{"title":"探索性别主义文学:从人文主义的角度来看","authors":"Edy Suprayetno","doi":"10.30829/EUNOIA.V1I1.1003","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Fenomena perempuan dalam tradisi kekinian sudah menjadi sebuah kultur. Eksistensi perempuan sudah seolah-olah sudah menjadi kebiasaan yang plural dan majemuk. Dilihat dari sudut hierarki peradaban, pengarang perempuan sudah banyak yang menyimpang dari sudut olah rasa, yakni menjamurnya ketidakseimbangan antara imajinasi dengan emosional. Hal ini mengakibatkan pengarang perempuan tidak mementingkan kulmulasi dalam mengimajinasikan kata-kata sebagai energi. Pengarang perempun bergelimut pada kekuatan perasaan yang ingin digoreskan secara indefendensial antara apa yang dirasakan dan imajinasinya. Selain itu, kekuatan di balik sastra masih tersimpan pada pengarangnya, tidak sampai pada pembaca, mengakibatkan tingkat klimaks sebuah cerita itu tidak mengandung emulsi sastranya. Masalah inilah yang menjadi titik keambiguan pengarang sastra itu yang perlu dikaji secara mendalam dan mendasar. Salah satu pendekatan yang dianggap mumpuni dapat ditinjau dari teori belajar humanistik. Teori humanistik menekankan pada aspek bagaiamana sastra itu dimplementasikan dalam kehidupan realitas dengan mengarahkan konsep memanusiakan manusia. Walaupun sastra bersifat fiksi, tetapi makna dari cerita yang disampaikan memberikan sebuah otokritik bagi si pembacanya lewat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.","PeriodicalId":344408,"journal":{"name":"EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia)","volume":"48 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"Menyibak Sastra Feminisme Kekinian: Ditinjau Perspektif Teori Belajar Humanistik\",\"authors\":\"Edy Suprayetno\",\"doi\":\"10.30829/EUNOIA.V1I1.1003\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Fenomena perempuan dalam tradisi kekinian sudah menjadi sebuah kultur. Eksistensi perempuan sudah seolah-olah sudah menjadi kebiasaan yang plural dan majemuk. Dilihat dari sudut hierarki peradaban, pengarang perempuan sudah banyak yang menyimpang dari sudut olah rasa, yakni menjamurnya ketidakseimbangan antara imajinasi dengan emosional. Hal ini mengakibatkan pengarang perempuan tidak mementingkan kulmulasi dalam mengimajinasikan kata-kata sebagai energi. Pengarang perempun bergelimut pada kekuatan perasaan yang ingin digoreskan secara indefendensial antara apa yang dirasakan dan imajinasinya. Selain itu, kekuatan di balik sastra masih tersimpan pada pengarangnya, tidak sampai pada pembaca, mengakibatkan tingkat klimaks sebuah cerita itu tidak mengandung emulsi sastranya. Masalah inilah yang menjadi titik keambiguan pengarang sastra itu yang perlu dikaji secara mendalam dan mendasar. Salah satu pendekatan yang dianggap mumpuni dapat ditinjau dari teori belajar humanistik. Teori humanistik menekankan pada aspek bagaiamana sastra itu dimplementasikan dalam kehidupan realitas dengan mengarahkan konsep memanusiakan manusia. Walaupun sastra bersifat fiksi, tetapi makna dari cerita yang disampaikan memberikan sebuah otokritik bagi si pembacanya lewat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.\",\"PeriodicalId\":344408,\"journal\":{\"name\":\"EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia)\",\"volume\":\"48 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2021-06-30\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia)\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.30829/EUNOIA.V1I1.1003\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia)","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.30829/EUNOIA.V1I1.1003","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
Menyibak Sastra Feminisme Kekinian: Ditinjau Perspektif Teori Belajar Humanistik
Fenomena perempuan dalam tradisi kekinian sudah menjadi sebuah kultur. Eksistensi perempuan sudah seolah-olah sudah menjadi kebiasaan yang plural dan majemuk. Dilihat dari sudut hierarki peradaban, pengarang perempuan sudah banyak yang menyimpang dari sudut olah rasa, yakni menjamurnya ketidakseimbangan antara imajinasi dengan emosional. Hal ini mengakibatkan pengarang perempuan tidak mementingkan kulmulasi dalam mengimajinasikan kata-kata sebagai energi. Pengarang perempun bergelimut pada kekuatan perasaan yang ingin digoreskan secara indefendensial antara apa yang dirasakan dan imajinasinya. Selain itu, kekuatan di balik sastra masih tersimpan pada pengarangnya, tidak sampai pada pembaca, mengakibatkan tingkat klimaks sebuah cerita itu tidak mengandung emulsi sastranya. Masalah inilah yang menjadi titik keambiguan pengarang sastra itu yang perlu dikaji secara mendalam dan mendasar. Salah satu pendekatan yang dianggap mumpuni dapat ditinjau dari teori belajar humanistik. Teori humanistik menekankan pada aspek bagaiamana sastra itu dimplementasikan dalam kehidupan realitas dengan mengarahkan konsep memanusiakan manusia. Walaupun sastra bersifat fiksi, tetapi makna dari cerita yang disampaikan memberikan sebuah otokritik bagi si pembacanya lewat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.