{"title":"Gender Equality and Social Inclusion (GESI) Pada Dua Sekolah Inklusi Di Ponorogo","authors":"Evi Muafiah, A. Puspita, V. Damayanti","doi":"10.14421/MUSAWA.2020.192.141-156","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/MUSAWA.2020.192.141-156","url":null,"abstract":"Sekolah Luar Biasa (SLB) yang didirikan untuk membantu Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam mengakses pendidikan, ternyata di sisi lain menjadikan anak-anak ini terkelompokkan berdasar pada kategorisasi kekhususannya, sehingga mereka menjadi eksklusif. Hal ini berbeda dengan pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan kepada semua anak untuk belajar bersama-sama di sekolah umum. Kesempatan belajar tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan keragaman dan kebutuhan serta peran gender masing-masing individu. Paperini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran bernuansa Gender Equality and Social Inclusion ( GESI)di sekolah inklusi di Ponorogo. Analisis difokuskan pada aspek akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam pembelajaran di sekolah tersebut. Tahapan paperdimulai dari pengumpulan data (observasi, wawancara, dan dokumentasi), analisis data yang meliputi tahapan reduksi data, paparan data dan verifikasi data serta penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran bernuansa GESI diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kemampuan siswa yang beragam terutama pada siswa berkebutuhan khusus dan tanpa membeda-bedakan antara peran laki-laki dan perempuan.[The Special School (SLB), which was established to assist Children with Special Needs (ABK) in accessing education, in fact makes these children were grouped into their specificity so that they become exclusive. This is different with inclusive education, which provides opportunities for all children to learn together in public schools. These learning opportunities are implemented by considering each individual’s diversity and needs and gender roles. This study aims to describe learning process with Gender Equality and Social Inclusion (GESI) in inclusive schools in Ponorogo. The analysis focuses on access, participation, control, and benefits in learning at the school. The research stages began with data collection (observation, interviews, and documentation), data analysis that included data reduction, data exposure, data verification, and conclusion. The study results that GESI-style learning is applied in learning by paying attention to students’ various needs and abilities, especially students with special needs, without differentiating between men’s and women’s roles.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"32 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-03-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66962857","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Status Hukum Khitan Perempuan (Perdebatan Pandangan Ulama dan Permenkes RI No.1636/MENKES/PER/XI/2010)","authors":"Aisyatul Azizah","doi":"10.14421/MUSAWA.2020.%X","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/MUSAWA.2020.%X","url":null,"abstract":"Khitan bagi laki-laki adalah wajib. Hal ini berbeda dengan khitan perempuan. Permasalahan ini menuai kontroversi baik terkait praktik dan status hukum. Polemik besar bergulir pasca Majelis Ulama Indonesia (MUI) berfatwa No. 9A tahun 2008. Legal himbauan ini mengatur pelarangan khitan terhadap perempuan. Pelarangan juga dimaklumatkan WHO (World Health Organitation), badan kesehatan dunia ini mengungkapkan dampak negatif pada praktik khitan perempuan. Data 140 juta perempuan mengalami pendarahan, gangguan buang air kecil, kista, dan kemandulan akibat berkhitan. LSM kemudian memvonis khitan perempuan berbahaya. Larangan tanpa tegas pada khitan perempuan juga diterbitkan kementerian Kesehatan yang membatalkan Permenkes Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 dengan Permenkes Nomor 6 Tahun 2014. Hal ini menjadikan aturan khitan perempuan kurang jelas dimasyarakat. Dalam status Hukum Positif dan agama,tidak ada pelarangan maupun penganjuran secara mutlak. Namun demikian, khitan perempuan merupakan tradisi yangdipercaya sebagai penyempurna agama dalamajaran pada prilaku kesopanan. Di Indonesia, khitan perempuan dirayakan khusus dan sebagai argumen pelestarian adat dan budaya.[Circumcision for men is mandatory in Islamic Syari’ah. It is different from female circumcision. The issue is reaping controversy both practice and legal status. Public polemics is one reason in the Indonesian Ulema Council (MUI) fatwa No. 9A of 2008. The law stipulates the prohibition of female circumcision. The prohibition is announced by the WHO (World Health Organization), the world health agency that reveals negative things in female circumcision. Data on 140 million women experienced bleeding, urination problems, cysts, and infertility due to circumcision. NGOs is the next convicted female circumcision as a dangerous practice. Health Ministry also published an unequivocal prohibition on female circumcision, which canceled the Ministry rule (Permenkes) No. 1636 / MENKES / PER / XI / 2010 with Permenkes No. 6/2014. It makes the concept of rules for female circumcision less clear in society. In the status of positive law and religion, there is no absolute prohibition or recommendation. However, female circumcision is a culture believed as a religious accomplishment to make polite women. In Indonesia, female circumcision is special celebrations and argument for the preservation of tradition and culture.] ","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-01-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66962820","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Proposing Feminist Intepretation of The Qur'an and Affirmative Policy to Suport Women Leadership In Indonesian State Islamic Higher Education","authors":"N. Nurmila","doi":"10.14421/MUSAWA.2020.192.125-140","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/MUSAWA.2020.192.125-140","url":null,"abstract":"Religion can be supportive or discriminative toward women depending on how we interpret religion. When religion is interpreted from patriarchal lenses, it tends to be discriminative toward women, such as in the case of women leadership. This paper will challenge the existing mainstream patriarchal interpretation of the Qur’an on women leadership by offering new feminist interpretation of the Qur’an which is friendly to women and suggesting affirmative policy to increase the number of women leaders in State Islamic Higher Education (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri/PTKIN). This paper uses feminist methodology by using interview and literature studies as methods of data collection. This study shows that leadership in PTKIN is still dominated by men due to the strong patriarchal culture. There are only seven female rectors out of 58 PTKIN in Indonesia. Based on this finding, the new interpretation of the Qur’an which is friendly to women needs to be promoted and the existing gender-neutral policy on the selection of rector in PTKIN needs to be revised into affirmative policy to allow more rooms for women’s leadership to achieve Planet 50-50 by 2030. [Agama itu bisa bersifat mendukung atau diskriminatif terhadap perempuan tergantung pada bagaimana kita menafsirkan agama, misalnya dalam hal kepemimpinan perempuan. Artikel ini akan mengkritisi penafsiran Al-Qur’an tentang kepemimpinan perempuan yang ada yang pada umumnya bersifat patriarki dengan menawarkan penafsiran feminis yang baru tentang Al-Qur’an, yang ramah terhadap perempuan, dan dengan menyarankan adanya kebijakan afirmatif untuk meningkatkan jumlah pemimpin perempuan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Artikel ini menggunakan metodologi feminis dengan menggunakan wawancara dan studi literatur sebagai metode pencari data. Penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di PTKIN masih didominasi oleh laki-laki karena masih kuatnya budaya patriarki. Hanya ada tujuh rector perempuan pada 58 PTKIN di Indonesia. Berdasarkan penemuan ini, penafsiran baru tentang Al-Qur’an yang ramah terhadap perempuan perlu dipromosikan dan kebijkan yang netral gender yang ada sekarang ini tentang seleksi rector di PTKIN perlu direvisi menjadi kebijakan afirmatif untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi kepemimpinan perempuan, agar dapat mencapai Planet 50-50 pada tahun 2030.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-11-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48001781","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Implementasi Uqubat Cambuk Terhadap Wanita Hamil (Penelitian di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Banda Aceh dan Kejaksaan Aceh Besar)","authors":"Dikha Savana, Mohd. Din, Ali Abu Bakar","doi":"10.14421/musawa.2019.182.183-199","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.182.183-199","url":null,"abstract":"Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat adalah hukum positif yang berlaku di Propinsi Aceh. Salah satu yang menarik dalam penelitian ini adalah pelaksanaan hukum uqubat, yaitu hukum cambuk bagi wanita hamil yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa implementasi, menjelaskan kendala dan hambatan implementasi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, terhadap pelaku jarimah yang hamil. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian menunjukan bahwa implementasi pelaksanaan ‘uqubat bagi wanita hamil tidak dapat dilaksanakan,karena beberapa hal, antara lain sesuai dengan ketentuan pada Pasal 26 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 masa penahanan hanya 30 hari. Sementara itu belum ada aturan yang lebih khusus dalam hal pemeriksaan bahwa terdakwa terbukti hamil, berupa surat atau alat bukti petunjuk dari ahli (dokter) yang berupa USG, yang menjadi pertimbangan hakim dalam penundaan eksekusi cambuk tersebut. Untuk itu perlu adanya kajian yang lebih komprehensif terhadap pelaksanaan ‘uqubat cambuk khusunya aturan yang mengatur lebih lanjut tentang ‘uqubat cambuk bagi wanita yang sedang hamil dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat.[Qanun ACEH Number 6 year 2014 about Jinayat and Qanun ACEH Law number 7 year 2013 about Jinayat event law is a positive law in Aceh province. One of the interesting thing in this study is the implementation of the law Uqubat, a law of whip for pregnant women who have had a fixed legal force. The purpose of this research is to know and analyze the implementation, explaining the constraints and obstacles to implement ACEH Qanun Number 6 year 2014 about Jinayat law, to the perpetrator of the pregnant jarimah. By using qualitative method, research indicates that implementation of ‘ Uqubat for pregnant women can not be implemented, because several things, among others , according to the provisions of article 26 Qanun number 7 year 2013, the detention period is only 30 days. Meanwhile, there is no specific rules in the case of the examination that the defendant proved to be pregnant, in the form of a letter or a means of evidence from USG, as the proof for the judge to consider the (delayed) execution of the whip. Thus, it is necessary to have a more comprehensive study on the implementation of the ‘Uqubat whip especially the rules that govern more about ‘Uqubat whip for women who are pregnant in Qanun number 6 year 2014 about Jinayat.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"38 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66962734","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perempuan Dalam Perkawinan Samin: Perlindungan Budaya Versus Hukum Positif","authors":"Moh. Rosyid","doi":"10.14421/musawa.2019.182.149-159","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.182.149-159","url":null,"abstract":"Tujuan ditulisnya naskah ini untuk mendeskripsikan keteguhan warga Samin mempertahankan model perkawinannya sebagai wujud ketaatan melaksanakan ajaran leluhurnya, Ki Samin Surosentiko. Kekhasan perkawinannya berhadapan dengan perundangan karena perkawinan tidak dicatatkan, sehingga pasangan tidak memiliki akta kawin. Bagi sebagian warga Samin di Kudus, melestarikan tradisi model perkawinan ini lebih diutamakan daripada mentaati UU Perkawinan dan Administrasi Kependudukan. Perkawinan yang tidak dicatatkan tentu saja, memiliki dampak yang signifikan, khususnya pada perempuan jika terjadi perceraian. Namun demikian, sekarang sudah ada upaya sebagian warga Samin menambah tatacara perkawinannya yang semula tidak dicatatkan di Kantor Dukcapil menjadi dicatatkan dengan tujuan mendapat akta kawin, status anak dalam akta lahirnya tercatat sebagai anak yang sah.[This article is based on research carried out among Samin community’s in Kudus and their consistency to keep marriage tradition based on their ancestor’s teaching, Ki Samin Surosentiko. According to this tradition, it is not necessary for a spouse to register their marriage because it is not mentioned in their teachings. Consequently they don’t have marriage certificate. For most of Samin society in Kudus, preserving the tradition is more important than following Marriage Law or the state’s regulation. Though there are now efforts of some residents to register their marriage in order to get married certificate or marriage law status and legitimated status of their children, most of marriages of Samin society in Kudus remain unregistered because it adheres to Ki Samin’s teaching. The data obtained by interviews, observations, and documentation with a qualitative descriptive approach.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66963118","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Mewujudkan Gender Equality Melalui Pengembangan Industri Rumahan Perempuan","authors":"Novita Tresiana, Noverman Duadji","doi":"10.14421/musawa.2019.182.119-131","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.182.119-131","url":null,"abstract":"Artikel ini fokus pada kebijakan industri rumahan guna mewujudkan produktivitas ekonomi perempuan pelaku industri rumahan dan model ideal ketercapaian gender equality perempuan bidang ekonomi. Dalam hal ini perlu kebijakan baru dalam peningkatan produktivitas ekonomi perempuan sebagai bentuk demokrasi ekonomi dan keadilan gender (gender equality). Metode survei dan analisis kebijakan digunakan untuk pemetaan dan elaborasi potensi, peluang, tantangan hambatan dan kelemahan sebagai landasan rekomendasi model dan desain kebijakan. Tulisan ini menunjukkan kebijakan industri rumahan mampu mengembangkan potensi diri perempuan sehingga memungkinkan mereka memanfaatkan kesempatan yang sama dalam pembangunan. Rancangan model kebijakan rintisan klaster dengan melibatkan peran triple helix merupakan model ideal untuk mengembangkan industri rumahan dan ketercapaian gender equality. Tipologi klaster yang belum dewasa (rintisan) memerlukan keterlibatan peran triple helix dalam hal ini bukan saja pemerintah daerah, tetapi perguruan tinggi dan bisnis. Peran triple helix difokuskan pada penguatan kebijakan lokal, sarana prasarana, pembangunan kapasitas masyarakat dan pengembangan inovasi produk, dan pemasaran.[This article focuses on the policies of the home industry in order to realize the economic productivity of women in the home industry and the ideal model for the achievement of gender equality in the economy. In this case, new policies are needed to increase women’s economic productivity as a form of economic democracy and gender equality. The survey and policy analysis method is used for mapping and elaborating the potentials, opportunities, challenges and constraints as a basis for recommending models and policy designs. This paper shows that home industry policies are able to develop women’s potential to enable them to take advantage of the same opportunities in development. The design of a cluster pilot policy model which involves the role of the triple helix is an ideal model for developing a home industry and achieving gender equality. The typology of immature clusters (pioneering) requires the involvement of the role of the triple helix, not only the local government, but also universities and business. The role of the triple helix is focused on strengthening local policies, infrastructure, community capacity building and product innovation development, and marketing.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"37 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66962962","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Intrepretasi Kontekstual Ahmad Syafi’i Ma’arif Atas Peran Perempuan di Ruang Publik dalam QS. An-Nisa: 34","authors":"M. Alwi","doi":"10.14421/musawa.2019.182.105-117","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.182.105-117","url":null,"abstract":"Artikel ini bertujuan untuk mendialogkan pemahaman Ahmad Syafi’i Ma’arif, seorang negarawan dan agamawan di Indonesia kontemporer, atas QS. an-Nisa: 34 dengan diskursus kesetaraan gender dalam mengkontekstualisasikan ajaran Islam di Indonesia, termasuk peran perempuan di ruang publik. Letak penting pemahaman Ahmad Syaf’i Ma’arif adalah kemampuannya dalam memberi sikap tengah, tidak konservatif dan tidak juga liberal, dalam mengemukakan spirit kepemimpinan perempuan menurut Islam dan Negara. Syafi’i Maarif menilai wacana konteks antara Arab-Indonesia tidak dapat diabaikan ketika pembaca teks hendak memahami kandungan QS. an-Nisa: 34. Perempuan Arab memiliki ruang dan dinamikanya sendiri, yang berbeda dengan perempuan di Indonesia, sehingga konteks ini berpengaruh dalam memahami al-Qur’an. Catatan kesetaraan gender Syafii Maarif adalah ada keadaan tertentu, seperti mengandung dan melahirkan, yang hanya dilakukan oleh perempuan. Upaya Ahmad Syafii Maarif dalam mengkontekstualisasikan QS. an-Nisa: 34 adalah kerja penting atas pembumian al-Qur’an sebagai pedoman (QS. al-Baqarah: 2 dan 185) ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga Islam yang rahmatan lil alamin dapat dirasakan dari segi pengangkatan peran perempuan di ruang publik.[This article aims to provide understanding of Ahmad Syafi’i Ma’arif, an Indonesian statesman and religious leader, over QS. An-Nisa: 34 with the discourse of gender equality in the contextualization of Islamic teachings in Indonesia, including the role of women in public space. The important point of understanding Ahmad Syaf’i Ma’arif is in his ability to give a central, non conservative and illiberal in raising the leadership spirit of women according to Islam and the state. Syafi’i Maarif assessed that the context discourse between Arab-Indonesia can not be ignored when the reader want to understand the content of QS. An-Nisa: 34. Arab women have its own space and dynamism, that is different from women in Indonesia, so this context is influential in understanding the Qur’an. The notion of the gender equality of Syafi’s Ma’arif is that there are certain circumstances, such as pregnant and childbirth, that only women can do. The efforts of Ahmad Syafi’i Ma’arif in contextualizing QS. An- Nisa: 34 is an important work on the ground of the Qur’an as a guideline (QS. Al-Baqarah: 2 and 185) into the lives of Indonesian society, so that Islam, as rahmatan lil alamin, can be felt in terms of the female role in the public space.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49242038","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Perempuan Dalam Kepemimpinan Agama: Pengalaman Kristen","authors":"A. N. Natar","doi":"10.14421/musawa.2019.182.133-147","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.182.133-147","url":null,"abstract":"Saat ini perempuan yang menjadi pemimpin sudah semakin meningkat di hampir semua aspek kehidupan. Negara Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan dan saat ini kaum perempuan juga ada yang menjabat sebagai walikota, bupati, camat dan kepala desa di beberapa daerah. Mereka juga mengisi kursi-kursi di badan legislatif dan menjabat sebagai pimpinan di lembaga-lembaga pemerintah dan perusahaan-perusahaan. Memang harus diakui bahwa jumlah mereka belum sebanyak laki-laki dan ini tentunya menjadi tantangan ke depan. Tantangan yang terbesar selalu berasal dari agama dan budaya. Agama dan budaya yang patriarkhi ini juga didukung dengan konsep politik yang patriarki, feodalistis & berwarna maskulin, di mana kekuasaan politik ada pada laki-laki, yang akan mengambil keputusan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Kondisi perempuan dalam kepemimpinan gereja nampak tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan dalam bidang politik dan masyarakat. Kendati mayoritas warga jemaat di gereja adalah perempuan, namun mereka lebih banyak bertindak sebagai pelaksana keputusan dan kurang terlibat dalam pembuatan keputusan. Sehubungan dengan hal itu, maka paper ini akan mengulas tentang kepemimpinan perempuan Kristen di Indonesia dengan melihat tantangan dan peluang yang ada baik dari ajaran gereja, budaya, dan perempuan sendiri. Selain itu, akan dipaparkan juga tentang gaya kepemimpinan perempuan untuk menjawab tantangan Indonesia saat ini. Tulisan ini akan dibahas dengan menggunakan teori gender dengan pendekatan teologi feminis. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian literatur.[Nowadays the number of women who become leaders have increased in almost every aspects of life. Indonesia was once led by a female president and a lot of women serves as mayors, regents, sub-district heads and village heads in several areas. Though not as many as the men, women also get position in the legislature and serve as leaders in government institutions and companies. However, among religious institution, especially in the church, getting the highest position is kind of challenging for women. Supported by the concept of a patriarchal, feudalistic & masculine political concept, where political power is on men, women are difficult to get position as the leaders of the Churches. Although majority of church members are women, they are less involved in decision making. In this regard, this paper will review the leadership of Christian women in Indonesia by looking at the challenges and opportunities that exist both from the teachings of the church, culture, and women themselves. This paper will be discussed by using gender theory with a feminist theology approach and the literature review as the method.]","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66963052","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Validasi Modul Kesetaran Peran Laki-Laki dan Perempuan untuk Mencapai Keseimbangan Kerja-Keluarga","authors":"A. Handayani, Padmi Dhyah Yulianti, M. Dian","doi":"10.14421/musawa.2019.1832.173-182","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.1832.173-182","url":null,"abstract":"Adanya kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan membuat perempuan merasa nyaman ketika bekerja di luar rumah, sehingga pada akhirnya mampu mencapai keseimbangan kerja-keluarga. Akan tetapi ketika terjadi pembagian kerja antara suami dan istri di wilayah domestik, timbul perasaan tidak nyaman pada istri ketika melihat suami melakukan tugas tersebut, Dengan demikian akhirnya istri mengambil alih tugas tersebut, dan seringkali perempuan posisi dirinya lebih rendah daripada laki-laki. Berdasarkan situasi tersebut, permasalahan yang muncul adalah apakah ibu mengalami dan merasakan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan sehingga tercapai keseimbangan kerja-keluarga? Penelitian ini bertujuan untuk membuat modul dan melakukan uji validasi isi modul “Kesetaraan Peran Laki-laki dan Perempuan” sehingga ibu bekerja dapat memahami dan menerapkan kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dan mencapai keseimbangan kerja-keluarga. Validasi isi dilakukan oleh 4 orang expert judgment di bidangnya, yaitu psikologi keluarga, psikologi industri, litbang himpaudi dan ahli media. Metode pelatihan dengan experiental learning. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif dari para expert judgement menunjukkan skor total rentangan 64-67 dalam kategori baik. Sedangkan hasil kuantitatif dari expert judgement di bidang media menunjukkan skor 55, juga dalam kategori baik. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa modul layak digunakan dengan beberapa perbaikan minor. Secara umum modul kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dapat digunakan untuk tahap selanjutnya.[Gender role equality between men and women has made women no longer need to feel guilty to work out of home. This absence of guilty feeling makes women are able to achieve work-family balance. However, in reality, when there is task sharing, particularly about domestic chores between a husband and a wife, there is inconvenient feeling felt by the wife when she sees her husband does the chores. As a result, she will take over the task. It is common that women feel their position is lower than men. Regarding this issue, a question arises. Do mothers experience and feel the equal role between men and women in order to achieve work-family balance? This research aimed to create a module and conducting validity test for the content of the module, “Role Equality of Men and Women”. This module is expected to be able to give full comprehension for working mothers so that they can fully understand and perform equal role between men and women which help them to achieve work- family balance. Content validity was conducted by 4 expert judgment in the field, namely family psychology, industrial psychology, Himpaudi’s research and development and media expert. The training method was experimental learning. The data were analyzed using descriptive qualitative analysis and quantitative analysis. The result of quantitative analysis from the expert judgment sho","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"15 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66962801","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Ruang Domestik dan Publik Menurut Pemahaman Elit Pesantren Salafiyyah di Jambi","authors":"Yuliatin Yuliatin","doi":"10.14421/musawa.2019.182.161-171","DOIUrl":"https://doi.org/10.14421/musawa.2019.182.161-171","url":null,"abstract":"Kajian ini hendak melihat fenomena ajaran Salafi tentang kesetaraan gender. Sebagaimana diketahui, secara umum pemahaman ajaran Salafi cenderung memandang peran perempuan secara terbatas, baik di ruang domestik dan ruang publik. Fenomena tersebut mengakar kuat hingga dipraktekkan dalam basis pendidikan pesantren Salafiyyah. Namun demikian, terjadi pergeseran paham di kalangan elit pesantren Salafiyyah di Jambi, di mana, mereka mulai memberikan ruang kepada perempuan untuk berinteraksi di ruang publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Fokus penelitian dilaksanakan di dua Pesantren Salafi, al Baqiyatush Shalihat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Sa’adatuddarain di Seberang Kota Jambi. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, secara umum kaum Salafi di kedua Pesantren memahami adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Mereka mengartikulasikan ayat-ayat al- Qur’an lebih luwes. Namun, dalam persoalan kepemimpinan perempuan, mereka masih “membatasi” dengan berasumsi bahwa Qs. An-Nisa: 34 sudah final. Kedua, terjadi perubahan dalam memahami isu gender terutama di Pesantren al Baqiyatush-Shalihat, di mana, mereka lebih moderat dengan memberikan akses kepada perempuan untuk beraktivitas di ruang publik, seperti untuk sekolah, kuliah hingga bekerja. Hal yang berbeda ditemukan di Pesantren Sa’adatuddarain. Kalangan elit pesentren belum memberikan kebebasan kepada perempuan untuk melakukan aktivitas di luar pesantren. Ketiga, pemahaman elit pesantren Salafi tidak berpengaruh di lingkungan sekitar pesantren, terbukti para perempuan di sekitar pesantren tetap aktif berkegiatan di ruang publik sebagaimana pemahaman moderasi Islam selama ini.[This study wants to look at the phenomenon of Salafi teachings on gender equality. In general, the Salafis see the role of women is limited, both in the domestic and public sphere. This phenomenon is so deeply rooted that it is practiced on the basis of the Salafiyyah Islamic boarding school. However, there was a shift in understanding among the Salafiyyah pesantren elite in Jambi, in which they began to provide space for women to interact in the public sphere. This study uses a qualitative approach and collects the data through observation, interviews and documentation. The focus of the study was conducted at two Salafi Pesantren, al Baqiyatush Shalihat in Tanjung Jabung Barat District and Sa’adatuddarain in Seberang, Jambi City. The results show that : First, in general, the Salafis in both Pesantren understand the existence of equality between men and women. They articulate verses of the Qur’an more flexible. However, in the case of women’s leadership, they still “limit” women, by assuming that the interpretation of Qs. An-Nisa: 34 is final. Secondly, there has been a change in understanding gender issues especially in al Baqiyatush-Shalihat Islamic Boarding School, where they are more moderate by giving access to women to do","PeriodicalId":33379,"journal":{"name":"Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"66963137","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}