{"title":"Analisis Keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia","authors":"Erdin Tahir","doi":"10.33561/holrev.v3i2.8169","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/holrev.v3i2.8169","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk memahami keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, dengan fokus analisis terhadap keberlakuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan yang Dibentuk di Daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mendasarkan pada data sekunder. Hasil penelitian diperoleh bahwa kehadiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut, dimana dalam Pasal 4 Permenkumham disebutkan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan yang dibentuk di daerah disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM sebagai pembina perancang melalui Kepala Kantor Wilayah untuk dilakukan pengharmonisasian, aturan ini menunjukkan bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan harmonisasi tidak memperhatikan serta melemahkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian juga mengesampingkan semua tahapan proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Sehingga dengan hadirnya Permenkumham tersebut menjadi tidak selaras dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 serta terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122119240","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia yang Berkeadilan Gender dalam Ranah Kebijakan Formulasi, Aplikasi, dan Eksekusi","authors":"Vivi Ariyanti","doi":"10.33561/holrev.v3i2.8654","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/holrev.v3i2.8654","url":null,"abstract":"Hukum merupakan alat utama yang digunakan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, disebabkan karena perkembangan masyarakat dan juga didesak oleh kebutuhan semakin kompleksnya kehidupan sosial di masa sekarang, terutama berkaitan dengan nilai-nilai keadilan gender, hukum harus mengikuti arah perkembangan masyarakat. Pembaharuan hukum tidak lepas dari konsep tentang reformasi hukum yang cakupannya sangat luas, karena reformasi hukum tidak hanya berarti pembaharuan peraturan perundang-undangan. Reformasi hukum mencakup sistem hukum secara keseluruhan, yaitu reformasi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Tulisan ini berusaha mengkaji bagaimana arah pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan gender sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman dan juga mengakomodasi aspirasi masyarakat Indonesia pada umumnya. Penanggulangan tindak pidana yang didasarkan atas ketimpangan gender, yaitu kekerasan seksual, dapat dilakukan dengan sarana penal (penal policy) melalui kebijakan formulasi, kebijakan aplikasi, dan kebijakan eksekusi. Kebijakan formulasi digunakan untuk mewujudkan hukum yang berperspektif gender dan mengutamakan keadilan gender. Undang-undang yang mengatur hukum pidana dapat dirancang menggunakan konsep khusus (lex specialis) yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual, baik dari aspek hukum materiil maupun hukum formil. Adapun kebijakan aplikasi, model pembaharuannya dilakukan oleh aparatur hukum dan dapat bekerja sama dengan masyarakat, dengan memiliki komitmen bersama dalam melawan segala bentuk tindak pidana yang berbasis ketimpangan gender. Sedangkan dalam kebijakan eksekusi, pemerintah dituntut untuk tegas dan tanpa ada sikap diskriminatif berdasarkan gender maupun pandangan yang merendahkan perempuan dalam melaksanakan tuntutan hukum yang telah diformulasikan maupun yang diputuskan oleh pengadilan.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"481 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123397499","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengakuan Eksistensi Hak Ulayat Laut Masyarakat Hukum Adat Berdasar Nilai-Nilai Kearifan Lokal","authors":"H. Heryanti","doi":"10.33561/holrev.v3i2.8650","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/holrev.v3i2.8650","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan menganalisis pengakuan eksistensi hak ulayat laut masyarakat hukum adat berdasar nilai-nilai kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan konsep dan historis. Hasil penelitian bahwa pandangan tentang manusia sebagai bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengakuan eksistensi hak ulayat laut masyarakat hukum adat oleh Negara dapat dilakukan dengan berdasar pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam hak ulayat masyarakat hukum adat memiliki nilai religio-magis sekaligus sosio-kultural dan ekonomis sehingga pemanfaatan laut harus sesuai dengan norma, perilaku dan aturan-aturan yang telah dianut secara turun-temurun oleh masyarakat.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"464 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-09-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115321846","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Relasi Kuasa-Pengetahuan dalam Sistem Ketatanegaraan di Kerajaan Konawe Abad Ke-XVII: Telaah Epistemologi Siwole Mbatohu","authors":"Idaman Idaman","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.6076","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.6076","url":null,"abstract":"Siwole Mbatohu adalah konseptual politik di kerajaan Konawe, terutama di era Mokole Tebawo (Sangia Inato). Pembagian beberapa daerah otonom dengan cara ketahanan politik dan ekonomi atas wilayah kerajaan Konawe. Wilayah Siwole Mbatohu adalah: Wilayah bagian barat kerajaan Konawe yang disebut Tambo i Tepuli, ano Oleo yang berkedudukan di Latoma dipimpin oleh Sabandara, wilayah bagian Timur kerajaan Konawe yang disebut tambo i Losoano Oleo berkedudukan di Ranomeeto yang dipimpin oleh Sapati, wilayah bagian Kanan (Utara) kerajaan Konawe yang disebut Bharata i Hanano Wuta Konawe yang berkedudukan di Tongauna dipimpin oleh Ponggawa, dan wilayah bagian kiri (Selatan) kerajaan Konawe yang disebut Bharata i Moerino Wuta Konawe berkedudukan di Asaki yang dipimpin Inowa.Beberapa manuskrip Siwole Mbatohu hanya berjuang untuk menganalisis pertahanan keamanan. Para penulis menyatakan bahwa pembagian wilayah oleh Mokole adalah pertahanan keamanan kerajaan Konawe, walaupun jika dikaji, terutama dari penggunaan hubungan kekuasaan (power/knowledge), terlihat jelas bahwa pembagian wilayah dilakukan dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Itu adalah alasan historis, yaitu alasan historis, yaitu sebelum pembagian kerajaan Konawe, Inolobunggadue.Dalam penyelidikan epistemologi, terutama epistemologi politik, konsep Siwole Mbatohu telah diproduksi untuk mengabadikan status quo, memperkuat kekuasaan, dan mengendalikan kekuasaan di empat kerajaan kecil, yaitu sayap dan gerbang. Hubungan ini dibangun untuk melegitimasi kekuatan pusat kerajaan Konawe sebagai entitas silsilah yang terhubung dengan wilayah lain di Siwole Mbatohu. Penyebutan Mokole Tebawo, dan bahkan raja-raja Konawe pra-Islam sebagai sangia (dewa) menunjukkan bahwa mol adalah perwujudan dewa, simbol kekuatan, tempat peristirahatan yang paling otoritatif untuk semua komunitas di kerajaan Konawe.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"32 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129887746","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Ketentuan-ketentuan TRIPS-Plus dalam Kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas","authors":"Safril Sofwan Sanib","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.6016","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.6016","url":null,"abstract":"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menemukan filosofi Ketentuan TRIPS-Plus di bawah kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral (Bilateral Free Trade Agreements=BFTA). Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan komparatif. Penelitian ini menemukan, bahwa filosofi dari ketentuan TRIPS-Plus di bawah BFTA adalah untuk menghilangkan standar minimum dan fleksibilitas yang terkandung dalam ketentuan Perjanjian TRIPS WTO yang berdampak pada: (1) pembatasan alasan untuk pengecualian dari invensi yang bisa di patenkan; (2) membatasi penerbitan lisensi wajib; (3) pembatasan ruang lingkup exhaustion of rights dan impor paralel; (4) perpanjangan jangka waktu pemberian paten; (5) kewajiban perlindungan paten untuk perlindungan varietas tanaman; (6) eksklusivitas atas uji data berkenaan dengan produk farmasi dan kimia; (7) perlindungan untuk jenis-jenis merek dagang baru (8) perlindungan yang kuat untuk teknologi digital. Bila negara-negara menyepakati BFTA dengan mitra/partner dagang tentang ketentuan-ketentuan HKI yang mengandung TRIPS-Plus tersebut di atas maka akan menyebabkan negara tersebut tidak dapat menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh perjanjian HKI pada level multilateral (TRIPS Agreement) dan hal tersebut berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak dasar yaitu: hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan akses obat-obatan secara terjangkau dan murah, serta hak atas pangan.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114556156","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"The Comparison of Civil Procedure and Industrial Relations Courtprocedure","authors":"Sugeng Santoso Pn","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.6013","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.6013","url":null,"abstract":"The Industrial relations dispute which is resolved through the Industrial Relations Court puts the workers/laborers against the employers and bases their formal source of law on the Article 57 of Law No. 2/2004 which basically uses the civil procedure except under special regulation. The analysis in this study shows that the implementation of civil procedure actually contravenes the labor law. The characteristics of the Industrial Relations Court procedure differs from the civil procedure.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132217258","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Analisis Fiqh Lingkungan Terkait Penyalahgunaan Pengelolaan Pertambangan Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup","authors":"Sabaruddin Sinapoy","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.6012","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.6012","url":null,"abstract":"Upaya dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat pertambangan dilatarbelakangi maraknya aktivitas yang dilakukan perusahaan maupun masyarakat yang tersebar di beberapa wilayah berpotensi menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akibat penggunaan logam berat dalam mengikat mineral dan lahan bekas tambang menjadi lahan tidak produktif. Kegiatan industri pertambangan selain mempunyai dampak positif karena dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan mendatangkan hasil yang cukup besar sebagai sumber devisa, tetapi sisi lain mempunyai dampak negatif cukup besar yaitu dengan banyaknya perizinan yang dikeluarkan, maka mengakibatkan terjadinya kerusakan, kelestarian hutan, hilangnya ekosistem flora-fauna langka maupun baru dan pencemaran lingkungan, sehingga mengganggu kesehatan, serta hilangnya budaya kearifan lokal masyarakat sekitarnya.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"265 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132731927","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Konsensus dan Sikap Para Ulama Salaf Kontemporer dalam Melawan Terorisme dan ISIS","authors":"Sukring Sukring","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.6018","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.6018","url":null,"abstract":"Tragedi Terorisme dan ISIS memiliki daya rusak yang sangat besar. Semua madzhab fiqih dan para ulama salaf kontemporer secara tegas dan jelas telah menyatakan di banyak pendapat mereka, bahwa yang menghalalkan pembunuhan terhadap muslim adalah kafir dan menganggap mereka sebagai khawarij, sehingga bagi para pelaku teror dengan ciri-ciri yang sama diberlakukan tindakan-tindakan yang diperlukan seperti tindakan yang diberlakukan pada khawarij. Tindakan teror dan pembunuhan dalam banyak dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis sangat di larang dan termasuk dosa besar. Teror dan kekerasan dalam konsep Islam tidak dibenarkan tidak satu pemikir dan ulama pun yang menolerir baik di luar Islam maupun dalam tubuh Islam sendiri. akhir-akhir ini teror yang mengatasnamakan Islam mulai merebak kembali seiring munculnya kelompok-kelompok ekstremis/keras yang melakukan atas nama gerakan mendirikan Negara Islam atau ingin mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau yaitu penegakan Khilafah Islamiyah (ISIS). Sikap para ulama salaf tegas bahwa Islam harus berlandaskan argumen yang rasional dalam mendirikan suatu tatanan kenegaraan. Ulama mayoritas menolak adanya kekerasan dan teror dalam segala aktivitas yang mengatasnamakan Islam.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"47 3-4","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114046136","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Samsidar Samsidar, Syamsuddin Pasamai, Sri Lestari Poernomo
{"title":"Efektivitas Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Kabupaten Polewali Mandar)","authors":"Samsidar Samsidar, Syamsuddin Pasamai, Sri Lestari Poernomo","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.4751","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.4751","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pencatatan perkawinan di Kabupaten Polewali Mandar. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif dan empiris. Lokasi penelitian ialah Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Hasil penelitian menunujjakn bahwa pencatatan perkawinan di Kabupaten Polewali Mandar pada kenyataannya sudah merupakan aspek merginal di dalam perkawinan. Selain faktor memarginalkan persoalan pencatatan perkawinan, pandangan dan kesadaran hukum masyarakat sudah relatif tinggi mengenai status perkawinan terutama perkawinan di bawah tangan yang tidak memperoleh legitimasi dari kalangan masyarakat awam. Berkenaan dengan pencatatan perkawinan tersebut dikenal dengan istilah nikah resmi yang mana maksud dari nikah resmi itu adalah perkawinan yang tercatat. Akan tetapi di Indonesia ada aturan dalam bentuk undang-undang bahwa setiap perkawinan harus dicatat, dan perkawinan yang tercatat inilah yang dapat disebut perkawinan resmi serta berkekuatan hukum. Sedang perkawinan yang tidak tercatat yang diistilahkan dengan nikah di bawah tangan, berarti tidak resmi dan perkawinan (nikah) tersebut tidak berkekuatan hukum.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132215229","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Harmonisasi Pengaturan Lembaga Perlindungan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi","authors":"Khalid Khalid","doi":"10.33561/HOLREV.V3I1.6019","DOIUrl":"https://doi.org/10.33561/HOLREV.V3I1.6019","url":null,"abstract":"Perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara tidak dapat hanya dengan meratifikasi pengaturan yang mengatur hak-hak asasi warga negara dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk menyahuti tuntutan globalisasi, namun yang terpenting kemudian adalah political will dan konsistensi menjalankan pasal-pasal tersebut dalam tataran perilaku berbangsa dan bernegara, dan ini tidak bisa dilepaskan keharusan adanya Lembaga Negara yang menjaga, menjalankan dan mengawal terwujudnya pengakuan, perlindungan dan penegakkan HAM tersebut. Perwujudan ini dapat diupayakan dengan melakukan harmonisasi dan penguatan kelembagaan HAM dalam konstitusi agar efektif dan independen.","PeriodicalId":249335,"journal":{"name":"Halu Oleo Law Review","volume":"67 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126310457","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}