Naditira WidyaPub Date : 2023-12-31DOI: 10.24832/nw.v17i2.525
Bau Mene
{"title":"JEJAK HUNIAN GUA DUDUMUNIR DI PULAU ARGUNI, DI WILAYAH FAKFAK, PAPUA BARAT","authors":"Bau Mene","doi":"10.24832/nw.v17i2.525","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i2.525","url":null,"abstract":"Gua Dudumunir memiliki keunikan, karena keletakannya yang berada tidak jauh dari garis Pantai di Pulau Arguni. Telah beberapa kali dilakukan survei di Gua Dudumunir, tetapi belum dilakukan penelitian arkeologis yang intensif yang berkaitan dengan penghunian gua. Survei tahun 2015 menunjukkan bahwa permukaan lantai aktual gua dipenuhi oleh cangkang moluska, tulang binatang, dan fragmen gerabah. Oleh karena itu, pada tahun 2018 dilakukan penelitian dengan tujuan memahami karakteristik penghunian Gua Dudumunir pada masa lampau berdasarkan tinggalan arkeologisnya. Dengan demikian, sasarn penelitian ini adalah i) temuan arkeologis di situs Gua Dudumunir yang menggambarkan gua tersebut sebagai tempat bermukim pada masa lampau, termasuk fungsi artefak-artefaknya; dan ii) pola pemanfaatan gua tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, dan diawali dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, survei, dan ekskavasi. Ekskavasi dilakukan dengan membuka dua kotak ekskavasi, yaitu U1B1/KT1 dan DDM/FF/KT2. Dari hasil pembukaan dua kotak ekskavasi diketahui keragaman tinggalan arkeologis yang terdiri atas i) alat batu; ii) alat dan perhiasan tulang; iii) sisa-sisa fauna vertebrata dan invertebrate, serta tulang manusia; iv) gerabah, v) sisa-sisa arang; vi) bongkahan lepas batu kuarsa, rijang, dan oker, serta vii) tinggalan perang dunia berupa koin mata uang. Keragaman temuan berikut konteksnya mendukung kesimpulan bahwa Gua Dudumunir adalah multicomponent site sebagai tempat hunian pada masa prasejarah, tempat penguburan, dan tempat persembunyian. Gua Dudumunir is unique because it is located not far from the coastline on Arguni Island. Several surveys have been conducted at Gua Dudumunir, but no intensive archaeological research has been carried out relating to cave-dwelling. A 2015 survey showed that the cave floor was littered with mollusc shells, animal bones, and potsherds. Therefore, in 2018 research was carried out to understand the characteristics of cave-dwelling at Gua Dudumunir in the past based on archaeological remains. Thus, the targets of this research are i) archaeological items that may illustrate the type of activities within the cave, including the function of the artifacts; and ii) the pattern of cave usage. This research is descriptive-analytic and begins with data collection through literature studies, surveys, and excavations. The excavation was carried out by opening two excavation trenches i.e., U1B1/KT1 and DDM/FF/KT2. The two excavation trenches yielded a diversity of archaeological remains consisting of i) stone tools; ii) bone tools and adornment; iii) remains of vertebrate and invertebrate fauna, as well as human bones; iv) pottery, v) charcoal remains; vi) chunks of quartz, chert and ochre, and vii) currency coins from the world war period. The diversity of findings and their context support the conclusion that Gua Dudumunir is a multi-component site as a prehistoric dwelling place, burial place, and hiding place.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"79 11","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139130481","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-12-31DOI: 10.24832/nw.v17i2.530
Nasrullah Azis, Sriwigati, D. Indah, Asikin Nurani
{"title":"PERBANDINGAN KUBUR TEBING TORAUT DAN TORAJA DI PULAU SULAWESI","authors":"Nasrullah Azis, Sriwigati, D. Indah, Asikin Nurani","doi":"10.24832/nw.v17i2.530","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i2.530","url":null,"abstract":"Penguburan atau menempatkan mayat pada suatu tempat yang lebih tinggi adalah bentuk penghormatan serta salah satu kepercayaan akan adanya kehidupan setelah mati. Di pulau Sulawesi terdapat tradisi menempatkan mayat pada tebing-tebing alam yang dipahat menjadi rongga-rongga berbentuk persegi. Tradisi penempatan mayat yang disebut kubur tebing ditemukan di dua kawasan yang berjauhan lokasinya, yaitu di Toraut di Sulawesi bagian utara dan di Toraja di Sulawesi bagian selatan. Berdasarkan observasi lapangan dan informasi penduduk setempat, diketahui bahwa tinggalan kubur tebing di Toraut sudah tidak digunakan lagi. Masyarakat setempat di Toraut sekarang tidak mengenal lagi penguburan jenazah di tebing-tebing. Berbeda halnya pada masyarakat di Toraja, yang sampai sekarang masih melangsungkan tradisi penguburan di tebing-tebing. Tujuan penelitian ini adalah memahami pemilihan lokasi tebing, bentuk rongga pahatan, dan cara penguburan di tebing di Toraut dan Toraja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif- analitis. Data dikumpulkan melalui tinjauan pustaka terkait kubur tebing di Toraut dan Toraja, identifikasi secara langsung pada rongga-rongga pahatan di tebing, dan melakukan wawancara dengan penduduk di sekitar kubur tebing di Toraut dan Toraja. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaaan pada pemilihan lokasi tebing untuk penguburan, pada bentuk rongga pahatan, dan cara meletakkan mayat dalam rongga-rongga pahatan di kubur tebing di Toraut dan Toraja. Burial or placing a cadaver on higher ground is a form of respect and a belief in the existence of life after death. On the island of Sulawesi (Celebes), there is a tradition of placing cadavers on natural cliffs carved into square-shaped cavities. Such cliff niches are called cliff tombs and they can be found on two opposite regions of the island, in Toraut in northern Sulawesi and Toraja in southern Sulawesi. Based on field observations and information from residents, it is known that the cliff tombs in Toraut are no longer used. Local people in Toraut today no longer recognize the tradition of cadaver burials on cliffs. This is different for the people in Toraja, who still carry out the tradition of burial on cliffs. This research aims to understand the choice of cliff location, the shape of the carving cavity, and the method of burial on cliffs in Toraut and Toraja. The method used in this research is descriptive-analytic. Data was collected through a literature review regarding cliff graves in Toraut and Toraja, direct identification of carved cavities in cliffs, and conducting interviews with residents around cliff graves in Toraut and Toraja. The results of the research show that there are differences in the choice of cliff locations for burial, in the shape of the carving cavities, and in the way, the body is placed in the carving cavities in cliff graves in Toraut and Toraja.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":" 5","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139136012","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-12-28DOI: 10.24832/nw.v17i2.531
Ulce Oktrivia, S.S, Imam Hindarto, R. A. Bawono, E. Herwanto
{"title":"BATU PUN: ARKEOLOGI DAN MITOS DAYAK LUNDAYEH DI LEMBAH KURID DI KRAYAN, NUNUKAN","authors":"Ulce Oktrivia, S.S, Imam Hindarto, R. A. Bawono, E. Herwanto","doi":"10.24832/nw.v17i2.531","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i2.531","url":null,"abstract":"Tradisi megalitik di kawasan Krayan telah berkembang seiring dengan perubahan zaman. Salah satunya adalah Batu Pun yang berada di lembah Kurid, di Nunukan. Tampaknya masyarakat Lundayeh yang bermukim di lembah Kurid belum memahami sepenuhnya arti keberadaan situs megalitik. Menurut mereka situs Batu Pun sudah ada jauh sebelum mereka memasuki kawasan ini. Pengetahuan umum yang diwariskan secara turun-menurun adalah mitos bahwa Batu Pun merupakan batu-batu megalitik yang terbentuk akibat mesab atau kutukan. Novelty dari penelitian ini adalah belum adanya kajian mitos yang berkaitan dengan tinggalan megalitik. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah memahami tinggalan megalitik di lembah Kurid dalam perspektif arkeologi dan mitologi. Pengumpulan data dilakukan dengan pembukaan test pit, kajian pustaka, dan studi etnografi dengan wawancara mendalam secara partisipatoris tentang Batu Pun. Analisis dilakukan dengan cara komparasi dengan temuan serupa di kawasan yang sama untuk memahami konteks budaya yang terkait dengan Batu Pun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Batu Pun merupakan salah satu tinggalan budaya megalitik perupun berupa struktur batu yang membukit dengan beberapa menhir di bagian atasnya. Pada konteks arkeologis dan etnohistoris, perupun difungsikan sebagai media kubur, dan tidak berkorelasi dengan mitos masyarakat Lundayeh tentang mesab ”menjadi batu.” Hal tersebut membuktikan bahwa rentang waktu yang memisahkan antara masa pembangunan Batu Pun dengan masa kehidupan msyarakat Lundayeh yang hidup sekarang di Lembah Kurid telah mempengaruhi pemaknaan Batu Pun. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan gagasan tentang khazanah identitas budaya di kawasan perbatasan, serta menjadi salah satu bahan rujukan awal untuk kepurbakalaan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Utara. The Lundayeh people believe that the megalithic of Batu Pun in the Kurid Valley was formed due to a mesab or a curse.. The novelty of this research is that no study of myths related to the megalithic of Batu Pun has been carried out. Based on this, the present research aims to understand the megalithic remains in the Kurid Valley from an archaeological and mythological perspective. Data collection was carried out by excavating a test pit, literature reviews, and an ethnographic study with participatory in-depth interviews about Batu Pun. The analysis was carried out by comparing similar findings in the area to understand the cultural context of Batu Pun. Research results show that Batu Pun is a perupun or grave that is formed as a mound-structure of stone with several menhirs on top. In archaeological and ethnohistorical contexts, the perupun does not correlate with the Lundayeh people's myth about mesab of petrification. This proves that the time that separates the construction period of Batu Pun and the present-day Lundayeh people who live in the Kurid Valley has influenced the transformation of the meaning of Batu Pun.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"291 7","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139152642","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-12-19DOI: 10.24832/nw.v17i2.521
Priyatno Hadi, dan Muasomah, Domestikasi Tumbuhan, Berdasarkan Temuan, Mikrobotani di, Situs Neolitik, Studi Kasus, Situs Kendenglembu-Priyatno, Hadi Sulistyarto
{"title":"DOMESTIKASI TUMBUHAN BERDASARKAN TEMUAN MIKROBOTANI DI SITUS NEOLITIK: STUDI KASUS SITUS KENDENGLEMBU","authors":"Priyatno Hadi, dan Muasomah, Domestikasi Tumbuhan, Berdasarkan Temuan, Mikrobotani di, Situs Neolitik, Studi Kasus, Situs Kendenglembu-Priyatno, Hadi Sulistyarto","doi":"10.24832/nw.v17i2.521","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i2.521","url":null,"abstract":"Situs Kendenglembu di Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu situs budaya neolitik yang karakteristik artefaknya tidak bercampur dengan tradisi litik sebelumnya. Kehidupan pada situs ini didukung oleh populasi penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari kawasan Cina Selatan, kemudian datang dan menghuni kawasan situs Kendenglembu. Kehadiran populasi penutur bahasa Austronesia tersebut membawa budaya neolitik yang dicirikan dengan berbagai kemampuan antara lain bertani, membuat peralatan tembikar, membuat kapak batu, mengembangkan teknologi kemaritiman, melakukan domestikasi binatang, dan berkehidupan menetap. Novelty (kebaruan) dari penelitian ini adalah belum ada studi mendalam tentang domestikasi tumbuhan di situs Kendenglembu. Tujuan penelitian ini adalah memahami adanya domestikasi tumbuhan yang berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan di situs Kendenglembu. Data yang digunakan merupakan hasil ekskavasi tahun 2008, serta data tahun 2011 berupa Oryza sativa sp. dan data tentang kilap silika yang berasal dari sisa tumbuhan yang mengindikasikan pemanfaatn tumbuhan. Analisis kali ini difokuskan pada data mikrobotani menggunakan protokol Piperno dengan mikroskop polarisasi XP-213 dengan perbesaran 400x. Hasil penelitian menunjukkan sebaran situs arkeologi dengan sumber bahan batuan melimpah yang merupakan lokasi perbengkelan alat-alat batu, lokasi permukiman yang berada di puncak-puncak bukit yang landai, serta lokasi bercocok tanam di dekat aliran sungai. Studi domestikasi tumbuhan ini diharapkan dapat menjadi acuan penelitian lanjutan berkaitan dengan aspek-aspek domestikasi tumbuhan yang terjadi di situs-situs arkeologi.It is suggested that the neolithic open site of Kendenglembu in Banyuwangi Regency has been occupied by a population of Austronesian speakers who are associated with farming. The novelty of this research is that there has been no in-depth study of plant domestication at the Kendenglembu site. Thus, this research aims to understand whether plant domestication occurred which relates to plant use at the Kendenglembu site. The data used was recovered from the 2008 excavations, and 2011 analysis of plant proxies i.e., the Oryza sativa sp. and silica luster from plant remains which indicates plant use. The analysis of the present research focuses on microbotanical remains employing the Piperno protocol with an XP-213 polarizing microscope using 400x magnification. Results show the distribution of archaeological sites with abundant sources of rock materials, which are locations of stone tool workshops, settlement areas on sloping hilltops, and farming locations near river flows.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"32 2","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139171139","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"BUKTI AWAL PERSEBARAN BUDAYA AUSTRONESIA DI SESE, SULAWESI BARAT: TINJAUAN BERDASARKAN DATA ARKEOLOGI","authors":"Nani Somba, Chalid As, Hasrianti, A. Yusuf, Ersa Dwi Saputra, Syahruddin Mansyur","doi":"10.24832/nw.v17i2.532","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i2.532","url":null,"abstract":"Penelitian terhadap sebaran situs-situs dengan indikasi tinggalan arkeologis dari bangsa penutur bahasa Austronesia di Mamuju selama ini fokusnya di sepanjang daerah aliran sungai Karama. Sejumlah situs di daerah aliran Sungai Simboro juga mengandung data arkeologi semacam, tetapi belum ada penelitian arkeologi yang dilakukan di sini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami persebaran budaya Austronesia di daerah aliran Sungai Simboro, terutama di kawasan Sese. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survei arkeologi di lima situs terbuka yaitu, Gattungan, Demmanapa, Koronganak, Talopi, dan Kayu Colo, serta perekaman koordinat situs-situs memakai global positioning system. Selanjutnya, titik-titik koordinat diolah untuk membuat peta sebaran situs menggunakan software pemetaan geographic information system. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan arsip, serta wawancara terbuka terhadap tokoh-tokoh masyarakat lokal. Analisis data survei dilakukan secara makroskopis, serta perbandingan analogis dengan data etnografi dan kajian sumber sejarah. Hasil survei di kelima situs terbuka tersebut adalah data arkeologis berupa fragmen gerabah, fragmen keramik, beliung, batu ike (bark-cloth beater), lumpang batu, manik-manik, artefak logam, dan cangkang kerang. Fragmen gerabah ditemukan di kelima situs di Sese. Fragmen keramik ditemukan di empat situs, kecuali situs Koronganak. Alat batu ditemukan di situs-situs Gattungan, Demmanapa, dan Kayu Colo. Perhiasan berupa manik-manik ditemukan di situs-situs Gattungan dan Kayu Colo. Peralatan logam dan cangkang kerang ditemukan di situs-situs Gattungan dan Kayu Colo. Variabilitas data arkeologi dan etnografi menunjukkan karakter budaya neolitik dari masa prasejarah berlanjut hingga ke masa sejarah di kawasan Sese, dan merupakan bukti signifikan kehadiran bangsa penutur bahasa Austronesia di daerah aliran sungai Simboro.Many sites in the Simboro River basin provide potential archaeological remains of the Austronesian-speaking peoples, but no research has been carried out there. This research aims to understand the spread of Austronesian culture in the Simboro River basin, specifically in the Sese region. Primary data collection was carried out by archaeological surveys at five open sites i.e., Gattungan, Demmanapa, Koronganak, Talopi, and Kayu Colo. Secondary data was collected through library and archive studies, and open interviews with local community figures. Archaeological data was analysed macroscopically, supported by analogical comparisons with ethnographic data and historical source studies. The survey yielded potsherds, stone tools including hand adzes, bark-cloth beaters, stone mortars, beads, metal artifacts, and shells. The variability of archaeological and ethnographic data shows that the neolithic cultural characteristics from the prehistoric period continued into the historical period in the Sese area and is significant evidence of the presence of Austronesian-language speakers i","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"26 3","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139171307","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-12-19DOI: 10.24832/nw.v17i2.529
Ida Komalasari, Akhmad Humaidi
{"title":"NAMA DESA BERBAHASA BANJAR DALAM LANSKAP LINGUISTIK DI KALIMANTAN SELATAN","authors":"Ida Komalasari, Akhmad Humaidi","doi":"10.24832/nw.v17i2.529","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i2.529","url":null,"abstract":"Pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur akan memberikan dampak kepada kawasan di sekitarnya, termasuk Kalimantan Selatan yang diarahkan sebagai penyangga ibu kota negara. Dampaknya, bahasa Banjar selaku bahasa lokal akan menghadapi tantangan pergeseran hingga kepunahan bahasa, karena pemindahan tersebut. Salah satu sarana pelindungan bahasa Banjar agar dapat terus bertahan adalah penamaan desa. Novelty (kebaruan) penelitian ini adalah rendahnya pemahaman masyarakat akan latar histori dan filosofis desanya, dan belum pernah ada penelitian tentang penamaan tempat dari struktur kebahasaan dan makna nama suatu desa. Tujuan penelitian ini adalah memahami struktur kebahasaan dan makna nama desa berbahasa Banjar dalam lanskap linguistik di Kalimantan Selatan. Lanskap linguistik secara teoretis cocok mengkaji hierarki linguistik di ruang publik. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan struktur kebahasaan bentuk kata dasar nama desa cenderung menggunakan nomina daripada jenis lain. Selanjutnya, afiksasi terhadap kata dasar juga memperkaya pemaknaan masyarakat. Selain itu, kata majemuk berupa gabungan nomina + adjektiva dan nomina + nomina adalah bentuk yang paling sering muncul. Di lain pihak, makna nama desa di Kalimantan Selatan menggambarkan kecenderungan pada simbol sejarah, cerita rakyat, flora, fauna, tokoh, perilaku, alat, benda alam, rupa bumi, dan wujud air. Nama desa memiliki kelebihan karena cenderung tidak berubah sehingga nilai bahasa, filosofis, dan historis di dalamnya dapat terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap makna yang terkandung dalam nama desa, sehingga pengaruh bahasa lain dan pergeseran bahasa dapat dikurangi. The move of the national capital from Jakarta to East Kalimantan Province will affect the shift of local languages, including the Banjarese language in South Kalimantan. A means to protect and sustain the Banjarese language is by naming a village. This research aims to understand the linguistic structure and meaning of the Banjarese village names in the linguistic landscape in South Kalimantan. Data was collected by observation and interviews. Research results show that the linguistic structure of the form of basic words of a village name uses nouns. The use of affixes also enriches the meaning of village names. Besides, compound words appear often and form as a combination of noun + adjective and noun + noun. The meaning of village names in South Kalimantan reflects historical symbols, folklore, flora, fauna, characters, behaviour, tools, natural objects, earth, and water. Village names tend not to change, so their linguistic, philosophical, and historical values can be passed on to the next generation.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"218 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139172157","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-11-06DOI: 10.24832/nw.v17i1.526
Hari Suroto, Rini Maryone, Marlyn Salhuteru
{"title":"BUDAYA SAGU DI PAPUA DARI MASA PRASEJARAH HINGGA MASA KINI","authors":"Hari Suroto, Rini Maryone, Marlyn Salhuteru","doi":"10.24832/nw.v17i1.526","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i1.526","url":null,"abstract":"Sagu merupakan bahan makanan pokok masyarakat Papua dan banyak ditemukan di lingkungan sekitar permukiman mereka. Aktivitas mengolah sagu tidak memerlukan pengeluaran yang banyak, baik tenaga, biaya, dan waktu serta resikonya kecil, dibandingkan dengan aktivitas berburu atau menangkap ikan. Oleh karena itu, tanaman sagu menjadi salah satu karakteristik kebudayaan Papua sekarang, yaitu sebagai penanda identitas, batas wilayah, bahkan memiliki fungsi dalam aktivitas adat. Sejumlah ahli arkeologi telah membahas tentang eksistensi sagu yang berkaitan dengan wadah-wadah tanah liat. Tujuan penelitian ini adalah memahami perkembangan budaya sagu di Papua sejak masa prasejarah hingga masa kini. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka, observasi, wawancara dan pendekatan etnoarkeologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa sagu merupakan tanaman penting orang Papua. Kebudayaan yang berkaitan dengan sagu di Papua sudah dikenal sejak sekitar 30.000 tahun yang lalu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya asosiasi antara fragmen forna atau tungku pemanggang, serta fragmen periuk dan tempayan dan pengolahan sagu di situs-situs hunian prasejarah. Budaya sagu juga masih berlangsung hingga saat ini di Papua, hal ini terlihat pada tradisi menokok sagu, rumah gaba-gaba, peralatan sehari-hari berbahan pohon sagu, kuliner sagu, serta ritual yang berkaitan dengan sagu.. The environment around the Papuan settlements provides abundant sago for their staple food. Therefore, sago has become one of the characteristics of Papuan culture today, whether as an identity marker and territorial boundaries or a means of traditional activities. This research aims to understand the development of sago culture in Papua from prehistoric periods to the present. This research uses literature study, observation, interviews, and an ethnoarchaeological approach. Research results suggest that the Papuan people have known culture related to sago in Papua since around 30,000 years ago. Archaeologically, this is evident from fragments of ‘forna’ or roasting stoves and sherds of pots and jars found at prehistoric settlement sites. The sago culture continues today in Papua, which can be seen in the tradition of sago felling, ‘gaba-gaba’ houses, daily utensils, sago culinary delights, and rituals related to sago.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"51 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139287974","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-09-18DOI: 10.24832/nw.v17i1.518
A. Purnomo, Anisah Maulidya Hasibuan
{"title":"KAJIAN GAYA EKLEKTIK PADA INTERIOR RUMAH TJONG A FIE","authors":"A. Purnomo, Anisah Maulidya Hasibuan","doi":"10.24832/nw.v17i1.518","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i1.518","url":null,"abstract":"Gaya eklektik merupakan gaya dalam bidang seni rupa dan desain yang berkembang pada pertengahan abad ke-19 Masehi, dan muncul kembali pada akhir abad ke-20-an. Gaya tersebut menggunakan motif dari berbagai periode gaya yang digabungkan dengan gaya lainnya. Salah satu bangunan cagar budaya di Medan yakni rumah Tjong A Fie menerapkan gaya eklektik. Beragam gaya pada rumah Tjong A Fie menjadi unsur penting dalam gaya eklektik sehingga menjadi bangunan yang unik. Tujuan penelitian ini untuk memahami penerapan gaya eklektik pada interior bangunan cagar budaya, termasuk mebel sebagai pelengkap interior. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data yang diperoleh kemudian dianalisis terkait penerapan ambience dan gaya interior bangunannya. Nama rumah Tjong A Fie diambil dari nama pemiliknya. Beliau adalah seorang mayor etnis Tionghoa dan pengusaha yang dermawan yang beretnis Tionghoa. Gaya eklektik diterapkan pada pengolahan dinding, lantai, langit-langit, mebel, dan perlengkapan interior lainnya. Beberapa gaya dihadirkan dalam interior yang berbeda tema dan ambience. Hal ini menjadi suatu keunikan yang ada pada rumah Tjong A Fie. Gaya eklektik rumah Tjong A Fie merefleksikan pemiliknya yang menghargai keberagaman dan berwawasan luas. Rumah Tjong A Fie sebagai bangunan cagar budaya perlu adaptif terhadap tuntutan jaman, dan gaya eklektik menjadi alternatif untuk pengembangan desain interiornya. The eclectic style is a fashion in art and design that flourished in the mid-19th century and resurged in the late 20th century. The Tjong A Fie mansion is a cultural heritage building in Medan that implemented such a style which made it unique. This research aimed to understand the eclectic style application to the interior of cultural heritage buildings. This research used a qualitative method with a descriptive approach. The discussion was concerned with the ambience and interior design of the Tjong A Fie mansion. Results show that elements of styles of different themes and ambience were recognized and applied to walls, floors, ceilings, interior fittings, and complementing furniture. The eclectic style of Tjong A Fie mansion reflected the owner's appreciation of diversity and broad outlook on arts. Such style may also be an alternative solution in redesigning the interior of a revived cultural heritage building with altered functions.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"35 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-09-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139338974","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-09-18DOI: 10.24832/nw.v17i1.522
Amurwani Putri, Hari Suroto
{"title":"JEJAK BUDAYA SAGU DAN TRADISI PENGELOLAAN HUTAN SAGU DI KAWASAN DANAU SENTANI, PAPUA","authors":"Amurwani Putri, Hari Suroto","doi":"10.24832/nw.v17i1.522","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i1.522","url":null,"abstract":"Hutan sagu dijumpai di kawasan Danau Sentani, di Papua. Tanaman sagu ini sudah ada sejak nenek moyang etnis Sentani tiba pertama kali di kawasan danau ini, dan pengelolaan hutan sagu merupakan identitas masyarakat Sentani. Selain sebagai sumber pangan, sagu juga memiliki nilai filosofis dari segi kearifan lokal yang harus dijaga karena mengandung aspek lingkungan dan budaya. Saat ini, hutan sagu ditantang oleh modernisasi. Persoalan mendasar dari tantangan tersebut adalah bagaimana masyarakat Sentani mampu mempertahankan tradisi pengelolaan hutan sagu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan budaya sagu dan tradisi pengelolaan hutan sagu oleh etnis Sentani di kawasan Danau Sentani. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan etnoarkeologi yang berupaya untuk mengkaji perilaku masyarakat Sentani dalam mendukung kearifan lokal dalam pengelolaan sagu dan menjawab permasalahan modernisasi yang terjadi di kawasan Danau Sentani. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, survei arkeologi, dan observasi lapangan. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa pemanfaatan sagu sebagai bahan makanan sudah ada sejak zaman prasejarah. Artefak terkait sagu yang ditemukan dari situs-situs di kawasan Danau Sentani adalah pecahan tembikar dan alat tokok sagu. Pembangunan infrastruktur modern akhir-akhir ini mulai merusak hutan sagu. Kondisi tersebut makin diperparah dengan penggunaan mesin pengolah sagu modern yang lebih efisien, tetapi tidak mempertimbangkan laju pertumbuhan pohon sagu sehingga menyebabkan cepatnya kepunahan tanaman sagu. Tanaman sagu sangat bermanfaat bagi masyarakat Sentani, oleh karena itu perlu dilakukan pelestarian hutan sagu yang berbasis kearifan lokal. Sago forests grow in the Sentani Lake region, in Papua, and the management of sago forests is known as the identity of the Sentani people. Sago conveys a philosophical value of local wisdom concerning environmental and cultural aspects. This research aimed to understand the sago culture and the sago forest management tradition of the Sentani people. An ethnoarchaeological approach and data obtainment was performed through literature study, interviews, archaeological surveys, and field observations. Results show that people have regarded sago as a constituent food since prehistoric periods. Sago-related artifacts recovered from the Sentani sites were potsherds and sago felling tools. Today, the development of modern infrastructure and the use of modern machines have begun to destroy sago forests. Such circumstance causes the rapid extinction of sago plants. Sago plants are beneficial to the people of Sentani. Therefore, it is necessary to preserve sago forests based on local wisdom.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"188 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-09-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139338970","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Naditira WidyaPub Date : 2023-09-18DOI: 10.24832/nw.v17i1.496
Soni Sadono, C. Nugroho, Topik Mulyana
{"title":"KOMPLEKS PERCANDIAN BATUJAYA: POTENSI WISATA PASCA PANDEMI DI KARAWANG","authors":"Soni Sadono, C. Nugroho, Topik Mulyana","doi":"10.24832/nw.v17i1.496","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/nw.v17i1.496","url":null,"abstract":"Tulisan ini dibuat dengan dasar keunikan yang terdapat pada candi yang ada di Karawang, Jawa Barat. Kawasan candi yang saat ini menjadi destinasi wisata memiliki daya tarik yang unggul di wilayah Karawang. Meskipun demikian, selama pandemi seluruh aktivitas dibatasi begitu pula dalam ranah pariwisata. Hal ini juga mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kompleks Percandian Batujaya, Karawang. Sementara candi peninggalan masa Kerajaan Tarumanegara ini berpotensi untuk memajukan pariwisata di Karawang karena keunikan bangunannya yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan bangunan candi yang berada di wilayah Jawa lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji potensi wisata pada Kompleks Percandian Batujaya sehingga dapat meningkatkan kembali minat pengunjung pada objek candi ini. Metode menggunakan pendekatan sejarah dan arkeologis dengan metode kualitatif. Aspek yang dibahas mengenai sejarah singkat dari Kompleks Percandian Batujaya, tempat wisata Kompleks Percandian Batujaya selama masa pandemi dan pascapandemi, dan bagaimana potensi yang dapat dikembangkan di area kompleks percandian agar dapat menarik minat pengunjung. Hasil dari penelitian menjelaskan adanya dampak yang terjadi selama pandemi menuju pasca-pandemi dalam pariwisata yang ada di Kompleks Percandian Batujaya, baik dari segi fasilitas, infrastruktur maupun peraturan saat mengunjungi area percandian bagi para wisatawan. The uniqueness of the Batujaya Temples has the potential to increase the attractiveness of the Karawang area as an excellent tourist destination. However, the impact of the pandemic which has caused restrictions on activities, including tourism, has affected the number of visits to the Batujaya Temples. This research aimed an in-depth understanding of the tourism potential of the Batujaya Temples to increase the number of visitors. A historical and archaeological approach was used and discussion was focused on the brief history of the Batujaya Temples, the condition of the Batujaya Temple during the pandemic and post-pandemic period, as well as the cultural potential that can be developed further. The results of the research show that the impact of the pandemic and post-pandemic conditions at the tourist location of the Batujaya Temples was the improvement of public facilities and infrastructure, as well as adjusting tourist visit regulations to post-pandemic conditions.","PeriodicalId":259009,"journal":{"name":"Naditira Widya","volume":"51 12 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-09-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139339299","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}