{"title":"MUSIM BERBUNGA DAN BERBUAH JENIS-JENIS TANAMAN KOLEKSI SUKU ANNONACEAE DI KEBUN RAYA BOGOR","authors":"Tri Handayani","doi":"10.14203/BKR.V19I2.137","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I2.137","url":null,"abstract":"Anggota suku Annonaceae mempunyai potensi sebagai tanaman hias, tanaman pinggir jalan, bahan kosmetik dan parfum, obat tradisional serta insektisida. Untuk mengetahui potensi dan karakter pembungaan dan pembuahannya, maka diperlukan informasi tentang waktu berbunga dan berbuah suku Annonaceae. Sebanyak 40 jenis tanaman suku Annonaceae koleksi Kebun Raya Bogor telah diamati waktu berbunga dan berbuahnya selama tahun 2012-2014. Parameter yang diamati meliputi waktu berbunga dan berbuah, tipe pembungaan, pola pembungaan, pola pembuahan, kalender berbunga dan berbuah serta potensinya. Jumlah jenis yang berbunga dan berbuah setiap bulan mengalami fluktuasi, dimana jumlah jenis yang berbunga berkisar 29-35, sedangkan yang berbuah berkisar 21-28 jenis. Puncak pembungaan terjadi pada bulan Oktober-November, sebanyak 35 jenis berbunga. Puncak pembuahan terjadi pada bulan Desember, sebanyak 28 jenis berbuah. Tanaman yang berbunga melalui fase semi ada 16 jenis dan tanpa fase semi ada 24 jenis. Pola pembungaan ada yang 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali dan berbunga terus menerus. Pola pembuahan ada yang 2 kali, 3 kali, 4 kali, berbuah terus menerus dan tidak pernah berbuah. Terdapat 19 jenis yang berpotensi sebagai tanaman hias, 7 jenis untuk kosmetik dan parfum, 10 jenis untuk obat tradisional dan 1 jenis untuk insektisida.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-05-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130707051","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Aklimatisasi Dini Massa Protalus Tumbuhan Paku Bahan Obat (Cibotium Barometz (L.) J. Sm.) Hasil Kultur Spora in Vitro","authors":"Yupi Isnaini, T. N. Praptosuwiryo","doi":"10.14203/BKR.V19I2.183","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I2.183","url":null,"abstract":"Pakis emas, Cibotium barometz (L.) J. Sm (Cibotiaceae), merupakan salah satu komoditi ekspor penting untuk bahan obat tradisional maupun modern. Populasi C. barometz di beberapa negara telah menurun secara cepat karena eksploitasi berlebihan. Oleh karena itu jenis ini telah dimasukkan dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) sejak tahun 1976. Pusat Konservasi Tumbuhan–Kebun Raya berusaha keras untuk mengawetkannya secara situ dan telah memulai memperbanyak jenis ini melalui kultur spora secara i n vitro . Di dalam kondisi in vitro , pembentukan sporofit C. barometz dari kultur spora membutuhkan waktu cukup lama. Untuk mempercepat pembentukan sporofit maka kultur yang masih berupa massa protalus (gametofit) yang belum melahirkan sporofit dicoba untuk diaklimatisasi. Percobaan aklimatisasi dilakukan dalam 2 tahap. Pada tahap pertama, massa protalus berumur 8 bulan setelah semai diaklimatisasi pada 14 jenis media aklimatisasi dalam kotak plastik tembus cahaya. Pada percobaan tahap kedua, massa protalus berumur 15 bulan setelah semai diaklimatisasi pada 4 jenis media yang terbaik dari percobaan pertama, yaitu: (1) cacahan akar pakis Cyathea contaminans (APC); (2) APC: arang sekam padi (ASP) (1:1); (3) APC : cocopeat (CP) (1:1) dan (4) APC : ASP : CP (1:1:1), dalam sungkup kotak plastik bertutup plastik tembus cahaya. Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa media terbaik untuk aklimatisasi adalah media campuran cacahan akar pakis Cyathea contaminans , arang sekam padi dan cocopeat (1:1:1). Persentase massa protalus yang tumbuh dan berkembang pada media campuran ketiga bahan tersebut mencapai 80% dengan jumlah total sporofit yang terbentuk sebanyak 574.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"63 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-05-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126649535","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Marfu’ah Wardani, Inggit Puji Astuti, N. Heriyanto
{"title":"ANALISIS VEGETASI JENIS-JENIS DIPTEROCARPACEAE DI KAWASAN HUTAN SEKSI I WAY KANAN, TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS, LAMPUNG","authors":"Marfu’ah Wardani, Inggit Puji Astuti, N. Heriyanto","doi":"10.14203/bkr.v20i1.410","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/bkr.v20i1.410","url":null,"abstract":"The vegetation study Dipterocarpaceae trees in Way Kanan forest of Way Kambas National Park, Lampung conducted in September 2014. The aims of the study were to determine the structure, composition and vegetation of Dipterocarpaceae. The study was carried out using inventory by making 10 plots, with 20 x 20 m each plot. The results showed that trees diversity was found 31 species and covered by 18 families. Complete regeneration of the dominant species (present in each stratum) level of the tree is Eugenia sp. with IVI 24.91%, the level sapling and seedling Dipterocarpus gracilis with IVI respectively 35.95% and 15.65%. Association Shorea spp. with other tree species in the amount indicated by the index Ochiai, Koompassia malaccensis associated with Shorea spp. most strongly with Ochiai index 0.63, Eugenia sp. with Ochiai index 0.60 and Pterospermum diversifolium with Ochiai index 0.55. Keywords: Dipterocarpaceae, regeneration , Section I Way Kanan, Way Kambas National Park","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"85 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-01-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127029125","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KOMPOSISI, POLA SEBARAN DAN FAKTOR HABITAT NUNU PISANG (Ficus magnoliifolia) DI HUTAN PANGALE DESA TORO SULAWESI TENGAH","authors":"Hariany Siappa, A. Hikmat, A. Kartono","doi":"10.14203/BKR.V19I1.117","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I1.117","url":null,"abstract":"Nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) is an ecologically important species and also to meet community of Tribe Moma needs in the village of Toro, Central Sulawesi. The existence of ecological benefits and utilization has become an important aspect to conserve nunu pisang by knowing ecoogical aspects. This study aims to determine the composition of the vegetation, the distribution pattern and habitat factors of nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) in forest Pangale, fallow garden of Moma tribe more than 25 years. The method used in this study is a terraced path, that is then analyzed by vegetation analysis, the distribution pattern, diversity index, similarity index of communities, associations interspesies and habitat factors. The study from January to March 2015 showed that the majority of nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) found in the growth stage of tree because ficus magnoliifolia is a strangler which has 4 stages of growth, namely: epiphytes, hemiepifit, strangler and trees. At this stage of the growth of trees, nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) has clumped distribution patterns. nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) association with the other species is very low and low. Habitat factors that are important in the growth of the banana nunu is soil temperature, soil moisture and density of trees Nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) merupakan spesies yang penting secara ekologi dan juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Suku Moma di Desa Toro, Sulawesi Tengah. Adanya manfaat ekologi dan pemanfaatan ini menjadi aspek penting untuk melakukan konservasi nunu pisang dengan cara mengetahui aspek ekologi nunu pisang.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi vegetasi, pola sebaran dan faktor habitat nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) di hutan Pangale, yaitu kebun Suku Moma yang diberakan lebih dari 25 tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalur berpetak yang kemudian dianalisis dengan analisis vegetasi, pola sebaran, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan komunitas, asosiasi interspesies dan faktor habitat. Hasil penelitian yang dilakukan selama bulan Januari sampai dengan Maret 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) ditemukan pada tahap pertumbuhan pohon karena merupakan jenis ficus strangler yang memiliki 4 tahapan pertumbuhan yaitu: epifit, hemiepifit, pencekik dan pohon. Pada tahap pertumbuhan pohon, nunu pisang memiliki pola sebaran mengelompok. Asosiasi nunu pisang ( Ficus magnoliifolia ) dengan spesies lainnya adalah sangat rendah dan rendah. Faktor habitat yang penting dalam pertumbuhan nunu pisang adalah suhu tanah, kelembaban tanah dan kerapatan pohon.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"93 3","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-08-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"120866635","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tia Setiawati, A. Karuniawan, Titin Supriatun, Karyono Karyono
{"title":"PERSILANGAN INTERSPESIFIK Ipomoea batatas (L.) Lam. DENGAN Ipomoea trifida (H.B.K.) G. Don. BERUMBI ASAL CITATAH JAWA BARAT","authors":"Tia Setiawati, A. Karuniawan, Titin Supriatun, Karyono Karyono","doi":"10.14203/BKR.V19I1.112","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I1.112","url":null,"abstract":"Ipomoea trifida merupakan kerabat liar ubi jalar ( I. batatas ) yang sangat berpotensi sebagai sumber gen dalam pemuliaan untuk memperbaiki karakter daya hasil, kadar bahan kering, pati, protein, ketahanan terhadap hama, dan penyakit tertentu. Persilangan interspesifik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keragaman genetik dalam program pemuliaan tanaman, sehingga kajian mengenai persilangan interspesifik antara I. batatas dengan I. trifida menjadi sangat penting dilakukan. Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat kompatibilitas persilangan interspesifik Ipomoea batatas dengan kerabat liarnya I. trifida berumbi. Tetua betina yang digunakan adalah dua aksesi I. batatas yaitu aksesi 206 (cv. Cilembu) dan aksesi 217 (cv. eks-Jepang), sedangkan sebagai tetua jantan digunakan I. trifida berumbi aksesi 99 asal Citatah, Jawa Barat. Persilangan dilakukan pagi hari setelah dilakukan emaskulasi pada kuncup bunga sehari sebelumnya. Pengamatan dilakukan 25 hari setelah persilangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persilangan interspesifik I. batatas tetraploid (2n=4x=60) aksesi 206 (cv. Cilembu) dan aksesi 217 (eks Jepang) dengan kerabat liar I. trifida diploid (2n=2x=30) aksesi 99, memiliki tingkat keberhasilan yang rendah dengan persentase daya silang berturut-turut 6,67 % dan 9,76 % untuk kombinasi persilangan 206 x 99 dan 217 x 99; tingkat keguguran buah mencapai 93,33% dan 90,24%; jumlah biji yang dihasilkan sebanyak 12 dan 35 butir dengan daya kecambah berturut-turut 25% dan 17,14%. Hasil analisis kromosom F 1 menunjukkan semua tanaman F 1 bersifat triploid dengan jumlah kromosom 45 (2n=3x=45).","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"366 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-08-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115472219","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kartika Ning Tyas, Slamet Susanto, Iswari S. Dewi, Nurul Khumaida
{"title":"ORGANOGENESIS TUNAS SECARA LANGSUNG PADA PAMELO (Citrus maxima (Burm.) Merr.)","authors":"Kartika Ning Tyas, Slamet Susanto, Iswari S. Dewi, Nurul Khumaida","doi":"10.14203/BKR.V19I1.176","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I1.176","url":null,"abstract":"Konservasi in vitro pamelo ( Citrus maxima (Burm.) Merr.) memerlukan tunas in vitro sebagai eksplan. Tunas in vitro diperlukan dalam konservasi untuk mempermudah pemulihan dan penggunaannya setelah konservasi. Dua percobaan dilakukan untuk mendapatkan eksplan dan media yang efektif untuk memperoleh tunas in vitro pamelo secara langsung. Eksplan daun, akar dan epikotil diperoleh dari kecambah in vitro pamelo ‘Adas Duku’. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan media mengandung sitokinin dan auksin yang efektif dalam menginduksi tunas adventif. Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap. Media MS mengandung kombinasi BAP (0; 1; 2 ppm) dan NAA (0; 0,5; 1 ppm) digunakan sebagai perlakuan. Percobaan kedua dilakukan pada eksplan epikotil pamelo untuk mengetahui pengaruh posisi kultur pada pembentukan tunas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tunas dapat terbentuk secara langsung pada eksplan daun, akar dan epikotil. Eksplan daun hanya berespon di ruang gelap, yaitu sebanyak 5,55% dapat membentuk 1 tunas/eksplan di media MS + BAP 1 ppm. Eksplan akar hanya berespon di ruang terang, yaitu sebanyak 60% dapat membentuk 1 tunas/eksplan di media MS0. Eksplan epikotil yang dikultur horisontal dapat membentuk tunas secara langsung di ruang terang pada media MS0, yaitu sebanyak 30% dapat membentuk 1–2 tunas/eksplan, sedangkan di ruang gelap tunas terbentuk secara langsung di media MS0 dan MS + BAP 1 ppm, namun dengan penampilan tunas yang lemah karena etiolasi. Epikotil yang dikultur secara vertikal di ruang terang sebanyak 100% dapat menghasilkan 1–3 tunas/eksplan.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"317 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-08-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116164121","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PERKEMBANGAN BUNGA DAN UJI VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA LIPSTIK Aeschynanthus radicans var. ‘Monalisa’ DI KEBUN RAYA BOGOR Flower development and pollen viability of Aeschynanthus radicans var. ‘Monalisa’ at Bogor Botanical Garden","authors":"Siti Maria Ulfah, Dorly Dorly, Sri Rahayu","doi":"10.14203/BKR.V19I1.104","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I1.104","url":null,"abstract":"Aeschynanthus radicans var. ‘Monalisa’ dikenal dengan nama bunga lipstik , yang merupakan marga epifit dari suku Gesneriaceae . Tanaman ini mengalami dikogami jenis protandri. Pengetahuan mengenai viabilitas serbuk sari dari tanaman dikogami sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan persilangan. Penelitian ini bertujuan untuk me nentukan tahap-tahap perkembangan morfologi bunga A . radicans var. ‘Monalisa’ , viabilitas serbuk sari dengan uji pengecambahan in vitro dan uji pewarnaan, serta mempelajari korelasi viabilitas serbuk sari antara uji pengecambahan in vitro dengan uji pewarnaan. Tahapan dari inisiasi tunas bunga hingga mencapai a ntesis adalah 34-35 hari dan rata-rata masa gugur pada stadia H+12 dan H+13. Hasil penelitian pendahuluan pada stadia bunga H0 (antesis) memperoleh waktu optimum pengecambahan serbuk sari yaitu 8 jam untuk serbuk sari dari tangkai sari panjang dan 9 jam untuk serbuk sari dari tangkai sari pendek. Viabilitas serbuk sari tertinggi dalam media BK dijumpai pada stadia H+2 dari tangkai sari panjang dan tangkai sari pendek masing-masing yaitu 55.7% dan 56.7%. Uji pewarnaan dengan viabilitas serbuk sari tertinggi dijumpai pada stadia H+1 dari tangkai benang sari panjang dan tangkai benang sari pendek masing-masing 41.8% dan 48.0% dengan anilin blue 1%; serta 29.4% dan 27.2% dengan I 2 KI 1%. Viabilitas serbuk sari pada media BK dengan pewarna anilin blue 1% dan I 2 KI 1% berkorelasi positif. Aeschynanthus radicans var. ‘Monalisa’ also known as lipstick flowers, are epiphytic genus of the Gesneriaceae family. These plants experienced the protandri types of dichogamy. Knowledge of pollen viability from dichogamy plants is needed to increase the success rate of a crossover. This research aimed to determine the developmental stage of flower morphology A. radicans var. ‘Monalisa’, pollen viability with in vitro germination test and staining test, and the correlation of pollen viability between in vitro germination test and staining test. Length of the process from flower bud initiation until the formation of anthesis was 34-35 days and the average abscission period took place at stadia H+12 and H+13. The result of the preliminary study at the stadia H0 (anthesis) showed that pollen germination obtained its optimum time within 8 hours for the long filaments pollen and took 9 hours for the short filaments pollen. The highest pollen viability in BK media found at stadia H+2, which had the value for long filaments and short filamens 55.7% and 56.7% respectively. Staining test with the highest pollen viability found at the stadia H+1, with the value of long filaments and short filaments 41.8% and 48.0% respectively with 1% aniline blue; and 29.4% and 27.2% respectively with 1% I 2 KI. The pollen viability in BK media with 1% aniline blue and 1% I 2 KI were positively correlated.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"65 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-08-12","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124752739","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"UJI VIABILITAS POLEN PADA DUA SPESIES BELIMBING HUTAN ( Averrhoa dolichocarpa dan A. leucopetala )","authors":"Kapsah Kapsah, Dorly Dorly, Inggit Puji Astuti","doi":"10.14203/BKR.V19I2.107","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/BKR.V19I2.107","url":null,"abstract":"Wild starfruit Averrhoa dolichocarpa and A. leucopetala are new species reported. The aims of the research were to testing pollen viability at a day before anthesis (H -1 ) and at anthesis (H 0 ) stadia with germination in Brewbaker and Kwack (BK) and 10% sucrose media and staining test with 1% anilin blue and 1% I 2 KI. The optimum time for germination was 16 hours. Pollen viability in staining test results were higher than in germination test ie. 64.80% in BK medium, 54.60% in sukrosa, 88.60% in aniline blue dye and 88.50% in I 2 KI. BK medium showed a better result for germination test than 10% sucrose. In vitro viability germination test obtained the result that pollen viability value of wild starfruit at H 0 stadia was higher than pollen viability at H -1 stadia. While the result of staining test obtained that H -1 stadia was higher than at H 0 stadia. Long filament of Averrhoa dolichocarpa located on the slope had higher pollen viability than short filament. Filament factor in staining test was not significant. Pollen viability both in 10% sucrose to 1% aniline dye and 10% sucrose to 1% I 2 KI were negatively correlated. The correlation of pollen viability was not found either in BK medium and aniline dye blue or in BK medium and I 2 KI.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"41 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115567719","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"A REVIEW OF THE BIOLOGY OF RAFFLESIA: WHAT DO WE KNOW AND WHAT’S NEXT?","authors":"S. N. Hidayati, J. Walck","doi":"10.14203/bkr.v19i2.166","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/bkr.v19i2.166","url":null,"abstract":"A literature review was conducted to summarize information, particularly recently published, on the biology of Rafflesia . By far most of the recent papers on Rafflesia have named new species. Since 2002, ten species have been discovered in the Philippines compared to three species in Indonesia. Recent work also has explored phylogenetics (e.g. evolutionary history of the genus and of floral gigantism, horizontal transfer of genes and loss of the chloroplast genome) and anatomy (e.g. endophyte, flower development); other studies have focused on biochemistry. Unfortunately, we still know very little about the life cycle, biology and ecological relations of Rafflesia . Population declines have been noted as related to habitat destruction or natural disturbances but other times the cause(s) are unknown. Questions remain unanswered on its reproductive biology and on its population genetic structure and diversity. With changing climates, long-term population studies in relation to environmental parameters are needed for Rafflesia conservation.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"174 3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128987488","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Population Size of Two Endangered Vireya Rhododendron Species and Their Surrounding Vegetation on The Summit of the Mt. Rantemario, Sulawesi","authors":"W. Rahman, A. Rozak","doi":"10.14203/bkr.v19i1.122","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/bkr.v19i1.122","url":null,"abstract":"Five of 29 species of Rhododendron of Sulawesi are threatened and two of them have endangered status (EN D). Field work assessment conducted to measure the current population size of endangered R. eymae and R. nanophyton var. nanophyton . One hundred and forty plots (5x5 m 2 ) along seven transects were made around the summit of Mt. Rantemario (3,269-3,445 m asl.), South Sulawesi. The result found that there were 318 individuals of R. eymae and two individuals of R. nanophyton var. nanophyton within the plots. We also found that estimated population sizes of those two species have not meet with the criteria that previously stated (EN D). The proper status for both species were Vulnerable (VU D2). The reason behind were discussed. While, dominated shrubs and herbs on the summit area of Mt. Rantemario were Leptospermum javanicum Blume (IVI=37.08), Eriocaulon truncatum Buch.-Ham. ex Mart (IVI=34.83), and Styphelia suaveolens (Hook.f.) Warb. (IVI=24.63). The association of those three plants with the Rhododendrons were analysed.","PeriodicalId":274763,"journal":{"name":"Buletin Kebun Raya","volume":"101 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130512640","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}