{"title":"KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UJI MATERI PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2018 TENTANG LARANGAN CALEG EKS KORUPTOR (Studi Putusan No: 46 P/HUM/2018)","authors":"Abdul Syukur Yakub, Auliya Khasanofa","doi":"10.31000/jhr.v7i2.2935","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/jhr.v7i2.2935","url":null,"abstract":"ABSTRAK Kewenangan Mahkamah Agung terhadap uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 20 tahun 2018 yang tertuang dalam putusan nomor 48 P/HUM/2018 telah memberi ruang bagi mantan koruptor (pelaku kejahatan luar biasa) untuk menjadi calon anggota legislatif. Penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris. Penelitian normatif membahas kaidah, doktrin dan asas hukum yang secara luas terdapat dalam ilmu hukum. Penelitian empiris dilakukan penulis sebagai dukungan terhadap pendekatan undang-undang yang umumnya bersifat normatif. Sehingga penelitian tidak menampilkan hukum dalam bentuk yang statis dan kontekstual, melainkan menyajikan fakta sebenarnya dalam penerapan hukum yang faktual. Data primer diperoleh langsung oleh penulis dari tempat yang menjadi objek penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh penulis dari kajian kepustakaan, bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data bersifat deskriptif dengan menerapkan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: Pertama, hakim harus keluar dari kekakuan hukum yang cenderung legisme, serta penafsiran gramatikal tanpa memahami rasa keadilan masyarakat luas. Kedua, harus dilakukan perubahan norma dalam undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terutama pasal 55 dan perubahan terhadap undang-undang pemilu yang mengatur pembatasan bagi mantan narapidana kejahatan luar biasa seperti: korupsi, narkotika, kekerasan terhadap anak. Kata Kunci: Kewenangan, Mahkamah Agung, Uji Materi Calon LegislatifABSTRACT The authority of the Supreme Court on the judicial review of the Election Commission Regulation number 20 of 2018 as stipulated in decision number 48 P / HUM / 2018 has given space for former corruptors (extraordinary criminals) to become candidates for legislative members. This research uses empirical normative legal research. Normative research discusses the rules, doctrines and principles of law that are widely contained in the science of law. The author's empirical research as support for the law approach is generally normative in nature. So that research does not display the law in a static and contextual form, but presents the actual facts in the application of factual law. Primary data obtained directly by the writer from the place that is the object of research. Whereas the secondary data were obtained by the writer from the literature study, primary, secondary and tertiary legal materials. Data analysis is descriptive by applying qualitative methods. The results showed that: First, judges must get out of the rigidity of the law that tends to legism, and grammatical interpretation without understanding the sense of justice of the wider community. Second, changes must be made to norms in law number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, especially article 55 and changes to the electoral law which regulates restrictions on ex-convicts of extraordinary crimes such as: corruption, narcotics, violence against children. Keywords: Autho","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"65 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134014717","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"RELEVANSI ALAT BUKTI INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA","authors":"A. Kadir","doi":"10.31000/JHR.V6I2.1442","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/JHR.V6I2.1442","url":null,"abstract":"Perkembangan teknologi informasi mengakibatkan perkembangan tindak pidana dalam hal dunia maya atau biasa disebut cyber crime. Permasalahan Relevansi alat bukti informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia dan perkembangan alat bukti informasi elektronik menjadi permaslahan yang diangkat dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada hukum positif yang berupa pengaturan perundang-undangan. Relevansi alat bukti informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah telah diakui dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Alat bukti informasi elektronik di Indonesia sebenarnya sudah diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang aman di dalamnya terkait dengan dokumen elektronik.Kata Kunci : Alat Bukti, Relevansi, Informasi Elektronik.","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"2017 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125742334","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN","authors":"Farida Nurun Nazah, H. Husnia","doi":"10.31000/jhr.v6i2.1525","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/jhr.v6i2.1525","url":null,"abstract":"Itsbat Nikah merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum dalam perkawinan karena menjamin kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak dan harta bersama. Status perkawinan dimaksud adalah aspek legalitas formil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut aturan yuridis, perkawinan yang tidak dicatatkan dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama selama praktek perkawinan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam yang lahir berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 menyatakan bahwa salah satu syarat dikabulkan Itsbat Nikah adalah adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun faktanya, hasil penelitian menemukan bahwa Pengadilan Agama lebih banyak mengabulkan Itsbat Nikah pasca disahkan Undang-Undang Perkawinan dari pada sebelum disahkan Undang-Undang Perkawinan. Penelitian ini hadir untuk memberikan pemahaman kepada msyarakat supaya tidak menyalahgunakan perlindungan hukum berupa Itsbat Nikah.Kata Kunci : Kepastian Hukum, Itsbat Nikah, Hukum Perkawinan","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"255 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131629730","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KENDALA PELAKSANAAN PEMBAYARAN KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN UU RI NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi Kasus Pada PT Pelayaran Nasional Indonesia(Persero))","authors":"Dauman Dauman","doi":"10.31000/JHR.V6I2.1443","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/JHR.V6I2.1443","url":null,"abstract":"Kata-kata Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu mimpi buruk khususnya bagi pekerja/buruh, sehingga setiap pekerja/buruh harus mengupayakan untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja yang tidak normal misalnya pekerja melakukan kesalahan, begitu juga pengusaha akan menjadikan permasalahan, minimal pembayaran kompensasi pemutusan hubungan kerja, bahkan bisa jadi sampai permasalahan hukum. Satu hal yang terpenting dari terjadinya pemutusan hubungan kerja adalah sejauhmana pekerja/buruh memperoleh hak-hak minimalnya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 156 ayat (1) UU RI No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembayaran kompensasi PHK yang dilaksanakan oleh kantor pusat PT PELNI belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, baik ketentuan maupun pelaksanaannya, Kantor pusat PT PELNI disamping berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan justru mayoritas masih menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Padahal dalam kedua Undang-Undang tersebut jelas berbeda dalam aturan masing-masing.Kata Kunci: Kompensasi pesangon, pemutusan hubungan kerja, pekerja.","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"53 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117138165","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PROSES PENDAFTARAN TANAH (AJUDIKASI) PADA KANTOR PERTANAHAN DI TINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH","authors":"Yusman Yusman","doi":"10.31000/jhr.v6i2.1444","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/jhr.v6i2.1444","url":null,"abstract":"Pendaftaran tanah pertama kali dilakukan secara sporadik dan secarasistematik. Pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin dan memberikankepastian hukum terhadap pemilik tanah. Fenomena yang terjadi pada praktekpendaftaran tanah menimbulkan permasalahan bagi pemilik tanah yang akanmelakukan pendaftaran tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Yang dapat dilaksanakan secara sporadik dan secara sistematik memberikan solusi kepada masyarakat untuk dapat menentukan salah satu pilihannya terhadap 2 jenis pendaftaran tanah tersebut.Dalam hal ini diharapkan pemilik tanah dapat memiliki bukti yang kuat terhadapkepemilikan tanahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik dan cara masyarakat melakukan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik serta untuk mengetahui faktor faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik dapat diajukan oleh pemegang haknya ataupun melalui kuasanya ke Kantor Pertanahan. Sedangkan cara masyarakat dalam melakukan pendaftaran tanah dilakukan secara sporadik dan sistematik. Bagi masyarakatyang melakukan pendaftaran tanah secara sporadik dapat dilakukan secara langsung oleh pemilik tanahnya ataupun melalui Kantor PPAT. Kata Kunci : Pendaftaran Tanah, Panitia. AbstractLand registration is first done sporadically and systematically. Land registration aims to guarantee and provide legal certainty to landowners. The phenomenon that occurs in the practice of land registration causes problems for landowners who will carry out land registration.Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration that can be carried out sporadically and systematically provides solutions to the community to be able to determine one of the options for the two types of land registration. In this case it is expected that landowners can have strong evidence against ownership of the land.The purpose of this research is to find out about the implementation of sporadic land registration for the first time and the way the community first registers land sporadically and to find out the supporting and inhibiting factors in the implementation of land registration, the first sporadic land registration can be submitted by the right holder or through their attorney to the Land Office. Whereas the community's way of registering land is done sporadically and systematically. For people who do sporadic land registration can be done directly by the land owner or through the PPAT Office. Keywords : Land Registration, Committe","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"49 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129883413","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KEWENANGAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN KOMEPETISI SEPAK BOLA DI INDONESIA (THE AUTHORITY AND ROLE OF GOVERNMENT IN THE ORGANIZING OF FOOTBALL COMPETITION IN INDONESIA)","authors":"Muhammad Zulhidayat","doi":"10.31000/jhr.v6i2.1446","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/jhr.v6i2.1446","url":null,"abstract":"Pada 30 Mei 2015, FIFA sebagai induk tertinggi dari organisasi sepakbola internasional menjatuhkan sanksi kepada PSSI. Ini terjadi karena FIFA menilai adanya intervensi oleh pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga. Statuta FIFA pasal 13 dan 17 memperjelas bahwa ia menolak segala bentuk intervensi oleh pemerintah, politisi, media, atau pihak ketiga lainnya. Di sisi lain, Kementerian Pemuda dan Olahraga juga diberi wewenang oleh hukum untuk mengatur kegiatan olahraga secara umum dalam lingkup Negara Indonesia. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, apa wewenang dan peran pemerintah dalam menyelenggarakan olahraga sepakbola profesional di Indonesia? Kedua, bagaimana penerapan kompetisi sepakbola di Indonesia dengan adanya Pembekuan PSSI? . Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Pemerintah tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dan ikut campur dalam menyelenggarakan kompetisi sepakbola profesional di Indonesia. Sementara itu, dengan pembekuan PSSI ini, otomatis menghentikan liga karena PSSI tidak dapat melakukan tugas dan fungsi untuk mengadakan kompetisi sepakbola profesional di Indonesia. Saran penulis dalam penelitian ini adalah Pemerintah harus optimal dalam memberikan layanan dan kenyamanan kepada PSSI dan PSSI harus transparan dalam menyelenggarakan kompetisi sepakbola profesional di Indonesia.Kata Kunci : Kewenangan, Pemerintah, PSSI AbstractOn May 30, 2015, FIFA as the supreme parent of international football organizations imposed sanctions on the PSSI. This happens because FIFA assess the existence of intervention by the government through the Ministry of Youth and Sports. The FIFA Statutes chapters 13 and 17 make it clear that it rejects any form of intervention by governments, politicians, media, or other third parties. On the other hand, the Ministry of Youth and Sports is also authorized by law to regulate sports activities generally within the scope of the State of Indonesia. The problems to be studied in this research are as follows: Firstly, what is the authority and role of the government in organizing professional football sport in Indonesia ?, Secondly, how is the implementation of football competition in Indonesia with the existence of PSSI Freezing ?. Research Methods in this paper using the method of normative juridical. The conclusion of this research is that the Government does not have the authority to intervene and interfere in organizing professional football competition in Indonesia. Meanwhile, with the freezing of this PSSI, automatically stop the league because PSSI can not perform the duties and functions to hold a professional football competition in Indonesia. The author's suggestion in this research is the Government must be optimal in providing services and convenience to PSSI and PSSI must be transparent in organizing professional football competition in Indonesia.Keywords:","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"25 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130798789","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"ANAMOLI KEWENANGAN: STUDI PENGATURAN JALAN UMUM DALAM KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI SUMATERA SELATAN","authors":"Ahmad Ahmad","doi":"10.31000/jhr.v6i2.1441","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/jhr.v6i2.1441","url":null,"abstract":"Adanya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan terkait dengan kewenangan mengatur penggunaan jalan umum untuk kegiatan pengangkutan batubara telah menjadi hal yang problematik bagi dunia usaha dan menarik untuk diteliti, dikaji secara mendalam agar ditemukan solusi penyelesaian atas adanya anomali kewenangan tersebut sehingga usaha pertambangan khususnya bagi pemegang ijin usaha pertambangan tidak mengalami kerugian karena adanya larangan menggunakan jalan umum untuk kegiatan pengangkutan batubara sebagaimana Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 5 Tahun 2011 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara dan peraturan pelaksananya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan pendekatan kasus. Adapun hasil penelitian yakni adanya larangan menggunakan jalan umum untuk kegiatan pengangkutan batubara oleh pemerintah provinsi Sumatera Selatan bersifat menyeluruh baik jalan nasional maupun jalan provinsi sehingga ketentuan tersebut bertentangan UU 38/2004 yang memberikan kewenangan pemerintah pusat untuk mengaturnya. Padahal UU 4/2009 membolehkan menggunakan sarana prasana umum untuk kegiatan pertambangan, serta adanya larangan dalam perda provinsi Sumsel tersebut bertentangan secara hirarkis sebagaimana yang ditentukan dalam UU 12/2011. Dampak lanjutan karena adanya larangan menggunakan jalan umum adalah dunia usaha dirugikan sehingga mengakibatkan adanya dualisme kewenangan yang tumpang tindih dalam pengaturan jalan padahal secara jelas UU 38/2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengatur jalan nasional bukan pemerintah provinsi, UU 4/2009 membolehkan untuk menggunakan jalan umum untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara serta secara hirarkis bertentangan dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga berakibat secara hukum, ekonomi maupun jaminan kepastian bagi dunia usaha secara khusus bagi pemegang ijin usaha pertambangan.Kata Kunci: Kewenangan, Jalan, mineral dan batubara, dunia usaha","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130671758","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"HUKUM ABORSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM","authors":"Nining Nining","doi":"10.31000/JHR.V6I2.1445","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/JHR.V6I2.1445","url":null,"abstract":"Aborsi adalah pengguguran seorang janin baik dilakukan sendiri ataupun orang lain oleh seorang perempuan atau seorang ibu. Dalam dunia kedokteran aborsi dibagi menjadi dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan (sengaja dan medis). Pandangan Syariat Islam secara umum mengharamkan praktik aborsi. Hal itu tidak diperbolehkan karena beberapa sebab, yaitu Syariat Islam datang dalam rangka menjaga Adhdharuriyyaat al-khams, aborsi sangat bertentangan sekali dengan tujuan utama pernikahan dan tindakan aborsi merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah SWT. Tindakan aborsi merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah. Seseorang akan menjumpai banyak diantara manusia yang melakukan aborsi karena didorong rasa takut akan ketidakmampuan untuk mengemban beban kehidupan, biaya pendidikan dan segala hal yang berkaitan dengan konseling dan pengurusan anak. Ini semua merupakan sikap buruk sangka terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang member rezekinya” Maka, Syariat Islam memandang bahwa hukum aborsi adalah haram kecuali beberapa kasus tertentu. Dalam kalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat tentang praktik aborsi tersebut, dan mereka memiliki dalil-dalil yang sama kuat, yaitu sebagai berikut:1)Dalil-dalil yang melarang dilakukannya aborsi sebelum Islam datang, pada masa jahilliyah, kaum Arab mempunyai tradisi mengubur hidup-hidup bayi yang baru dilahirkan. Allah SWT berfirman :“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa Apakah Dia dibunuh”. (At Takwir 8-9)Islam membawa ajaran yang menentang dan mengutuk tradisi jahiliyyah ini. Allah SWT berfirman : إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra:30) Kata Kunci : Hukum Aborsi, Perspektif Islam","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"241 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116138205","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PRAKTIK PENERAPAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 290 TAHUN 2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT) PADA PELAYANAN GAWAT DARURAT DI RUMAH SAKIT","authors":"Y. Wardani, M. Fakih","doi":"10.31000/jhr.v5i2.921","DOIUrl":"https://doi.org/10.31000/jhr.v5i2.921","url":null,"abstract":"Secara normal pelayanan medis di rumah sakit selalu diawali dengan sebuah persetujuan yang dituangkan dalam bentuk informed consent. Informed consent itu sendiri pada prinsipnya adalah persetujuan dari pasien dan keluarganya atas tindakan medis yang akan dilakukan setelah mendapatkan penjelasan dari dokter. Namun demikian dalam keadaan darurat informed consent secara hukum dapat ditiadakan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah, pertama: Bagaimana penerapan informed consent dalam praktek pelayanan kesehatan pada pasien gawat darurat di rumah sakit? Kedua, Apa yang menjadi hambatan dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit beserta aspek hukumnya? Ketiga, Bagaimana seyogyanya penerapan informed consent dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit? Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder maupun data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan dokumen, sedangkan data primer diperoleh melalui informasi dari para informan baik tenaga medis (dokter) dan perawat yang pernah bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan, bahwa penerapan informed consent pada pasien gawat darurat di rumah sakit, pada prinsipnya telah mengikuti peraturan yang berlaku. Namun demikian, masih timbul kekhawatiran di kalangan tenaga kesehatan bahwa tidak adanya informed consent akan menimbulkan tuntutan dari keluarga pasien. Hambatan pelayanan gawat darurat di IGD adalah pada umumnya keluarga pasien tidak memahami prosedur pelayanan medis di IGD yang mengenal sistem triase, adanya perluasan operasi (extended operation) yang mungkin timbul dan adanya teamwork yang kurang efektif. Penerapan informed consent dalam pelayanan gawat darurat di IGD secara yuridis mengandung makna adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaedah medis. Namun penyimpangan yang dimaksud merupakan pengecualian, bahwa penyimpangan tersebut tidak dikenakan sanksi dan dibenarkan secara hukum Kata kunci: informed consent, gawat darurat, tindakan medis","PeriodicalId":354406,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Replik","volume":"128 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126167254","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}