{"title":"Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Poligami Dikaitkan Dengan Sistem Hukum Perkawinan Indonesia","authors":"Ateng Sudibyo","doi":"10.29313/aktualita.v1i1.3708","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/aktualita.v1i1.3708","url":null,"abstract":"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, tetapi asas monogami tersebut tidaklah mutlak, namun pelaku poligami sering mengambil jalan pintas untuk bisa melegalkan perkawinannya. Oleh karena itu tindakan tersebut termasuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun ancaman sanksi pidananya hanya dimuat dalam Peraturan Pemerintah. Lain halnya di KUHP ancaman sanksi pidana poligami diatur dalam Pasal 279 KUHP. Kebijakan Aplikatif terhadap tindak pidana poligami, belum mencerminkan kepastian hukum. Hal ini dikarenakan sanksi pidana dalam Pasal 279 KUHP dan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 masih terdapat ketidaksinkronan hukum. Jika ditinjau dari asas lex specialis derogat legi generalis yang menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, merupakan aturan khusus yang berkenaan dengan tindak pidana poligami dan memiliki kekuatan untuk mengeyampingkan ketentuan pidana dalam Pasal 279 KUHP. Konsep kebijakan kriminal tindak pidana poligami masa yang akan datang seharusnya menerapkan asas ultimum remedium. Jika dilihat dari kebijakan kriminal, upaya penanggulangan tindak pidana poligami harus lebih ditekankan pada sarana non-penal.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"47 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134165114","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Penyerahan Gigi Manusia Sebagai Bahan Biologis Tersimpan Dalam Pendidikan Dan Penelitian Kedokteran Gigi","authors":"Anggra Yudha Ramadianto","doi":"10.29313/AKTUALITA.V1I1.3706","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/AKTUALITA.V1I1.3706","url":null,"abstract":"Sebagian besar sumbangan ilmu kesehatan merupakan hasil penelitian dan penerapannya. Bahan biologis yang berasal dari manusia sejak abad ke-19 telah dimanfaatkan dalam jumlah besar untuk pengajaran dan penelitian kesehatan. Pendidikan kedokteran gigi menggunakan Bahan Biologis Tersimpan (BBT) berupa gigi-gigi manusia untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Pada praktek di lapangan terjadi pelanggaran terhadap hak otonomi dan hak milik dari pasien sebagai pemilik organ tubuh berupa gigi-gigi asli yang digunakan di dalam pendidikan dan penelitian kedokteran gigi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami praktek penggunaan Bahan Biologis Tersimpan dalam pendidikan dan penelitian kedokteran gigi, dan aspek kepemilikan Bahan Biologis Tersimpan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian kedokteran gigi dengan pemiliknya, serta pengaturan hukum di masa yang akan datang terhadap penggunaan Bahan Biologis Tersimpan tanpa persetujuan pemiliknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan prosedur pengumpulan gigi asli belum sesuai dengan Suplemen I Pedoman Etik Pemanfaatan BBT dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak adanya kejelasan Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) mengenai pemanfaatan gigi-gigi tersebut sebagai BBT dan adanya komersialisasi organ tubuh. BBT gigi asli merupakan hak milik pasien sehingga hak milik pasien atas BBT gigi asli tersebut harus dilindungi oleh hukum. Bahwa hak milik pasien atas BBT gigi asli tersebut dilindungi oleh gugat Revindicatie yang diatur di dalam Pasal 574 KUH Perdata. Pemindahtanganan hak milik BBT gigi asli kepada pihak lain dapat dilakukan dengan cara penyerahan (levering). Dua pengaturan hukum di masa yang akan datang yang dapat dilakukan terkait penggunaan bahan biologis tersimpan tanpa persetujuan pemiliknya adalah berupa peraturan hukum mengenai pewasiatan organ tubuh jenazah untuk dimanfaatkan sebagai BBT dan peraturan hukum mengenai kewajiban pelaksanaan Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"356 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133692757","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Bergerak Yang Masih Terikat Fidusia Melalui Pejabat Lelang Kelas Ii Dalam Rangka Mewujudkan Kepastian Hukum","authors":"Khalidin Khalidin","doi":"10.29313/aktualita.v1i1.3718","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/aktualita.v1i1.3718","url":null,"abstract":"Lembaga lelang diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus, guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan lelang, dalam rangka memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dan kebutuhan dunia usaha pada umumnya, lelang termasuk perjanjian bernama (nominaat) diluar KUHPerdata, karena lelang mempunyai nama sendiri yaitu “lelang” (vendu reglement). Penelitian ini akan dilakukan tentang Perlindungan Hukum Kepada Pembeli Barang Bergerak terdaftar melalui Pejabat Lelang Kelas II dihubungkan dengan hak-hak pembeli. Bagaimanakah Tanggung Jawab Penjual, terhadap pembeli barang bergerak terdaftar yang tidak memperoleh hak-hak sebagai pembeli dihubungkan dengan kepastian hukum. Tanggung Jawab Pejabat Lelang Kelas II dalam melelang barang bergerak terdaftar, antara pemenang lelang dengan penjual. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif yang bersifat kualitatif. Bentuk penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan pertama, pembeli lelang terbukti beritikat baik, dengan mengiktuti prosedur dan mekanisme lelang dan juga membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak sesuai dengan Peraturan pemerintah nomor 1 tahun 2013, oleh karena Indonesia sebagai Negara hukum telah memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pembeli lelang, yang kewenangannya dijalankan oleh Pejabat lelang. Kedua, sebagai Negara hukum, Indonesia mengatur penjual bertanggung jawab terhadap barang miliknya yang akan dilelang guna memberikan jaminan kepastian hukum kepada pembeli, oleh karena itu Pejabat lelang pun tidak diberikan kewenangan untuk melelang barang-barang yang legalitasnya tidak sah, sebagaimana objek penelitian tersebut diatas. Untuk itu kiranya Penjual harus dibebani tanggung jawabnya guna memberikan ganti kerugian kepada pembeli barang lelang yang tidak dapat menguasai barang yang telah dibelinya dari lelang.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126699116","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perlindungan Hukum Pelaksana Imunisasi Dalam Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Di Kabupaten Sukabumi","authors":"Ahmad Juanda","doi":"10.29313/AKTUALITA.V1I1.3705","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/AKTUALITA.V1I1.3705","url":null,"abstract":"Imunisasi merupakan upaya preventif yang terbukti dapat menurunkan kesakitan, kecacatan dan kematian. Maka pemerintah mewajibkan pada masyarakat untuk mendapatkan imunisasi seperti yang dalam Permenkes nomor 42 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Segala aturan dan tatalaksana imunisasi sudah dibuat pemerintah tentang hak dan kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan imunisasi. Walaupun demikian sudah diatur sebaik mungkin tetapi permasalahan selalu saja ada bila terjadi Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) yang membuat para Pelaksana Imunisasi dalam melaksanakan tugasnya. Kewajiban dalam pelaksanaan imunisasi ini tentu saja tidak dapat dihindari oleh Pelaksana Imunisasi walaupun selalu dibayangi kekhawatiran akan resiko KIPI. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang perlindungan dan kebijakan hukum bagi Pelaksana Imunisasi dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Permenkes Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi di indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perangkat hukum yang disiapkan dalam penyelenggaraan imunisasi sudah cukup, tetapi kurangnya pemahaman hukum sering menimbulkan kekhawatiran akan terjadi KIPI, karena itu dalam pelaksanaan imunisasi hendaknya para pelaksana memahami resiko kesalahan dan kelalaian kerja, dan hal tersebut memerlukan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan imunisasi di Indonesia.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129421156","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Menanggulangi Tindak Pidana Narkotika Dihubungkan Dengan Tujuan Pemidanaan","authors":"Basuki Basuki","doi":"10.29313/AKTUALITA.V1I1.3710","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/AKTUALITA.V1I1.3710","url":null,"abstract":"Narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan secara rapi dan terorganisir. Untuk menanggulanginya negara menggunakan pidana mati. Namun demikian pidana mati yang selama ini diterapkan kepada bandar dan pengedar narkotika terus menimbulkan persoalan mengenai kontribusinya dalam mencapai tujuan pemidanaan terutama mengurangi angka tindak pidana narkotika secara nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi pidana mati dalam memberikan kontribusi penanggulangan tindak pidana narkotika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan dan penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika di masa yang akan datang untuk memberikan keadilan.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"15 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122500815","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengaturan Penggabungan Usaha (Merger) Bank Sebagai Upaya Peningkatan Kesehatan Bank Di Indonesia Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Nasional","authors":"Agus Prihartono Ps","doi":"10.29313/AKTUALITA.V1I1.3704","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/AKTUALITA.V1I1.3704","url":null,"abstract":"Memburuknya kondisi perbankan nasional pada masa orde baru memasuki fase reformasi salah satu penyebabnya adalah lemahnya struktur permodalan bank. Modal adalah dana yang diinvestasikan oleh pemilik dalam rangka pendirian badan usaha yang dimaksudkan untuk membiayai kegiatan usaha bank di samping memenuhi peraturan yang ditetapkan. Penguatan struktur permodalan menjadi salah satu alasanbank-bank kecil melakukan merger dan akuisisi. Penggabungan usaha (merger) bank sendiri bukan merupakan hal yang baru, penggabungan bank yang pernah dilakukan, tidak hanya untuk bank-bank swasta nasional, tetapi juga pada bank-bank pemerintah. Merger (penggabungan usaha) bank tidak selalu menghasilkan bank yang sehat. Pelaksanaan merger bank guna mencapai suatu sinergi tidaklah mudah, banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan (menghasilkan bank yang sehat), yaitu, mencari patner yang komplementer, sinergis dan mematuhi peraturan perundang-undangan.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134417715","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengaruh Disparitas Penjatuhan Pidana Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia","authors":"Irfan Ardiansyah","doi":"10.29313/aktualita.v1i1.3717","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/aktualita.v1i1.3717","url":null,"abstract":"Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim pada kasus tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan disparitas putusan pidana meliputi factor; perundang-undangan, pribadi hakim, dan lingkungan yang mencakup faktor politik dan ekonomi. Disparitas pidana tidak berpengaruh terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, dan konsep ideal agar tidak ada lagi disparitas pidana pada penjatuhan pidana tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan cara dibuatnya pedoman pemidanaan, mengkonstruksi kembali (rekonstruksi) pola pemikiran dan perilaku etik hakim, dan upaya untuk memutus perkara yang bebas tendensi.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"105 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121473587","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kedudukan Hutan Adat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/Puu-Ix/2012 Dan Hubungannya Dengan Pengelolaan Hutan Di Indonesia","authors":"B. Wiyono","doi":"10.29313/AKTUALITA.V1I1.3709","DOIUrl":"https://doi.org/10.29313/AKTUALITA.V1I1.3709","url":null,"abstract":"Pengakuan atas hutan adat dapat ditangguhkan apabila tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hutan adat harus dilihat sebagai hutan negara. Kebijakan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan seringkali dalam implementasinya tidak sesuai dengan harapan masyarakat, bahkan dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, kebijakan tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian kedudukan hutan adat setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 sebagai hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat dengan tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Kebijakan Pemerintah yang seharusnya dalam pengaturan hutan adat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 adalah sebagai berikut: Melakukan penetapan wilayah yang merupakan hutan adat terpisah dari pengelolaan hutan negara, dan ditunjuk sebagai daerah penyangga kawasan hutan negara; melakukan pengaturan masyarakat hukum adat melalui pemberdayaan masyarakat sesuai kearifan lokal; jenis tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi tetap dalam pengelolaan pemerintah kecuali untuk kepentingan acara adat; melakukan pembinaan dan bimbingan kepada masyarakat hukum adat tentang tata cara pemanfaatan hutan adat sesuai kearifan lokal.","PeriodicalId":349971,"journal":{"name":"Aktualita (Jurnal Hukum)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129534043","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}