泥炭地的“稻田”和偏见

Ciptaningrat Larastiti
{"title":"泥炭地的“稻田”和偏见","authors":"Ciptaningrat Larastiti","doi":"10.31292/jb.v4i1.216","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani. ","PeriodicalId":32710,"journal":{"name":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-07-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"4","resultStr":"{\"title\":\"SONOR DAN BIAS “CETAK SAWAH” DI LAHAN GAMBUT\",\"authors\":\"Ciptaningrat Larastiti\",\"doi\":\"10.31292/jb.v4i1.216\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani. \",\"PeriodicalId\":32710,\"journal\":{\"name\":\"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan\",\"volume\":\" \",\"pages\":\"\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2018-07-24\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"4\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.216\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"BHUMI Jurnal Agraria dan Pertanahan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.31292/jb.v4i1.216","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 4

摘要

摘要:泥炭地已被广泛认为是国有森林机制创造闲置土地的对象。它引发了一个大规模的开发项目,比如一个名为“Cetak Sawah”的灌溉稻田。通过关注“Cetak Sawah”,我们可以了解到开发项目如何包含现代稻田系统的固有假设,以克服大规模恶化的泥炭地,特别是自2015年森林火灾以来。该研究是在2015年森林火灾一年后通过人种学方法完成的,该方法包括2016年2月至2016年12月期间的居住和几次访问。收集到的数据表明,“Cetak Sawah”成为泥炭地治理的技术官僚方法。国家没有控制棕榈油工业的扩张,而是不断地指责以前的农业系统,即所谓的Sonor (swidden agriculture),这种农业系统很容易被认为是破坏泥炭生态系统的主要因素,因为它的土地准备燃烧的做法。这里有两个缺口,第一,“Cetak Sawah”是通过否定现存的社会分化而提出的。第二,“Cetak Sawah”将被预测为农民排斥的代名词。Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai目标menciptakan tanah terlantar melalumekanisme hutan Negara。Hal ini memningpembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai“Cetak sawah”。《中国日报》,《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》、《中国日报》等。Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui气象学家yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun 2016年2月- 2016年12月。数据yang dikumpulkan menunjukkan bahwa“Cetak Sawah”menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut。Di采样控制ekspansindustri kelpa saet, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang serkeal sebagai Sonor, yang serketis sebagai因子为utama dari rusaknya ekosystem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan。Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari不同点是社会yang sudah Ada。Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
SONOR DAN BIAS “CETAK SAWAH” DI LAHAN GAMBUT
Abstract: Peat land has been intensively known as the target of creating idle land through state owned forest mechanism. It triggers a large scale development project such as an irrigated rice field called “Cetak Sawah”. By focusing on “Cetak Sawah”, we can learn how development project contains an inherent assumption of modern field rice system to overcome massive deteriorated peat land particularly since the forest fire disaster in 2015. The research was done a year after forest fire 2015 through an ethnographic method consisted of live in and several visits around February 2016-December 2016. The gathered data show that “Cetak Sawah” becomes the technocratic approach of peat land governance. Instead of controlling the expansion of palm oil industry, state has been continually blamed the former agricultural system known as Sonor (swidden agriculture) which will be easily considered as the main factor of undermined peat ecosystem due to its burning practice of land preparation. There are two gaps, first, “Cetak Sawah” has been proposed through negation of existing social differentiation. Second, “Cetak Sawah” is going to be predicted as the mean of peasant exclusion.Intisari: Lahan gambut telah secara luas dikenal sebagai target menciptakan tanah terlantar melalui mekanisme hutan Negara. Hal ini memancing pembangunan proyek skala besar seperti sawah irigasi yang juga disebut sebagai “Cetak Sawah”. Dengan berfokus pada Cetak Sawah”, kita dapat belajar bagaimana proyek pembangunan dapat mengandung asumsi yang tak terpisahkan dari sistem tanam padi modern untuk mengatasi lahan gambut yang semakin memburuk secara luas terutama sejak bencana kebakaran hutan di tahun 2015. Penelitian ini dilakukan setahun setelah kebakaran hutan tahun 2015 melalui metode etnografi yang terdiri dari laporan langsung dan beberapa kunjungan pada kurun Februari 2016 – Desember 2016. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa “Cetak Sawah” menjadi pendekatan teknokratis untukpengelolaan lahan gambut. Di samping mengontrol ekspansi industri kelapa sawit, Negara juga terus menyalahkan pertanian lahan berpindah yang sering dikenal sebagai Sonor, yang sering disebut sebagai faktor utama dari rusaknya ekosistem gambut sehubungan dengan praktik pembakaran hutan. Ada dua gapyang diungkapkan, pertama, Cetak Sawah telah diusulkan menjadi negasi dari diferensiasi sosial yang sudah ada. Kedua, Cetak Sawah telah diprediksi sebagai alat untuk mengeksklusi petani. 
求助全文
通过发布文献求助,成功后即可免费获取论文全文。 去求助
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
8
审稿时长
5 weeks
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:481959085
Book学术官方微信