Bernhard Arianto Purba, Rose Mafiana, Yusni Puspita
{"title":"Perbandingan Teknik Insersi Triple Airway Maneuver dengan Teknik Laringoskopi Terhadap Keberhasilan Insersi dan Profil Hemodinamik Pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA) Klasik pada Operasi Elektif","authors":"Bernhard Arianto Purba, Rose Mafiana, Yusni Puspita","doi":"10.14710/jai.v11i2.24457","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i2.24457","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Manajemen jalan napas merupakan aspek penting dalam anestesiologi. Alat bantu napas yang sering digunakan adalah laringeal mask airway (LMA). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari teknik yang dapat meningkatkan angka keberhasilan insersi LMA dan mengurangi komplikasi. Teknik insersi LMA triple airway maneuver (TAM) dan teknik laringoskopi merupakan teknik insersi yang sering dipakai dalam paktik sehari-hari namun keunggulan kedua tehnik ini perlu diketahui lebih lanjut.Tujuan: Mengetahui perbandingan keberhasilan dan profil hemodinamik insersi LMA klasik antara teknik TAM dengan teknik laringoskopi.Metode: Randomized post test only and comparison group design dilakukan di kamar bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada bulan April 2019-Mei 2019 sampai jumlah sampel terpenuhi. Didapatkan total 62 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok teknik TAM dan teknik laringoskopi. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji t-tidak berpasangan dan Chi-square test (p<0,05) dengan SPSS® versi 25.00.Hasil: Keberhasilan pemasangan LMA klasik dengan menggunakan teknik laringoskopi pada usaha pertama dan kecepatan insersi dengan teknik laringoskopi lebih baik daripada teknik TAM (p<0,05). Profil hemodinamik rerata tekanan sistolik pada teknik laringoskopi lebih rendah daripada teknik TAM (p<0,05), namun rerata tekanan diastolik, MAP, dan detak jantung tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05). Selain itu ditemukan keluhan sakit tenggorokan (22,6%) dan bercak darah pada LMA pasca ekstubasi (16,1%) pada teknik TAM.Kesimpulan: Keberhasilan dan tekanan darah sistolik pada teknik laringoskopi lebih baik daripada teknik TAM.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127001696","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Gambaran Gastrointestinal Dysmotility pada Pasien Kritis","authors":"Fauzana Fauzana, Prananda Surya Airlangga, Eddy Rahardjo","doi":"10.14710/jai.v11i2.22115","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i2.22115","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Gastrointestinal (GI) dysmotility merupakan kejadian yang sering ditemui di intensive care unit (ICU), dengan angka kejadian cukup besar mencapai 60% pada pasien kritis. Hal ini juga merupakan prediktor peningkatan mortalitas dan lama tinggal di ICU. GI dysmotility dapat merupakan kelainan primer seperti pada pasien dengan diabetes mellitus dan sepsis atau merupakan efek sekunder dari terapi yang diberikan seperti efek dari resusitasi cairan dalam jumlah besar, penggunaan vasopressor atau obat-obatan yang menurunkan motilitas usus seperti opioid. Manifestasi klinis GI dysmotility dapat sangat luas dan dibagi menjadi upper GI dysmotility dan lower GI dysmotility.Kasus: 2 laporan kasus berikut mewakili upper dan lower GI dysmotility. Kasus 1, laki laki 18 tahun dengan diagnosa guliian barre syndrome (GBS) yang mengalami infeksi berulang. Gastroparesis dan produksi cairan lambung yang massive, dicetuskan oleh sepsis dan mengakibatkan metabolik alkalosis yang berat, kesulitan memulai nutrisi enteral dan kesulitan weaning dari ventilasi mekanik.Kasus 2, wanita 56 tahun dengan diagnosa obesity hypoventilation syndrome (OHS) dan edema paru. Terdapat diare dan ileus paralitik selama perawatan di ICU yang menyebabkan peningkatan tekanan intrabadomen.Pembahasan: Diagnosa dini dan tatalaksana yang tepat sangat penting. Mencari dan mengatasi penyebab GI dysmotility, koreksi cairan, elektrolit dan asam basa harus segera dilakukan. Obat-obatan yang meningkatkan motilitas usus dan mobilisasi dini dapat diberikan pada upper dan lower GI dysmotility sedangkan dekompressi abdomen efektif dalam mengurangi tekanan intrabdomen pada lower GI dysmotility.Kesimpulan: Diagnosa dan penanganan dini pada GI dysmotility dapat memperbaiki outcome dan mengurangi komplikasi. Apapun penyebabnya GI dysmotility harus di terapi secara tepat dan sistematis.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"26 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126939795","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Tatalaksana Perioperatif Ventilasi Mekanik pada Pasien dengan Gagal Jantung Kiri","authors":"Budi Nugroho, Yudi Hadinata","doi":"10.14710/jai.v11i2.24450","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i2.24450","url":null,"abstract":"Penyakit gagal jantung merupakan suatu kondisi kelainan pada pasien dimana kemampuan pengisian dan fungsi pompa jantung mengalami gangguan. Gagal jantung sendiri dapat terjadi secara akut atau kronis serta berpotensi mengancam jiwa. Ketika kondisi tersebut memburuk maka dapat menyebabkan gangguan fungsi pernapasan dan perburukan kondisi hingga berakibat kematian. Kondisi gagal jantung dapat terjadi selama tindakan perawatan perioperatif pembedahan yang membutuhkan terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Salah satu modalitas terapi non farmakologi yang dapat membantu fungsi pompa jantung dalam kondisi gagal jantung adalah ventilasi mekanik. Tinjauan pustaka ini akan mengulas tentang terapi perioperatif ventilasi mekanik pada pasien dengan gagal jantung.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"45 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129796008","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Tatalaksana Perioperatif pada Pasien dengan Cardiac Implantable Electronic Devices (Cieds) atau Alat Elektronik Kardiovaskular Implan (Aleka)","authors":"C. E. Boom, Ornella Widyapuspita","doi":"10.14710/jai.v11i2.24714","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i2.24714","url":null,"abstract":"Jumlah pasien pengguna cardiac implantable electronic devices (CIEDs) atau alat elektronik kardiovaskular implan (ALEKA) hingga saat ini makin bertambah setiap tahunnya di penjuru dunia, namun masih banyak ahli anestesi yang belum nyaman dalam mengelola pelayanan perioperatif pada pasien-pasien tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pengalaman pemrograman alat untuk menatalaksana pasien. Alat elektronik kardiovaskular implan merupakan sebuah istilah yang mencakup penggunaan alat pacu jantung untuk bradiaritmia dan implantable cardioverter defibrilator (ICD)/defibrilator kadioverter implan (DKI) untuk takiaritmia, serta cardiac resynchronization therapy (CRT)/ terapi resinkronisasi jantung (TRJ) untuk disfungsi diastolik dengan hambatan konduksi. Hingga saat ini, tercatat setidaknya lebih dari 250.000 pasien dewasa maupun anak menjalani pemasangan alat pacu jantung tiap tahunnya, oleh karena itu, penting bagi seorang dokter anestesi untuk memahami dan mampu membuat perencanaan perioperatif dengan tim multidisiplin agar dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Tinjauan pustaka ini dibuat untuk memberikan info seputar ALEKA dengan berfokus pada manajemen perioperatif pasien dengan ALEKA, serta algoritma tatalaksana yang dapat diimplementasikan dalam praktik sehari-hari.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"79 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117029539","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Epidural Labour Analgesia pada Pasien Hamil dengan Sindrom Eisenmenger","authors":"Juni Kurniawaty","doi":"10.14710/jai.v11i1.22899","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i1.22899","url":null,"abstract":"Sindrom Eisenmenger didefinisikan sebagai hubungan abnormal antara sirkulasi sistemik dan paru berupa pirau kiri ke kanan yang berbalik menjadi kanan ke kiri akibat tingginya resistensi vaskular paru. Wanita hamil dengan sindrom Eisenmenger disarankan untuk menghentikan kehamilan, tetapi jika pasien tetap memilih untuk melanjutkan kehamilan, maka sebaiknya masuk rumah sakit pada usia kehamilan 25 minggu, bed rest selama periode sisa kehamilan, diberikan oksigen selama periode sesak napas dan dilakukan pemeriksaan analisis gas darah serial untuk mendeteksi perubahan di dalam aliran shunt. Apabila pilihan mode persalinanannya adalah persalinan normal, maka pada onset dari persalinan, dilakukan insersi kateter epidural, dilakukan pemantauan dengan monitor hemodinamik invasif dan apabila terjadi penurunan tekanan darah seharusnya segera diterapi dengan pemberian vasopressor serta setiap kehilangan darah dilakukan transfusi. Pasien seharusnya tetap di dalam rumah sakit sampai 7-14 hari setelah persalinan.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"62 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-07-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"134360671","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Anestesi Regional pada Pasien dengan Penyakit Jantung/ Hemodinamik Tidak Stabil","authors":"W. Nurcahyo","doi":"10.14710/JAI.V11I1.23934","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/JAI.V11I1.23934","url":null,"abstract":"Pembiusan pasien dengan penyakit jantung sebelumnya merupakan tantangan yang menarik. Penyebab paling umum morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien jantung adalah penyakit jantung iskemik (PJI). Goldman dkk. melaporkan bahwa 500.000 hingga 900.000 infark miokard terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan mortalitas 10-25%. Keputusan untuk menggunakan anestesi regional tergantung pada banyak faktor. Karakteristik pasien, jenis operasi yang direncanakan, dan potensi risiko anestesi semuanya akan berdampak pada pilihan anestesi dan manajemen perioperatif.Kerugian dari anestesi regional termasuk hipotensi dari blokade simpatis yang tidak terkendali dan kebutuhan untuk loading volume dapat menyebabkan iskemia. Pemberian anetesi lokal dalam dosis besar juga harus mempertimbangkan risiko toksisitas depresi miokard. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, teknik anestesi regional (baik tunggal atau dengan anestesi umum) bermanfaat perioperatif dalam mengurangi respon stres, simpatektomi jantung, ekstubasi lebih awal, lama rawat di rumah sakit lebih pendek, dan analgesia pascaoperasi yang baik. Selain jenis operasi yang dilakukan, dalam pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan masalah yang ada pada masing-masing pasien. Anestesi umum juga memberikan peranan penting karena bersifat kardioprotektif dan dapat meningkatkan suplai oksigen. Keputusan untuk menggunakan anestesi regional harus dilakukan dengan hati-hati dan dilakukan dengan pemantauan yang tepat. ","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130661734","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Pengukuran Optical Nerve Sheath Diameter (ONSD) untuk Monitoring Tekanan Intrakranial (TIK) di Intensive Care Unit (ICU)","authors":"M. Thamrin, Prananda Surya Airlangga","doi":"10.14710/JAI.V11I1.21064","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/JAI.V11I1.21064","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) adalah kegawatan pada sistem neurologis yang dapat menyebabkan kematian, akibat keganasan di otak, cedera kepala tertutup, gangguan aliran liquor cerebro spinal (LCS), sumbatan pada sinus venosus utama dan yang bersifat idiopatik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa monitoring TIK dapat meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup pasien-pasien yang mengalami peningkatan TIK. Metode pengukuran TIK non invasif seperti pengukuran optical nerve sheath diameter (ONSD) jarang dilakukan di Indonesia meskipun memiliki nilai manfaat yang besar bagi penatalaksanaan pasien di ICU.Kasus: Kami melaporkan 4 kasus ICU di RSUD Dr. Moewardi, Solo, Jawa Tengah: laki-laki, 54 tahun dengan cedera kepala berat (CKB), ICH regio temporal dan edema cerebri, mendapatkan terapi konservatif; wanita 52 tahun, dengan CKB, SDH regio frontotempororoparietal, ICH regio temporoparietal dekstra dan edema cerebri; wanita 44 tahun mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dengan EDH regio parietotemporal dextra, closed fracture clavicula dextra dan dilakukan kraniotomi evakuasi EDH; laki-laki 45 tahun dengan stroke hemoragik,dekstra, patah tulang tertutup, klavikula kanan dan dilakukan evakuasi EDH pascaoperasi ICH. Pada keempat pasien di atas kami lakukan pengukuran ONSD pada kedua bola mata dengan hasil yang berbeda-beda. ONSD > 5 mm kami anggap pasien mengalami peningkatan TIK, TIK > 20 mmHg, dan terapi di ICU disesuaikan dengan hasil ini untuk menurunkan TIK nya.Pembahasan: Laporan kasus kami ini memberikan gambaran bahwa pemeriksaan sonografi bola mata pasien yang dilakukan oleh klinisi ICU dapat memperkirakan tekanan intrakranial pasien secara cepat dan akurat. ONSD dengan cut off > 5 mm dapat memperkirakan TIK > 20 mmHg. Pada pasien kasus 1, 2, 4 didapatkan ONSD melebihi 5 mm pada kedua bola mata dan TIK diperkirakan melebihi 20 mmHg. Segala terapi yang bertujuan menurunkan TIK telah dilakukan kecuali kraniotomi dekompresi pada 2 pasien (kasus 1, dan kasus 2). Pemeriksaan ONSD juga memberikan informasi kepada klinisi tentang prognosis pasien. Hal ini menjadi penting saat memberikan informasi kepada keluarga pasien dan untuk rencana terapi selanjutnya. Pengukuran ONSD akan sangat bermanfaat dalam merubah keluaran pasien jika diukur pada fase awal dan dapat merubah terapi sesuai hasil ONSD. Pemeriksaan ONSD juga memeiliki keterbatasan yaitu sangat tergantung pada kemampuan operator sonografinya.Kesimpulan: Ini adalah laporan pertama di unit perawatan intensif kami berkenaan dengan metode pengukuran TIK non invasif. Diperlukan penelitian prospektif mengenai akurasi hasil antara pemeriksa, dan kegunaannya pada fase awal pasien cidera kepala (di ruang resusitasi) atau pasien yang beresiko mengalami peningkatan TIK.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128059453","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Taufik Eko Nugroho, Datu Abdul Rahman Hakim, H. Satoto
{"title":"Perbandingan Gambaran Histopatologi Lambung Tikus Wistar Setelah Pemberian Deksketoprofen dan Ketorolak","authors":"Taufik Eko Nugroho, Datu Abdul Rahman Hakim, H. Satoto","doi":"10.14710/jai.v11i1.23862","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i1.23862","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang memiliki kemampuan untuk mengatasi nyeri, sehingga dapat digunakan untuk pengelolaan nyeri pasca bedah. Ketorolak dan deksketoprofen merupakan OAINS bekerja dengan cara menghambat aktifitas enzim siklooksigenase (COX) baik enzim siklooksigenase-1 (COX-1) maupun enzim siklooksigenase-2 (COX-2) sehingga sintesis dari prostaglandin (PG) juga terhambat. PG khususnya Prostlagandin E2 (PGE2) sebenarnya merupakan zat yang bersifat protektor untuk mukosa saluran cerna atas. Hambatan sintesis PG akan mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi akut mukosa lambung bentuk ringan sampai berat.10Tujuan: Mengetahui perbedaan gambaran histopatologi lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak.Metode: Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik menggunakan randomized post test control group design pada 14 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing- masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus wistar yang diberi luka incisi. Kelompok I mendapat deksketoprofen 0,9 mg intramuskular tiap 8 jam selama 5 hari dan Kelompok II mendapat ketorolak dengan dosis 0,54mg intramuskuler tiap 8 jam selama 5 hari. Setelah itu dilakukan terminasi serta pengambilan jaringan lambung dan dianalisis gambaran histopatologinya. Uji statistik normalitas data dengan menggunakan Saphiro wilk, uji beda dengan menggunakan Independent T Test.Hasil: Dari hasil uji Independent T Test didapatkan nilai p antara kelompok I terhadap kelompok II P = 0,029 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok IIKesimpulan: Terdapat perubahan gambaran histopatologis lambung tikus wistar setelah pemberian deksketoprofen dan ketorolak, dimana perubahan gambaran histopatologi lambung tikus wistar pada pemberian deksketoprofen lebih sedikit dibandingkan dengan ketorolak.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"21 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126915819","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Iwan Dwi Cahyono, H. Satoto, Shazita Adiba Martyarini
{"title":"General Anesthesia Technique in Tetralogy of Fallot Patient Undergo Tooth Extraction Surgery","authors":"Iwan Dwi Cahyono, H. Satoto, Shazita Adiba Martyarini","doi":"10.14710/JAI.V11I1.23257","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/JAI.V11I1.23257","url":null,"abstract":"Background: Tetralogy of fallot is one of the congenital cyanotic heart disease that is often found in children. The disorder has four features, a ventricular septal defect (VSD), aortic overriding, infundibulary stenotic, and hypertrophy right ventricular. Like other congenital heart disease, tetralogy of fallot sometimes related to fatal complications, such as bacterial endocarditis which was related to dental infections. Anesthetic management in tetralogy of Fallot is often described in patients with known cardiac disease. Perioperative considerations include preoperative preparation for surgery, intraoperative anesthetic management, and common postoperative issues in the intensive care unit.Case: A three-year-old boy had history of Tetralogy of Fallot. He has many severe early childhood caries. From the physical examination, many severe caries and roots gangrene was found in both jaws. He was planned to get teeth extraction under general anesthesia.Discussion: Tetralogy of fallot (TOF) is a congenital cyanotic heart disease that is often found in children, approximately around of 7–10% from overall congenital heart disease in children. Children with TOF have an increased risk of bacterial endocarditis. Invasive procedure was performed under general anesthesia. Patient was successfully operated under general anesthesia.Conclusion: Tetralogy of Fallot is a congenital cyanogenic heart disease that is a challenge for anesthetist. General anesthesia is the best suitable anesthetic technique in instable patient.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127262409","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Deksametason Untuk Mengurangi Respon Inflamasi Pada Bedah Jantung Berdasarkan Kadar C-Reactive Protein Plasma","authors":"W. Nurcahyo, Hanugra Julius Sayoga","doi":"10.14710/jai.v11i1.23942","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v11i1.23942","url":null,"abstract":"Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin Cardiopulmonary Bypass (CPB). Penggunaan mesin CPB menyebabkan respon inflamasi yang luas dan ditandai dengan peningkatan C-Reactive Protein (CRP). Salah satu cara untuk menekan produksi CRP ini dengan menggunakan deksametason. Dosis deksametason dengan teknik pemberian premedikasi yang sering digunakan yaitu 1 mg/kgbb dan 2 mg/kgbb.Tujuan: Membandingkan efek deksametason dengan dosis 1 mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb sebagai premedikasi terhadap kadar CRP pasca CPB pada operasi jantung.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak yang mengikutsertakan 18 pasien bedah jantung dengan anestesi umum dan menggunakan mesin CPB. Sampel dibagi 2 kelompok, yaitu deksametason dosis 1 mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb sebagai premedikasi. Membandingkan jumlah CRP pada masing-masing dosis deksametason saat praoperasi dan pascaoperasi.Hasil: Pada penelitian ini, tidak ditemukan peningkatan yang bermakna dari kadar CRP pada kedua kelompok (deksametason 1 mg/kg [p=0,813] dan deksametason 2 mg/kg [p=0,115]). Perbandingan kadar CRP pascaoperasi antara kelompok deksametason 1 mg/kg dengan kelompok deksametason 2 mg/kg didapatkan hasil yang tidak bermakna (p=0,596),Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan antara pemberian premedikasi deksametason 1 mg/kg dengan deksametason 2 mg/kg dalam menurunkan respon inflamasi pada operasi jantung dengan CPB.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121914102","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}