{"title":"伊斯兰教在精神领导实践中的男性优越性:伊斯兰文化审查","authors":"Abdurrohmat Abdurrohmat","doi":"10.18860/EL.V10I1.4598","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Substantially, the spiritual teaching of Sufism is not represented and represents one of gender group, male or female. The Sufism spiritual teaching has great universal scope for male and female. In the empirical domain, in fact, the spiritual teaching still conducts patrimonial culture behavior which makes the original Sufism spiritual teaching endangered to fail. This situation also happened in the leadership on the practices of mysticism teaching culture which has been dominated by the males. As a consequence, the female will never get the chance to lead the teaching practice. The situation encourages the writer to dig up the imbalance issues in the male and female role in the Sufism teaching practices. The article raises the questions whether the spiritual teacher should be the male and why the leadership capacity of the spiritual teaching has been dominated by the male. Furthermore, the exploration will be a helpful resource to have better understanding on the Sufism teaching practice. Secara substansi, ajaran spiritual tasawuf tidak terwakili dan mewakili salah satu kelompok gender, laki-laki atau perempuan. Ajaran spiritual Sufisme memiliki cakupan universal yang besar untuk pria dan wanita. Dalam ranah empiris, sebenarnya, pengajaran spiritual masih melakukan perilaku budaya patrimonial yang membuat ajaran spiritual Sufisme asli terancam gagal. Keadaan ini juga terjadi pada kepemimpinan praktik budaya ajaran mistisisme yang telah didominasi oleh laki-laki. Sebagai konsekuensinya, perempuan tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk memimpin praktik mengajar. Situasi mendorong penulis untuk menggali masalah ketidakseimbangan peran pria dan wanita dalam praktik pengajaran tasawuf. Artikel tersebut mengangkat pertanyaan apakah guru spiritual seharusnya laki-laki dan mengapa kapasitas kepemimpinan ajaran spiritual didominasi oleh laki-laki. Selanjutnya, eksplorasi akan menjadi sumber yang bermanfaat untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai praktik pengajaran tasawuf.","PeriodicalId":31198,"journal":{"name":"El Harakah","volume":"10 1","pages":"45-56"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-04-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"SUPERIORITAS LAKI-LAKI DALAM DUNAI SUFI: Tinjauan Budaya Islam Dalam Praktek Kepemimpinan Spiritual\",\"authors\":\"Abdurrohmat Abdurrohmat\",\"doi\":\"10.18860/EL.V10I1.4598\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Substantially, the spiritual teaching of Sufism is not represented and represents one of gender group, male or female. The Sufism spiritual teaching has great universal scope for male and female. In the empirical domain, in fact, the spiritual teaching still conducts patrimonial culture behavior which makes the original Sufism spiritual teaching endangered to fail. This situation also happened in the leadership on the practices of mysticism teaching culture which has been dominated by the males. As a consequence, the female will never get the chance to lead the teaching practice. The situation encourages the writer to dig up the imbalance issues in the male and female role in the Sufism teaching practices. The article raises the questions whether the spiritual teacher should be the male and why the leadership capacity of the spiritual teaching has been dominated by the male. Furthermore, the exploration will be a helpful resource to have better understanding on the Sufism teaching practice. Secara substansi, ajaran spiritual tasawuf tidak terwakili dan mewakili salah satu kelompok gender, laki-laki atau perempuan. Ajaran spiritual Sufisme memiliki cakupan universal yang besar untuk pria dan wanita. Dalam ranah empiris, sebenarnya, pengajaran spiritual masih melakukan perilaku budaya patrimonial yang membuat ajaran spiritual Sufisme asli terancam gagal. Keadaan ini juga terjadi pada kepemimpinan praktik budaya ajaran mistisisme yang telah didominasi oleh laki-laki. Sebagai konsekuensinya, perempuan tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk memimpin praktik mengajar. Situasi mendorong penulis untuk menggali masalah ketidakseimbangan peran pria dan wanita dalam praktik pengajaran tasawuf. Artikel tersebut mengangkat pertanyaan apakah guru spiritual seharusnya laki-laki dan mengapa kapasitas kepemimpinan ajaran spiritual didominasi oleh laki-laki. Selanjutnya, eksplorasi akan menjadi sumber yang bermanfaat untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai praktik pengajaran tasawuf.\",\"PeriodicalId\":31198,\"journal\":{\"name\":\"El Harakah\",\"volume\":\"10 1\",\"pages\":\"45-56\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2018-04-08\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"El Harakah\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.18860/EL.V10I1.4598\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"El Harakah","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.18860/EL.V10I1.4598","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
摘要
实质上,苏菲主义的精神教学并没有被代表,而是代表了一种性别群体,男性或女性。苏菲的精神教学对男性和女性都有很大的普遍性。事实上,在经验领域,灵性教学仍在进行着世袭文化行为,这使得原有的苏菲主义灵性教学面临着失败的危险。这种情况也发生在以男性为主导的神秘主义教学文化实践的领导层中。因此,女性将永远没有机会领导教学实践。这种情况促使笔者去挖掘苏非教学实践中男女角色失衡的问题。文章提出了精神导师是否应该是男性以及为什么精神教学的领导能力一直由男性主导的问题。此外,这一探索将为我们更好地理解苏非主义教学实践提供有益的资源。Secara substance, ajaran spiritual tasawuf tidak terwakili dan mewakili salah satu kelompok gender, laki-laki atau perempuan。阿迦兰精神的苏菲主义记忆,我是阿迦兰,我是阿迦兰。Dalam ranah empiris, sebenarya, pengajaran精神masih melakukan peraku budaya世袭阳成员ajaran精神Sufisme asli terancam gagal。Keadaan ini juga terjadi padpkempimpan praktik budaya ajaran mismisisme yang telah didominasi oleh laki-laki。我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思。情况是这样的,那就是,在印度,在尼泊尔,在尼泊尔,在尼泊尔,在尼泊尔,在尼泊尔,在尼泊尔,在尼泊尔,在尼泊尔。Artikel tersebut mengangkat pertananyaan apakah上师精神导师harusnya laki-laki dan mengapa kapasitas kepemimpinan ajaran精神导师oleh laki-laki。Selanjutnya, eksplorasi akan menjadi sumber yang manfaat untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai praktik pengajaran tasawuf。
SUPERIORITAS LAKI-LAKI DALAM DUNAI SUFI: Tinjauan Budaya Islam Dalam Praktek Kepemimpinan Spiritual
Substantially, the spiritual teaching of Sufism is not represented and represents one of gender group, male or female. The Sufism spiritual teaching has great universal scope for male and female. In the empirical domain, in fact, the spiritual teaching still conducts patrimonial culture behavior which makes the original Sufism spiritual teaching endangered to fail. This situation also happened in the leadership on the practices of mysticism teaching culture which has been dominated by the males. As a consequence, the female will never get the chance to lead the teaching practice. The situation encourages the writer to dig up the imbalance issues in the male and female role in the Sufism teaching practices. The article raises the questions whether the spiritual teacher should be the male and why the leadership capacity of the spiritual teaching has been dominated by the male. Furthermore, the exploration will be a helpful resource to have better understanding on the Sufism teaching practice. Secara substansi, ajaran spiritual tasawuf tidak terwakili dan mewakili salah satu kelompok gender, laki-laki atau perempuan. Ajaran spiritual Sufisme memiliki cakupan universal yang besar untuk pria dan wanita. Dalam ranah empiris, sebenarnya, pengajaran spiritual masih melakukan perilaku budaya patrimonial yang membuat ajaran spiritual Sufisme asli terancam gagal. Keadaan ini juga terjadi pada kepemimpinan praktik budaya ajaran mistisisme yang telah didominasi oleh laki-laki. Sebagai konsekuensinya, perempuan tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk memimpin praktik mengajar. Situasi mendorong penulis untuk menggali masalah ketidakseimbangan peran pria dan wanita dalam praktik pengajaran tasawuf. Artikel tersebut mengangkat pertanyaan apakah guru spiritual seharusnya laki-laki dan mengapa kapasitas kepemimpinan ajaran spiritual didominasi oleh laki-laki. Selanjutnya, eksplorasi akan menjadi sumber yang bermanfaat untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai praktik pengajaran tasawuf.