{"title":"印度尼西亚家庭法中的地方文化适应","authors":"M. Fajar, Sabdo Sabdo","doi":"10.30984/ajip.v3i2.718","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstract: Culture as a result of the free and dual human creative power of the natural world, it encompasses the material matters (Immaterial) and Maddi (material), real and unreal objects, Malmusah and Ghairu malmusah (palpable and untouched). Essentially, culture (Tsaqafah) is expressed as the product of human reason consisting of patterns, steady attitudes, thoughts, feelings, and reactions obtained and is primarily derived by symbols that make up its achievement independently of human groups. The nature of this Islamic responsiveness has been built by the Prophet (s) when prohibiting Khamr, forbidding the worship of idols and other shari'ah. How Rasulullah saw is very careful and gradual in doing da'wah, so achieved the success of da'wah in upholding Islamic creed and shari'ah at that time. Today many problems in the establishment of law and legislation, legislators are more concerned with intellectual subjectivity and importance than the objectivity of humanity to the benefit, resulting in policies that are not responsive to the needs of society. The author in this context tries to inventory the various local wisdom of the Muslim community in the archipelago that is relevant as an approach in establishing legislation based on local culture.Keywords: Local Culture, Legislation, Islamic Law Abstrak. Budaya merupakan hasil dari kreativitas manusiawi yang bebas dan alamiah, meliputi sisi immaterial dan materi, objek nyata dan tidak nyata, malmusah dan ghairu malmusah (gamblang dan tak tersentuh). Pada dasarnya, budaya (tsaqafah) merupakan produk akal manusia yang terdiri dari pola, kesantunan, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama berasal oleh simbol yang membentuk pencapaiannya secara mandiri dari kelompok manusia. Sifat dari respon Islam ini telah dibangun oleh Nabi (s) ketika melarang khamr, melarang penyembahan berhala dan syariah lainnya. Bagaimana Rasulullah melihat sangat hati-hati dan bertahap dalam melakukan dakwah, sehingga mencapai keberhasilan dakwah dalam menegakkan akidah Islam dan syari'ah pada waktu itu. Saat ini banyak masalah dalam pembentukan hukum dan undang-undang, di mana legislator lebih peduli dengan kepentingan subjektivitas intelektual daripada kepentingan objektivitas kemanusiaan, sehingga kebijakan yang lahir tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penulis dalam konteks ini mencoba untuk menginventarisasi berbagai kearifan lokal komunitas Muslim di nusantara yang relevan sebagai pendekatan dalam menetapkan perundang-undangan berdasarkan budaya lokal.Kata Kunci: Budaya Lokal, Legislasi, Hukum Islam","PeriodicalId":423995,"journal":{"name":"Aqlam: Journal of Islam and Plurality","volume":"120 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-12-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"AKOMODASI BUDAYA LOKAL DALAM LEGISLASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA\",\"authors\":\"M. Fajar, Sabdo Sabdo\",\"doi\":\"10.30984/ajip.v3i2.718\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Abstract: Culture as a result of the free and dual human creative power of the natural world, it encompasses the material matters (Immaterial) and Maddi (material), real and unreal objects, Malmusah and Ghairu malmusah (palpable and untouched). Essentially, culture (Tsaqafah) is expressed as the product of human reason consisting of patterns, steady attitudes, thoughts, feelings, and reactions obtained and is primarily derived by symbols that make up its achievement independently of human groups. The nature of this Islamic responsiveness has been built by the Prophet (s) when prohibiting Khamr, forbidding the worship of idols and other shari'ah. How Rasulullah saw is very careful and gradual in doing da'wah, so achieved the success of da'wah in upholding Islamic creed and shari'ah at that time. Today many problems in the establishment of law and legislation, legislators are more concerned with intellectual subjectivity and importance than the objectivity of humanity to the benefit, resulting in policies that are not responsive to the needs of society. The author in this context tries to inventory the various local wisdom of the Muslim community in the archipelago that is relevant as an approach in establishing legislation based on local culture.Keywords: Local Culture, Legislation, Islamic Law Abstrak. Budaya merupakan hasil dari kreativitas manusiawi yang bebas dan alamiah, meliputi sisi immaterial dan materi, objek nyata dan tidak nyata, malmusah dan ghairu malmusah (gamblang dan tak tersentuh). Pada dasarnya, budaya (tsaqafah) merupakan produk akal manusia yang terdiri dari pola, kesantunan, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama berasal oleh simbol yang membentuk pencapaiannya secara mandiri dari kelompok manusia. Sifat dari respon Islam ini telah dibangun oleh Nabi (s) ketika melarang khamr, melarang penyembahan berhala dan syariah lainnya. Bagaimana Rasulullah melihat sangat hati-hati dan bertahap dalam melakukan dakwah, sehingga mencapai keberhasilan dakwah dalam menegakkan akidah Islam dan syari'ah pada waktu itu. Saat ini banyak masalah dalam pembentukan hukum dan undang-undang, di mana legislator lebih peduli dengan kepentingan subjektivitas intelektual daripada kepentingan objektivitas kemanusiaan, sehingga kebijakan yang lahir tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penulis dalam konteks ini mencoba untuk menginventarisasi berbagai kearifan lokal komunitas Muslim di nusantara yang relevan sebagai pendekatan dalam menetapkan perundang-undangan berdasarkan budaya lokal.Kata Kunci: Budaya Lokal, Legislasi, Hukum Islam\",\"PeriodicalId\":423995,\"journal\":{\"name\":\"Aqlam: Journal of Islam and Plurality\",\"volume\":\"120 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2018-12-01\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Aqlam: Journal of Islam and Plurality\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.30984/ajip.v3i2.718\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Aqlam: Journal of Islam and Plurality","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.30984/ajip.v3i2.718","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
摘要
摘要:文化作为自然界自由的、双重的人类创造力的产物,它包含了物质(非物质)和物质(物质)、真实和不真实的客体、可触和不可触的客体和可触的客体。从本质上讲,文化(Tsaqafah)被表达为人类理性的产物,由模式、稳定的态度、思想、感情和反应组成,主要来源于构成其独立于人类群体的成就的符号。这种伊斯兰回应的本质是由先知(s)在禁止Khamr,禁止崇拜偶像和其他伊斯兰教法时建立的。拉苏鲁拉在做达瓦时非常谨慎和渐进,因此在当时达瓦在维护伊斯兰教义和伊斯兰教法方面取得了成功。今天在法律的制定和立法中存在许多问题,立法者更关心的是知识的主观性和重要性,而不是人性的客观性对利益的影响,导致政策不符合社会的需要。在此背景下,作者试图盘点群岛上穆斯林社区的各种地方智慧,这些智慧与建立基于当地文化的立法方法有关。关键词:地方文化,立法,伊斯兰教法摘要Budaya merupakan hasil dari kreativitas manusiawi yang bebas dan alamiah, meliputi sisi immaterial dan materi, objek nyata dan tidak nyata, malmusah dan ghairu malmusah (gamblang dan tak tersentuh)。Pada dasarya, budaya (tsaqafah) merupakan产品akal manusia yang terdiri dari pola, kesantunan, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama berasal oleh符号yang membentuk pencapaiannya secara mandiri dari kelompok manusi。Sifat dari对伊斯兰教的回应是:telah dibanun oleh Nabi (s) ketika melarang khamr, melarang penyembahan berhala dan ysariah lainnya。Bagaimana Rasulullah melihat sangat hati-hati dan bertahap dalam melakukan dakwah, singga menapai keberhasilan dakwah dalam menegakkan akidah Islam dan syari'ah pada waktu。Saat ini banyak masalah dalam pembentukan hukum dan undang-undang, dimana立法委员lebih peduli dengan keep inging and subjjetivas intellectual daripada keep inging and objectivas kemanusiaan, sehinga kebijakan yang lahir tiak responddap kebutuhan masyarakat。当地的穆斯林社区,也就是穆斯林社区,也就是当地的穆斯林社区,也就是当地的穆斯林社区。Kata Kunci: Budaya local, Legislasi, Hukum Islam
AKOMODASI BUDAYA LOKAL DALAM LEGISLASI HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
Abstract: Culture as a result of the free and dual human creative power of the natural world, it encompasses the material matters (Immaterial) and Maddi (material), real and unreal objects, Malmusah and Ghairu malmusah (palpable and untouched). Essentially, culture (Tsaqafah) is expressed as the product of human reason consisting of patterns, steady attitudes, thoughts, feelings, and reactions obtained and is primarily derived by symbols that make up its achievement independently of human groups. The nature of this Islamic responsiveness has been built by the Prophet (s) when prohibiting Khamr, forbidding the worship of idols and other shari'ah. How Rasulullah saw is very careful and gradual in doing da'wah, so achieved the success of da'wah in upholding Islamic creed and shari'ah at that time. Today many problems in the establishment of law and legislation, legislators are more concerned with intellectual subjectivity and importance than the objectivity of humanity to the benefit, resulting in policies that are not responsive to the needs of society. The author in this context tries to inventory the various local wisdom of the Muslim community in the archipelago that is relevant as an approach in establishing legislation based on local culture.Keywords: Local Culture, Legislation, Islamic Law Abstrak. Budaya merupakan hasil dari kreativitas manusiawi yang bebas dan alamiah, meliputi sisi immaterial dan materi, objek nyata dan tidak nyata, malmusah dan ghairu malmusah (gamblang dan tak tersentuh). Pada dasarnya, budaya (tsaqafah) merupakan produk akal manusia yang terdiri dari pola, kesantunan, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama berasal oleh simbol yang membentuk pencapaiannya secara mandiri dari kelompok manusia. Sifat dari respon Islam ini telah dibangun oleh Nabi (s) ketika melarang khamr, melarang penyembahan berhala dan syariah lainnya. Bagaimana Rasulullah melihat sangat hati-hati dan bertahap dalam melakukan dakwah, sehingga mencapai keberhasilan dakwah dalam menegakkan akidah Islam dan syari'ah pada waktu itu. Saat ini banyak masalah dalam pembentukan hukum dan undang-undang, di mana legislator lebih peduli dengan kepentingan subjektivitas intelektual daripada kepentingan objektivitas kemanusiaan, sehingga kebijakan yang lahir tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penulis dalam konteks ini mencoba untuk menginventarisasi berbagai kearifan lokal komunitas Muslim di nusantara yang relevan sebagai pendekatan dalam menetapkan perundang-undangan berdasarkan budaya lokal.Kata Kunci: Budaya Lokal, Legislasi, Hukum Islam