I. Ketut, Gede Harsana, I. Gede, Pasek Mancapara, Penulis Koresponden
{"title":"Komodifikasi Tari Sanghyang Dedari di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali","authors":"I. Ketut, Gede Harsana, I. Gede, Pasek Mancapara, Penulis Koresponden","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.2990","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.2990","url":null,"abstract":"Abstrak Artikel ini mengkaji dan menganalisis Tari Sanghyang Dedari yang mengalami komodifikasi di Desa Bona. Sebagai salah satu seni sakral yang dipentaskan dalam keadaan kerasukan, pada awalnya Tari Sanghyang dipentaskan hanya untuk keperluan spiritual, namun kini tari Sanghyang mengalami komodifikasi di era globalisasi seiring perkembangan pariwisata dan IPTEK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif dengan pendekatan phenomenology. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tari Sanghyang yang terdapat di Desa Bona hanya tari Sanghyang Dedari saja, tari ini masih dilaksanakan secara rutin dari dulu hingga sekarang hanya di Pura Desa Bona, selain itu sebagai kebutuhan pariwisata tari Sanghyang juga dipentaskan di hotel-hotel sebagai tari pertunjukan yang direkonstruksi dengan adanya unsur tambahan seperti iringan kecak. Secara garis besar terdapat persamaan dan perbedaan tari Sanghyang sebagai tari sakral dan sebagai tari pertunjukan. Persamaannya adalah penari dipilih dengan kriteria yang masih suci dan pakaian yang digunakan tidak berbeda, sedangkan pebedaannya terletak pada proses persiapan hingga tarian dilaksanakan, instrumen yang digunakan, durasi dan iringannya. Kata kunci: Rekonstruksi, Tari Sangyang Dedari, Komodifikasi.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"203 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139240812","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
I. Putu, W. Pratama, Anggy Paramitha Sari, Penulis Koresponden
{"title":"MENGENAL TIKA SEBAGAI KALENDER BALI KUNO DALAM KAITANNYA DENGAN ILMU JYOTISHA","authors":"I. Putu, W. Pratama, Anggy Paramitha Sari, Penulis Koresponden","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.3054","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.3054","url":null,"abstract":"Kalender merupakan salah satu benda yang fungsi dan kegunaannya sangat penting baik di rumah maupun dikantor, karena dari kalender manusia memperoleh informasi terkait jangka waktu hari, tanggal, bulan dan tahun. Salah satunya adalah sistem penanggalan masa lalu yang digunakan oleh masyarakat Hindu zaman dahulu yang menggunakan sistem penanggalan yang dikenal dengan Kalender Tika. Kalender Tika merupakan suatu benda yang umumnya terbuat dari kayu untuk melihat hari, istirahat dan menentukan hari dewasa ayu atau hari baik dengan menggunakan berbagai tanda khusus untuk menentukan jangka waktu dewasa ayu. Untuk membaca Tika diperlukan pengetahuan ilmu Wariga dan pemahaman terhadap tanda-tanda khusus berupa gambar atau simbol yang ditampilkan pada Tika. Bentuk dasar Tika berupa gambar 30 kolom wuku dan 7 baris yang menggambarkan 7 hari panjang setiap wuku. Tujuh hari pada gambar dasar Wuku adalah rumah Sapta Wara, wewaran yang siklusnya 7 hari. Secara umum bagian Tika terdiri dari 30 kolom wuku yang terletak di bagian atas. Kemudian pada bagian sampingnya terdapat delapan garis. Tujuh baris hari atau Saptawara dan baris kedelapan adalah Ingkel. Bentuk Tika pun bermacam-macam, ada yang terbuat dari kayu, kertas, dan kain. Keterkaitan Kalender Tika dengan Jyotisha sebagai Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu yang sangat erat hubungannya dengan segala aktivitas agama Hindu Bali.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"58 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139248124","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Menggali Fungsi dan Makna Bale Gading dalam Upacara Dewa Yadjna","authors":"A. Widyawati, Acyutananda Wayan Gaduh","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.3107","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.3107","url":null,"abstract":"Umat Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara yajna masih berpegang teguh pada ajaran yang diturunkan oleh para leluhurnya dan terkadang tidak mengetahui fungsi dan makna dari pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini mulai digoyangkan oleh pikiran kritis generasi muda yang mulai mempertanyakan untuk apa suatu upacara dilaksanakan, oleh sebab itu penelitian ini dilaksanakan untuk membahas salah satu jenis upakara yang digunakan dalam suatu upacara yajna yaitu penggunaan bale gading dalam upacara dewa yajna. Bentuk, fungsi dan makna dari penggunaan bale gading dalam upacara dewa yajna ini dikaji dengan metode deskriptif kualitatif yang dimana data diperoleh dari observasi, studi dokumen dan wawancara. Pembahasan dimulai dengan definisi serta mitologi dari bale gading. Bale gading merupakan suatu bale kecil berwarna putih kuning yang fungsinya untuk mensthanakan Sang Hyang Semara Ratih serta memiliki makna teologis, makna sosiologis serta makna etis atau etika dalam menjalani kehidupan.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"13 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139248716","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Membangun Gerakan Moderasi Beragama Melalui Seni Pertunjukan","authors":"I. Komang, Suastika Arimbawa","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.3120","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.3120","url":null,"abstract":"Exclusive religious viewpoints and attitudes will ultimately give birth to various destructive practices in the form of religious intolerance and violence. This cannot be allowed to continue to grow and develop. This is the sacred duty of every component of the nation. Arts education institutions or arts groups can take a role in efforts to realize the principle of moderation in religion in order to safeguard and maintain the integrity of the nation, by conducting studies, socializing and internalizing the principle of moderation so that it can give birth to education. education. a big movement called the movement for religious moderation through the medium of performing arts. The religious moderation movement stems from (1) the development of extreme religious views, attitudes and practices, (2) the development of subjective truth claims and coercion of will over religious interpretations, and (3) the development of religious enthusiasm that is not in accordance with religion. according to religion. in line with national love within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia. A responsive attitude towards the phenomenon of social change will ultimately be able to produce 'renewal'. The renewal here is not a religious renewal, but rather an intellectual tradition. Where intellectual traditions are usually dynamic, creative and innovative so that religion becomes lasting and actively provides solutions to various life problems. This is where art can be an effective catalyst in the movement for religious moderation. Universal art can provide space to foster religious moderation. The existence of art from various Indonesian cultures should be able to play a role in developing and maintaining a moderate attitude as a glue and unifier of the nation.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"25 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139248840","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
I. Putu, Suweka Oka, Kadek Dedy Herawan, Penulis Koresponden
{"title":"Pendidikan Pradīkṣā dalam Lontar Putra Sasana","authors":"I. Putu, Suweka Oka, Kadek Dedy Herawan, Penulis Koresponden","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.2862","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.2862","url":null,"abstract":"Sulinggih has two main roles, namely as a ceremonial leader and community educator. There are also two things that must be possessed by a sulinggih in order to become the main teacher for the community: mature educational experience and a good reputation. Hinduism views education as a human need. Nevertheless, Sulinggih candidates are required to undergo a more rigorous educational process with denser material. If this is the case, then a sulinggih candidate will automatically have a good reputation and be declared fit to undergo the purification ritual as a sulinggih. The follow-up impact is that the quality of education born from this process makes all people maximally educated. The influence of modernism and image worship then led to a reduction in the educational process for sulinggih candidates. This led to the emergence of cases of sulinggih individuals who violated the norms of decency, religious norms, and legal norms. Meanwhile, in Lontar Putra Sesana, the educational method for sulinggih candidates has been patterned, which includes the dimensions of pedagogy, andragogy, and heutagogy. The purpose of this study is to provide reference material for the correct pattern of education for a candidate for sulinggih in Hinduism. This research method is qualitative, with an emphasis on library research. The findings of this study state that Lontar Putra Sesana contains the main teachings of Pradk education, which starts at an early age until one is ready to undergo purification as a sulinggih..","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"113 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139247486","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ni Made, Evie Kurnia Dewi, Wayan Kariarta, Komang Heriyanti, Sekolah Tinggi, Agama Hindu, Negeri Mpu, Kuturan Singaraja, Penulis Koresponden
{"title":"Kontribusi Pura Dasar Buana Amerta Jati Siwa Buda dalam Pengembangan Bahan Ajar Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja","authors":"Ni Made, Evie Kurnia Dewi, Wayan Kariarta, Komang Heriyanti, Sekolah Tinggi, Agama Hindu, Negeri Mpu, Kuturan Singaraja, Penulis Koresponden","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.3053","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.3053","url":null,"abstract":"Dasar Buana Amerta Jati Siwa Buda temple is a temple located in Tajun Village, Kubutambahan District, Buleleng Regency. The location of this temple is between a cliff and a forest. However, the uniqueness of the temple is reflected in the presence of different cultures in one temple area. In the innards of the temple there is a Meru building as a symbol of Hinduism and a stupa as a symbol of Buddhism. Until now there are still Buddhists who are active in praying to Dasar Buana Amerta Jati Siwa Buda temple, especially when the piodalan day arrives. Thus Dasar Buana Amerta Jati Siwa Buda temple provides space for Hindus and Buddhists to develop an attitude of tolerance. Moving on from this, the Dasar Buana Amerta Jati Siwa Buda temple has contributed to the development of teaching materials at the Hindu Theology Study Program STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Contributions can be seen in the development of teaching materials for Shiva Siddhanta, Social Theology, and Hindu Cultural History courses. With the Dasar Buana Amerta Jati Siwa Buda temple as a learning medium, students do not only learn in theory. Both lecturers and students find it easier to develop learning activities.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"80 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139250155","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KONSTRUKSI TEOLOGI HINDU DALAM UPAYA MENGHILANGKAN BUDAYA MENGEMIS PADA MASYARAKAT MUNTI GUNUNG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KARANGASEM","authors":"I Wayan Sunampan Putra","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.2870","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.2870","url":null,"abstract":"Penelitian ini berangkat dari fenomena budaya meminta-minta (pengemis) pada masyarakat Munti Gunung yang sudah berjalan sejak lama, bahkan menjadi label yang dipegang secara turun temurun. Berbagai macam upaya pun sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatsai masalah ini, akan tetapi belum berdampak secara maksimal, bahkan budaya meminta-minta ini masih tetap eksis. Berangkat dari masalah tersebut, maka penulis mencoba melakukan sebuah penelitian untuk melihat budaya meminta-minta pada masyarakat secara kritis dengan pendekatan sosiologis dan teologis, sehingga bisa melihat secara keseluruhan terhadap budaya meminta-minta ini. Adapun hasil dari anailis data yang didapatkan yakni budaya meminta-minta tidak terlepas dari kondisi sosio-grafis masyarakat Munti Gunung yang bisa dikatakan gersang dan berada di pedalaman dan perbukitan, hal ini menjadi faktor masyarakat mengalami kesulitan dalam mengolah alam untuk memenuhi aspek ekonomi. Budaya meminta-minta ini juga menimbulkan kontradiksi antara masalah agama dan sosial. Pada aspek agama, budaya meminta-minta merupakan dampak dari sebuah kutukan dari dewi Danu dari pristiwa masa lalu. Kemudian dari aspek sosial meminta minta merupakan masalah sosial yang menganggu citra masyarakat bali. Dalam mengatasi budaya meminta-minta maka masyarakat mulai sadar dengan membangun sikap teologis yaitu dengan berbagai kegiatan yang membangun spirit dan motivasi masyarakat untuk berbenah. Hal ini tentu juga didukung oleh berbagai pihak. Permasahan dan upaya yang dilakukan tentu memerlukan proses yang panjang.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"52 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139250511","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Made Mardika, Gede Nanda Jaya Pratama, Ni Komang Sutriyanti
{"title":"NILAI SUSILA DALAM SUSASTRA HINDU DAN IMPLEMENTASINYA PADA KEHIDUPAN SEHARI-HARI","authors":"Made Mardika, Gede Nanda Jaya Pratama, Ni Komang Sutriyanti","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.2909","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.2909","url":null,"abstract":"Tri Kerangka Dasar Agama Hindu adalah landasan hidup bagi umat Hindu yang sangat fundamental atau mendasar. Sebagai acuan pelaksanaan agama, Tri Kerangka Dasar Agama Hindu terdiri dari tiga bagian, yaitu tattva, susila dan ācāra. Susila menjadi dasar dari perilaku seseorang yang beragama di mana susila sendiri menjadi landasan filosofis terkait apakah suatu tindakan harus dilakukan atau tidak sesuai dengan adab berperilaku. Pengajaran susila mengenalkan umat Hindu tentang etika, moral, dan tata susila dalam bermasyarakat. Dewasa ini timbul kasus-kasus pelanggaran susila di kehidupan umat beragama. Indonesia dengan heterogenitas yang tinggi memvisualisasikan betapa beragamnya hiruk-pikuk masyarakat sosial. Umat Hindu juga mengalami masalah di dalam tubuhnya sendiri. Banyak umat dari berbagai generasi yang sangat jarang menyentuh Veda. Padahal membaca Veda merupakan bentuk dari literasi agama. Dengan demikian, penelitian ini memiliki tujuan untuk mendekatkan Veda kepada umat Hindu mengenai ajaran susila di dalamnya. Metode penelitian di dalam penulisan artikel ini ialah dengan metode dokumentasi yang menggali sumber-sumber referensi dari kesusastraan suci Veda, baik Veda Sruti maupun Veda Smrti. Pada artikel ini salah satu bagian Veda Sruti yang menjadi rujukannya adalah Rgveda Samhita sedangkan pada Veda Smrti artikel ini merujuk pada pustaka suci Bhagavad Gita. Adapun hasilnya yakni terdapat kristalisasi dari kedua sumber acuan susatra Hindu tersebut, yakni: Nilai Kejujuran, Nilai Persatuan, dan Nilai Pengendalian Diri.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"66 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139250407","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Dimensi Aksiologis pada Tata Letak Bangunan di Bali Berdasarkan Lontar Asta Kosala Kosali","authors":"Gede Agus Siswadi, Septiana Dwiputri Maharani","doi":"10.25078/sphatika.v14i2.3038","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i2.3038","url":null,"abstract":"Bali is unique in its traditions, culture, religious practices, and architecture. All of these are a legacy from generation to generation. The form of Balinese architecture is strongly influenced by the values that are always maintained to remain the identity and uniqueness of the Balinese people. This research aims to explore the value system that develops in Balinese society, with how the value system frames the various cultural diversity owned by Bali, including Balinese architecture. This research uses a qualitative descriptive method with a phenomenological approach. The results of this study show that Balinese design and architecture are strongly influenced by the concept of Tri Hita Karana, a concept in Balinese society as a process of maintaining balance and harmony between God, humans and nature. The concept of Tri Hita Karana is then applied in Balinese architecture in the form of Tri Mandala, which is three spaces that divide one yard. Balinese architecture in Lontar Asta Kosala Kosali is also influenced by the concept of Sanga Mandala as a form of application of the concept of Dewata Nawa Sańga. Then the axiological dimension in the building layout in Bali has religious value, eco-theological value, aesthetic value, and also cultural value. Then, the challenges of Balinese architecture in this era of globalization position that the concept and layout of buildings in Bali still use concepts and also philosophical values that develop in Balinese society, despite regional limitations, but the axiological dimension on a small scale can still be maintained.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"29 ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139249336","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Studi Teks Lontar Nerang Ujan","authors":"Putu Eka Sura Adnyana, N. Suryani","doi":"10.25078/sphatika.v14i1.2561","DOIUrl":"https://doi.org/10.25078/sphatika.v14i1.2561","url":null,"abstract":"This text study paper of lontar nerang ujan uses the theory of semiotics and transcendental communication. The method used in data collection uses the listening method combined with the basic technique of note taking. The Lontar Nerang Ujan text explains several ways to eliminate rain, and make the sky clear again, by combining script, mantra and banten means, besides that it also explains how to bring rain/make it rain with spells and means that are slightly different from how to stop the rain. The use of banten in stopping rain or bringing rain is a form of devotion of the rain handler to God Almighty who is in charge of the universe, with the aim of making the procession of Panerang Ujan or Pangujanan easier and smoother. The procedure of a rain handler must understand the philosophical script and the use of Balinese script in rerajahan, the concept of gods in the procession of nerang ujan or pangujanan, understand the mantras that are chanted and the use of facilities for the procession of nerang ujan or pangujanan.","PeriodicalId":191050,"journal":{"name":"Sphatika: Jurnal Teologi","volume":"66 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-05-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123447673","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}