{"title":"TIFA DI TANAH PAPUA DALAM PERSPEKTIF ETNOMUSIKOLOGI","authors":"I Wayan Rai S","doi":"10.24832/papua.v12i2.290","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v12i2.290","url":null,"abstract":"Tifa adalah salah satu jenis alat musik tradisi di Tanah Papua. Sampai saat ini studi tentang Tifa masih sangat terbatas, walaupun ada beberapa artikel tentang alat musik ini, namun tulisan-tulisan tersebut masih sangat ringkas dan tidak lengkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang musik Tifa di Tanah Papua. Tifa dipandang sebagai instrumen musik penting bagi masyarakat Papua yang telah diwarisi sejak masa yang lampau. Selain itu juga untuk mengetahui konteks sosial-budaya tifa itu pada masyarakat pendukungnya di Tanah Papua. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah musik Tifa itu sendiri, para informan terpilih antara lain kepala suku, para pemain, dan budayawan daerah setempat. Seluruh data yang telah dikumpulkan melalui observasi partisipasi, wawancara, dan rekaman, dianalisis dengan menggunakan teori musik dan teori fungsional struktural. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: (1) Tifa adalah instrumen musik tradisi di Tanah Papua yang terbuat dari kayu dengan membrane dari kulit binatang dan tergolong single-headed frame drum. Asal usul Tifa terkait erat dengan foklor. Badan Tifa dihiasi dengan motif-motif tertentu sesuai kepercayaan masyarakat pendukungnya Alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain dengan jalan memukul bagian membrane nya dengan basis empat pola ritme. (2) Dalam konteks sosisal budaya, tifa memiliki fungsi sebagai atribut kebesaran Ondoafi (kepala suku), sebagai sarana komunikasi, sarana penghubung kepada Tuhan, leluhur, serta kekuatan alam lainnya. Sebagai hasil kebudayaan ekspresif, alat musik ini dipergunakan sebagai pengiring nyanyian wor dan pengiring tari. Masyarakat Papua memaknai tifa sebagai karya budaya yang dijadikan simbol jati diri, pemberi identitas, dan sarana penguat ikatan relasi sosial.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"58 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-01-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123904566","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"IDENTIFIKASI ARKEOLOGI SARANA DAN PRASARANA MAHAVIHARA MUARAJAMBI SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN DI ASIA TENGGARA PADA MASA MELAYU KUNO ABAD VII-XII","authors":"Asyhadi Mufsi Sadzali","doi":"10.24832/PAPUA.V12I2.281","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/PAPUA.V12I2.281","url":null,"abstract":"An Identification of Archeology Mahavihara Muarajambi Facilities and Infrastructures As a Central Education In Southeast Asia In Malay Ancient Time Of The VII-XII CenturyBy;Asyhadi Mufsi Sadzali, Yundi Fitrah \u0000Abstract: The development of Buddhism in Sumatra, especially in Jambi, has been going on since at least the 7th century, as evidenced by archaeological remains in the form of the distribution of temple structures in an area of ??3,900 hectares. Reconstruction efforts have been carried out since 1975, until now, but the interpretation of the functions of the buildings in the MuaraJambi temple area has not been studied much, so it is always associated with religious worship buildings. These assumptions will be expressed through two research questions; 1. What were the kinds of archaeological data supporting the MuaraJambi temple as an educational centre 2. How were the educational support facilities found in the Muarajambi Temple in the 7th-12th century AD. Disclosure of research questions using archaeological methods, through systematic stages including; collecting data, processing data in the form of identification and classification, and interpreting data. In the final section, it would discuss the function of each temple building and other supporting structures, namely as a means of educational infrastructure in Southeast Asia1in VII-XII AD century.Keywords: Mahavihara, Temple, Muarajambi \u0000IDENTIFIKASI ARKEOLOGI SARANA DAN PRASARANA MAHAVIHARA MUARAJAMBI SEBAGAI PUSAT PENDIDIKAN DI ASIA TENGGARA PADA MASA MELAYU KUNO ABAD VII-XII \u0000Oleh; \u0000 Asyhadi Mufsi Sadzali, Yundi Fitrah \u0000abstrak: perkembangan ajaran Buddha di Sumatera, khususnya di Jambi telah berlangsung setidaknya sejak abad ke-7, dibuktikan dengan tinggalan arkeologi berupa sebaran struktur candi di kawasan Percandian Muarajambi seluas 3.900 Ha. Upaya rekonstruksi telah dilakukan sejak tahun 1975, namun interpretasi fungsi bangunan belum banyak diteliti, sehingga hanya dikaitkan dengan bangunan peribadatan agama Buddha. Akantetapi perkembangan data penelitian menunjukkan hal berbeda, ada kemungkinan fungsi lain, yakni sebagai pusat pendidikan. Asumsi tersebut diungkapkan melalui dua pertanyaan penelitian; Apa saja ragam data arkeologi pendukung percandian Muarajambi sebagai pusat pendidikan? Bagaimana sarana-prasarana pendukung pendidikan di Percandian Muarajambi pada abad ke-7 -12 M? Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan metode arkeologi, melalui tahapan sistimatis meliputi; pengumpulan data, pengolahan data dalam betuk identifikasi dan klasifikasi, serta interpretasi data. Pada bagian ahir diambil kesimpulan terkait fungsi masing-masing bangunan candi serta struktur pendukung lain sebagai sarana prasarana pendidikan di Asia Tenggara pada abad ke-7 – 12 M. \u0000Kata kunci: Mahavihara, Candi, Muarajambi","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"115 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-01-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131210690","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"TINGGALAN MEGALITIK BATU SUKUN MENGUNGKAP CERITA RAKYAT DI KAMPUNG YAPASE (The Remains of the Sukun Stone and Folklore in Yapase Village)","authors":"Rini Maryone","doi":"10.24832/papua.v11i1.267","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v11i1.267","url":null,"abstract":"This article examines the remains of the sukun stone and folklore in Yapase Village. The purpose of this paper is to reveal the Yakarmilena folklore and cultural values contained in the sukun stone folklore. The method used is a qualitative method, with inductive reasoning. The results of the study were nine sukun stones, consisting of one large stone which was a mother’s stone and one stone in the shape of a statue as a girl, while six other oval-shaped stones were a pillow, and one flat rock was a plate of offerings. Archaeological remains of sukun stones in Kampung Yabase serve as a place to perform religious ceremonies to ask for blessings from the ancestors. From the folklore stone sukun has noble values, including cultural values, conceptualiza t ion values, social values and religious values. Tulisan ini mengkaji tinggalan megalitik batu sukun dan cerita rakyat di Kampung Yapase . ABSTRAKTujuan penulisan ini adalah dapat mengungkapkan cerita rakyat suku Yakarmilena dan nilai-nilai budaya yang terkandung dari cerita rakyat batu sukun. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif, dengan penalaran induktif. Hasil penelitian berupa sembilan buah batu sukun, terdiri dari satu batu yang berukuran besar merupakan batu ibu dan satu buah batu yang berbentuk arca sebagai anak perempuan, sedangkan enam buah batu berbentuk lonjong lainnya merupakan bantal, dan satu buah batu ceper bercekungan merupakan piring tempat persembahan. Tinggalan arkeologi batu sukun di Kampung Yabase dijadikan sebagai tempat melakukan upacara keagamaan untuk meminta berkah kepada leluhur. Dari cerita rakyat batu sukun ini memiliki nilainilai luhur, diantaranya nilai budaya, nilai konseptualisasi, nilai sosial dan nilai religi.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"104 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134556156","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"SABANA DI JAWA BALI LOMBOK SERTA KEKUNOAN SABANA BALURAN (Sabana in Java Bali Lombk and Ancient of Baluran Sabana)","authors":"Sutomo, E. V. Etten","doi":"10.24832/papua.v11i1.263","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v11i1.263","url":null,"abstract":"Savanna is a type of ecosystem in the lowlands or highlands, where the community consists of several trees that are spread unevenly and the lower layers are dominated by grasses. Savanna is very common in very dry areas in Nusa Tenggara. However, in some places in Java, Savanna can also be found. The widest Savanna in Java is Savanna in Baluran National Park, East Java. Information about the occurrence and formation (composition of vegetation) of Savanna in Indonesia, especially in wet areas, such as Java, Bali and Lombok, is still very rare. This paper compares and distinguishes the characteristics of vegetation from four Savanna (Java - Bali - Lombok) in the ‘wet’ area ‘which has a higher rainfall than the eastern region where savanna is more common in the Indonesian archipelago, to find out what the vegetation features are like can tell us about the origin, maintenance and age of this savanna. The results of this study indicate there are different gradients in elevation (along with related climatic factors such as temperature and rainfall) and fire regimes associated with floristic composition in Savanna Java, Bali and Lombok. Each Savanna is characterized by a variety of different woody and grass species, where Invasive Alien Species (IAS), such as Acacia nilotica, Lantana camara and Chromolaena odorata, are very important in distinguishing between Savanna and other savannas? The characteristics of the species from Savanna Baluran indicate that this ecosystem may be an old Savanna, while other Savanna may be newly formed and their existence is maintained by fire or fire. ABSTRAKSabana adalah tipe ekosistem di dataran rendah atau dataran tinggi yang komunitasnya terdiri atas beberapa pohon yang tersebar tidak merata dan lapisan bawahnya didominasi oleh suku rumput-rumputan. Sabana sangat umum dijumpai di wilayah yang sangat kering di Nusa Tenggara. Meskipun demikian, di beberapa tempat di Pulau Jawa juga dapat dijumpai sabana. Sabana terluas di Pulau Jawa adalah sabana di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Informasi tentang bagaimana terjadinya serta formasi (komposisi vegetasi) sabana di Indonesia, terutama di daerah basah, seperti Jawa, Bali, dan Lombok, masih sangat jarang. Makalah ini membandingkan dan membedakan karakteristik vegetasi antara empat sabana daerah ‘basah’ di Jawa, Bali, dan Lombok yang memiliki curah hujan lebih tinggi dibanding sabana di kawasan timur Kepulauan Indonesia. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui fitur vegetasi yang memuat informasi tentang asal-usul, pemeliharaan (maintenance), dan usia sabana ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat gradien yang berbeda dalam hal elevasi (bersama dengan faktor iklim terkait, seperti suhu dan curah hujan) dan rezim api terkait dengan komposisi floristik di sabana Jawa, Bali, dan Lombok. Setiap sabana dicirikan oleh berbagai spesies berkayu dan rumput yang berbeda yang di dalamnya Invasive Alien Species (IAS), seperti Acacia nilotica, Lantana camara, dan Chromola","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116935402","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK TRADISIONAL SUKUBANGSA MOI (Traditional Solution of Conflict in Moi Tribe)","authors":"Y. N. Yapsenang, D. Usmany","doi":"10.24832/papua.v11i1.266","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v11i1.266","url":null,"abstract":"The Moi people are one of the ethnic groups within the Bomberay customary territory. In the past, in the culture of Moi ethnicity to solve various problems that occur in their social and cultural life, it has been agreed that together several mechanisms for resolving conflicts / disputes / disputes, namely blessing and recitation of foo. Both of these mechanisms in the past were very sacred, so that the results obtained were able to answer or resolve problems or conflicts that occurred in the community, and were able to guarantee harmony in life in the community. ABSTRAKSuku bangsa Moi merupakan salah satu sukubangsa yang berada dalam wilayah adat Bomberay. Di masa lampau dalam budaya sukubangsa Moi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya mereka telah disepakati secara bersama-sama beberapa mekanisme penyelesaian konflik/pertikaian/perselisihan, yaitu teh bless dan kalak foo. Kedua mekanisme ini dimasa lampau sangat sakral, sehingga hasil yang diperoleh mampu menjawab atau menyelesaikan permasalahan atau konflik yang terjadi dalam masyarakat, serta mampu menjamin keharmonisan hidup dalam masyarakat.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130359490","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"REKONSTRUKSI JALUR PELAYARAN KAPAL-KAPAL EROPA ABAD KE-16 HINGGA ABAD KE-17 Di KEPULAUAN MALUKU (Reconstruction of the European Ship Routes in the 16th to 17th Century in Maluku Archipelago)","authors":"Ujon Sujana","doi":"10.24832/papua.v11i1.264","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v11i1.264","url":null,"abstract":"The issue of the Spice Routes recently been widely discussed by experts and practitioners of cultural heritage and history in Indonesia and some European countries. During this time there have been many discussions about the process of Europeans explorers voyages for spices in the 16th century, or the locations and types of spices that were popular at the time, or the efficacy of the spices themselves. Most concluded that spices were the most sought is cloves and nutmeg from the Maluku Islands. However, there has not been much concrete discussion about the Spice Routes regarding the path itself. Therefore, this paper tries to reconstruct the sailing lanes of European ships in the Maluku Islands. With the historical archaeology approach that is used, can provide a description of the sailing trails that are passed by ships belong to Portuguese, Spanish and Dutch, based on the existence of their forts or strongholds scattered in the Maluku Islands. The European ships choose their respective sailing lines, which were influenced by various factors, one of which is politics. This descriptions of the European ships sailing lanes can at least contribute to the discourse on the Spice Routes. ABSTRAKIsu mengenai Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia akhir-akhir ini sangat santer dibicarakan oleh para pakar dan praktisi warisan budaya dan sejarah di Indonesia dan beberapa negara-negara Eropa. Selama ini banyak sekali pembahasan tentang proses perjalanan orang-orang Eropa mencari rempah pada abad ke-16, atau lokasi-lokasi dan jenis-jenis rempah yang populer saat itu, dan atau khasiat rempah itu sendiri. Hampir sebagian besar menyimpulkan bahwa rempah yang paling dicari adalah cengkih dan pala yang berasal dari Kepulauan Maluku. Namun belum banyak pembahasan Jalur Rempah yang cukup kongkrit mengenai jalur itu sendiri. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba rekonstruksi jalur pelayaran kapal-kapal Eropa di Kepulauan Maluku. Dengan pendekatan arkeologi kesejarahan yang digunakan, paling tidak dapat memberikan gambaran jalur-jalur pelayaran yang dilewati oleh kapal-kapal milik Portugis, Spanyol, dan Belanda, berdasarkan keberadaan benteng-benteng mereka yang tersebar di Kepulauan Maluku. Kapal-kapal Eropa tersebut memilih jalur pelayarannya masing-masing, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah politik. Gambaran mengenai jalur pelayaran kapalkapal Eropa tersebut paling tidak dapat memberi kontribusi dalam wacana jalur rempah tersebut.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126959728","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"ANGKALAN UDARA DI BIAK NUMFOR PADA PERANG DUNIA II (The remains of World War II in the form of air bases in Biak Numfor Regency)","authors":"Sonya M. Kawer","doi":"10.24832/papua.v11i1.265","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v11i1.265","url":null,"abstract":"The remains of World War II in the form of air bases in Biak Numfor Regency are found in three areas of Biak Island, namely on Owi Island, Numfor Island and Biak City. In this study conducted using data collection methods such as surveys, observations, and interviews, to find the remains. The results of an airbase survey conducted on Owi Island were four airbases which were built by Japan and seized by the Allies. There are four air bases on Numfor Island, three built by Japan and one by allies. while in Biak Kota itself there are three air bases built by Japan. The air base is proof that Biak Island is very strategic in terms of location, especially in relation to regional control in the Pacific region. Japanese troops who were under the command of Colonel Naoyuki Kuzume occupied Biak and used the natural landscape of Biak Island as a defense. ABSTRAKTinggalan Perang Dunia II berupa pangkalan udara di Kabupaten Biak Numfor terdapat di tiga wilayah Pulau Biak yaitu di Pulau Owi, Pulau Numfor dan Kota Biak. Dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data berupa survei, obsevasi, dan wawancara, untuk menemukan tinggalan tersebut. Hasil survei pangkalan udara yang dilakukan di Pulau Owi terdapat empat pangkalan udara yang dibangun Jepang dan direbut oleh Sekutu. Pangkalan di Pulau Numfor terdapat empat buah pangkalan udara, tiga dibangun Jepang dan satu dibangun sekutu. sedangkan di Biak Kota sendiri terdapat tiga buah pangkalan udara yang dibangun Jepang. Pangkalan udara menjadi bukti bahwa Pulau Biak sangatlah strategis dari sisi keletakan terutama dalam kaitannya dengan penguasaan daerah di wilayah Pasifik. Tentara Jepang yang saat itu dibawah komando Kolonel Naoyuki Kuzume menduduki Biak serta memanfaatkan landskap alam Pulau Biak sebagai pertahanan.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"58 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128217890","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"KAJIAN GEOLOGI TERHADAP SITUS-SITUS DI PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH (Geological Study On Sites In Pekalongan, Central Java Province)","authors":"M. Intan","doi":"10.24832/papua.v11i1.262","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v11i1.262","url":null,"abstract":"Pekalongan the study location, present many cultural remains, one of which is from the Hindu-Buddhist period, which has not gotten any attention of environmental researchers yet. This becomes the basis of the main research problems that cover geology in general. Therefore, the purpose of this research is to carry out surface geological mapping in general as one of the efforts to present geological information, while the aim is to find out the geomorphological aspects, stratigraphy, geological structures that are associated with the existence in archaeological sites of the research area. The research method begins with literature review, surveys, analysis, and interpretation of field data. Environmental observation provides information about the landscape consisting of terrestrial morphology units, weak corrugated morphological units, and strong corrugated morphological units. The river is dendritic, radial and rectangular patterned, with the old-mature river and the old river, periodic/permanent rivers, and episodic/intermittent rivers. The rock Compositions are alluvial, andesite, basalt, volcanic breccias, and sandstones. The geological structure is in the form of faults, and is joint. The exploration in Pekalongan has found six Hindu-Buddhist sites. ABSTRAKPekalongan, yang menjadi lokasi penelitian, menyimpan banyak tinggalan budaya, salah satunya dari masa Hindu-Budha, yang belum mendapat perhatian dari para peneliti lingkungan. Hal inilah yang dijadikan dasar permasalahan utama penelitian yang mencakup geologi secara umum. Oleh sebab itu, maksud penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi permukaan secara umum sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi geologi, sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui aspek-aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi yang dikaitkan dengan keberadaan di situs-situs arkeologi wilayah penelitian. Metode penelitian diawali dengan kajian pustaka, survei, dan dilanjutkan dengan analisis, dan interpretasi data lapangan. Pengamatan lingkungan memberikan informasi tentang bentang alamnya terdiri yang dari satuan morfologi dataran, satuan morfologi bergelombang lemah, dan satuan morfologi bergelombang kuat. Sungainya berpola dendritik, radial, dan rektangular, berstadia sungai dewasa-tua dan sungai tua, sungai periodik/ permanen, dan sungai episodik/intermittent. Batuan penyusun adalah aluvial, andesit, basal, breksi vulkanik, dan batupasir. Struktur geologi berupa sesar, dan kekar. Eksplorasi di Kabupaten Pekalongan telah menemukan enam situs Hindu-Budha.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124406657","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PERANAN BANGSAWAN BONE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DARI SWAPRAJA KE KABUPATEN (The Role of Bone Nobleman in The Government System from Swapraja to Regency)","authors":"Risma Widiawati","doi":"10.24832/papua.v10i2.258","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v10i2.258","url":null,"abstract":"Bone Regency as part of South Sulawesi is a very interesting area to discuss. This area is not only part of the history of South Sulawesi, but also a historical flow of South Sulawesi. the existence of nobles who are so attached to the joints of the lives of the people of Bone is still interesting to be examined to this day. Based on this, the article aims to reveal the role of Bone nobility in the swapraja government system to the regency (1950 - 1960). The political development of the government during this period was seen as sufficiently influencing the political dynamics of the government in Bone Regency which continued even today. The method used is the method of historical research with four stages, namely, heuristics, criticism (history), interpretation, and presentation (historiography). The results of the study show that after the transition from swapraja to regency, the role of nobility is still very calculated. But it is no longer like in the period before the transition, where the government was ruled by the king / aristocracy. At this time the level of intelligence is also taken into account. Apart from the fact that the structure of the government is indeed different because the process of appointing head of government is also different. But in general the role of nobility after the transition was not much different, where there were still many nobles holding power. ABSTRAK Kabupaten Bone sebagai bahagian dari Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah yang sangat menarik untuk dibicarakan. Daerah ini bukan saja merupakan bagian dari sejarah Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan arus sejarah Sulawesi Selatan. keberadaan bangsawan yang begitu melekat di dalam sendi kehidupan masyarakat Bone masih menarik untuk ditelisik sampai hari ini. Berdasarkan hal tersebut, maka artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang peranan bangsawan Bone dalam sistem pemerintahan swapraja ke kabupaten (1950 – 1960). Perkembangan politik dari pemerintahan selama periode ini dipandang cukup mempengaruhi dinamika politik dari pemerintahan di Kabupaten Bone yang berlangsung bahkan sampai sekarang. Metode yang digunakan adalah adalah metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu, heuristik, kritik (sejarah), intrepretasi, dan penyajian (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah peralihan dari swapraja ke kabupaten, peranan bangsawan masih sangat diperhitungkan. Namun tidak lagi seperti pada masa sebelum peralihan, di mana pemerintahan dikuasai oleh raja/aristokrasi. Pada masa ini tingkat kecerdasan juga diperhitungkan. Selain karena struktur pemerintahannya memang berbeda juga karena proses pengangkatan kepala pemerintahan juga berbeda. Namun secara umum peran bangsawan setelah masa peralihan tidak jauh berbeda, di mana masih banyak bangsawan yang memegang kekuasaan.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"17 24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127745493","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"RUMAH TRADISIONAL SUKU KAMORO (Traditional House of Kamoro Tribe)","authors":"Rini Maryone","doi":"10.24832/papua.v10i2.259","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/papua.v10i2.259","url":null,"abstract":"This paper examines the tradisional houses karapauw kame and mitoro pole of the Kamoro in Mimika District. The problems raised in the paper is how the form, function, and cultural velues of tradisional homes karapauw kame and mitoro pole. The metohod used is qualitative method, with inductive reasoning as a minsed in solving problems that have been done before. The results of research houses karapauw kame and mitoro poles are expected to and reference tribal house in Papua in particular and in Indonesia generally. ABSTRAK Tulisan ini mengkaji rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro pada suku Kamoro di kabupaten Mimika. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan nilai budaya rumah tradisional karapauw kame dan tiang mitoro. Metode yang di gunakan adalah metode kualitatif, dengan penalaran induktif sebagai pola pikir dalam memecahkan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Diharapkan budaya masa lampau ini dapat direkontruksi lewat data etnografi dari tradisi masyarakat yang masih berlangsung (pendekatan etnoarkeologi). Hasil penelitian rumah tradisional Karapauw kame dan tiang mitoro di harapkan pulah dapat menambah referensi rumah suku yang ada di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya.","PeriodicalId":161832,"journal":{"name":"Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117293866","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}