{"title":"执行行业关系法院判决的难度(最高法院判例编号:178 K/PDT - phi /2015)","authors":"K. Khairani, Aldi Harbi","doi":"10.31933/unesrev.v5i4.574","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Kehadiran UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) diharapkan memberikan kemudahan dan kepastian dalam penyelesaian perselihan antara pekerja dan pemberi kerja. Harapan tersebut disebabkan karena penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan peraturan sebelumnya yakni UU No.22 Tahun 1957 tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) mempunyai prosedur yang sangat panjang sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama. Menurut UU No. 2 Tahun 2004, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menganut prinsip penyelesaian yang murah, sederhana dan singkat, tetapi dalam kenyataannya penyelesaian perselisihan juga tidak murah karena meskipun ada azas yang menyatakan biaya murah bahkan gratis untuk kasus dengan nilai Rp.150 juta ke bawah tetapi karena kedudukan pengadilan yang hanya ada di ibu kota propinsi mengakibatkan biaya tinggi juga bagi pekerja yang berperkara. Ketidakefektifan juga disebabkan oleh sulitnya melaksanakan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan putusan pengadilan hubungan industrial? 2) Apakah penyebab sulitnya melaksanakan putusan pengadilan hubungan industrial. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis, mengakji peraturan yang terkait dengan objek kajian dan menghubungkannya dengan pelaskanaan pada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pelaksanaan eksekusi Putusan PHI di dalam UU No.2 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas karena pada PHI berlaku Hukum Acara Perdata termasuk berkaitan dengan eksekusi putusan didasarkan pada HIR dan RBG. 2) Ekskusi Putusan PHI sulit dilaksanakan karena Pengadilan juga tidak mampu melaksanakan eksekusi putusan terhadap perusahaan yang tidak mau membayar hak-hak pekerja sebagaimana putusan Pengadilan, kalaupun Pengadilan akan melaksanakan sita terhadap aset Perusahaan, dalam hal ini Pengadilan bersifat pasif, Pengadilan menunggu pekerja mencari data aset-aset Perusahaan yang akan dieksekusi, sehingga Pengadilan tidak mau melakukan sita eksekusi kalau tidak jelas dan rinci data aset perusahaan yang akan dilakukan sita eksekusi. Perusahaan juga dengan berbagai alasan tidak mau memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan putusan hakim, malahan lebih mau membayar jasa untuk Pengacara dengan biaya lebih besar dari pada jumlah yang diminta pekerja untuk membayarkan hak-hak pekerja yang sudah lama mengabdi pada perusahaan.","PeriodicalId":193737,"journal":{"name":"UNES Law Review","volume":"36 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-06-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"SULITNYA MELAKSANAKAN PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 178 K/PDT.SUS-PHI/2015)\",\"authors\":\"K. Khairani, Aldi Harbi\",\"doi\":\"10.31933/unesrev.v5i4.574\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Kehadiran UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) diharapkan memberikan kemudahan dan kepastian dalam penyelesaian perselihan antara pekerja dan pemberi kerja. Harapan tersebut disebabkan karena penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan peraturan sebelumnya yakni UU No.22 Tahun 1957 tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) mempunyai prosedur yang sangat panjang sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama. Menurut UU No. 2 Tahun 2004, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menganut prinsip penyelesaian yang murah, sederhana dan singkat, tetapi dalam kenyataannya penyelesaian perselisihan juga tidak murah karena meskipun ada azas yang menyatakan biaya murah bahkan gratis untuk kasus dengan nilai Rp.150 juta ke bawah tetapi karena kedudukan pengadilan yang hanya ada di ibu kota propinsi mengakibatkan biaya tinggi juga bagi pekerja yang berperkara. Ketidakefektifan juga disebabkan oleh sulitnya melaksanakan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan putusan pengadilan hubungan industrial? 2) Apakah penyebab sulitnya melaksanakan putusan pengadilan hubungan industrial. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis, mengakji peraturan yang terkait dengan objek kajian dan menghubungkannya dengan pelaskanaan pada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pelaksanaan eksekusi Putusan PHI di dalam UU No.2 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas karena pada PHI berlaku Hukum Acara Perdata termasuk berkaitan dengan eksekusi putusan didasarkan pada HIR dan RBG. 2) Ekskusi Putusan PHI sulit dilaksanakan karena Pengadilan juga tidak mampu melaksanakan eksekusi putusan terhadap perusahaan yang tidak mau membayar hak-hak pekerja sebagaimana putusan Pengadilan, kalaupun Pengadilan akan melaksanakan sita terhadap aset Perusahaan, dalam hal ini Pengadilan bersifat pasif, Pengadilan menunggu pekerja mencari data aset-aset Perusahaan yang akan dieksekusi, sehingga Pengadilan tidak mau melakukan sita eksekusi kalau tidak jelas dan rinci data aset perusahaan yang akan dilakukan sita eksekusi. Perusahaan juga dengan berbagai alasan tidak mau memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan putusan hakim, malahan lebih mau membayar jasa untuk Pengacara dengan biaya lebih besar dari pada jumlah yang diminta pekerja untuk membayarkan hak-hak pekerja yang sudah lama mengabdi pada perusahaan.\",\"PeriodicalId\":193737,\"journal\":{\"name\":\"UNES Law Review\",\"volume\":\"36 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2023-06-10\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"UNES Law Review\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.31933/unesrev.v5i4.574\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"UNES Law Review","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.31933/unesrev.v5i4.574","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
SULITNYA MELAKSANAKAN PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 178 K/PDT.SUS-PHI/2015)
Kehadiran UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) diharapkan memberikan kemudahan dan kepastian dalam penyelesaian perselihan antara pekerja dan pemberi kerja. Harapan tersebut disebabkan karena penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan peraturan sebelumnya yakni UU No.22 Tahun 1957 tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) mempunyai prosedur yang sangat panjang sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama. Menurut UU No. 2 Tahun 2004, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menganut prinsip penyelesaian yang murah, sederhana dan singkat, tetapi dalam kenyataannya penyelesaian perselisihan juga tidak murah karena meskipun ada azas yang menyatakan biaya murah bahkan gratis untuk kasus dengan nilai Rp.150 juta ke bawah tetapi karena kedudukan pengadilan yang hanya ada di ibu kota propinsi mengakibatkan biaya tinggi juga bagi pekerja yang berperkara. Ketidakefektifan juga disebabkan oleh sulitnya melaksanakan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan putusan pengadilan hubungan industrial? 2) Apakah penyebab sulitnya melaksanakan putusan pengadilan hubungan industrial. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis, mengakji peraturan yang terkait dengan objek kajian dan menghubungkannya dengan pelaskanaan pada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan pelaksanaan eksekusi Putusan PHI di dalam UU No.2 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas karena pada PHI berlaku Hukum Acara Perdata termasuk berkaitan dengan eksekusi putusan didasarkan pada HIR dan RBG. 2) Ekskusi Putusan PHI sulit dilaksanakan karena Pengadilan juga tidak mampu melaksanakan eksekusi putusan terhadap perusahaan yang tidak mau membayar hak-hak pekerja sebagaimana putusan Pengadilan, kalaupun Pengadilan akan melaksanakan sita terhadap aset Perusahaan, dalam hal ini Pengadilan bersifat pasif, Pengadilan menunggu pekerja mencari data aset-aset Perusahaan yang akan dieksekusi, sehingga Pengadilan tidak mau melakukan sita eksekusi kalau tidak jelas dan rinci data aset perusahaan yang akan dilakukan sita eksekusi. Perusahaan juga dengan berbagai alasan tidak mau memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan putusan hakim, malahan lebih mau membayar jasa untuk Pengacara dengan biaya lebih besar dari pada jumlah yang diminta pekerja untuk membayarkan hak-hak pekerja yang sudah lama mengabdi pada perusahaan.