{"title":"MENYOAL DISPARITAS PRODUK HAKIM PENGADILAN AGAMA ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM","authors":"Putri Ayu Maharani, Suryanto Siyo, Rizza Zia Agusty","doi":"10.35814/jlr.v1i2.2181","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/jlr.v1i2.2181","url":null,"abstract":"Diterbitkannya Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam yang ditujukan kepada Menteri Agama, sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa di peradilan agama diharapakan dapat menyatukan perbedaan mahzab sehingga produk hakim pengadilan agama lebih seragam. Sementara ada perbedaan persepsi bagi sebagian Hakim Pengadilan Agama yang menganggap bahwa Kompilasi Hukum Islam bukan merupakan Sumber Hukum Formil yang mengikat karena berdasarkan Inpres yang bukan peraturan di bawah kewenangan yudikatif. Hal ini tentu bertentangan dengan teori positivisme hukum yang dirintis Auguste Comte tentang kepastian hukum, akan tetapi sejalan dengan usaha untuk mencari keadilan masyarakat sesuai teori hukum progresif yang dikemukan oleh Satjipto. Jenis penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data sekunder melalui bahan hukum primer, sekunder, tersier dan untuk tambahan data dilakukan dengan wawancara hakim pengadilan agama. Hasil penelitian menunjukan penyebab utama terjadinya disparitas karena masih kuatnya pengaruh perbedaan mahzab masing-masing hakim, dan kebebasan hakim tidak dapat dibelenggu dalam mencari dan menemukan dasar hukum yang diyakini. Bagi para hakim Pengadilan Agama ada atau terjadinya disparitas putusan, bukan hal yang tabu, keliru atau menyesatkan, sepanjang putusan yang diambil tidak didasarkan atas paham private affair, dapat mewujudkan rasa keadilan masyarakat walaupun akan menciderai kepastian hukum.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"142 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123427075","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KAJIAN KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN TANAH (STUDI KASUS PUTUSAN No.14/PDT.G/2017/PN.Lht)","authors":"F. Lukman, Siska Riskiyanti","doi":"10.35814/jlr.v1i2.2180","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/jlr.v1i2.2180","url":null,"abstract":"Suatu objek tanah yang terletak di 2 wilayah desa akan menimbulkan permasalahan kewenangan desa mana yang dapat memberikan Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai dokumen pendukung dalam proses pendaftaran tanah, seperti yang terjadi pada kasus putusan PN Lahat No.14/PDT.G/2017/PN.Lht. Dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat ialah bagaimana pembuktian hak atas tanah bagi tanah yang belum terdaftar baik secara fiscal cadastre maupun rechtcadastre, bagaimana keabsahan dan kedudukan SKT yang digunakan untuk permohonan pendaftaran tanah berdasarkan undang-undang pokok agraria sebagai bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dan bagaimana ketentuan mengenai penetapan batas Desa Pagar Negara dengan Kelurahan Kota Baru yang digunakan sebagai dasar kewenangan desa dalam penerbitan SKT. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif. Sehingga, didapat simpulan bahwa pembuktian hak atas tanah bagi tanah yang belum terdaftar baik secara fiscal cadastre maupun rechtscadastre akan sulit dibuktikan selama belum dilakukan pendaftaran tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Pendaftaran Tanah 1997 terhadap hak atas tanah tersebut. Selanjutnya, keabsahan dan kedudukan SKT yang digunakan untuk permohonan pendaftaran tanah berdasarkan undang-undang pokok agraria sebagai bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah belum dapat dibuktikan karena SKT telah dikeluarkan oleh 2 wilayah berbeda yang batasbatas desanya belum jelas. Terakhir perihal ketentuan mengenai penetapan batas Desa Pagar Negara dengan Kelurahan Kota Baru yang digunakan sebagai dasar kewenangan desa dalam penerbitan SKT masih belum jelas sehingga menimbulkan ketidakjelasan wewenang dalam penerbitan SKT di Indonesia dan menyebabkan tujuan dari penetapan dan penegasan batas desa belum tercapai.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132473795","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN YANG DIBANGUN DI ATAS TANAH SEWA (KAJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN)","authors":"Yoelianto Yoelianto","doi":"10.35814/jlr.v1i2.2183","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/jlr.v1i2.2183","url":null,"abstract":"Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun melakukan terobosan bahwa pembangunan rumah susun dapat menggunakan barang milik negara berupa tanah dan pendayagunaan tanah wakaf dengan cara sewa. Pembangunan rumah susun dengan pemanfaatan barang milik negara/daerah dan pendayagunaan tanah wakaf harus memperhatikan peraturan perundang-undangan lain yang terkait, namun ironisnya sampai sekarang Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 belum dapat diterbitkan.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"27 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126561218","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PEMBUKTIAN KEJAHATAN ASAL (PREDICATE CRIME) TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PADA PELAKU PASIF (","authors":"Ronny Oktahandika","doi":"10.35814/jlr.v1i2.2184","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/jlr.v1i2.2184","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembuktian terhadap pelaku pasif dan untuk mengetahui gambaran mengenai dasar pertimbangan hukum hakim dalam membuat putusan pemidanaan terhadap pelaku pasif. Selain itu, juga untuk mengetahui problem yuridis yang kemungkinan terjadi dari diterapkannya sistem pembuktian terbalik terbatas dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang merupakan proses yang mana seseorang menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau pemakaian ilegal dari pendapatan, dan kemudian menyamarkan pendapatan tersebut untuk membuatnya tampak sah. Beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa ialah sebatas pada tahap persidangan dan terbatas pada pembuktian asal-usul harta kekayaan saja, sehingga sistem pembuktian ini dianggap tidak melanggar hak asasi manusia.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"13 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126073002","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG HIBAH, WASIAT DAN HIBAH WASIAT KAJIAN PUTUSAN NOMOR 0214/PDT.G/2017/PA.PBR","authors":"Alfia Raudhatul Jannah, Zaitun Abdullah, Ricca Anggraeni","doi":"10.35814/jlr.v1i2.2179","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/jlr.v1i2.2179","url":null,"abstract":"Abstrak Ketika seseorang meninggal dunia, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum harta peninggalan dibagikan antara lain adalah hibah, wasiat dan hibah wasiat. Namun ketiganya tidak harus selalu ada ketika pewaris meninggal dunia. Hibah sudah mulai berlaku saat pemberi hibah masih hidup sementara wasiat dan hibah wasiat baru akan berlaku setelah pewasiat atau pemberi hibah sudah meninggal dunia. Namun dalam beberapa kasus, pemberlakuan wasiat dan hibah wasiat terkadang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Seperti dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 0214/Pdt.G/2017/PA.Pbr. Dalam kasus ini, pewasiat menuliskan surat wasiat yang berisikan hibah dengan memberikan seluruh hartanya kepada salah seorang anaknya saja, padahal pewasiat belum meninggal dunia. Dengan demikian, peristiwa ini tidak dapat digolongkan sebagai wasiat atau hibah wasiat. Dapat disimpulkan, bahwa seharusnya surat wasiat tersebut dibatalkan karena tidak sejalan dengan ketentuan yang telah diatur dalam hukum Islam dan surat wasiat tersebut tidak termasuk kedalam golongan hibah, wasiat maupun hibah wasiat karena tidak memenuhi unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan sebagai hibah karena surat tersebut bertuliskan surat wasiat dan tidak juga dapat dikategorikan sebagai wasiat maupun hibah wasiat karena surat wasiat tersebut sudah dilaksanakan langsung setelah surat wasiat tersebut dibuat sementara pewasiat masih hidup.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129514202","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Keabsahan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Dibuat Terhadap Agunan Yang Masih Terikat Hak Tanggungan Untuk Kreditor Lain","authors":"Gilang Wisudha","doi":"10.35814/JLR.V1I1.39","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/JLR.V1I1.39","url":null,"abstract":"In the practice of granting and taking over interbank credit facilities, it could be done through the binding of collateral in the form of mortgage right. That process starts with issuing the power of attorney to impose mortgage right upon an object of mortgage for the old creditor. The assumption arises that the owner of the collateral does not have authority to sign such power of attorney without the prior written consent from the old holder of mortgage right. Another assumption is that in the implementation of burdening mortgage right with the power of attorney to impose mortgage right upon an object of mortgage is not in accordance with the law or legal procedure. This study examines how is the validity of the power of attorney to impose mortgage right upon an object of mortgage which is still bound to the collateral of credit facility to other creditors, and what is the basis for notary or the land deed officer in making the power of attorney to impose mortgage right upon an object of mortgage which is still bound to the collateral of credit facility to other creditors. This study uses normative legal research method and based on secondary data. Information collected by interview to some law practitioners and experts would be used to support the secondary data. There are different opinions regarding the validity of the power of attorney to impose mortgage right upon an object of mortgage which is still bound to the collateral of credit facility to other creditors because, until now, there is no act or legal regulation that explicitly regulates the terms and procedures as the standard for such kind of power of attorney.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"59 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130177616","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Peran Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional: Tinjauan Dari Perspektif Teori Sistem Hukum","authors":"Kikin Nopiandri","doi":"10.35814/jlr.v1i1.46","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/jlr.v1i1.46","url":null,"abstract":"Business activity becomes more complex whether its subjects, objects, or its model of transactions. That complexity then could cause the dispute between subjects in such business activity, furthermore when the subjects come from different law system background. Such condition need to be responded, and arbitration could become one of the suit mechanism to settle the dispute in business activity relationship. In Indonesia, regarding to arbitration mechanism, the Indonesian National Arbitration Board (BANI) had already been established under the Act Number 30 Year 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. This study focuses on how arbitration institution plays its role in international transaction dispute settlement. This study uses normative legal research method, and based on secondary data. As a legal structure, arbitration, when it plays its role as a body of mechanism in dispute settlement, it could give advantage to make dispute settlement easier or simpler rather than process of law through court mechanism. That is because the arbitration, such as BANI, implements the simple organizational structure principle, in which an organization has to become lean structure relatively, but still has many functions. Furthermore, both of arbitration institution and business entity have similarity in culture regarding to the spirit of work. When doing something, both of them tend to do it efficiently and effectively wheather from time or cost aspect.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"97 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126891106","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pembuktian Sederhana Dalam Putusan Pailit (Studi Kasus Perkara Nomor 515 K/PDT.SUS/2016)","authors":"Iwan Sidharta","doi":"10.35814/JLR.V1I1.43","DOIUrl":"https://doi.org/10.35814/JLR.V1I1.43","url":null,"abstract":"The interpretation of simple proofing in bankruptcy petition hearings is often interpreted differently, both by the panel of judges and experts. Those different interpretations affect such kind of legal uncertainty and injustice for litigant parties. To exam simple proofing matter, this study uses normative legal research method. Based on this study could be known that simple proofing process in bankruptcy petition cases is often interpreted differently by the panel of judges, whereas Article 8 paragraph (4) of the Bankruptcy Act and the Postponement of Debt Payment Obligations are clear enough wants to reach legal certainty, justice, and expediency. In the case of Decision Number 515 K/PDT.SUS/2016, the judges argued that the simple evidentiary requirements as proposed by the debtor bankruptcy petitioner are not simple, even though the bankruptcy petitioner has proven and postulate that there are 2 or more corporate creditors and salary arrears for employees whose value reaches Rp 3 billion as a proof of condition as according to Article 2 paragraph (1) of the Bankruptcy Act. The judges believes that salary payable to employees could make the proofing requirements not simple, while the Bankruptcy Act clearly states that if the debtor has two or more creditors and does not pay in full at least one debt that has matured and can be billed, debtor could be declared bankrupt by court decision, either upon his own application or because of the request from one or more of his creditors.","PeriodicalId":171443,"journal":{"name":"Jurnal Legal Reasoning","volume":"193 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132313242","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}