{"title":"Traumatic Pneumorrhachis","authors":"Sianny Suryawati","doi":"10.30742/jikw.v8i1.544","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/jikw.v8i1.544","url":null,"abstract":"TPneumorrhachis (PR), yang merupakan entrapment udara atau gas dalam canalis spinalis, adalah kondisi yang jarang terjadi, dan biasanya dihubungkan dengan trauma dan prosedur pembedahan. Udara intraspinal biasanya dapat ditemukan tersendiri di regio servikal, thorakal, maupun lumbosakral (lebih jarang), namun dapat pula ditemukan di seluruh canalis spinalis. Patogenesis dan etiologi kelainan ini sangat bervariasi dan menimbulkan tantangan dalam diagnosisnya. Prosedur diagnosis pilihan pada keadaan ini adalah CT spinal. Pneumorrhachis biasanya tidak menimbulkan gejala, namun keberadaannya juga dapat mencerminkan adanya pathologi serius yang mendasarinya. Kelainan dasar ini dapat tersamarkan dan harus diperiksa dengan hati-hati agar dapat memberikan terapi yang adekuat. Laporan kasus ini memaparkan kasus jarang traumatic pneumorrhachis pada wanita usia 63 tahun setelah jatuh dari ketinggian yang tidak diketahui dan dibawa ke Instalasi Gawat Darurat dalam keadaan tidak sadarkan diri. CT scan thoracoabdominal menunjukkan adanya fraktur tulang multiple, pneumothorax dan contussio pulmonum, pneumomediastinum, emphysema subcutan luas, dan juga dissecting aortic aneurysm. Karena traumatic pneumorrhachis seringkali disertai trauma berat yang mendasarinya, seperti yang ditemukan pada laporan kasus ini, maka evaluasi mendalam perlu dilakukan untuk menemukan adanya jejas lainya, dan ahli bedah saraf tulang belakang harus memberikan perhatian untuk mencegah komplikasi berupa meningitis dan pneumocephalus. ","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"136 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88948771","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Regular Physical Activity, High Soy Dietary Intake and Premenstrual Syndrome (PMS) Symptoms in Young Adult Women: A Descriptive Study","authors":"Evanti Kusumawardani, A. Adi","doi":"10.30742/JIKW.V8I1.556","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/JIKW.V8I1.556","url":null,"abstract":"Premenstrual syndrome (PMS) in adolescents group is one of the most common disorder in woman at reproductive age. It substantially reduces quality of life for many women of reproductive age, with pharmaceutical treatments having limited efficacy and substantial side effects. A health lifestyle e.g. regular physical activity and high soy dietary intakes has been recommended as a method of reducing PMS symptoms. This study aims to describe the physical activity and high soy dietary intake and PMS symptoms in female students of Vocational High School 10 Surabaya. This study was designed to describe the activity level were recalled in 7x24 hour, soy dietary intake, and severity of PMS symptoms in female students that was administrated by structured questionnaires. The result showed that of all participants (n=59) were defined as having light physical activity level (88.1%), moderate level of soy dietary intake (17.22-28.38 portions per month), and mild degree of PMS symptoms (71.2%). Based on crosstabulation showed that respondences who had light physical activity experienced moderate PMS degree (8.6%), and who had high soy dietary intake experienced moderate PMS degree (8.5%). This recommendation is based on relatively little evidence, and the relationship between physical activity, soy dietary intake, and premenstrual syndrome symptoms remains unclear.","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"9 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87725238","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Jalur Sinyal dan Metabolisme Endocannabinoid: Tinjauan Pustaka","authors":"Loo Hariyanto Raharjo, Harman Agusaputra","doi":"10.30742/JIKW.V8I1.574","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/JIKW.V8I1.574","url":null,"abstract":"Efek biologis dari tumbuhan Cannabis Sativa dimediasi oleh dua buah reseptor dari kelompok G-protein coupled receptor; reseptor cannabinoid 1 (CB1R) dan 2 (CB2R). CB1R lebih banyak didapatkan pada Susunan Saraf Pusat dan berhubungan dengan pemberian terapi pada gangguan neuropsikologis dan penyakit neurodegeneratif. Selain itu endocannabinoid juga memodulasi jalur tranduksi sinyal dan menimbulkan efek pada jaringan perifer. Meskipun cannabionoid memiliki efek terapeutik, tetapi efek psikoaktifnya menyebabkan terbatasnya penggunaan endocannabionoid dalam praktek klinis. Namun kemajuan terkini dalam distribusi fisiologis dan pengaturan fungsional dari endocannabinoid memungkinkan adanya penelitian eksploitasi penggunaan endocannabionoid sebagai bahan terapeutik serta pengembangan obat baru dengan keunggulan farmakologis. Pada tinjauan pustaka ini, kami meninjau secara singkat tentang jalur metabolik dan jalur transduksi sinyal dari dua endocannabionoid utama; Anandamide (AEA) dan 2- arachidonoyglycerol (2-AG) yang mempunyai potensi terapeutik. ","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"29 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81413050","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Leny Alimatul Husna, Louis Djoko, Fitri Handajani, Tri Martini
{"title":"Pengaruh Pemberian Jus Tomat (Solanum lycopersicum L.) terhadap Kadar Kolesterol LDL Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Aloksan","authors":"Leny Alimatul Husna, Louis Djoko, Fitri Handajani, Tri Martini","doi":"10.30742/jikw.v8i1.546","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/jikw.v8i1.546","url":null,"abstract":"Hiperkolesterolemia merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kardiovaskuler pada diabetes mellitus. Pada diabetes mellitus kekurangan insulin meningkatkan lipolisis sehingga asam lemak bebas meningkat sehingga meningkatan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL. Tomat mengandung likopen yang dapat menurunkan kadar kolesterol LDL karena mampu menghambat HMG-KoA reduktase. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian jus tomat (Solanum lycopersicum L.) terhadap kadar kolesterol total dan LDL tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diinduksi aloksan. 24 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok: 1). Kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan 2). Kelompok kontrol positif hewan coba yang diinduksi aloksan 3). Kelompok perlakuan yang diinduksi aloksan dan diberi jus tomat dengan dosis 11 gram/KgBB selama 14 hari. Uji One-Way Annova menunjukkan peningkatan kadar kolesterol LDL yang signifikan antara kelompok kontrol positif dan kelompok hewan kontrol negatifnamun tidak pada kadar total kolesterol. Rerata kadar total kolesterol dan LDL pada kelompok perlakuan menunjukkan penurunan yang tidak signifikan di bandingkan kelompok hewan coba yang diinduksi aloksan. Pemberian aloksan dengan dosis 150 mg/Kg BB dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL secarabermakna namun tidak pada kadar total kolesterol. Pemberian jus tomat dengan dosis 11 gram/KgBB cenderung menurunkan rerata kadar total kolesterol dan LDL.","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"19 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"76378848","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengaruh Pemberian Oksigen Hiperbarik terhadap Kadar LDL Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley yang kemudian Diberi Diet Tinggi Lemak","authors":"Ika Apriyanti Arum Putri, Herin Setianingsih","doi":"10.30742/JIKW.V8I1.545","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/JIKW.V8I1.545","url":null,"abstract":"Menurut WHO (2017), dari seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskular 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK). Lipid, khususnya low density lipoprotein (LDL) merupakan salah satu faktor penting penyebab terjadinya PJK, mengingat perannya dalam proses aterogenesis. Terapi Oksigen Hiperbarik diketahui dapat menurunkan faktor resiko atherosklerosis seperti hiperkolesterolemia pada tekanan 1,5 ATA dan 3 ATA. Hiperkolesterolemia ini ditandai dengan peningkatan pada trigliserida (TG), LDL, dan penurunan HDL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi oksigen hiperbarik terhadap kadar LDL tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang kemudian diberi diet tinggi lemak. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni laboratoris. Subjek pada penelitian ini adalah 32 tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley yang dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol diberikan diet tinggi lemak selama 49 hari dan kelompok perlakuan yang diterapi oksigen hiperbarik dengan kadar oksigen 98% tekanan 2,4 ATA selama 10 hari kemudian diberi diet tinggi lemak selama 49 hari. Hasil penelitian didapatkan rata-rata LDL kelompok kontrol sebesar 63,43 mg/dl dan kelompok perlakuan adalah 44,43 mg/dl. Kemudian, dilakukan uji hipotesa menggunakan metode Mann Whitney dan didapatkan nilai signifikansi (p) adalah 0,004 atau p<α sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada penelitian ini ada perbedaan kadar LDL darah tikus pada kedua kelompok perlakuan atau H1 diterima. Terapi oksigen hiperbarik berpengaruh terhadap penurunan kadar LDL darah pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley sebelum diberi diet tinggi lemak. ","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"17 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"73895076","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Ekstrak Daun Avicennia alba dalam Mencegah Peningkatan Keasaman Lambung Mus musculus yang Diinduksi Aspirin","authors":"Nugroho Eko Wirawan Budianto","doi":"10.30742/jikw.v8i1.525","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/jikw.v8i1.525","url":null,"abstract":"Daun mangrove diekstrak dengan menggunakan etanol 96% dan dipakai sebagai pencegahan peningkatan asam lambung dengan uji hewan coba Mus musculus. Tujuan penelitian untuk mengetahui potensi ekstrak daun Avicennia alba sebagai pencegahan peningkatan asam lambung karena induksi aspirin, dengan melihat kadar asam bebas, asam total, asam organik dan pH lambung Mus musculus. Metode penelitian Mus musculus dibagi dalam 5 kelompok 1). Kelompok kontrol negatif, 2). Kelompok kontrol positif, 3). 3 Kelompok perlakuan dengan dosis berbeda yaitu ekstrak daun Avicennia alba 1,3 mg/20 g BB, ekstrak daun Avicennia alba 2,6 mg/20 g BB, ekstrak daun Avicennia alba 5,2 mg/20 g BB. Hasil menunjukan bahwa Pemberian ekstrak etanol Avicennia alba P2 yang diberikan secara intra oral mencegah peningkatan kadar asam bebas, asam total, asam organik dan pH asam lambung yang diinduksi oleh aspirin yang diberikan secara intra oral. Kesimpulan penelitian adalah ekstrak etanol Avicennia alba mencegah peningkatan kadar asam bebas, asam total, asam organik dan pH lambung. Ekstrak etanol Avicennia alba 2,6 mg/ 20 g BB merupakan dosis yang dianjurkan","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"53 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87027045","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Relationship between Education, Sex, and Age with Refractive Errors at DR. Wahidin Soedirohusodo General Hospital","authors":"Kadek Dwipa Dyatmika, Nurmawanti Nurmawanti, Rini Kusumawar Dhany","doi":"10.30742/JIKW.V8I1.479","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/JIKW.V8I1.479","url":null,"abstract":"The prevalence of refractive error and its relationship with education, age and sex at DR. Wahidin Soedirohusodo general hospital have not been comprehensively assessed. The aim of this study was to examined the distribution and risk factor of refractive errors at DR. Wahidin Soedirohusodo general hospital. Methods of this study used population based cross-sectional study. Respondents were interviewed and underwent standardised clinical eye examinations. Refractive error was determined by an automatic refraction device. Refractive errors are myopia, hyperopia and astigmatism. Myopia and hyperopia were defined as spherical equivalent of -0.50/+0.50 diopter (D) or worse, respectively; astigmatism was defined as cylindrical error >0.50 D. Total of 1760 patients with refractive error from January 2016 to January 2018 with 700 or 39,8% males and 1060 or 60.2% females. Based on the cross-tabulation output, it is known that the respondents with the most elementary level of education experienced mild hypermetropy (10.2%), the junior high school education experienced mild myopia (6.8%), high school and bachelor education experienced mild myopia (8%). Age 6-15 years experienced the most myopia compositus astigmatism (5.7%), 16-25 years mild myopia (10.2%), 26-35 years mild myopia (4.5%), 36-45 years mild myopia (10.2%), 46-55 years mild hypermetropia (10.2%) and 56-65 years mild hypermetropia (5.7%). Kruskal Wallis test it is known that the sig value obtained = 0,000 indicates that there are differences in refractive abnormalities based on education and age. Chi square sig value obtained is 0.021, indicating that there is a relationship between sex and refractive errors. Multivariate analysis revealed female subjects inhibited the risk of mild myopic by 0.157 times the male subjects and simple myopia astigmatism by 0.082 times the male subjects. The relationship of myopia, astigmatism and hypermetropia with age and education is not significant. The risk factor of mild myopia and simple myopia astigmatism decrease in female than male. These findings may help clinicians to better understand the patterns of refractive error and planning for preschool vision-screening programs.","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"20 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82628121","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ady Kurnianto, Junianto Wika Adi Pratama, Miranti Candrarisna
{"title":"Pengaruh Infeksi Trypanosoma evansi terhadap Kadar TNF-α dan Perubahan Histopatologi Hepar pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)","authors":"Ady Kurnianto, Junianto Wika Adi Pratama, Miranti Candrarisna","doi":"10.30742/jikw.v8i1.548","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/jikw.v8i1.548","url":null,"abstract":"Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar Tumor necrosis Factor ɑ(TNF-α) dan derajat kerusakan hepar pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinfeksi isolat Trypanosoma evansi. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sampel Hewan adalah tikus jantan umur 6 minggu sebanyak 30 ekor dan dibagi dalam 5 kelompok dengan pemberian infeksi secara subcutan (sc), yaitu Po: kelompok tikus kontrol diinjeksi NaCl fisiologis dosis 0,3 ml, pengambilan sampel darah dan organ hepar pada hari ke 7 pasca injeksi NaCl fisiologis. P1: kelompok tikus diinfeksi Trypanosoma evansi dosis 0,3 ml/sc, pengambilan sampel darah dan organ hepar pada hari pertama pasca infeksi Trypanosoma evansi. P2: kelompok tikus diinfeksi Trypanosoma evansi dosis 0,3 ml/sc, pengambilan sampel darah dan organ hepar pada hari ke 3 pasca infeksi Trypanosoma evansi. P3: kelompok tikus diinfeksi Trypanosoma evansi dosis: 0,3 ml/sc, pengambilan sampel darah dan organ hepar pada hari ke 5 pasca infeksi Trypanosoma evansi. P4: kelompok tikus putih diinfeksi Trypanosoma evansi dosis 0,3 ml/sc, pengambilan sampel darah dan organ hepar pada hari ke 7 pasca infeksi Trypanosoma evansi. Nilai Optical Density (OD) atau kadarTNF-αmenunjukkan p=0,0624 (p>0,05), mengalami penurunan dan tidak berbeda, dan tidak terdapat hubungan bermakna antara kelompok pada tikus putih yang diinfeksi Trypanosoma evansi isolat Sumbawa. Pemberian infeksi secara subkutan dapat menyebabkan kerusakan hepar berupa lesi degenerasi, nekrosis, dan portal inflamasi pada tikus putih yang diinfeksi Trypanosoma evansi isolat Sumbawa. Kesimpulan adalah kadar TNF-α menurun, mengakibatkan kerusakan hepar dan tingkat keganasan parasit Trypanosoma evansi isolat Sumbawa meningkat.","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"20 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"76497458","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Bell's Palsy","authors":"Olivia Mahardani Adam","doi":"10.30742/JIKW.V8I1.526","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/JIKW.V8I1.526","url":null,"abstract":"Bell’s palsy didefinisikan sebagai kelumpuhan saraf fasialis satu sisi, dengan penyebabnya tidak diketahui. Beberapa keadaan lain juga dapat menyebabkan kelumpuhan fasialis, misalnya tumor otak, stroke, myasthenia gravis, dan penyakit Lyme. Namun, jika tidak ada penyebab khusus yang dapat diidentifikasi, kondisi ini dikenal sebagai Bell’s palsy yang disebabkan akibat pembengkakan dan tekanan saraf pada foramen stylomastoid dan menyebabkan penghambatan atau kerusakan saraf. Seringkali mata di sisi yang terkena tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial dan garis dahi menghilang. Kortikosteroid ditemukan untuk memperbaiki hasil ketika digunakan lebih awal, sementara obat anti-virus belum. Banyak yang menunjukkan tanda perbaikan 10 hari setelah onset, bahkan tanpa pengobatan. Artikel ini bertujuan untuk mengulas Bell’s palsy terutama patofisiologinya. Tingkat keparahannya syaraf menentukan proses penyembuhan Bell’s palsy. ","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"22 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74468015","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pola Kuman, Hasil Uji Sensitifitas Antibiotik dan Komplikasi Abses Leher dalam di RSUD DR. Soetomo","authors":"Denny Rizaldi Arianto, A. C. Romdhoni","doi":"10.30742/JIKW.V8I1.557","DOIUrl":"https://doi.org/10.30742/JIKW.V8I1.557","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data lokasi, etiologi, hasil kultur kuman dan uji sensitifitas antibiotik serta komplikasi dari penderita abses leher dalam yang di rawat ruang rawat inap bedah teratai THT-KL RSUD Dr. Soetomo periode Januari sampai Desember 2014. Bahan dan metode penelitian yaitu rekam medik penderita. Hasil: Didapatkan 41 penderita. Lokasi di submandibula 13(31,70%), ruang peritonsil 11(26,82%), kombinasi ruang submandibula, parafaring dan retrofaring 11 (26,82%). Etiologi infeksi gigi 14(34,14%), infeksi tonsil akut 8(19,51%), DM 8(19,51%), DM Tipe 2 dan infeksi gigi 10(24,39%), DM disertai infeksi orofaring 1(2,43%). Dari kultur pus didapatkan Staph. Aureus (33,33%), Strep. viridians (28,75%), Kleb. Pneumonia (9,52%). Dari kultur darah didapatkan kuman Strep. viridians (40,00%), Kleb. Pneumonia (20,00%), Acinobacter humanii (20,00%), Staph. Haemolyticus (20,00%). Kultur urin didapatkan Acinobacter humanii dan Staph. haemolyticus masing-masing 50%. Hasil uji sensitifitas antibiotik dari kultur pus didapatkan angka sensitive terhadap Meropenem (87,5%), Ceftriaxone (73,68%), Cefoperazone-sulbactam (70,00%), Cefotaxime (68,75%). Resitensi kuman terhadap antibiotika tersebut diatas secara berurutan 12,50%, 21,05%, 20,00%, 12,5%. Komplikasi sepsis 12(29,26%), obstruksi jalan napas atas (trakeotomi) 6(14,63%). Kesimpulan: Lokasi tersering di submandibula disusul peritonssil, kombinasi submandibula dan parafaring atau retrofaring. Etiologi tersering infeksi gigi disusul tonsil. Penyakit penyerta tersering yaitu DM. Kuman yang sering ditemukan dari kultur pus adalah Staph. aureus dan Strep. viridians. Kuman dari kultur darah terbanyak Strep. viridians, disusul Kleb. pneumonia, Acinobacter humanii, Staph. haemolyticus. Hasil uji sensitifitas terhadap antibiotik dari kultur pus didapatkan angka sensitif tertinggi adalah Meropenem disusul Ceftriaxone, Cefoperazone-sulbactam dan Cefotaxime. Komplikasi tersering sepsis disusul obstruksi jalan nafas atas dan mediastinitis. Sebanyak 4,87% penderita meninggal.","PeriodicalId":33090,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82970350","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}