{"title":"TRANSFORMASI DEO KAYANGAN MENJADI TARI MAMBANG DEO-DEO KAYANGAN DI PEKANBARU","authors":"Nur Desmawati, Sri Rochana Widyastutieningrum","doi":"10.33153/GLR.V16I2.2484","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/GLR.V16I2.2484","url":null,"abstract":"ABSTRAKDeo Kayangan merupakan ritual pengobatan penyakit yang disebabkan oleh kekuatan gaib. Ritual ini ada di Kelurahan Tebing Tinggi Okura, Kecamatan Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Ritual tersebut dipimpin oleh dukun Melayu bernama Tuk Damai. Tuk Damai diminta oleh masyarakat untuk menjadikan ritual tersebut sebagai hiburan dengan membuat imitasi Deo Kayangan yang diberi nama Badeo. Realitas tersebut memberikan kebebasan penafsiran baru oleh Wan Harun Ismail dengan mentransformasi menjadi suatu bentuk baru serta fungsi dan makna yang berbeda yaitu ditransformasi menjaditari Mambang Deo-Deo Kayangan sebagai ungkapan ekspresi. Fenomena ini kemudian menjadi sebuah topik pembicaraan yang hangat di Pekanbaru sejak tarian karya Wan Harun Ismail tersebut tampil di acara Parade Tari dan Pemilihan Bujang Dara Kota Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena tersebut secara runut. Mulai dari bentuk asli ritual Deo Kayangan hingga menjadi tari Mambang Deo-Deo Kayangan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosok Wan Harun Ismail sebagai seniman yang melakukan transformasi Deo Kayangan menjadi tari Mambang Deo-Deo Kayangan, serta menjelaskan tanggapan masyarakat terhadap transformasi bentuk Deo Kayangan menjadi tari Mambang Deo-Deo Kayangan.Kata kunci: Ritual Deo Kayangan, transformasi, Tari Mambang Deo-Deo Kayangan.ABSTRACTDeo Kayangan is a ritual for the treatment of diseases caused by magical powers. This ritual is in the Village of Tebing Tinggi Okura, Rumbai Pesisir District, Pekanbaru City, Riau Province. The ritual was led by a Malay shaman named Tuk Damai. Tuk Damai was asked by the community to make the ritual an entertainment by making a Deo Kayangan imitation named Badeo. The reality provides a free interpretation of Wan Harun Ismail by transforming it into a new form and different functions and meanings which are transformed into Mambang Deo-Deo Kayangan dance as his expression. This phenomenon later became a hot topic of conversation in Pekanbaru since the dance by Wan Harun Ismail appeared in the Dance Parade and the Election of Bujang Dara Kota Pekanbaru. This study aims to explain this phenomenon in a continuous manner. It starts from the original form of Deo Kayangan ritual up to the Mambang Deo-Deo Kayangan dance; knowing the factors that influence Wan Harun Ismail as an artist who transforms Deo Kayangan into Mambang Deo-Deo Kayangan dance and explains the community’s response to Deo Kayangan’s transformation into Mambang Deo-Deo Kayangan dance.Keywords: Deo Kayangan Ritual, transformation, Mambang Deo-Deo Kayangan Dance.","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47808866","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"DAMAR KURUNG HASIL AKULTURASI KEBUDAYAAN MASYARAKAT GRESIK","authors":"Firman Azis, Novita Wahyuningsih","doi":"10.33153/GLR.V16I2.2486","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/GLR.V16I2.2486","url":null,"abstract":"ABSTRAKDamar kurung memiliki kemiripan seperti lampion yang berasal dari Cina yaitu sebagai sebuah lentera namun memiliki bentuk yang berbeda. Hal ini disebabkan karena akulturasi yang terjadi di daerah Gresik. Damarkurung sempat berada diambang kepunahan, namun berkat seorang seniman bernama Masmundari yang mengangkat kembali dan melestarikan damar kurung sehingga masih tetap bertahan sampai sekarang ini. Tujuandibuatnya penulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana asal-usul damar kurung ini dapat tercipta dan menjadi kebudayaan dari masyarakat Gresik. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan sejarah dan studi literatur. Sumber informasi atau sumber data didapat dari buku-buku, jurnal, artikel serta gambar atau foto yang berhubungan dengan penulisan ini. Sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang dapat diterima oleh masyarakat luas mengenai sejarahdamar kurung yang merupakan peninggalankebudayaan dari daerah Gresik. Manfaat dari dibuatnya penulisan artikel ini adalah agar masyarakat bisa menambah wawasan kebudayaan mengenai damar kurung, dan juga sebagai sumber informasi danreferensitentang damar kurung. Damar kurung masih bisa dilestarikan oleh masyarakat modern, baik oleh orang dewasa maupun oleh anak-anak agar kebudayaan Indonesia khususnya dari daerah Gresik dapat terus dinikmati sampai kapanpun.Kata kunci: Akulturasi, Damar Kurung, Gresik, Kebudayaan, Masyarakat.ABSTRACTDamar Kurung are similar to Chinese lanterns which have different shapes. This is due to the acculturation that occurred in Gresik area. Damar Kurung had almost been extinct but it still survives today because of the artist named Masmundari who raised and preserved Damar Kurung. The purpose of this writing is to explain how the origins of Damar Kurung that becomes a culture of Gresik community. The approach taken is a historical approach and literary study. Data sources come from books, journals, articles and images or photos related tothis writing. So that the conclusions regarding the history can be drawn and accepted by the community of Damar Kurung which represent the cultural relics from Gresik area. This article is very useful that people canadd their cultural insights about Damar Kurung and besides, it is also as a source of information and references about Damar Kurung. Damar Kurung can still be preserved by modern society, by adults as well as bychildren so that Indonesian culture especially from Gresik area can be enjoyed at any time.Keywords: Acculturation, Damar Kurung, Gresik, Culture, community.","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44782903","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"MAKNA SIMBOLIK TOR-TO RSOMBAH DALAM UPACARA ADAT KEMATIAN SAYUR MATUA PADA MASYARAKAT SUKU BATAK SIMALUNGUN","authors":"Febrina Athylata Purba, S. Slamet","doi":"10.33153/GLR.V16I2.2490","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/GLR.V16I2.2490","url":null,"abstract":"Penelitian yang berjudul “Makna Simbolik Tor-torsombah Dalam Upacara Adat Kematian Sayur Matua Pada Masyarakat Suku Batak Simalungun” merupakan bentuk pertunjukan tari yang terkait dalam upacara adat kematian sayur matua. Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna simbolik Tor-tor Sombah dalam upacara adat kematian sayur matua, bagaimana hubungan antara Tor-tor Sombah Sombah dengan upacara adat kematian sayur matua pada masyarakat suku Batak Simalungun, serta bentuk pertunjukan Tor-tor Sombah Sombah dalam upacara adat kematian sayur matua. Permasalahan dalam penelitian ini diungkapkan dengan mendeskripsikan bentuk dari Tor-tor Sombah Tor-tor Sombah yang dilihat dari elemen-elemen koreografi dengan dibantu oleh notasi laban dan dianalisis dengan memakai teori dari Laban yaitu effort dan shape. Selain itu juga dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna simbolis Tor-tor Sombah yang dilihat dari dua bagian yaitu aspek dalam dan aspek luar dengan konsep dari Allegra Fuller Synder. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnokoreologi. Teknik pengumpulan data lapangan menggunakan model dari Kurath dengan metode etnografi tari. Hasil penelitian menunjukan bahwa Tor-tor Sombah Tor-tor Sombah dalam upacara adat kematian sayur matua bagi masyarakat suku Batak Simalungun dilaksanakan sebagai penyampaian rasa hormat anak kepada orang tua yang sudah meninggal. Tor-tor Sombah dalam kehidupan masyarakat suku Batak Simalungun saling berkaitan dan merupakan bagian dari adat yang digerakkan secara simbolis pada upacara adat. Tor-tor Sombah memiliki makna dan simbol dalam unsur sajian yang ditampilkan yaitu: dalam gerak tangan, iringan musik, busana, tata rias, properti, dan umpasa. Gerakan pada tangan yang terdapat dalam Tor-tor Sombah mempunyai tigabentuk, yaitu :sombah, mangalo-alo, mamasu-masu. Selain menunjukkan bahwa Tor-tor Sombah memiliki makna simbolik, berkaitan juga sebagai media komunikasi, dan melalui gerak yang disajikan terjadi interaksi antar peserta upacara. Tor-tor Sombah menjadi bagian dari kebudayaan yang berfungsi untuk menjaga serta mempertahankan kelangsungan sistem sosialnya pada masyarakat suku Batak Simalungun. Kata kunci: or-tor Sombah, Upacara Adat Kematian Sayur Matua Batak Simalungun, Koreografi, Makna Simbolik. ABSTRACT The study entitled “Makna Simbolik Tor-tor Sombah Dalam Upacara Adat Kematian Sayur Matua Pada Masyarakat Suku Batak Simalungun” is a form of dance performance concerning the traditional ceremony of Sayur Matua death. This study aims to explore the symbolic meaning of Tor-tor Sombah in Sayur Matua death ceremony, how the relationship between Tor-tor Sombah and the traditional ceremony of Sayur Matua death in Batak Simalungun tribe, as well as the form of Tor-tor Sombah performance at the ceremony of Sayur Matua death. The problems in this study are expressed by describing the form of Tor-tor Sombah Tor-tor Sombah which is seen from the choreogra","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47037143","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"AKSARA JAWA SEBAGAI IDE PENCIPTAAN KARYA TARI AKSARA TUBUH OLEH BOBY ARI SETIAWAN","authors":"Fani Dwi Hapsari, R. Pramutomo","doi":"10.33153/glr.v16i1.2337","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/glr.v16i1.2337","url":null,"abstract":"ABSTRAK “Aksara Jawa Sebagai Ide Penciptaan Karya Tari Aksara Tubuh Oleh Boby Ari Setiawan”. Penelitian ini dilakukan sebagai ide penciptaan sebuah karya baru yang bersumber dari huruf aksara Jawa. Sebagai salah satu bentuk kesenian tari kontemporer. Penelitian tentang karya tari Aksara Tubuh sebagai sesuatu yang bermuatan kreatif. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah, bentuk ide penciptaan karya tari Aksara Tubuh beserta elemen-elemen koreografi yang ada pada karya ini. Beberapa rumusan masalah tersebut terinci sebagai berikut: 1. Mengapa Boby Ari Setiawan menggunakan aksara Jawa sebagai acuan karya tari Aksara Tubuh? Bagaimana kreativitas aksara Jawa menjadi bentuk koreografi Aksara Tubuh? 3. Bagaimana visualisasi Aksara Tubuh karya Boby Ari Setiawan? Untuk mengungkap berbagai aspek tersebut menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode Etnokoreologi. Metode yang dilakukan adalah metode penelitian kualitatif. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan landasan konseptual dan teori yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa Boby Ari Setiawan mempunyai ciri-ciri pribadi yang kreatif. Mengembangkan bakat dengan didasari latar belakang kesenimanan Boby, dan tidak lepas dari dasar tari tradisi Jawa. Eksplorasi merupakan proses berfikir, berimajinasi serta merasakan dan merespon suatu objek yang diperoleh melalui panca indera. Penggabungan dan penggunaan dua objek mate-rial antara bentuk huruf aksara. Jawa dan dasar tari tradisi gaya Surakarta. Dapat diambil kesimpulan bahwa seorang koreografer perlu berfikir kreatif tentang suatu objek hingga menjadi ide kreatif dalam karyanya dan tidak lepas dari nilai pendidikan yang ada. Kata kunci: Aksara Jawa, Aksara Tubuh, Boby Ari Setiawan. ABSTRACT “Aksara Jawa As The Ideas For The Creation Of A Dance Work Aksara Tubuh By Boby Ari Setiawan”. This research is carried out as the idea of creating a new work based on Javanese script as a form of contempo-rary dance art. The research is about a dance work Aksara Tubuh as something that is creative. The problem studied in this study is the form of the idea of creating the dance work Aksara Tubuh along with the choreo-graphic elements in this work. The problems are formulated as the followings: 1. Why Boby Ari Setiawan use Javanese script as the reference for the dance Aksara Tubuh ; 2. How can the creativity of Javanese script become the choreographic form of Aksara Tubuh ; and 3. How the visualization of Aksara Tubuh by Boby Ari Setiawan is? To convey these various aspects, the research uses a case study approach with Ethnocoreology method. The method used is qualitative research method. The data is analyzed by a conceptual basis. The results showed that Boby AriSetiawan had creative personal characteristics. He develops his talent based on his artistic background, and the Javanese traditional dance. Exploration is a process of thinking, imagining, feeling and responding to an object obtained through t","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49631590","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KEBERADAAN BATIK TUTUR BLITAR KARYA EDDY DEWA","authors":"Rengga Kusuma Nawala Sari","doi":"10.33153/glr.v16i1.2342","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/glr.v16i1.2342","url":null,"abstract":"<p align=\"center\"><strong>ABSTRAK</strong></p><p> </p><p>Batik Tutur merupakan hasil pengembangan dari motif batik <em>Afkomstig Uit Blitar 1902</em>, warisan budaya masyarakat blitar pada masa lampau yang dikoleksi museum belanda. Saat ini batik tutur memiliki 15 motif dengan berbagai macam nama sesuai motif dan makna, nama pada setiap motif mengandung pesan moral atau pitutur yang ingin disampaikan Eddy Dewa sebagai pencipta motif kepada pemakainya. Tujuan penelitian ini yaitu latar belakang penciptaan batik tutur karya Eddy Dewa. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka, sedangkan pengolahan datanya menggunakan interaksi analisis,hasil analiss dari penelitian ini yang didapat adalah batik tutur memiliki fungsi sebagai sarung dengan pola motif yang sama dengan pola sarung yang memiliki tumpal tengah, dan makna yang terkandung merupakan intepratasi Eddy Dewa dalam memaknai lingkungan sekitar.</p><p> </p><p><strong>Kata kunci: </strong>Revitalisasi, Batik<strong> </strong><em>Afkomstig Uit Blitar</em>, Batik Tutur.</p><p> </p><p> </p><p align=\"center\"><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p><p> </p><p><em>Batik Tutur is the result of the development of batik motif Afkomstig Uit Blitar 1902. It is the cultural heritage of Blitar community in the past which was collected by the Dutch museum. Currently, batik </em>tutur<em> has 15 motifs with various names according to the motives and meanings. The name of each motif contains a moral mes-sage or a message that Eddy Dewa wishes to convey as the creator of the motif to the consumers. The purpose of this study is to know the background of batik </em>tutur<em> creation by Eddy Dewa. The research used is qualitative research methods with data collection and data processing. Data collection includes observation, interviews, and literature study, while the data processing uses interaction analysis. The results of this re-search tells that batik </em>tutur<em> has a function as a sarong with the same motif pattern as a sarong pattern that has a middle tumpal. The meaning contained tells about Eddy Dewa’s interpretation in handling interpreting the surrounding environment.</em></p><p> </p><p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Revitalization, Batik Afkomstig Uit Blitar, Batik Tutur.</em></p>","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42859585","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"ESTETIKA WANGSALAN DALAM LAGU SINDHENAN KARAWITAN JAWA","authors":"Sukesi Rahayu","doi":"10.33153/glr.v16i1.2338","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/glr.v16i1.2338","url":null,"abstract":"ABSTRAK Sindhenan merupakan salah satu aspek penting dalam pergelaran Karawitan Jawa baik dalam pertunjukan mandiri maupun fungsi karawitan sebagai salah satu pendukung pertunjukan yang memiliki unsur-unsur estetis maupun etis. Unsur-unsur estetis berkaitan dengan bentuk susunan frasa serta diksi yang digunakan dalam teks sindhenan, antara lain yang terdapat dalam wangsalan. Wangsalan merupakan salah satu teks sindhenan yang memiliki kandungan nilai yang dihayati dan diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat jawa, nilai-nilai tersebut selanjutnya disebut sebagai nilai etis yang terbingkai dalam budaya jawa. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji makna yang terkandung dalam wangsalan sindhenan yang dikaji dengan perspekstif estetika bunyi dan persajakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dimana data yang disajikan merupaka data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, dengan sudut pandang penulis sebagai pelaku. Hasil dari penelitian ini mengungkap makna yang terkandung dalam wangsalan yang disampaikan oleh seorang sindhen hubunganya dengan ideologi serta cara pandang orang jawa dalam memaknai kehidupan. Kata kunci: Sindhen, Wangsalan, Estetika Bunyi. ABSTRACT Sindhenan is an important aspect in the performance of Javanese Karawitan both in independent perfor-mances and karawitan functions as one of the supporting aspects of the performance that has aesthetic and ethical elements. Aesthetic elements are related to the form of the phrase structure and the diction used in the sindhenan text, including those in the wangsalan. Wangsalan is one of the sindhenan texts which has values that are appreciated and believed to be a Javanese view of life. These values are then referred to as ethical values framed in Javanese culture. This research studies the meaning contained in the sindhenan wangsalan which is studied with aesthetic perspectives of sound and poetry. The method used in this study is a qualitative research model where the data presented is data obtained directly from the field, with the author’s perspective as the actor. The results of this study reveal the meaning contained in wangsalan conveyed by a sindhen in relation to the Javanese view and ideology in interpreting life. Keywords: Sindhen, Wangsalan, Sound Aesthetics.","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47535092","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"STRATEGI CITY BRANDING PEKALONGAN “WORLD’S CITY OF BATIK”","authors":"Rifda Amalia Susanti","doi":"10.33153/glr.v16i1.2343","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/glr.v16i1.2343","url":null,"abstract":"ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang strategi kota Pekalongan dalam mempromosikan city branding “World’s City of Batik”. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data yaitu telaah dokumen, wawancara dan studi pustaka. Hasil dari tulisan ini adalah (a) menghasilkan pemaparan tentang aset kota yang dimiliki oleh kota Pekalongan, yaitu budaya (cultural) yang diwakili oleh pariwisata berbasis batik dan kemudahan (amenity) termasuk fasilitas yang tersedia di kota Pekalongan. Aset kota ini merupakan salah satu penguat branding kota. (b) strategi branding yang dilakukan pemerintah kota meliputi strategi visual dan strategi promosi. Strategi visual yang dilakukan di antaranya penciptaan identitas visual yang merepresentasikan karakter kota Pekalongan seperti logo, tagline, warna dan tipografi. Identitas visual ini nantinya dikomunikasikan dalam berbagai media promosi seperi merchandise, spanduk, poster, leaflet, dan sebagainya. Strategi promosi yang dilakukan oleh pemerintah kota yaitu dengan mengadakan festival tahunan Pekan Batik, membuat labelisasi batik, landmark, zebracross batik. Selain logo branding, kota Pekalongan secara konsisten menggunakan motif batik khas Pekalongan, yaitu Jlamprang dalam media promosi. Kata kunci: City Branding, Pekalongan, Batik. ABSTRACT This paper discusses about the strategy of Pekalongan city in promoting the city branding “World’s City of Batik”. The method used is qualitative descriptive, with data collection techniques namely document review, interviews and literature study. The results of this paper are (a) an explanation of the city assets owned by Pekalongan city, it is the culture represented by batik-based tourism and convenience (amenities) including available facilities in Pekalongan. This city asset is one of the city’s branding boosters. (b) the branding strategy carried out by the city government includes visual and promotion strategies. Visual strategies carried out include the creation of visual identities that represent the character of Pekalongan city such as logos, taglines, colors and typography. This visual identity will be communicated in various promotional media such as merchandise, banners, posters, leaflets, and so on. Promotional strategies carried out by the city govern-ment include an annual Batik Festival, making batik labels, landmarks, and zebra cross batik. In addition to the branding logo, Pekalongan city consistently uses typical batik motifs of Pekalongan, namely Jlamprang in promotional media. Keywords: City Branding, Pekalongan, Batik.","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42624249","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KENDANGAN PINATUT DALAM SAJIAN KLENENGAN","authors":"Sigit Setyawan","doi":"10.33153/GLR.V16I1.2341","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/GLR.V16I1.2341","url":null,"abstract":"ABSTRAK Kendangan pinatut adalah aktivitas yang harus dilakukan pengendang untuk menghidupkan sajian gending pada sajian pertunjukan karawitan mandiri gaya Surakarta atau lazim disebut klenengan. Untuk alasan tersebut maka diperlukan sebuah penelitian untuk mengeksplanasi kendangan pinatut dengan cara mentransfer konsep musikal karawitan yang masih berada dalam ruang oral menjadi kajian ilmiah - keilmuan karawitan - menurut sudut pandang para praktisi karawitan. Maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi Alfred Schut. Schutz memandang manusia sebagai “self elucidation” atau “penjelasan atau uraian diri” yang dalam pelaksanaan penelitian lebih banyak menggali: apa yang mereka katakan, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka tafsirkan tentang dunia mereka(Walsh dan Wals, 1967). Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah emic fenomenologi. Apa yang ingin dilukiskan dari suatu kebudayaan harus atau sebaiknya ditentukan secara emic, yakni mengikuti pandangan pemilik kebudayaannya (Ahimsa dalam Waridi, 2005: 34). Selain mencari data berdasarkan pustaka, penelitian ini menitik beratkan pada metode wawancara secara mendalam dari para praktisi karawitan kemudian dikomparasikan dengan data-data audio rekaman klenengan dan peristiwa klenengan secara langsung. Kendangan pinatut merupakan kendangan yang disajikan tanpa mengikuti konvensi serta sistematika kendangan yang telah disepakati oleh para pelaku karawitan. Kendangan pinatut disajikan berdasarkan faktor-faktor pembentuknya/ pemicunya, sehingga menghasilkan kesan rasa yang sesuai dan pantas. Kendangan pinatut hadir karena ada faktor pembentuknya yaitu lagu, berikut variasinya yaitu kalimat lagu, ritme, cakepan dan garap balungan. Kata kunci: karawitan, klenengan, kendangan, pinatut. ABSTRACT Pinatut is an activity that has to be carried out by pengendang (the kendang player) to turn on the traditional gending in the Surakarta style of independent musical performances or commonly called klenengan. This study explains the pinatut kendangan by transferring karawitan concepts that are still in the oral space into scientific studies - karawitan science - according to the karawitan practitioners’ point of view. The approach used in this research is the phenomenology of Alfred Schut. Schutz views humans as “self-elucidation” or “explanation or self-description” which in the research explores more about: what they say, what they think, what they interpret about their world (Walsh and Wals, 1967). Another approach used in this study is emic phenomenology. What you want to describe from a culture must or should be determined emotionally. It is supposed to follow the owner’s view of the culture (Ahimsa in Waridi, 2005: 34). The data is based on literature, besides, this study focuses on in-depth interview methods from karawitan practitioners then compared with audio recordings of klenengan and incidental live events. kendangan pinatut is kendangan that is presented w","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":"1 5","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41256552","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PROSES PENCIPTAAN MUSIK SUARA SINDHEN: INTERPRETASI GENDHING GINONJING KARYA NUR HANDAYANI","authors":"Nur Handayani","doi":"10.33153/glr.v16i1.2344","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/glr.v16i1.2344","url":null,"abstract":"<p align=\"center\"><strong>ABSTRAK</strong></p><p> </p><p>Karya “Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing”, dilatarbelakangi oleh hasil olah pikir sekaligus interpretasi atas Gendhing Ginonjing. Bermula saat pengkarya membaca surat Kartini yang berkisah tentang Gendhing Ginonjing. Kegelisahan Kartini sepurnanya mendengarkan Gendhing Ginonjing, dituangkan lewat surat tersebut dengan sangat dramatis. Esensi surat tersebut, memberikan stimulan kepada pengkarya untuk membuat karya berdasarkan Gendhing Ginonjing. Jika Kartini dapat menuangkan kembali Gendhing Ginonjing secara sastrawi melalui suratnya, pengkarya sebagai <em>pesindhen</em> juga ingin mengungkapkan ulang Gendhing Ginonjing melalui olah pikir musikal dan diwujudkan dengan karya seni orkestrasi <em>sindhen</em>. Dari hasil pengamatan dan analisis, Gendhing Ginonjing dapat dipilah menjadi tiga konsep musikal. Pertama adalah <em>andegan sindhenan</em> Gendhing Ginonjing yang dikembangkan melibatkan <em>wangsalan</em>, <em>abon-abon</em>, <em>parikan</em>, <em>senggakan</em>, serta sekar <em>bebas </em>sebagai unsur teks. Dari unsur lagu, menyajikan perbenturan harmoni<em> adumanis</em>,<em> salahnggumun</em>,<em> kempyung</em>,<em> pendawan</em>, serta<em> gembyang </em>sehingga menciptakan harmoni unik atau nada yang membuat bunyi<em> </em>musik menjadi khas. Kedua adalah komposisi yang berakar dari <em>selingan</em> Gendhing Ginonjing berjudul <em>Lelagon</em> Lelo Ledung, yang digarap dan disajikan dengan model <em>uro-uro</em> atau akapela, dikemas dengan paradigma <em>sindhenan </em>gaya Surakarta, dengan menonjolkan dinamika power suara<em> pesindhen </em>serta memanfaatkan aspek<em> </em>keruangan dengan teknik akustika bunyi <em>surround</em>. Ketiga adalah komposisi yang berakar dari surat Kartini tentang Gendhing Ginonjing. Karya ini merepresentasikan perasaan Kartini yang tertuang dalam surat. Bagian ini menggarap elemen vokal melalui perpaduan berbagai gaya <em>sindhenan</em> meliputi: Jawa Barat, Banyumas, Jawa Tengah, serta Banyuwangi, yang kemudian diformulasikan kembali menjadi konsep musik garapan baru. Penyusunan karya ini menggunakan beberapa metode sebagai langkah penciptaannya, meliputi: menentukan bahan, mencari bahan, mengolah bahan, mengemas bahan, serta mempergelarkannya. Rangkaian tersebut adalah proses dari lahirnya karya “Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing”.</p><p> </p><p><strong>Kata kunci: </strong>Suara Sindhen, Gendhing Ginonjing, Komposisi Musik.</p><p> </p><p> </p><p align=\"center\"><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p><p> </p><p><em>The work of “ Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing “ is based on the analysis and interpretation of Gendhing Ginonjing. It started when the creator read Kartini’s letter about Gendhing Ginonjing. Kartini’s anxiety was as easy as listening to Gendhing Ginonjing, written in the letter dramatically. The essence of the letter gives stimulants to the creator to create works based on Gendhing Ginonjing. If ","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49320139","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG","authors":"Supratiwi Amir","doi":"10.33153/glr.v16i1.2339","DOIUrl":"https://doi.org/10.33153/glr.v16i1.2339","url":null,"abstract":"<p align=\"center\"><strong>ABSTRAK</strong></p><p> </p><p><em>Lipa sabbe </em>merupakan sebuah sarung yang terbuat dari benang sutra yang ditenun menggunakan alat walida<em> </em>dan bola-bola. Dalam masyarakat Bugis sarung telah menjadi bagian yang tidak pernah lepas dari kegiatan kehidupan sehari-hari, misalnya sarung tuk ibadah, memanjat pohon, mengusir nyamuk, menggendong anak, dan pakaian sehari-hari lain. Berbeda dengan <em>lipa sabbe</em> yang digunakan dalam kegiatan ritual khusus, juga memiliki motif yang mengandung sebuah makna. Kekhususan ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk mengkaji <em>lipa sabbe</em>. Melihat bentuk dan motif-motif <em>lipa sabbe</em> yang cenderung segi empat kotak-kotak merupakan sebuah manifestasi dari wujud <em>sulapa eppa.</em> Hal ini merupakan bentuk upaya masyarakat untuk melakukan sebuah pemaknaan, agar <em>lipa sabbe</em> mampu bereksistensi dan tidak hilang dari peradaban.</p><p> </p><p><strong>Kata kunci: </strong>Lipa’ Sabbe, Sulapa’ Eppa’, Sengkang.</p><p> </p><p> </p><p align=\"center\"><strong><em>ABSTRACT</em></strong></p><p> </p><p><em>Lipa sabbe is a sarong made of silk thread which is woven using a tool of walida and balls. In Bugis society, the sarong has become a part that has never been separated from the activities of daily life. The sarong for prayer gloves, for climbing trees, for repelling mosquitoes, for carrying children, and other everyday clothes are different. Lipa sabbe which is used in special ritual activities also has a different motive that contains a meaning. This particularity becomes an interesting thing for the writer to study lipa sabbe. Seeing the shape and motifs of lipa sabbe which tend to be rectangular squares is a manifestation of the sulapa eppa form. This is a form of community efforts to make a meaning in order that lipa sabbe is always exist and not disappear from civilization.</em></p><p> </p><p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Lipa ’Sabbe, Sulapa’ Eppa ’, Sengkang.</em></p>","PeriodicalId":33299,"journal":{"name":"Gelar Jurnal Seni Budaya","volume":"68 11","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41246367","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}