{"title":"Perbandingan Ketepatan Ukuran Classic Laryngeal Mask Airway antara Metode Berat Badan dan Lebar Lidah","authors":"Abdul Rahman, Iwan Fuadi, I. Rachman","doi":"10.15851/JAP.V6N3.1338","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N3.1338","url":null,"abstract":"Classic laryngeal mask airway (CLMA) merupakan alat yang digunakan untuk manajemen jalan napas, baik untuk pengganti ventilasi sungkup wajah maupun intubasi endotrakeal. Pemilihan ukuran yang tepat penting untuk efektivitas penggunaan CLMA. Saat ini pemilihan ukuran berdasar atas metode berat badan. Menurut sebuah studi terbaru metode pengukuran lebar lidah lebik baik daripada metode berat badan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketepatan ukuran CLMA antara metode berat badan dan lebar lidah yang dinilai dengan skor fiberoptik dan oropharyngeal leak pressure di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2018 menggunakan uji eksperimental analitik crossection setiap subjek mendapat dua perlakuan yang berbeda antara kedua metode. Uji statistik menggunakan uji chi-square untuk skor fiberoptik dan uji t berpasangan untuk oropharyngeal leak pressure . Hasil penelitian skor fiberoptik lebih optimal daripada metode lebar lidah. Oropharyngeal leak pressure pada metode berat badan rerata 23,00 ± 1,732 CmH 2 0 sedangkan metode lebar lidah rerata 19,13 ± 1,684 CmH 2 0. Secara statistik diperoleh nilai p<0,05. Simpulan, metode pengukuran lebar lidah adalah alternatif yang mudah dan baik dalam pemilihan ukuran CLMA pasien dewasa. Kata kunci: Classic laryngeal mask airway , pemilihan ukuran CLMA, metode berat badan, metode lebar lidah Comparison of Classic Laryngeal Mask Airway Size Accuracy between Body Weight Method and Tongue width Method Classic laryngeal mask airway (CLMA) is an airway management device that can be used to replace bag valve mask ventilation or endotracheal intubation. Choosing the right size of CLMA is important for the effectiveness of CLMA. Currently, the size of CLMA is selected based on the body weight. However, a recent study suggested that tongue width is a better indicator for size selection than the body weight. The purpose of this study was to assess the accuracy of CLMA size selection using the body weight method and tongue-width method. The assessment was performed using the fiberoptic score and oropharyngeal leak pressure. This was an experimental analytic cross-sectional study conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in February 2018. Each subject in this study received two different treatments using the two methods. The results were analyzed using chi-square for the fiberoptic score and paired t test for the oropharyngeal leak pressure. The fiberoptic score was more optimum when tongue width method was used when compared to the weight method. The oropharyngeal leak pressure in the weight method group was 23.00±1.732 CmH20 while the pressure in the tongue-width method was 19.13±1.684 CmH20 (p value <0.05). In conclusion, the tongue width measurement is an easy and good alternative in the selecting the CLMA size in adult patients. Key words: Classic laryngeal mask airway, size selection CLMA, body weight method, tongue width method","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49648933","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Efek Parasetamol Intravena terhadap Regresi Sensorik Anestesi Spinal dengan Bupivakain Hiperbarik 0,5%","authors":"Hadi Sumitro Jioe, M. A. Reyes","doi":"10.15851/jap.v6n3.1367","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/jap.v6n3.1367","url":null,"abstract":"Penggunaan anestesi spinal untuk operasi besar saat ini umum dilakukan dan telah dipraktikkan dalam jangka waktu cukup lama. Parasetamol merupakan obat analgetik yang telah dikenal cukup lama dan saat ini digunakan untuk mengontrol nyeri baik selama operasi maupun pascaoperasi. Parasetamol memiliki efek analgetik pada susunan saraf pusat (SSP) melalui penghambatan jalur siklo-oksigenase dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap sistem serotoninergik serta ditemukan dalam konsentrasi yang signifikan dalam cairan serebrospinal setelah pemberian melalui infus. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh pemberian parasetamol intravena dosis tunggal sebelum operasi terhadap regresi blok anestesi spinal pada pasien yang akan dilakukan operasi besar. Sebanyak 30 pasien dengan klasifikasi American Society of Anesthesiologist (ASA) I dan II dengan rentang usia 18–55 tahun yang dilakukan operasi besar dengan anestesi spinal diikutsertakan ke dalam uji acak terkontrol buta ganda yang dilakukan periode Februari–Juni 2015 di Operating Theatre-East Avenue Medical Center , Quezon City, Philippines . Pasien dialokasikan menjadi 2 grup secara acak dan diberikan infus 100 mL parasetamol 1 gram (Grup A; n=15) atau 100 mL NaCl 0,9% (Grup P; n=15) selama 20 menit sebelum pemberian obat pada anestesi spinal. Penilaian nyeri dinilai menggunakan visual analog scale (VAS), serta dicatat pada saat diberikan bantuan obat analgetik. Data dianalisis dengan uji chi-kuadrat dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Regresi blok sensorik tertunda secara signifikan pada Grup A pada jam ke-2 (T5–T7; n=11) dibanding dengan grup P pada jam ke-2 (T5–T7; n=2) dengan nilai p<0,05. Simpulan, pemberian infus parasetamol intravena 20 menit sebelum dilakukan anestesi spinal dengan bupivakain hiperbarik 0,5% dapat menunda regresi blok sensorik. Kata kunci: Anestesi spinal, bupivakain hiperbarik, parasetamol intravena, regresi sensorik Effect of Intravenous Paracetamol on Sensory Regression of Spinal Anesthesia with Bupivacaine Heavy 0.5% Spinal anesthesia is a long-accepted anesthesia that is commonly used for major surgery. Paracetamol intravenous infusion is a known analgesics that is recently used for intra-operative as well as post-operative pain control. Paracetamol has an analgesic effect, primarily to the central nervous system (CNS), through the cyclooxygenase pathway, and probably has an indirect influence on the serotoninergic system which is supported by the fact that paracetamol is found in significant concentration in the cerebrospinal fluid (CSF) after infusion. This study was designed to evaluate the effect of single pre-operative intravenous infusion of paracetamol on sensory regression of spinal blockade in patients undergoing major surgery. Thirty ASA I and II patients aged 18–55 years undergoing major surgery under spinal anesthesia were included in this randomized controlled trial double blind study during the period of February–June 2015 at the Operating Theatre ","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49246994","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perbandingan Keberhasilan dan Waktu Intubasi Endotrakeal pada Manekin antara Bantal Intubasi Standar dan Bantal Intubasi Modifikasi","authors":"Sendy Setiawan Permana, Erwin Pradian, Dedi Fitri Yadi","doi":"10.15851/JAP.V6N3.1363","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N3.1363","url":null,"abstract":"Intubasi pipa endotrakeal adalah standar baku manajemen jalan napas. Direct laryngoscopy dengan memposisikan kepala dan leher secara sniffing position menggunakan bantal agar visualisasi glotis optimal merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Tujuan penelitian adalah membandingkan keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada manekin menggunakan bantal intubasi standar dengan bantal intubasi modifikasi. Penelitian menggunakan metode crossover randomized study dengan teknik nonprobability sampling oleh 31 orang residen anestesi pada manekin di ruang skill lab Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif FK Unpad RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Februari 2018. Penelitian dibagi menjadi kelompok bantal intubasi standar (A) melakukan intubasi endotrakeal menggunakan bantal intubasi standar dilanjutkan menggunakan bantal intubasi modifikasi. Kelompok bantal modifikasi (B) melakukan intubasi endotrakeal dengan bantal intubasi modifikasi dilanjutkan menggunakan bantal intubasi standar, dinilai keberhasilan dan lama waktu intubasi. Data dianalisis dengan uji-t dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Analisis data statistik menunjukkan angka keberhasilan yang sama pada kedua kelompok, sedangkan lama waktu intubasi endotrakea lebih singkat pada kelompok bantal modifikasi dibanding dengan kelompok bantal standar yang berbeda bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian menunjukkan waktu intubasi menggunakan bantal intubasi modifikasi lebih singkat dibanding dengan menggunakan bantal standar, sedangkan keberhasilan intubasi sama pada kedua kelompok. Kata kunci: Bantal intubasi, intubasi endotrakea, sniffing position Comparison of Successful Intubation and Time of Intubation in Mannequin using Standard Intubation Pillow and Modified Intubation Pillow Endothracheal intubation is the gold standard in airway management. Direct laryngoscopy by positioning the head and the neck in a sniffing position with the help of a pillow will facilitate optimal visualization of the trachea, which is the key to a successful endotracheal intubation. The purpose of this study was to assess the time needed to intubate mannequin using modified intubation pillow when compared to standard intubation pillow. This was a crossover randomized study using nonprobability sampling technique conducted inn March 2018 on of 31 anesthesia residents who were working on a mannequin in the Skill Laboratory of Anesthesiology and Intensive Therapy Department of Dr. Hasan Sadikin General Central Hospital. Subjects were divided into two groups: group A that used the standard intubation pillow, followed by the modified intubation pillow and group B that used the modified intubation pillow, followed by the standard intubation pillow. The success rate and the time needed to intubate were recorded. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test with a p score of <0.05 considered to be significant. The statistical analysis showed the same success rate in bo","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42581024","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Iervan Churniawan Tanjung, Doddy Tavianto, S. Suwarman
{"title":"Kesesuaian Pengkajian Nyeri Pascaoperasi dan Tidak Lanjutnya dengan Standar Prosedur Operasional Asesmen Nyeri pada Pasien Pediatrik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016","authors":"Iervan Churniawan Tanjung, Doddy Tavianto, S. Suwarman","doi":"10.15851/JAP.V6N3.1347","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N3.1347","url":null,"abstract":"Nyeri bukan hanya persepsi sensorik, tetapi juga emosi, kognitif, dan perubahan perilaku Pengkajian nyeri pada anak dinilai dengan berbagai sistem skoring. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung telah membuat Standar Prosedur Operasional untuk menilai nyeri di ruang perawatan. Penelitian bertujuan mengetahui kesesuaian pengkajian nyeri pascaoperasi dan tindak lanjutnya dengan SPO asesmen nyeri pada pasien pediatrik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2016. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional retrospektif terhadap 158 rekam medis pasien pediatrik yang dirawat pada tahun 2016. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin sejak Februari sampai dengan Maret 2018. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengkajian nyeri sesuai SPO adalah 150 pasien (94,9%), tidak sesuai SPO 8 pasien (5,1%). Tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai SPO adalah 138 pasien (87,4%), tidak sesuai SPO 13 pasien (8,2%), dan tidak dilakukan tindak lanjut 7 pasien (4,4%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri sesuai SPO adalah 130 pasien (82%) dan tidak sesuai SPO 28 pasien (18%). Simpulan penelitian ini bahwa pengkajian nyeri pascaoperasi dan tindak lanjutnya sebagian besar sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional. Kata kunci: Nyeri pascaoperasi, pediatrik, pengkajian nyeri Compliance of Postoperative Pain and Follow Up Assessment with Painful Assessment Standard Operating Procedures in Pediatric Patientsin Dr. Hasan Sadikin Bandung Year 2016 Pain does not only involve sensoric perception. It also involves emotional, cognitive, and behavioral changes. Pain assessment inf children is performed using various scoring systems. Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has developed Standard Operating Procedures to assess pain in treatment rooms. The objective of this study was to determine the compliance of postoperative pain assessment and its follow-up to the SOP on pediatric pain assessment in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2016. This was a retrospective observational descriptive study on 158 medical records of pediatric patients who were treated during the period of 2016. The study was conducted from February to March 2018. It was revealed that pain assessment was assessed in compliance to the SOP in 150 patients (94.9%) while the remaining 8 patients (5.1%) were not assessed according to the SOP. The follow-up of pain assessment was performed in compliance with the SOP in 138 patients (87.4%), Thirteen patients (8.2%) were followed up using procedures that are not in compliance with the SOP while 7 patients (4.4%) were not followed up at all. Reevaluation after pain assessment follow up was performed in compliance with the SOP in 130 patients (82%) while the remaining 28 patients (18%) were reevaluated without using the SOP. It is concluded that most postoperative pain assessments and their follow-up are conducted in compliance with the Standard Operating Procedures. Key words: Po","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48979328","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Gambaran Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE) II, Lama Perawatan, dan Luaran Pasien di Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Tahun 2017","authors":"Bramantyo Pamugar, Erwin Pradian, I. Fuadi","doi":"10.15851/JAP.V6N3.1344","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N3.1344","url":null,"abstract":"Skor acute physiologic and chronic health evaluation (APACHE) II, lama perawatan, dan luaran pasien merupakan indikator penting di Intensive Care Unit (ICU). Ketiga indikator ini dapat berbeda dari satu dengan tempat lain. Ketiga indikator ini dapat dibandingkan di tempat lain untuk meningkatkan pelayanan ICU. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran skor APACHE II, lama perawatan, dan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 303 objek penelitian. Objek penelitian diambil di bagian rekam medis pada bulan April 2018. Penelitian ini memperoleh hasil skor APACHE II berkisar 0−56 dengan rerata 16,68, angka mortalitas sebesar 130 (42,3%), dan lama perawatan berkisar 2−79 hari dengan rerata 9,89 hari. Data skor APACHE II terhadap angka kematian berbeda dengan Amerika Serikat yang dapat dikarenakan perbedaan acuan prediksi mortalitas, underestimation derajat keparahan pasien cedera kepala, bias yang disebabkan oleh penatalaksanaan pasien pre-ICU, dan satu waktu pemeriksaan skor APACHE II. Kata kunci: APACHE II, ICU, lama perawatan, luaran pasien Overview of Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE) II, Length of Stay, and Patient Outcome in the Intensive Care Unit of Dr. Hasan Sadikin General Hospital in 2017 The APACHE II score, length of stay, and patient outcome are important indicators in Intensive Care Unit (ICU). Those indicators could be different from one place to another and can be compared to increase the quality of health services in ICU. The purpose of this study was to describe acute physiologic and chronic health evaluation (APACHE) II, length of stay, and mortality rate of patients at the ICU of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from January 1 to December 31, 2017. This was a retrospective descriptive observational study on 303 patient medical records. It was revealed that the APACHE score was ranging from 0−56 (mean =16.68); the mortality rate was 42.9% (n=130); and the length of stay was 2−79 days (mean 9.89 days). This suggests a gap in these indicators between Dr. Hasan Sadikin General Hospital and hospitals in the United States of America which may be due to differences in the the standard that is used to predict the mortality rate, underestimation of severity of head injury, treatment before admission to ICU, and single time assessment of APACHE II. Key words: APACHE II, ICU, length of stay, outcome","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42855515","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Gambaran Penggunaan, Obat, Teknik, dan Permasalahan yang Dihadapi pada Blokade Kaudal di Kota Bandung Tahun 2016","authors":"Handoyo Harsono, Doddy Tavianto, S. Suwarman","doi":"10.15851/JAP.V6N3.1487","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N3.1487","url":null,"abstract":"Penanganan nyeri pada pasien anak merupakan tantangan yang cukup besar bagi dokter spesialis anestesi. Blokade kaudal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang mudah dan sangat efektif sebagai analgetik pada anak yang menjalani operasi di bawah umbilikus. Data yang diperoleh dari Inggris dan Irlandia selama bulan April sampai dengan Juni 2008 menunjukkan bahwa penggunaan blokade kaudal masih rendah ( 61% ). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, obat, teknik, dan masalah yang dihadapi pada blokade kaudal di Kota Bandung. Penelitian dilakukan selama bulan Maret hingga April 2018. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada 70 dokter spesialis anestesi di kota Bandung yang direspons oleh 64 orang (78%) dengan mengembalikan kuesioner. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blokade kaudal pada tahun 2016 sebesar 55% . Blokade kaudal digunakan untuk kombinasi anestesi dan analgesik pascaoperasi pada 62% responden. Teknik yang digunakan dalam blokade kaudal ini adalah blind technique tanpa alat bantu. Obat yang paling sering digunakan adalah bupivakain (91%). Permasalahan yang dihadapi di Kota Bandung yang mengakibatkan rendahnya penggunaan blokade kaudal adalah keterbatasan waktu tindakan (20%) dan ketersediaan obat dan alat (23%). Kata kunci: Blokade kaudal, bupivakain, teknik buta Overview on Usage, Drug, Technique and Problems on Caudal Blockade Procedure in Bandung City on 2016 Pediatric pain management in pediatric is a big challenge for anesthesiologists. The caudal blockade is one of the easy and highly effective analgesic approaches for surgical procedure below umbilicus in children. Data from Ireland and United Kingdom show that the application of caudal blockade is relatively low (61%). The aim of this study was to explore the drug, technique, and challenges faced in caudal blockade application in Bandung City. This study was conducted from March to April 2018. This was a descriptive study using a questionnaire distributed to 70 anesthesiologist in Bandung city. The response rate was 77.65% (64 persons). This study found that 59.09% anesthesiologist had performed caudal block during 2016 which was used for anesthesia and post-operative analgesics by 61,54% respondents. Blind technique was used in this procedure without using additional equipment. The most frequently used was bupivacaine (97.44%). The low application of caudal block in Bandung during 2016 was caused by the limited time for the procedure (23.44%) and the availability of drug and equipment (23.44%). Key words: Caudal block, Bupivacaine, Blind technique","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45121217","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Sindrom Burnout pada Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran","authors":"D. Sutoyo, R. K. Kadarsah, Iwan Fuadi","doi":"10.15851/JAP.V6N3.1360","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N3.1360","url":null,"abstract":"Sindrom burnout didefinisikan sebagai kelelahan kronik yang mencakup tiga komponen, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya kepuasan terhadap pencapaian pribadi. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berisiko tinggi mengalami kelelahan dan sindrom burnout akibat beban kerja yang tinggi yang dihadapi baik dalam hal melakukan pelayanan dalam bidang anestesi dan beban dalam pendidikannya. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian sindrom burnout pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan pendekatan kuesioner yang dilakukan pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad yang masih aktif dan memberikan pelayanan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan April 2018 sebanyak 89 orang. Dilakukan penilaian menggunakan kuesioner yang mencakup data demografik, pendidikan dan pekerjaan, pencapaian prestasi pribadi, serta maslach burnout inventory yang sudah diterjemahkan. Hasil penelitian didapatkan angka kejadian sindrom burnout pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad adalah 44%. Simpulan penelitian ini adalah angka kejadian sindrom burnout pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad cukup tinggi, yaitu 44%. Kata kunci: Depersonalisasi, kelelahan emosional, maslach burnout inventory , peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif, sindrom burnout Burnout Syndrome among Anesthesiology Residents in Universitas Padjadjaran Burnout syndrome is defined as chronic exhaustion that is characterized by emotional exhaustion, depersonalization, and a sense of low professional accomplishment. The main component of this syndrome is emotional exhaustion. Residents who are being trained in anesthesiology and intensive therapy department have s high risk to exhaustion that will lead to burnout syndrome due to stressful environment and high work load in both medical service and medical education. The purpose of this study was to assess the incidence of burnout syndrome among residents in Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran. This was a cross-sectional descriptive study on 89 residents that was performed in April 2018. Assessment was performed using a questionnaire on demographic, education, personal achievement, and medical service data as well as the translated Maslach Burnout Inventory to reveal the incidence of burnout syndrome among residents of Anesthesiology and Intensive therapy department, faculty of medicine, Universitas Padjadjaran. From the analysis, it was discovered that 44% of the residents experienced burned out syndrom. In conclusion, the incident of burn out syndrome among residents of Anesthesiology and Intensive Therapy Department, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran is high. Key words: Anesthesiology and intensive care residents, burnout syndrome, deperson","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41884420","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Stephanus Andy Prakasa Kaligis, Ardana Tri Arianto, M. Thamrin
{"title":"Perbedaan Skala Nyeri antara Blok Pleksus Servikalis Superfisialis Levobupivakain dan Fentanil Intravena Pascaoperasi Mastoidektomi","authors":"Stephanus Andy Prakasa Kaligis, Ardana Tri Arianto, M. Thamrin","doi":"10.15851/JAP.V6N2.1224","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N2.1224","url":null,"abstract":"Penelitian tentang penggunaan blok pleksus servikalis superfisialis sebagai analgetik pascaoperasi mastoidektomi masih sangat terbatas baik di Indonesia maupun luar negeri. Tujuan penelitian mengetahui efektivitas blok pleksus servikalis superfisialis sebagai analgetik pascaoperasi mastoidektomi. Penelitian ini berdisain uji klinik acak tersamar tunggal pada 30 pasien yang dilakukan operasi mastoidektomi dan memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta periode Oktober 2017–Februari 2018. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok fentanil intravena, blok pleksus cervicalis superfisialis dengan levobupivakain, dan blok pleksus cervicalis superfisialis dengan salin. Semua pasien mendapatkan perlakuan anestesi umum sesuai standar dan dinilai skala nyeri berkala pascaoperasi. Selain itu, juga dinilai efek mual-muntah pascaoperasi, kebutuhan opioid selama operasi, dan efek samping tindakan blok. Skala nyeri pascaoperasi mulai jam ke-2 sampai ke-24 pada kelompok fentanil intravena (nyeri ringan 80–90%) dan levobupivakain (nyeri ringan 90–100%) lebih rendah dibanding dengan kelompok salin (nyeri ringan 10–50%; nyeri sedang 50–70%) (p<0,05). Pada kelompok salin bahkan terjadi nyeri berat sebanyak 40% pada jam ke-2. Skor PONV pada kelompok fentanil, levobupivakain, dan salin mayoritas mual ringan (60%; 40%; dan 50%). Tidak ada komplikasi yan g terjadi terkait blok pleksus servikalis superfisialis. Simpulan, tidak ada perbedaan skala nyeri yang bermakna antara blok pleksus servikalis superfisialis levobupivakain dan fentanil intravena pascaoperasi mastoidektomi. Kata kunci: Blok pleksus servikalis superfisialis, fentanil, levobupivakain, mastoidektomi Difference in Pain Scale between Levobupivacaine Superficial Cervical Plexus Block and Intravenous Fentanyl for Post-Post-Mastoidectomy Pain Research on the use of superficial cervical plexus block as an analgesic after mastoidectomy is still very limited both in Indonesia and abroad. The purpose of this study was to determine the efficacy of superficial cervical plexus block as an analgesics for post-post-mastoidectomy pain. This was a single blinded randomized clinical trial study performed on 30 patients underwent mastoidectomy who met the inclusion criteria in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta October 2017–February 2018. Subjects were divided into 3 groups: levobupivacaine block, saline block, and intravenous fentanyl groups. All patients received standard general anesthesia treatment and were evaluated periodically for the post-operative pain scale. The post-operative effects post-including nausea-vomiting, opioid need during surgery, and side effects of the block were also assessed. The pos-toperative pain scales 2 to 24 hours after surgery in the intravenous fentanyl (mild pain 80–90%) and levobupivacaine group (mild pain 90–100%) were lower than those in the saline group (mild pain 10–50%, moderate pain 50–70%) (p<0.05). In the saline group, severe pain was even identifi","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"67216340","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Mohammer Pasha, Achsanuddin Hanafie, Muhammad Ihsan
{"title":"Perbandingan antara Pemberian Diet Oral Dini dan Tunda terhadap Bising Usus Pascabedah Sesar dengan Anestesi Spinal","authors":"Mohammer Pasha, Achsanuddin Hanafie, Muhammad Ihsan","doi":"10.15851/JAP.V6N2.1422","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N2.1422","url":null,"abstract":"Inisiasi diet pascabedah masih merupakan kontroversi pada pasien pascabedah termasuk pada pasien pascabedah sesar. Penelitian ini bertujuan membandingkan waktu kembalinya fungsi gastrointestinal yang dilihat dari munculnya bising usus antara kelompok yang menerima diet oral dini dan diet oral tunda. Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dilakukan pada periode bulan April–Mei 2017 di RSUP Haji Adam Malik Medan, RS Universitas Sumatera Utara Medan, dan RSU Sundari Medan. Sebanyak 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi diamati waktu munculnya bising usus pascabedah sesar dan keluhan gastrointestinal yang muncul berupa mual, muntah, dan kembung. Dari 40 pasien tersebut, 20 subjek merupakan kelompok diet oral dini dan 20 subjek lagi merupakan kelompok diet oral tunda. Data dianalisis dengan menggunakan uji chi-square dan Mann-Whitney. Munculnya bising usus tidak berbeda signifikan (p>0,05) antara kedua kelompok dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal keluhan mual, muntah, dan kembung pascaoperasi antara kedua kelompok (p>0,05). Pemberian diet oral dini dapat diberikan 2 jam pascaoperasi bedah sesar tanpa penyulit dengan anestesi spinal tanpa keluhan gastrointestinal yang bermakna. Kata kunci: Anestesi spinal, bedah sesar, diet oral dini, diet oral tunda, keluhan gastrointestinal Comparison of Peristaltic Sound between Early and Late Oral Diet Administration in Post-Caesarean Section Post-with Spinal Anesthesia A controversy still exists for post-operative diet administration, including for post-post-post-caesarean section patients. The aim of this study was to compare the return of gastrointestinal function reflected by the peristaltic sound between groups receiving early oral diets and late oral diets. This was a double blind randomized controlled trial performed from April to May 2017 in Haji Adam Malik General Hospital Medan, North Sumatera University Hospital, Medan, and Sundari General Hospital, Medang on 40 patients who met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were observed to determine the time when bowel movement started as well as for gastrointestinal complaints. Of all 40sujects enrolled in this study, 20 were provided with early oral diet nd the remaining 20 subjects received late oral diet group. Data were then analyzed using chi-square and Mann-Whitney tesst The return of peristaltic sound was not significantly different between both groups (p>0.05). No significant difference found in the occurence of post-operative nausea, vomiting, and post-bloating between the two groups (p>0.05). Oral diet may be administered safely 2 hours after uncomplicated cesarean section under spinal anesthesia without any significant gastrointestinal complaint. Key words: Cesarean section, delayed oral diet, early oral diet, gastrointestinal complication, spinal anesthesia","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44289140","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Agus Fitri Atmoko, Dedi Fitri Yadi, Ezra Oktaliansah
{"title":"Perbandingan Blokade Kaudal Bupivakain 0,25% dengan Kombinasi Bupivakain 0,25% dan Klonidin 1 µg/kgBB terhadap Waktu Kebutuhan Analgesik Pascaoperasi Hipospadia","authors":"Agus Fitri Atmoko, Dedi Fitri Yadi, Ezra Oktaliansah","doi":"10.15851/JAP.V6N2.1271","DOIUrl":"https://doi.org/10.15851/JAP.V6N2.1271","url":null,"abstract":"Blokade kaudal merupakan salah satu blokade regional yang digunakan pada pediatrik. Teknik ini digunakan sebagai tata laksana nyeri pascaoperasi urogenital, rektal, inguinal, dan operasi ekstremitas bawah. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan waktu kebutuhan analgesik pascaoperasi hipospadia pada blokade kaudal bupivakain 0,25% dengan kombinasi bupivakain 0,25% dan klonidin 1 µg /kgBB. Penelitian menggunakan uji klinis acak terkontrol buta tunggal dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung bulan November 2017 sampai Januari 2018. Pasien dibagi menjadi grup bupivakain 0,25% (grup B, n=15) dan grup kombinasi bupivakain 0,25% klonidin 1 µg /kgBB (grup BK, n=15). Uji statistik menggunakan uji-t tidak berpasangan dan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian mengungkapkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama pada grup BK (766,46 ±75,34 menit) dibanding dengan grup B (344,4±59,46 menit) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan, kombinasi bupivakain 0,25% dan klonidin 1 µg /kgBB pada blokade kaudal menghasilkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama dibanding dengan bupivakain 0,25% pascaoperasi hipospadia. Kata kunci: Blokade kaudal, bupivakain, hipospadia, klonidin, waktu kebutuhan analgesik Comparison of Bupivacaine Caudal Blockade with Bupivacaine Clonidine Caudal Blockade to Timing of Post-operative Hypospadias Analgesic Requirement Caudal blockade was one of the regional blocks used in pediatrics. This technique was used as a post-operative pain management measure in urogenital, rectal, inguinal and lower extremity surgeries. The purpose of this study was to compare the first analgesic requirement between 0.25% bupivacaine caudal blockade and 0.25% bupivacaine and 1 µg/kgBW clonidine caudal blockade combination for post-operative hypospadia. The study used a single blind randomized control trial conducted at Dr. Hasan Sadikin General Hospital (RSHS) Bandung in the period of November 2017 to January 2018. Patients were divided into 0.25% bupivacaine group (B group, n=15) and 0.25% bupivacaine and 1 µg/kgBW clonidine combination group (BK group, n=15). Statistical test using unpaired t test and Mann Whitney test. Results revealed that the time of first analgesic requirement was longer in BK group (766.46±75.34 min) than in B group (344.4±59.46 min) with a significant difference (p<0.05). In conclusion, 0.25% bupivacaine and 1 µg/kgBW clonidine combination in caudal blockade resulting in a time analgesic requirement that is longer than 0.25% bupivacaine for post-operative hypospadias. Key words: Analgesic requirement time, bupivacaine, caudal blockade, clonidine, hypospadias","PeriodicalId":30635,"journal":{"name":"Jurnal Anestesi Perioperatif","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43646896","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}