{"title":"Perjanjian Investasi Bilateral: Self-Judging Sebagai Solusi?","authors":"Sakina Fakhriah, Ari Afriansyah","doi":"10.22437/up.v3i3.19436","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i3.19436","url":null,"abstract":"This article was prepared to formulate a strategy for formulating the drafting of exclusion clauses in bilateral investment treaties and legal policies that are in accordance with national security without violating international law. In its preparation, doctrinal legal research with legal objects is used which is conceptualized as a statutory rule based on the doctrine of positivism (normative juridical) schools. In the Discussion, it was found that Host Country has several options in implementing policies that put forward the national interest such as, asserting rights in agreements in good faith, including exceptions expressly, establishing definitions appropriately in agreements, mentioning special clause categories in agreements, conducting evaluations in a reasonable manner and self-judging. However, of the seven options already mentioned, self-judging is the most profitable option for host countries in implementing policies that orientate national interests. The self-judging clause is the choice of host country for two reasons. First, the clause gives the state discretion to unilaterally opt-out of international obligations and secondly, the evaluation of the elements for opt-out is not set out completely objectively from an external point of view, but only from the point of view of the state concerned.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125371342","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Beijing Treaty on Audiovisual Performances: Sudah Konsistenkah Hukum Indonesia Pasca Ratifikasi?","authors":"Tia Andiani, Retno Kusniati","doi":"10.22437/up.v3i2.17180","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i2.17180","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas komitmen Indonesia dalam memberikan kepastian hukum terhadap pertunjukan audiovisual di Indonesia. Artikel ini menyimpulkan bahwa belum ada konsistensi hukum Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum pertunjukan audiovisual performance yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2020 atas instrumen hukum internasional Beijing Treaty. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2020 tidak serta merta memberikan legitimasi untuk menerapkan kaidah tersebut ke dalam hukum nasional Indonesia. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengembangan hukum dengan membentuk atau merubah undang-undang hak cipta sesuai dengan substansi kewajiban negara dalam Beijing Treaty demi perlindungan semua pihak yang terlibat dalam pertunjukan audiovisual perfomance.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"15 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125322605","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Yustinus Stevanus Yanubi, Josina Augustina Yvonne Wattimena, J. S. F. Peilouw
{"title":"Eksistensi Takhta Suci Vatikan: Relevansinya terhadap Penundukan Diri Suatu Negara","authors":"Yustinus Stevanus Yanubi, Josina Augustina Yvonne Wattimena, J. S. F. Peilouw","doi":"10.22437/up.v3i2.18059","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i2.18059","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas mengenai eksistensi Takhta Suci dalam masyarakat internasional khususnya dalam hal spiritual keagamaan untuk melakukan penunjukan uskup sebagai bagian dari haknya sebagai subjek hukum internasional. Eksistensi Takhta Suci sebagai subjek hukum internasional diakui lewat pengakuan negara-negara terhadap keputusan penunjukan uskup oleh Paus. Keputusan penunjukan uskup oleh Paus pada dasarnya dapat membuat negara-negara melakukan penundukan diri. Hal itu tergambar dalam berbagai bentuk pengakuan oleh negara-negara seperti pengakuan hukum positif, pengakuan politik, dan pengakuan diam-diam. Dalam konteks kasus dengan pemerintah Tiongkok dapat diketahui bahwa Tiongkok telah melakukan pengakuan diam-diam terhadap wewenang Paus dalam menunjuk uskup. Sehingga dengan tegas dapat dikatakan pengakuan tersebut merupakan penghormatan terhadap hak Takhta Suci sesuai hukum internasional.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"23 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121492435","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Legitimasi Hukuman Mati: Perlukah Mandatory Consular Notification Antar Negara?","authors":"Lendra Fatriani, Bernard Sipahutar","doi":"10.22437/up.v3i2.17565","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i2.17565","url":null,"abstract":"Artikel ini mempertanyakan bagaimana praktik Mandatory Consular Notification yang diterapkan oleh Kerajaan Arab Saudi terhadap Indonesia dalam menyelamatkan tenaga kerja yang dijatuhi hukuman mati. Mandatory Consular Notification adalah hak untuk memperoleh informasi dan akses terkait perwakilan negara atas warga negaranya serta hak warga negara atas staf perwakilan negara. Ini merupakan pedoman utama dalam tata laksana hubungan internasional yang telah diatur di Pasal 36 dan Pasal 37 Konvensi Wina 1963. Dalam pelaksanaannya, Kerajaan Arab Saudi tidak melakukan Mandatory Consular Notification sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu Indonesia perlu memastikan upaya-upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerjanya dengan cara melakukan Memorandum of Understanding dengan Kerajaan Arab Saudi. Selain itu, Indonesia juga perlu mengupayakan langkah hukum lain khususnya dalam bentuk perjanjian agar tercipta kepastian hukum diantara negara pihak.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"215 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114973533","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengantin Pesanan (Mail-Brides Order): Solusi atau Pelanggaran HAM?","authors":"Defri Wim Khameswara, Budi Ardianto","doi":"10.22437/up.v3i2.17917","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i2.17917","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas mengenai tanggung jawab negara dalam menghapus praktik perdagangan orang. Salah satu bentuk praktik tersebut adalah mail-brides order. Kebijakan one child policy di Tiongkok menjadi salah satu penyebab. Sementara, adanya kesamaan budaya dan faktor ekonomi menjadikan Singkawang sebagai lokasi transaksi mail-brides order. Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia telah meratifikasi Protokol Palermo dengan membentuk Undang-Undang Nomor 14 tahun 2009 tentang Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi. Pelanggaran yang terjadi di Singkawang merupakan bentuk perdagangan orang yang menggunakan 2 cara menurut pasal 5 dan 6 dalam UU tersebut. Oleh karena itu, hal ini akan menjadi penghalang bagi penegak hukum dalam melacak dan memberantas kejahatan perdagangan orang, khususnya terhadap korban dibawah umur atau anak-anak.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"109 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129465856","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berada Di Wilayah Perang Menurut Konvensi Jenewa 1949 Dengan Protokol Tambahan 1977","authors":"Intan Amini, Dony Yusra Perbrianto","doi":"10.22437/up.v3i2.14475","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i2.14475","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas bagaimana perlindungan terhadap anak-anak yang berada di wilayah konflik bersenjata. Perlindungan anak telah diatur pada Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, International Convention on The Rights of Childs 1989, Optional Protocol on Involvent of Children in Armed Conflict 2000. Namun, para pihak yang berkonflik masih melanggar prinsip pembedaan, prinsip pembatasan, prinsip keseimbangan, dan prinsip perlindungan yang berlaku dalam hukum humaniter internasional. Padahal, Hukum Humaniter melarang penduduk sipil dijadikan sebagai objek kekerasan dan wajib diberikan perlindungan dari segala hal yang berkaitan dengan peperangan. Sedangkan kombatan dapat dijadikan objek kekerasan saat berperang tetapi tetap wajib diberikan perlindungan ketika menjadi tawanan perang. Sebagai bentuk tanggung jawab negara, maka sanksi pidana dan ganti rugi perlu diterapkan demi menjamin kepastian hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang menjadi korban menurut hukum humaniter.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122637494","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pemaksaan Perkawinan Berkedok Tradisi Budaya: Bagaimana Implementasi CEDAW terhadap Hukum Nasional dalam Melindungi Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan?","authors":"Junita Fanny Nainggolan, Ramlan Ramlan, Rahayu Repindowaty Harahap","doi":"10.22437/up.v3i1.15452","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i1.15452","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas mengenai implementasi CEDAW kedalam hukum nasional untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. Meski sudah puluhan tahun konvensi diratifikasi, namun dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan masih sering didiskriminasi. Salah satu bentuk diskriminasi di Indonesia masih berupa budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. Patriarki yang mendominasi budaya masyarakat menciptakan seksisme dan ketidaksetaraan gender yang mempengaruhi banyak aspek aktivitas manusia, salah satunya adalah masalah pernikahan. Di Indonesia, masih banyak perkawinan yang terjadi di Indonesia karena kawin paksa. Apalagi dilakukan dengan kedok tradisi yang telah mengalami pergeseran nilai budaya. Pilihan untuk menikah dan dengan siapa berkaitan erat dengan penentuan nasib sendiri yang telah diakui dalam Konvensi CEDAW. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di dalam Konvensi CEDAW, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikah, terlepas dari gender dan jenis kelamin orang tersebut. Namun, di dalam pengimplementasiannya ke dalam hukum nasional, pelaksanaannya masih bersifat diskiminatif dan belum terintegrasi.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"48 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125671538","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Yudi Dharmawan, Bernard Sipahutar, Mochammad Farisi
{"title":"Eksploitasi Awak Kapal Asing: Tanggung Jawab Negara Bendera terhadap ABK Indonesia di Kapal China Long Xing 629","authors":"Yudi Dharmawan, Bernard Sipahutar, Mochammad Farisi","doi":"10.22437/up.v3i1.14819","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i1.14819","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas tentang bagaimana bentuk perlindungan hukum dan tanggung jawab negara bendera terhadap awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing terhadap eksploitasi ditinjau dari Hukum Internasional. Artikel ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu metode yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Hasil pembahasan artikel ini menunjukan bahwa negara bendera wajib bertanggung jawab dengan melakukan penyelidikan terhadap kapal Long Xing 629 dan/atau perusahaan kapal tersebut. Jika terbukti terjadi pelanggaran HAM berupa eksploitasi terhadap awak kapal asal Indonesia, maka negara bendera harus mengadili para pelaku kejahatan yang dilakukan di atas kapal tersebut. Tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan karena perlindungan hukum bagi awak kapal asal yang bekerja di kapal asing tercantum dalam instrumen-instrumen hukum internasional yang bersifat umum maupun khusus. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada awak kapal juga disalurkan melalui organisasi-organisasi internasional seperti ILO yang khusus menangani isu-isu buruh internasional.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"109 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125518828","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Urgensi Larangan Penggunaan Senjata Kimia di Suriah menurut The Chemical Weapon Convention 1993","authors":"Arisa Ananda, Retno Kusniati","doi":"10.22437/up.v3i1.15449","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i1.15449","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan The Chemical Weapons Convention 1993 “CWC” dalam larangan Penggunaan Senjata Kimia dan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan korban terhadap dampak penggunaan senjata kimia di Suriah. Metode penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan The Chemical Weapons Convention 1993 “CWC” dalam larangan penggunaan senjata kimia bahwa pelanggaran Suriah terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Hukum Humaniter Internasional dan penyelesaian yang dilakukan oleh OPCW dan PBB dalam kerja sama mereka yang diselesaikan hanya sebatas pemusnahan senjata yang dimiliki oleh Suriah lagi-lagi tidak ditemukannya pemberian sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Perlindungan korban terhadap dampak penggunaan senjata kimia di Suriah dilakukan menurut Konvensi Jenewa 1949 berdasarkan Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949 yaitu Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"49 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127813581","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pelanggaran Prinsip Kemanusiaan terhadap Tawanan Perang di Penjara Abu Ghraib Ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949","authors":"Zuhri Triansyah, Maratun Saadah","doi":"10.22437/up.v3i1.14776","DOIUrl":"https://doi.org/10.22437/up.v3i1.14776","url":null,"abstract":"This article discusses forms of legal responsibility regarding violations of humanitarian principles in humanitarian law against the treatment of prisoners of war in Abu Ghraib prison in terms of the Geneva convention of 1949. Legal liability is an obligation that arises from violations committed by individuals or the state because they are considered contrary to the law or conventions. applicable. This article uses a normative juridical method with the main source being legal materials containing normative legal rules. The results of the discussion of this article show that the principle of state responsibility related to human rights violations is realized by taking legal action against individual perpetrators and providing compensation to victims and is regulated in the Geneva Conventions. Second, the United States is responsible for the provisions stipulated in the Geneva Conventions of 1949 concerning violations of humanitarian principles by bringing to justice the perpetrators who have violated humanitarian principles through the United States military court.","PeriodicalId":336517,"journal":{"name":"Uti Possidetis: Journal of International Law","volume":"61 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-02-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116276988","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}