{"title":"Gangguan Fungsi Penghidu","authors":"Khairani Ayunanda Ikhlas Ikhlas, Effy Huriyati","doi":"10.25077/jokli.v1i1.14","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v1i1.14","url":null,"abstract":"ABSTRACT Introduction: Olfaction is importance as a warning system for environmental hazard such as smoke, leaking natural gas, and spoiled food, so olfactory dysfunction can be fatal. Objectives: To know and understand kind of, pathophysiology, test and management of olfactory dysfunction. Literature: olfactory dysfunction can be anosmia, hyposmia, dysosmia, phantosmia, and parosmia. During this pandemic, olfactory disorders are one of the importance symptomp of corona virus infection. Anamnesis of clinical history smell disorder is importance before psycal examination. Olfactory Assessment can be undertaken using subjective patient report, psychopsycal testing, and electrophysiology or imaging. Management of olfactory dysfunction can be olfactory training, medicamentosa, and surgery according to underlying cause. Conclusion: Olfactory dysfunction caused by various factors, with most common causes being head trauma, respiratory tract infection, and chronic rhinosinusitis. Knowing about olfactory dysfunction and its management is importance to prevent spread of certain viral infection and the fatal condition that can be caused by olfactory dysfunction. Keywords: smell, anosmia, hyposmia, olfactory assessment, corona viral infection","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"78 9","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139155025","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Diagnosis dan Penatalaksanaan Isolated Plexiform Neurofibroma pada Meatus Akustikus Eksternus","authors":"A. Fahmi","doi":"10.25077/jokli.v2i1.21","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v2i1.21","url":null,"abstract":"Abstrak Pendahuluan: Isolated plexiform neurofibroma merupakan tumor jaringan lunak yang berasal dari perineural yang bisa mengenai banyak selubung saraf. Secara histopatologis plexiform neurofibroma menunjukkan adanya gambaran sel schwann, fibroblast dan sel mast dengan latarbelakang sel myxoid hiposeluler. Plexiform neurofibroma pada telinga luar merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan. Plexiform neurofibroma merupakan salah satu penanda dari neurofibromatosis type 1 . Eksisi tumor komplet merupakan tatalaksana yang efektif. Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus seorang anak laki laki usia 8 tahun dengan benjolan di pinna telinga kiri yang semakin membesar sejak 6 bulan yang lalu dan berdasarkan hasil CT-Scan mastoid dicurigai adanya soft tissue tumor pada tragus. Dilakukan operasi pembedahan eksisi tumor dalam anestesi umum dan didapatkan tumor ukuran 0,5x0,3x0,2cm. Hasil Pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil dermal nerve sheath myxoma dan pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan sel tumor reaksi positif dengan protein s100 dengan gambaran scattered mengarah ke diagnosis plexiform neurofibroma. Dua bulan setelah operasi tidak tampak ada benjolan tumbuh Kembali dan luka operasi sembuh sempurna. Kesimpulan: Plexiform Neurofibroma pada liang telinga merupakan kasus yang jarang ditemukan. Tatalaksana eksisi secara komplit hingga batas jaringan yang normal memberikan hasil yang memuaskan dan prognosis yang baik. Plexiform neurofibroma bisa mengalami rekurensi dan transformasi menjadi suatu keganasan. Kata kunci: Isolated plexiform neurofibroma, nerve sheath myxoma, eksisi tumor, Protein S100","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"18 13","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139155407","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Management of Bilateral Sudden Deafness","authors":"Y. Wulandari, Jacky Munilson","doi":"10.25077/jokli.v1i1.2","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v1i1.2","url":null,"abstract":"Introduction: Sudden deafness or sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) is defined as sensorineural hearing loss of more than 30 dB at three consecutive frequencies within 3 days of onset, often unilateral, and only 0,4-3,4 % of patients with bilateral of sudden deafness. The definite cause of sudden deafness is only found in 10-15% cases and most of the cause was unkown (idiophatic). The management of systemic corticosteroid injection is the first choice in the treatment of SSNHL and can be combined with corticosteroid intratympanic injection. One case reported, A 33-year-old male patient with diagnosis of bilateral sudden deafness which is performed systemic corticosteroids and combined with dexamethasone injection intratympanic with the good result. Keywords: Sudden deafness, sensorineural hearing loss, intratympanic injection ABSTRAK Pendahuluan: Tuli mendadak didefinisikan sebagai kehilangan pendengaran sensorineural yang lebih dari 30 dB pada 3 frekuensi berturut-turut dalam onset 3 hari, sering unilateral, hanya sekitar 0,4-3,4% dari pasien yang mengalami tuli mendadak bilateral. Penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10–15% kasus, sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Tatalaksana injeksi kortikosteroid sistemik menjadi pilihan utama pada tatalaksana tuli mendadak dan dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid injeksi intratimpani. Dilaporkan satu kasus pasien laki-laki, 33 tahun yang didiagnosis dengan tuli mendadak bilateral yang dilakukan terapi kortikosteroid sistemik dan dikombinasikan dengan injeksi deksametason intratimpani dengan hasil yang baik. Kata Kunci: Tuli mendadak, tuli sensorineural, injeksi intratimpani","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"26 57","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139156042","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Ekstirpasi Polip Plika Vokalis Dekstra dengan Laser Dioda","authors":"Dian Pratama Putra, Novialdi Nukman","doi":"10.25077/jokli.v1i1.11","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v1i1.11","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Polip plika vokalis merupakan suatu lesi jinak, sering terjadi karena penyalahgunaan suara yang berakibat trauma pada plika vokalis. Disfonia merupakan gejala utama kelainan ini. Penatalaksanaan polip plika vokalis dengan terapi konservatif dan tindakan pembedahan. Pada polip plika vokalis yang berukuran besar, tindakan pembedahan menjadi terapi pilihan. Tindakan pembedahan menggunakan laser dioda menjadi pilihan dalam terapi polip plika vokalis, dengan kekurangan dan kelebihannya jika dibandingkan dengan instrumen lainnya. Laporan kasus: Dilaporkan satu kasus polip plika vokalis kanan pada seorang laki-laki usia 62 tahun dengan keluhan utama suara serak. Suara serak pada pasien membaik setelah dilakukan ekstirpasi polip plika vokalis dekstra dengan laser dioda. Kesimpulan: Polip plika vokalis memberikan gejala disfonia. Penyalahgunaan suara dan faktor iritan seperti merokok merupakan penyebab polip plika vokalis. Tindakan ekstirpasi polip plika vokalis dekstra dengan laser dioda memberikan hasil yang memuaskan terhadap keluhan suara pasien. Kata kunci: polip plika vokalis, laser dioda, disfonia, penyalahgunaan suara ABSTRACT Introduction: Vocal cord polyp is a benign lesion, often occurs due to voice abuse resulting in phonotrauma. Dysphonia is the main symptom of this disorder. Management of vocal cord polyps with conservative therapy and surgery. In large vocal cord polyps, surgery is the treatment of choice. Surgery using a diode laser is an option in the therapy of vocal cord polyps, with its advantages and disadvantages when compared to other instruments. Case report: Reported one case of right vocal cord polyp in a 62-year-old man with chief complaint of hoarseness. Hoarseness in the patient improved after surgical therapy with diode laser. Conclusion: Vocal cord polyps will give symptoms of dysphonia. Voice abuse and irritants such as smoking are the causes of vocal cord polyps. Surgery using a diode laser provides satisfactory results for the patient's voice complaints Keywords: vocal cord polyps, diode laser, dysphonia, voice abuse","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"3 12","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139155571","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Gambaran Terapi dan Respon Terapi Karsinoma Nasofaring di RSUP Dr. M. Djamil Padang","authors":"Raina Maghri Jodie, Sukri Rahman, Aladin Aladin","doi":"10.25077/jokli.v1i1.26","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v1i1.26","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Terapi KNF terdiri atas radioterapi, kemoterapi, maupun kombinasi keduanya. Penilaian terhadap perubahan ukuran tumor menjadi hal yang penting dalam evaluasi klinis terapi kanker. Terdapat kriteria respon tumor yang telah distandarisasi, salah satunya yaitu kriteria WHO. Respon terapi dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu complete response (CR), partial response (PR), progressive disease (PD), dan stable disease (SD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi dan respon terapi karsinoma nasofaring di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan retrospektif yang mengambil data dari bagian rekam medik dan poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang pada periode Januari 2018 – Desember 2020. Hasil: Hasil didapatkan 28 pasien KNF yang telah selesai menjalani seluruh rangkaian terapi. Dari 28 pasien, 67,8% adalah laki-laki. Kelompok usia paling banyak terdapat pada rentang usia 50-59 tahun (35,7%), berasal dari suku Minang (93%) dengan tingkat pendidikan paling banyak adalah SMA (78,5%). Sebagian besar pasien didiagnosis dengan stadium IV (57,2%) dengan jenis KNF WHO tipe 3 (82,2%). Pilihan terapi yang paling banyak diberikan pada pasien KNF yaitu kemoterapi neoadjuvan yang dilanjutkan dengan radioterapi (64,3%). Kesimpulan: Hasil respon terapi dari semua pasien KNF yang telah menjalani rangkaian pengobatan adalah CR (46,4%), PR (46,4%), PD (7,2%), dan tidak terdapat pasien dengan SD.","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"3 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139155476","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Gambaran Perluasan Karsinoma Nasofaring Stadium Lanjut Berdasarkan CT Scan di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2019-2020","authors":"Salsabilah Arrahman, Sukri Rahman, Tuti Handayani","doi":"10.25077/jokli.v2i1.27","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v2i1.27","url":null,"abstract":"Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan dengan prevalensi terbanyak yang terjadi di Indonesia. Pasien dengan karsinoma nasofaring seringkali datang sudah dalam keadaan stadium lanjut (T3/T4), hal ini disebabkan karena gejala dan tanda keganasan ini pada stadium awal sangat sulit dideteksi. Penyakit ini dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk menentukan staging. Pemeriksaan radiologi yang umum dilakukan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan CT scan nasofaring. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, didapatkan informasi tentang keberadaan tumor dan daerah perluasan tumor yang masing-masing perluasannya memiliki prognosis yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai gambaran perluasan karsinoma nasofaring stadium lanjut berdasarkan CT scan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain kuantitatif. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis hasil CT scan pada rekam medis pasien. Hasil penelitian didapatkan distribusi perluasan karsinoma nasofaring ke jaringan sekitar terbanyak pada stadium T3 adalah infiltrasi ke sinus paranasal sfenoid (28,6%) dan distribusi perluasan karsinoma nasofaring ke jaringan sekitar terbanyak pada stadium T4 adalah ekstensi ke intrakranial (83,8%).","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"54 5","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139155774","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Rinitis Alergi pada Anak","authors":"Wahyu Julianda","doi":"10.25077/jokli.v2i1.16","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v2i1.16","url":null,"abstract":"Pendahuluan: Rinitis alergi merupakan reaksi inflamasi dari mukosa hidung yang diperantai oleh Imunoglobulin E yang ditandai dengan sumbatan hidung, rhinorrhea dan atau mata gatal dan atau bersin. Kompleksitas dan variabilitas rinitis sangat terlihat pada masa anak, dimana pada saat ini terjadi pematangan anatomis, fisiologis dan imunologis yang menghasilkan pola klinis yang sulit untuk dikaji dan juga dikelola. Tujuan: Memberikan pengetahuan mengenai diagnosis dan penatalaksanaan penyakit rinitis alergi pada anak sehingga dapat ditangani dengan tepat dan akurat. Tinjauan Pustaka: Prevalensi rinitis pada anak usia prasekolah 0-6 tahun bervariasi. Genetika memainkan peran penting sekitar 20% hingga 30% dari populasi umum dan 10% hingga 15% anak-anak mengalami atopik. Perkembangan penyakit atopik pada anak mengikuti pola atopic march, dimulai dari dermatitis atopik pada saat bayi, kemudian diikuti oleh alergi makanan, rinitis alergi dan asma. Kerjasama yang optimal antara pasien, pengasuh dan tenaga medis yang profesional dapat membantu memaksimalkan respons terhadap pengobatan rinitis alergi pada anak Kesimpulan: Rinitis alergi pada anak lebih bersifat intermiten dan memiliki lebih sedikit gejala tetapi lebih banyak komorbiditas dibandingkan dewasa. Keadaan RA tidak hanya menurunkan kualitas hidup dan kualitas belajar, tetapi juga meningkatkan risiko beberapa kondisi seperti asma, rinosinusitis dan otitis media efusi. Penatalaksanaan farmakoterapi rinitis alergi dapat menggunakan antihistamin generasi kedua, intranasal kortikosteroid, dekongestan nasal spray, mast stabilizer, irigasi nasal saline dan imunoterapi yang disesuaikan menurut usia dan berat badan. Kata kunci: rinitis alergi pada anak, atopic march, imunoglobulin e","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"22 25","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139156007","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Diagnosis dan Tatalaksana Esofagitis Korosif","authors":"Tika Hakikah","doi":"10.25077/jokli.v2i1.33","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v2i1.33","url":null,"abstract":"Introduction: Corrosive esophagitis is inflammation of the esophagus that occurs due to exposure to acidic or alkaline corrosive substances. Clinical symptoms is not always correlated with the degree of esophagus injury. The degree based on esophagoscopy findings is important in determining management and prognosis as an accurate predictor of complications to death. Objective: To know the diagnosis and management of corrosive esophagitis. Objective: To know the diagnosis and management of corrosive esophagitis. Literature Review: Corrosive esophagitis is most common in children caused by accidental ingestion, and in adults caused by suicide. Exposure to corrosive substances can be acids (sulfuric acid, hydrochloric acid), bases (potassium hydroxide, sodium hydroxide) and other substances. Esophagoscopy is an important examination to assess the degree of esophageal injury suspected of ingesting corrosive substances. Initial management according to the degree of esophageal injury can be in the form of observation, medical and surgical. Conclusion: Corrosive esophagitis occurs due to ingestion of corrosive substances that cause burns in the esophagus. Esophagoscopy is one of the useful diagnostics for assessing the degree of injury to the esophagus with the best time being carried out in the first 12-48 hours after ingestion of corrosive substances. The initial management of ingested corrosive substances is supportive care, observation and administration of medication or surgery according to the degree of injury to the esophagus.","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"23 56","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139156115","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Gambaran Kadar Pepsin pada Saliva Pasien Refluks Laringofaring di RSUP Dr. M. Djamil Padang","authors":"Mutiara Adinda Rahma, Ade Asyari, Yustini Alioes","doi":"10.25077/jokli.v2i1.38","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v2i1.38","url":null,"abstract":"Laryngopharyngeal reflux (RFL) is a condition of tissue inflammation in the upper aerodigestive tract due to the reflux of gastric and duodenal contents, the symptoms such as post-nasal drip, globus sensation, and heartburn which decrease quality of life. RFL was diagnosed subjectively using the Reflux Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS). The pepsin levels in saliva that were detected by ELISA can be a sensitive and objective diagnostic marker for RFL because pepsin was only produced by chief cells in the stomach. The purpose of this study was to determine the characteristics of RFL patients based on age, sex, features of complaints in RSI, features of anatomic abnormalities in RFS, and salivary pepsin levels. This study was a descriptive observational retrospective design. From September to October 2022, this study was carried out at the Medical Record Department of RSUP Dr. M. Djamil Padang. The Lemeshow formula was used as the minimum number sampling in this study, 22% was the value of the proportion of events. The findings of this study revealed that 20 patients with RFL were tested for pepsin levels in saliva at Dr. RSUP. M. Djamil Padang, with nearly the same total number of RFL patients in each age group. The majority of RFL patients (60.0%) were female, and the most common complaint felt by RFL sufferers was post-nasal drip (90.00%). The most common anatomic abnormality was diffuse laryngeal edema (100%), and the mean pepsin levels in saliva was 15.863 ng/mL. Pepsin was found in all samples. Keywords: laringofaringeal reflux, pepsin, saliva","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"15 8","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139156585","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Penatalaksanaan Adenoma Pleomorfik Kelenjar Liur Minor Palatum","authors":"Rizki Saputra, Sukri Rahman, Yenita Yenita","doi":"10.25077/jokli.v1i1.9","DOIUrl":"https://doi.org/10.25077/jokli.v1i1.9","url":null,"abstract":"ABSTRAK Pendahuluan: Adenoma pleomorfik merupakan neoplasma yang paling sering di temukan pada kelenjar liur mayor terutama pada kelenjar liur parotis, sementara pada kelenjar liur minor paling sering ditemukan pada kelenjar liur di palatum. Adenoma Pleomorfik merupakan tumor jinak campuran yang terdiri dari komponen sel epitel, mioepitel dan mesenkim yang tersusun dalam beberapa variasi komponen. Diagnosis tumor ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan patologi anatomi. Penatalaksanaan kasus adenoma pleomorfik dengan eksisi tumor secara keseluruhan serta dilakukan follow up untuk mendeteksi kekambuhannya. Laporan kasus: Seorang pasien laki-laki umur 54 tahun dengan benjolan pada palatum sejak 10 tahun sebelum masuk rumah sakit. Pada pasien ini dilakukan reseksi tumor tanpa rekonstruksi defek sebagai penatalaksanaannya. Histopatologi mengkonfirmasi diagnosis sebagai adenoma pleomorfik. Kesimpulan: Adenoma pleomorfik merupakan tumor jinak tersering pada kelenjar liur, insiden tersering pada kelenjar liur mayor namun jarang ditemukan pada kenjar liur minor. Kata kunci: adenoma pleomorfik, kelenjar liur, tumor palatum","PeriodicalId":103527,"journal":{"name":"Jurnal Otorinolaringologi Kepala dan Leher Indonesia","volume":"18 5","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-12-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139156381","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}