{"title":"天主教神学的丧失:从自由主义到热爱政治","authors":"Yohanes Wele Hayon","doi":"10.14421/ijds.060203","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This article aims to re-question the relevance of Catholic political theology on the level of acceptance of people with disabilities. The author pointed out that the dominant ideology of liberalism, which separates the religious domain from politics, makes the discussion of disability limited to issues of equality. It missed the most sublime dimensions in the subject, namely recognition. So, how the political theology based on collective movement makes this lacking out? Referring to Jesus’ political action, the author argues that political involvement should presuppose a dimension of love that embraces all particulars. It should be based on agency strategy, without being trapped in claims of morality and binary opposition logic. Furthermore, the concept of disability is understood as a universal constitutive dimension that creates limitations as well as calls to be involved. This awareness is the basis for managing collective vulnerability as fellow sinful, unfixed, lacking, and not autonomous subjects.[Artikel ini bertujuan mempertanyakan kembali relevansi teologi politik agama Katolik dalam hal penerimaan terhadap kaum difabel. Di dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa dominannya ideologi liberalisme yang memisahkan domain agama dari politik menyebabkan diskusi mengenai disabilitas dari perspektif teologi politik terkunci pada kesetaraan dan tidak memerhatikan dimensi paling sublim dalam diri subjek yakni pengakuan. Mengacu pada gerakan politik Yesus, penulis berargumen bahwa keterlibatan politik hendaknya mengandaikan dimensi kasih yang merangkul semua partikular tanpa terjebak pada klaim moralitas dan logika oposisi biner. Dengan menggunakan beberapa terma kunci dari para pemikir post-marxisme, post-strukturalisme dan psikoanalisis, konsep disabilitas dipahami sebagai dimensi konstitutif universal yang menciptakan keterbatasan sekaligus panggilan untuk terlibat. Kesadaran inilah yang menjadi landasan untuk mengelola kerentanan secara kolektif sebagai sesama subjek yang ‘berdosa’, ‘unfixed’, ‘lack’, dan tidak otonom.]","PeriodicalId":55820,"journal":{"name":"INKLUSI Journal of Disability Studies","volume":"68 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-10-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":"{\"title\":\"Disabilitas dalam Teologi Katolik: Dari Liberalisme ke Politik Kasih\",\"authors\":\"Yohanes Wele Hayon\",\"doi\":\"10.14421/ijds.060203\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"This article aims to re-question the relevance of Catholic political theology on the level of acceptance of people with disabilities. The author pointed out that the dominant ideology of liberalism, which separates the religious domain from politics, makes the discussion of disability limited to issues of equality. It missed the most sublime dimensions in the subject, namely recognition. So, how the political theology based on collective movement makes this lacking out? Referring to Jesus’ political action, the author argues that political involvement should presuppose a dimension of love that embraces all particulars. It should be based on agency strategy, without being trapped in claims of morality and binary opposition logic. Furthermore, the concept of disability is understood as a universal constitutive dimension that creates limitations as well as calls to be involved. This awareness is the basis for managing collective vulnerability as fellow sinful, unfixed, lacking, and not autonomous subjects.[Artikel ini bertujuan mempertanyakan kembali relevansi teologi politik agama Katolik dalam hal penerimaan terhadap kaum difabel. Di dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa dominannya ideologi liberalisme yang memisahkan domain agama dari politik menyebabkan diskusi mengenai disabilitas dari perspektif teologi politik terkunci pada kesetaraan dan tidak memerhatikan dimensi paling sublim dalam diri subjek yakni pengakuan. Mengacu pada gerakan politik Yesus, penulis berargumen bahwa keterlibatan politik hendaknya mengandaikan dimensi kasih yang merangkul semua partikular tanpa terjebak pada klaim moralitas dan logika oposisi biner. Dengan menggunakan beberapa terma kunci dari para pemikir post-marxisme, post-strukturalisme dan psikoanalisis, konsep disabilitas dipahami sebagai dimensi konstitutif universal yang menciptakan keterbatasan sekaligus panggilan untuk terlibat. Kesadaran inilah yang menjadi landasan untuk mengelola kerentanan secara kolektif sebagai sesama subjek yang ‘berdosa’, ‘unfixed’, ‘lack’, dan tidak otonom.]\",\"PeriodicalId\":55820,\"journal\":{\"name\":\"INKLUSI Journal of Disability Studies\",\"volume\":\"68 1\",\"pages\":\"\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2019-10-27\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"3\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"INKLUSI Journal of Disability Studies\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.14421/ijds.060203\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"INKLUSI Journal of Disability Studies","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.14421/ijds.060203","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
摘要
这篇文章的目的是重新质疑天主教政治神学在接受残疾人水平上的相关性。作者指出,自由主义的主流意识形态将宗教领域与政治领域分开,使残疾的讨论局限于平等问题。它错过了这个主题中最崇高的维度,即承认。那么,以集体运动为基础的政治神学是如何弥补这一点的呢?在谈到耶稣的政治行动时,作者认为,政治参与应该以包含所有细节的爱的维度为前提。它应该基于代理策略,而不是陷入道德主张和二元对立逻辑。此外,残疾的概念被理解为一个普遍的构成方面,它造成限制,也要求参与。这种意识是管理集体脆弱性的基础,将其视为有罪的、不固定的、缺乏的、不自主的主体。[Artikel ini bertujuan memberpertanyakan kembali]相关技术政治[agama Katolik dalam hal penerimaan terhadap kaum difabel]。Di dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa dominannya ideologi liberalisme杨memisahkan域蜥蜴达里语政治menyebabkan diskusi mengenai disabilitas达里语perspektif teologi政治terkunci篇kesetaraan丹有些memerhatikan dimensi木栅sublim dalam diri subjek yakni pengakuan。Mengacu篇Yesus gerakan政治,penulis berargumen bahwa keterlibatan政治hendaknya mengandaikan dimensi kasih杨merangkul semua partikular tanpa terjebak篇klaim moralitas丹logika oposisi钩环。后马克思主义、后结构主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义、后社会主义。Kesadaran inilah yang menjadi landasan untuk mengelola kerentanan kolektif sebagai sesama subjek yang ' berdosa ', ' unfixed ', ' lack ', dan tidak otonom。
Disabilitas dalam Teologi Katolik: Dari Liberalisme ke Politik Kasih
This article aims to re-question the relevance of Catholic political theology on the level of acceptance of people with disabilities. The author pointed out that the dominant ideology of liberalism, which separates the religious domain from politics, makes the discussion of disability limited to issues of equality. It missed the most sublime dimensions in the subject, namely recognition. So, how the political theology based on collective movement makes this lacking out? Referring to Jesus’ political action, the author argues that political involvement should presuppose a dimension of love that embraces all particulars. It should be based on agency strategy, without being trapped in claims of morality and binary opposition logic. Furthermore, the concept of disability is understood as a universal constitutive dimension that creates limitations as well as calls to be involved. This awareness is the basis for managing collective vulnerability as fellow sinful, unfixed, lacking, and not autonomous subjects.[Artikel ini bertujuan mempertanyakan kembali relevansi teologi politik agama Katolik dalam hal penerimaan terhadap kaum difabel. Di dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa dominannya ideologi liberalisme yang memisahkan domain agama dari politik menyebabkan diskusi mengenai disabilitas dari perspektif teologi politik terkunci pada kesetaraan dan tidak memerhatikan dimensi paling sublim dalam diri subjek yakni pengakuan. Mengacu pada gerakan politik Yesus, penulis berargumen bahwa keterlibatan politik hendaknya mengandaikan dimensi kasih yang merangkul semua partikular tanpa terjebak pada klaim moralitas dan logika oposisi biner. Dengan menggunakan beberapa terma kunci dari para pemikir post-marxisme, post-strukturalisme dan psikoanalisis, konsep disabilitas dipahami sebagai dimensi konstitutif universal yang menciptakan keterbatasan sekaligus panggilan untuk terlibat. Kesadaran inilah yang menjadi landasan untuk mengelola kerentanan secara kolektif sebagai sesama subjek yang ‘berdosa’, ‘unfixed’, ‘lack’, dan tidak otonom.]