret 2020. Panjang dan lingkar lengan atas tengah kemudian dikonversi menjadi berat badan prediksi menggunakan Mercy method, lalu dilakukan uji korelasi dengan berat badan aktual. Uji bias dan predictive performance dinilai menggunakan ME, MAPE, RMSE, dan toleransi berat badan hingga 10% dan 20%. Hasil, dari 375 pasien, didapatkan hasil bahwa Mercy method merupakan modalitas yang baik untuk memprediksi berat badan pediatri pada populasi ini (r2=.964; p,000). Hasil uji bias dan predictive performance juga menunjukkan hasil yang baik dengan ME yang rendah, MAPE <10%, RMSE mendekati nol, serta dapat memprediksi berat badan aktual dengan toleransi 20% hingga 97,4%. Simpulan, Mercy method merupakan metode yang akurat untuk memprediksi berat badan pasien pediatri di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Feasibility Analysis of the Mercy Method - Weight Estimation Pediatric Patients Most pediatric resuscitations interventions are based on the patient's body weight to determine the resuscitation device’s size, drug dose, amount of fluid needed, and defibrillation joule. Measurement of actual body weight in the emergency setting is often impossible because it requires a weight estimation method. The Mercy method is one of the modalities of length-based weight estimation used in emergency departments. This study aimed to analyze Mercy method’s accuracy as a weight estimation method in pediatric patients at RSUD Dr. Soetomo Surabaya in December 2019–March 2020. This prospective, observational analytic, single-center study, measured the actual body weight (ABW), humeral length (HL) and mid- arm circumference (MAC) of patients aged 2 months–16 years at the pediatric ward with consecutive sampling techniques. HL and MAC were converted to predictive body weight (PBW) based on Mercy method. Then, PBWs were regressed against ABWs. The predictive performance assessment used mean error (ME), mean absolute percentage error (MAPE), root mean square error (RMSE) and the predicted percentage was within 10% and 20% (Agreement 10% and 20%). Results from 375 pediatric patients showed that the Mercy method offered a good correlation between ABW and PBW (r2=.964, p.000); Mercy method also demonstrated good predictive performance results with low ME, MAPE <10% and RMSE close to zero. The Mercy metho","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47454230","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Khildan Miftahul Firdaus, Elizeus Hanindito, B. Semedi
{"title":"Studi Komparatif Ukuran Pipa Endotrakeal tanpa Cuff pada Pasien Pediatri berdasar atas Diameter Subglotis dengan Metode Konvensional","authors":"Khildan Miftahul Firdaus, Elizeus Hanindito, B. Semedi","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2126","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2126","url":null,"abstract":"tersendiri. Pipa endotrakeal (ETT) yang terlalu kecil/besar meningkatkan risiko komplikasi. Prediksi ukuran ETT berdasar atas usia merupakan metode yang paling sering digunakan namun ternyata tidak selalu tepat pada aplikasinya. Parameter lain seperti diameter subglotis atau diameter kelingking tangan dapat menjadi alternatif untuk memprediksi ukuran ETT pediatri. Tujuan penelitian ini menganalisis dan membandingkan akurasi prediksi ukuran ETT tanpa cuff berdasar berbagai variabel pada pasien pediatri di RSUD Dr Soetomo Surabaya mulai Februari hingga April 2020. Subjek penelitian ini pasien usia 2–9 tahun, PS ASA 1–2 yang akan dilakukan operasi elektif. Saat preoperatif, usia, berat, dan panjang badan dicatat. Saat intraoperatif, diameter kelingking tangan dan diameter subglotis menggunakan USG diukur dan dicatat. ETT yang digunakan adalah ETT tanpa cuff berdasar atas diameter subglotis. ETT dianggap tepat apabila memberikan audible air leak pada tekanan 10–25 cmH2O. Bila ETT terlalu kecil/besar maka dilakukan reintubasi. Tiap-tiap parameter dilakukan uji korelasi, agreement test, serta predictive performance menggunakan MAPE, dan RMSE. Dari 48 pasien, didapatkan hasil bahwa prediksi ukuran ETT tanpa cuff berdasar atas diameter subglotis memiliki akurasi yang paling baik hingga 91,67% (r=0,973, koefisien kappa 0,892; p<0,001, MAPE 0,803%, dan RMSE 0,144). Simpulan, prediksi berdasar atas diameter subglotis merupakan metode yang akurat untuk memprediksi ukuran ETT tanpa cuff pediatri. Subglottic Diameter Ultrasonographic Assessment for Estimating Pediatric Uncuffed Endotracheal Tubes Compared to Conventional Methods Anatomical differences in pediatric airways could be quite a challenge. Choosing endotracheal tube (ETT) optimum size is essential as a larger or smaller tube may cause undesirable complications. ETT size prediction based on age formula is most commonly used, but is not always successful. The little finger diameter and subglottic diameter are alternative parameters to predict pediatric uncuffed ETT optimum size. This study analyzed and compared the multiple variable-based formulas’ accuracy to predict the pediatric uncuffed ETT optimum size. The ETT prediction used subglottic diameter-based formulas. Clinically fit ETT has an audible air leak within the pressure of 10–25 cmH2O. If the ETT predicted was relatively too small/big than clinically fit ETT, it was changed to one size smaller/ bigger. Each variable was then analyzed by correlation test, regressed against clinically fit ETT to test the agreement rates, and predictive performance was assessed using mean absolute percentage error (MAPE), and root mean square error (RMSE). From 48 patients it found that subglottic diameter formulas offered the best result in predicting optimum size uncuffed ETT in pediatrics with an agreement rate up to 44 of 48 patients got the right clinically fit uncuffed ETT (91.67%, r=0.973, kappa 0.892, p-value<0.001, MAPE 0.803%, and RMSE 0.144). In concl","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44872470","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Penatalaksanaan Syok Sepsis dengan Penyulit Cedera Ginjal Akut pada Pasien Peritonitis Sekunder","authors":"Masriani Najamuddin, Haizah Nurdin, Faisal Muchtar","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2174","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2174","url":null,"abstract":"Peritonitis akibat infeksi intraabdominal, khususnya peritonitis sekunder merupakan salah satu penyebab syok sepsis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perkembangan dalam pemahaman fisiologi, pemantauan, dan tunjangan sistem kardiopulmonal, serta penggunaan obat-obat baru secara rasional membuat mortalitas stabil pada kisaran 30%. Kasus ini mengenai seorang pasien perempuan usia 67 tahun masuk rumah sakit dengan diagnosis peritonitis generalisata karena suspek perforasi Hollow viscous. Setelah menjalani operasi laparatomi untuk source control, pasien dirawat di ICU selama 5 hari. Selama perawatan pasien mengalami edema paru, sepsis, anemia, hipokalemia, hipoalbuminemia, serta acute kidney injury (AKI). Pada pasien dilakukan tindakan ventilasi mekanik selama 4 hari yang diiringi dengan pemantauan analisis gas darah arteri dan furosemid untuk tata laksana edema paru dan fluid overload . Resusitasi dan pemeliharaan cairan sambil memantau hemodinamik konvensional dan melalui ICON, balance kumulatif, fluid overload, tekanan vena sentral, serta urine output. Terapi antimikrob diberikan berdasar atas pedoman terapi infeksi intraabdominal dan antibiogram ICU rumah sakit. Kondisi perfusi dipantau dengan kadar laktat dan SCVO2. Respons antibiotik dan perbaikan sepsis dipantau dengan pemeriksaan prokalsitonin dan leukosit. Perbaikan AKI dipantau dengan produksi urine serta kadar ureum dan kreatinin. Penatalaksanaan peritonitis sekunder dengan komplikasi sepsis dengan penyulit AKI telah berhasil dilakukan di ICU. Peritonitis sekunder memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi, namun dengan source control yang adekuat dan manajemen di ICU yang agresif maka diperoleh hasil yang baik seperti pada kasus ini. Management of Septic Shock with Acute Renal Failure Complications in Secondary Peritonitis Patients Peritonitis due to intraabdominal infection, especially secondary peritonitis is one of the major causes of septic shock with high morbidity and mortality. Developments in understanding the physiology, monitoring and supportive therapy for cardiopulmonary system and rational use of new drugs, make mortality stable at around 30%. A 67-year-old female patient was hospitalized with generalized peritonitis due to suspected Hollow Viscous perforation. After undergoing laparotomy for source control, the patient was treated in the ICU for five days. During treatment, the patient experiences pulmonary edema, sepsis, anemia, hypokalaemia, and hypoalbuminemia, and acute kidney injury (AKI). The patient received mechanical ventilation intervention for four days accompanied by monitoring of arterial blood gas analysis and furosemide administration for pulmonary edema and fluid overload management. Fluid resuscitation and maintenance are monitored by conventional hemodynamic monitoring and through ICON, and by cumulative balance calculation, fluid overload calculation, central venous pressure, and urine output. Antimicrobial therapy is given based on g","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48360678","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perbandingan Efek Fentanil dengan Ketamin terhadap Skor Pemulihan Pascaanestesi Umum Diukur dengan QoR-40 serta Perubahan Tekanan Darah dan Nadi pada Operasi Odontektomi","authors":"Adhitya Agung Pratama, Erwin Pradian, M. Erlangga","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2096","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2096","url":null,"abstract":"Penggunaan fentanil pada anestesi umum memiliki pengaruh terhadap pemulihan pascaoperasi dan penurunan hemodinamik saat induksi. Metode anestesi umum menggunakan analgetik nonopioid diharapkan meningkatkan kualitas pemulihan pascaoperasi. Pemberian ketamin dosis subanestesi memberi efek analgetik dengan efek samping minimal serta perubahan tekanan darah dan nadi lebih stabil. Tujuan penelitian ini membandingkan efek fentanil dengan ketamin terhadap kualitas pemulihan serta perubahan tekanan darah dan nadi saat induksi. Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar ganda pada 30 pasien yang menjalani operasi odontektomi dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung dari Januari–Maret 2020. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ketamin, diinduksi menggunakan ketamin 0,5 mg/kgBB dan kelompok fentanil, diinduksi menggunakan fentanil 1,5 mcg/kgBB. Data dianalisis dengan uji-t tidak berpasangan, Uji Mann Whitney, dan Uji Kolmogorov-smirnov dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Terdapat penurunan tekanan darah dan nadi yang signifikan (p<0,05) di menit ke-1, 3, dan 5 pada grup fentanil. Penilaian QoR-40 pada kelompok ketamin memiliki angka lebih tinggi (181,07±5,32) dibanding dengan kelompok fentanil (176,60±2,59) secara bermakna (p<0,05). Simpulan, skor pemulihan pascaanestesi umum dengan ketamin lebih tinggi dibanding dengan fentanil pada operasi odontektomi yang dinilai dengan QoR-40 dan ketamin dengan dosis subanestesi saat induksi menunjukkan hemodinamik yang lebih stabil dibanding dengan induksi menggunakan fentanil. Comparison of Fentanyl and Ketamine’s Effects on Post-General Anesthesia Recovery Scores Measured by QoR-40 and Changes in Blood Pressure and Pulse in Odontectomy Surgery The use of fentanyl in general anesthesia has side effects that may prolong postoperative recovery and hemodynamic decline when induction. Methods of general anesthesia without fentanyl may improve the quality of postoperative recovery. Ketamine in subanesthetic doses has analgesic effects with minimal side effects and more stable blood pressure and pulse changes. This study aimed to compare fentanyl and ketamine’s effects on quality of recovery and changes in blood pressure and pulse. This was a double-blinded clinical study in 30 patients with odontectomy under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital from January–March 2020. Patients were divided into two groups, a ketamine group, induced using 0.5 mg/kgBW ketamine, and a fentanyl group, induced using 1,5 mcg/kgBW fentanyl. Data were analyzed using the unpaired t-test, Mann Whitney, and Kolmogorov-Smirnov test, a p-value of <0.05 was considered significant. Values of QoR-40 in the ketamine group had a significantly (p<0.05) higher value (181.07±5.32) compared to the fentanyl group (176,60±2,59). In conclusion, the quality of post-general anesthesia recovery using ketamine is higher than fentanyl in odontectomy evaluated using QoR-40. Induction using subanesthet","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45097356","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Mahmud Mahmud, Sri Rahardjo, Rama Iqbal Mahendra, Titania Juwitasari, Siti Khamdiyah, Retno Koeswandari
{"title":"Efektivitas dan Efisiensi Pencatatan efek Opioid pada Pasien Pascaoperasi di RSUP Dr. Sardjito, Indonesia","authors":"Mahmud Mahmud, Sri Rahardjo, Rama Iqbal Mahendra, Titania Juwitasari, Siti Khamdiyah, Retno Koeswandari","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2207","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2207","url":null,"abstract":"Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dapat terjadi saat preoperasi, durante, dan pascaoperasi. Pada umumnya, manajemen nyeri intra dan pascaoperasi menggunakan opioid. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas dan efisiensi pencatatan evaluasi penggunaan opioid intraoperatif dan pascaoperasi dan dilaksanakan pada Maret–Oktober 2019 di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif untuk melihat efektivitas dan efisiensi pemberian opioid intraoperatif terhadap efek analgesia pascaoperasi dengan mengukur skala NRS, prevalensi kejadian efek samping opioid post-operative nausea and vomiting (PONV), recovery room length of stay (LOS), serta penggunaan obat analgetik pascaoperasi. Pencatatan rekam medis yang kurang lengkap sehingga tidak dapat menilai efektivitas penggunaan opioid intraoperative yang baik. Penggunaan opioid pascaoperasi memiliki hubungan yang bermakna dengan skor NRS 12 jam pascaoperasi dan kejadian komplikasi (p=0,025;p=0,028). Penggunaan opioid intraoperatif maupun pascaoperasi terhadap skor NRS, kejadian komplikasi, maupun lamanya waktu rawat di recovery room tidak terdapat hubungan yang bermakna. Simpulan, pencatatan evaluasi penggunaan opioid intraoperative dan pascaoperasi di rekam medis masih belum lengkap. Penggunaan opioid intraoperatif tidak bermakna dalam menurunkan skor NRS, menurunkan kejadian komplikasi pascaoperasi, memperpendek lama rawat di recovery room , namun apabila opioid dilanjutkan pemberian pascabedah menurunkan NRS, tetapi efek samping opioid lebih tinggi. Effectiveness and Efficiency of Opioid Effects Recording in Postoperative Patients at Sardjito General Hospital, Indonesia Pain is “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage. Postoperative pain is a pain felt by patients after a series of operations. In general, intraoperative and postoperative pains are treated with an opioid. This study aimed to determine the effectiveness and efficiency of recording evaluation of intraoperative and postoperative opioid use in patients. This study used a retrospective cohort design to identify the effectiveness and efficiency of intraoperative opioid administration on the postoperative analgesia effect by measuring the NRS scale, the prevalence of side effects of postoperative nausea and vomiting (PONV), Recovery Room length of stay (LOS), and the administration of postoperative analgesics. Due to incomplete medical records, it cannot assess the effectiveness of a good intraoperative opioid. Postoperative opioid use has a significant correlation with NRS score 12 hours postoperatively and the complication incidence (p=0.025, p=0.028). There was no significant relationship between either intraoperative or postoperative opioids to NRS score, adverse events, and length of stay in the Recovery Room. In conclusion, the recording of pain","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45470857","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Intervention in Undergoing Surgery with Undiagnosed Wolff-Parkinson-White Syndrome: Case Report","authors":"Gezy Giwangkancana, Astri Astuti, Dhany Budipratama, Aviryandi Wibawamukti, F. Rahman, Rani Septriana","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2193","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2193","url":null,"abstract":"Wolff-Parkinson-White (WPW) syndrome is a commonly undiagnosed cardiac rhythm anomaly in a previously healthy patient who may precipitate malignant arrhythmia under surgical stress. We report successful management of a reconstruction surgery patient who developed cardiac arrest under general anesthesia due to undiagnosed WPW syndrome and a malignant arrhythmia during subsequent emergency surgery. A male patient with no previous history of the co-existing disease, age 23 years old underwent 14 hours of leg reconstruction with a posterior back flap. At the end of the surgery, the patient developed malignant arrhythmia that worsens to pulseless ventricular tachycardia. High-quality resuscitation was conducted and resulted in the return of spontaneous circulation. The patient had to undergo emergency surgery the next day, and another episode of intraoperative malignant arrhythmia was treated with propafenone and diltiazem. The patient underwent ablation postoperatively and, on the 14th day, was discharged without any residual complications. In conclusion, WPW may appear asymptomatic in a healthy young patient. Good anesthesia management and monitoring, knowledge of selective antiarrhythmic drugs and high-quality resuscitation skills can provide an optimal outcome in an unpredicted intraoperative crisis. Laporan Kasus: Manajemen Pasien Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW) yang Menjalani Tindakan Pembedahan Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW) adalah kelainan irama jantung yang sering tidak terdiagnosis pada pasien usia muda dan sering tanpa gejala. Stres akibat pembedahan dapat memicu aritmia maligna pada kelainan ini. Kami melaporkan keberhasilan manajemen pada pasien bedah plastik rekonstruksi dalam anestesi umum yang mengalami henti jantung karena sindrom WPW yang tidak terdiagnosis sebelumnya dan terjadi aritmia maligna serupa pada operasi darurat berikutnya. Seorang laki-laki berusia 23 tahun tanpa riwayat penyakit penyerta sebelumnya, menjalani rekonstruksi kaki dengan flap posterior selama 14 jam. Pada akhir pembedahan, pasien mengalami aritimia maligna dan berkembang menjadi ventricular takikardia tanpa nadi. Tindakan resusitasi jantung paru berkualitas tinggi dilakukan dan sirkulasi spontan kembali muncul. Pasien harus menjalani operasi darurat keesokan harinya dan mengalami episode aritmia maligna ulangan intraoperatif yang telah berhasil diidentifikasi pada pemeriksaan pascaoperasi pertama sebagai sindrom Wolff-Parkinson-White. Aritmia maligna tersebut diatasi dengan pemberian propafenon dan diltiazem. Pasien menjalani tindakan ablasi pascaoperasi dan pulang pada hari keempat belas perawatan tanpa gejala sisa. Simpulan, sindrom WPW mungkin tampak asimtomatik pada pasien muda yang sehat. Manajemen anestesi yang baik, pengetahuan mengenai profil berbagai obat antiaritmia serta pelaksanaan tindakan resusitasi berkualitas tinggi dapat memberikan hasil keluaran yang optimal bila terjadi krisis intraoperatif yang tidak diperkirakan sebelumnya.","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43933141","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Y. Wiguna, Philia Setiawan, Prananda Surya Airlangga
{"title":"Hubungan Profil Lipid (Kadar Trigliserida, HDL, LDL, Total Kolesterol) dengan Jenis Infeksi Bakteri pada Pasien Sepsis","authors":"Y. Wiguna, Philia Setiawan, Prananda Surya Airlangga","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2156","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2156","url":null,"abstract":"Gangguan profil lipid berhubungan dengan peningkatan kejadian gagal organ dan kematian pada pasien sepsis. Gangguan profil lipid mungkin berbeda antarjenis infeksi bakteri (gram positif vs gram negatif), perbedaan ini mungkin jadi disebabkan oleh perbedaan klirens endotoksin yang berbeda dan mekanisme imunologis host yang berkaitan dengan metabolism lipid. Tujuan, menganalisis perbedaan profil kadar lipid (HDL, LDL, Trigliserida, total kolesterol) dengan jenis infeksi bakteri pada pasien sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Soetomo yang dilaksanakan pada bulan April–Juli 2020. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional pada pasien dewasa yang memenuhi kritera sepsis-3. Jenis infeksi bakteri diklasifikasikan menjadi infeksi bakteri gram negatif, infeksi bakteri gram positif, infeksi campuran, dan tidak tumbuh kuman. Penelitian ini menganalisis perbedaan profil kadar lipid antarjenis infeksi bakteri menggunakan analisis normalitas data dan analisis varian data. Hasil dari 38 pasien sepsis dewasa pada penelitian ini didapatkan 13 pasien infeksi bakteri gram negatif, 13 pasien infeksi gram positif, 5 pasien infeksi campuran gram positif dan negatif, dan tidak didapatkan pertumbuhan kuman pada 7 pasien. Kadar HDL lebih rendah pada infeksi bakteri gram negatif dan infeksi bakteri campuran gram positif-gram negatif (p<0,05). Kadar trigliserida lebih tinggi pada infeksi bakteri gram negatif dan infeksi bakteri campuran gram positif - gram negatif (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LDL dan total kolesterol antarjenis infeksi bakteri. Simpulan, kadar HDL plasma lebiH rendah dan kadar trigliserida lebih tinggi pada pasien sepsis infeksi bakteri gram negatif dan bakteri campuran gram positif–gram negatif disbanding dengan pasien sepsis infeksi bakteri gram positif dan tidak didapatkan pertumbuhan kuman. Relationship of Lipid Profile (Levels of Triglyceride, HDL, LDL, Total Cholesterol) with Types of Bacterial Infection in Sepsis Patients Impaired lipid profiles are associated with an increased incidence of organ failure and mortality in septic patients. Disorders of the lipid profile may differ between bacterial infection types (gram-positive vs gram-negative). Differences could be due to dissimilarities in different endotoxin clearance and host immunological mechanisms related to lipid metabolism. The study analyzed differences in lipid profiles (HDL, LDL, triglycerides, total cholesterol) with the bacterial infection type in septic patients in the intensive care room of Dr. Soetomo Hospital in April–July 2020. This study was an observational analytic study of 38 adult patients who met the criteria for sepsis-3. Bacterial infection types were classified into gram-negative bacterial infections, gram-positive bacterial infections, mixed infections and culture negative. This study analyzed differences in lipid profiles between bacterial infection types, and used data normality analysis and data variant analysis. Results sh","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42420328","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kita adalah Klinisi, bukan Sekedar Penghobi Ultrasonografi: Keterbatasan Ultrasonografi Point-Of-Care Jantung dalam Memandu Resusitasi Cairan","authors":"Syahrul Mubarak Danar Sumantri, Fauzana Fauzana","doi":"10.15851/JAP.V8N3.2060","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V8N3.2060","url":null,"abstract":"Pemeriksaan penunjang ultrasonografi point-of-care (POCUS) jantung sangat berguna dalam memandu resusitasi pasien kritis dengan penyakit penyerta jantung. Namun, POCUS jantung memiliki keterbatasan dan harus tetap dipandu pemeriksaan fisis klinis. Seorang perempuan berusia 84 tahun, mendapatkan perawatan di ruang intensif atas indikasi hemodinamik tidak stabil pascaperdarahan akut gastrointestinal bawah. Pasien tampak somnolen, takipnea, hipotensi disertai distensi vena jugularis. Pemeriksaan laboratorium hanya menunjukkan tanda anemia akut, sedangkan pada rontgen toraks didapatkan kardiomegali dan pacu jantung-tanam. Pasien ditemukan di bangsal dalam kondisi hipotensi dan diberikan bolus cairan. Evaluasi pascabolus cairan, pasien menunjukkan tanda hemodinamik stabil yang transien akibat perdarahan yang terus menerus. Dengan kecurigaan awal bahwa terdapat gangguan fungsi jantung maka ekokardiografi digunakan untuk memandu resusitasi cairan. Pada pemeriksaan tidak didapatkan variasi left ventricular outflow tract velocity time integral (VTi) disertai r egurgitasi aorta (AR) moderat dan parameter lain yang membatasi fungsi ultrasonografi POCUS jantung dalam memandu uji responsivitas cairan. Penulis akhirnya melakukan resusitasi cairan dengan panduan pemeriksaan klinis secara berulang semata disertai pemeriksaan ultrasonografi inferior vena cava (IVC). Pasien berhasil diresusitasi dengan bolus cairan intravena dalam jumlah besar tanpa komplikasi sekunder. Penilaian klinis tetap diperlukan terutama pada kondisi patologis tertentu yang membatasi utilisasi POCUS jantung. We are Clinicians, not Ultrasound Geeks: when Cardiac Point-of-Care Ultrasonography Meets its Limitation in Guiding Fluid Resuscitation Cardiac point-of-care ultrasonography (POCUS) has shown its superiority in guiding resuscitation of compromised critically ill patients. Despite its emerging usage, cardiac POCUS has limitations that should involve physical examination during its interpretation. An 84-year-old woman was admitted to the intensive care unit with hemodynamic instability following acute lower gastrointestinal bleeding. The patient appeared somnolent with physical examination revealed tachypnea, hypotension, and jugular venous distention. Laboratory data underlined no other than acute anemia. Chest radiography revealed cardiomegaly and implanted pacemaker. The patient was found hypotensive in her ward and treated with fluid bolus. In clinical reevaluation, the patient showed transient hemodynamic stability, for she underwent persistent lower gastrointestinal bleeding. Due to suspected compromised cardiac function, a cautious fluid resuscitation guided by echocardiography was commenced revealing no visible variation of the left ventricular outflow tract (LVOT) velocity-time integral (VTi), moderate aortic regurgitation (AR), and other parameters that might limit cardiac POCUS utility to assist fluid responsiveness test. We decided to administer fluid based on a regular reass","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48181119","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Hidrotoraks Masif Dekstra dengan Penyulit ARDS Akibat Komplikasi Pemasangan Kateter Vena Sentral Jugular Interna","authors":"Kinanti Narulita Dewi, Wiwi Jaya, Arie Zainul Fatoni","doi":"10.15851/jap.v8n2.2072","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v8n2.2072","url":null,"abstract":"Hidrotoraks merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan angka insidensi 0,4–1,0%. Insidensi komplikasi mekanik lebih rendah pada insersi vena jugularis dibanding dengan vena subklavia. Pada kasus ini, kami melaporkan pasien laki-laki berusia 63 tahun dengan berat badan 70 kg. Pasien dengan ASA 4E sepsis dan curiga keganasan. Pasien ini didiagnosis akut abdomen karena total bowel obstruction dan rencana dilakukan tindakan laparotomi dengan anestesi umum. Pasien ini telah dipasang kateter vena sentral saat di IGD. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum selama 3 jam dan mendapatkan cairan intraoperatif 1.500 cc melalui kateter vena sentral. Pascaoperasi, pasien tidak dapat dilakukan ekstubasi karena napas tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil sehingga pasien dirawat di ruang ICU. Saat pasien tiba di ruang ICU, pada pemeriksaan fisis ditemukan suara napas paru kanan menurun dan perkusi redup pada paru kanan. Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat dan asidosis. Pemeriksaan foto rontgen dada ditemukan gambaran efusi pleura masif. Kami melakukan evakuasi kurang lebih 2,2 liter cairan berwarna kemerahan dari kavum pleura dan memasang selang chest tube pada paru kanan. Pasien mengalami acute respiratory distress syndrome (ARDS). Tata laksana pasien dengan sepsis dan ARDS berfokus pada prinsip lung protective strategy dan sepsis bundle sesuai dengan surviving sepsis campaign (SSC) 2018","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49051294","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}