{"title":"定性心理缺陷","authors":"A. Harimurti","doi":"10.24071/suksma.v4i1.6245","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Pada mulanya adalah perihal obskur. Psikologi Kualitatif diposisikan seperti anak tiri dalam Psikologi. Secara teoretis dan metodologis, pendekatan kualitatif tidak diragukan eksistensinya. Namun secara praktis penelitian, pendekatan kualitatif tampak dan terdengar seperti wilayah yang jauh dan teramat asing, setidaknya dalam peta psikologi mainstream. Sejak awal kelahiran Psikologi, pendekatan kualitatif telah eksis sebagai sebuah tradisi berpikir tersendiri, yang misalnya dicomot dari tradisi fenomenologi. Bahkan, dalam karya-karya Wilhelm Wundt (1832-1920) dan William James (1842-1910) – dua tokoh awal Psikologi – kedudukan unsur subjektif dan objektif telah menjadi bagian dalam pembahasan risalah intelektual. Kedua tokoh tidak luput membicarakan makna, budaya, dan identitas yang kerap kali menjadi diskusi serius dalam tradisi kualitatif. Selain itu, apabila dicermati dengan sungguh, psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud (1856-1932) memanfaatkan wawancara dan serakan data remeh sebagai dasar dalam memahami psikologi subjek. Namun, mengapa pendekatan kualitatif seolah-olah begitu obskur?Menurut Danziger (1990), keberadaan pendekataan kualitatif sebagai “the excluded” dalam Psikologi dimulai dari penelitian-penelitian yang dianggap menjadi ciri khas Psikologi. Dalam sejarah keilmuan Psikologi sejak 1800an hingga hari ini, terjadi pergeseran dalam cara kerja penelitian yang tadinya dipraktikkan dengan pencatatan lewat observasi kemudian direduksi menjadi respons diri yang bersifat naif. Dalam eksperimen, yang dicatat si peneliti adalah respons perilaku dan bukan mental (mind) manusia. Oleh karena itu, intensi Psikologi untuk menangkap dan mengeksplorasi “mind” berubah menjadi pencatatan respons perilaku. Artinya, penelitian Psikologi cenderung menjadi ilmu mengenai mind terhadap mindless individual (Rogers Willig, 2017).Apa yang ditunjukkan di atas adalah cara manusia untuk menjawab bagaimana dan apa yang bisa diketahui. Dalam tradisi keilmuan, hal demikian diperdebatkan melalui Epistemologi. Cabang Filsafat tersebut upaya untuk menjawab mengenai bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Dalam tradisi Psikologi yang dominan (mainstream psychology), epistemologi yang bekerja adalah positivis (Rogers Willig, 2017; Willig 2008, 2013). Epistemologi positivis dalam keilmuan dapat ditelusur secara historis untuk kemudian akan ditemukan beberapa modelnya, yakni positivisme klasik, positivisme kritis, dan positivisme logis (Rogers Willig, 2017). Secara umum, dalam ketiga model positivisme tersebut, subyektivitas, sejarah, dan masyarakat menjadi tidak relevan untuk menentukan kebenaran pengalaman. Seorang peneliti perlu melakukan isolasi terhadap manusia agar kebenaran dapat diperoleh. Apa yang digagas Karl Popper (1902-1994) sebagai rasionalisme kritis juga memiliki asumsi serupa, sehingga sekalipun ia memberi kritik terhadap positivisme, tetapi ia dianggap sebagai seorang positivis (Ormerod, 2009).Secara dominan, Teo (2018) menunjukkan bahwa tradisi berpikir ala Popper direproduksi dengan keyakinan dari filsafat pengetahuan yang menunjukkan bagaimana suatu pernyataan keilmuan dapat dijustifikasi atau disebut dengan konteks justifikasi (context of justification). Karena penekanan pada justifikasi, maka konteks penemuan (context of discovery) atau pertanyaan mengapa suatu ilmu berminat pada suatu pertanyaan, bukan lagi menjadi hal yang menjadi perhatian serius. Sebagai implikasi, peneliti akan cenderung berminat pada kecanggihan metodologi alih-alih asal-usul sosiohistoris disiplin Psikologi, termasuk di dalamnya adalah subyektivitas peneliti. Ketiadaan dimensi sosiohistoris tersebut akan membatasi peneliti psikologi untuk tidak melibatkan minat personal dalam rangka mengarahkan cara pandang terhadap dunia (Willig, 2013). Problem yang muncul kemudian adalah ketidakmungkinan untuk netral secara murni, seseorang senantiasa melakukan penciptaan makna mengenai objek tertentu yang terbangun selama pengalaman hidupnya.Tradisi berpikir positivis dengan berbasis pada konteks justifikasi tersebut kemudian dikritik oleh seorang pemikir bernama Thomas Kuhn (1922-1996) yang menyatakan bahwa dalam proses keilmuan terdapat elemen yang melampaui-yang-logis dan melampaui-yang-rasional yang kemudian nantinya akan berujung pada sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan dalam cabang Epistemologi. Secara khusus, kelemahan dari perspektif positivis adalah absennya sejarah, budaya, dan masyarakat dalam upaya menjelaksan serta memahami dunia. Menurut Teo (2018), proses dalam keilmuan tidak hanya konteks justifikasi, melainkan juga konteks penemuan, konteks interpretasi (context of interpretation), dan konteks aplikasi (context of application). Bahkan, konteks justifikasi sendiri nyatanya tidak luput dari subjektivitas peneliti. Letak Psikologi sebagai ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mestinya juga memposisikan Psikologi tidak hanya berfokus pada kecanggihan metodologi untuk memotret kehidupan individual, melainkan juga menempatkan pengalaman subjektif individual dalam tegangan antara subjek dengan sistem (Keucheyan, 2011).Bergeser dari tradisi positivis, tokoh Psikologi asal Jerman, yakni Klauz Holzkamp (1927-1995), menyebut tradisi dalam Psikologi dengan istilah yang sangat tepat, yakni realisme naif (naive realism) (Holzkamp, 1972). Realisme naif berupaya menggambarkan penelitian empiris sebagai cerminan dunia luar dengan meminimalisasi bias, menanggalkan gagasan sebelumnya (purifikasi), dan melakukan penetralan metodologi. Dengan melakukan purifikasi tersebut, maka tradisi berpikir Psikologi mengasumsikan tidak terdapat dimensi societal atau historis. Persoalannya kemudian adalah bahwa sebuah persepsi beroperasi secara selektif dan orang bisa melihat satu hal dengan cara yang berbeda, tergantung dari tujuan pengamatan yang dilakukan (Rogers Willig, 2017).Selain tradisi positivis dan realisme naif, problem lain yang ditunjukkan dalam filsafat ilmu adalah hypothethico-deductivism (Willig 2008, 2013). Gagasan tersebut dimulai dari kritik Popper tehadap induktivisme yang tidak bisa memberikan pernyataan kategoris seperti “a mengikuti b”. Dalam induktivisme, tidak dapat dipastikan bahwa kejadian selanjutnya akan mengikuti pola “a mengikuti b”. Karena tidak tertebak, maka akan muncul kesulitan untuk melakukan verifikasi. Lantas Popper mengusulkan bahwa sebuah ilmu sebaiknya menganut sistem deduksi dan falsifikasi, misalnya dengan membuat hipotesis di awal. Dengan adanya falsifikasi, maka akan bisa ditentukan mana yang benar dan tidak benar.Kontras dengan tradisi positivis dan realisme naif, Henwood (2014) menyatakan bahwa seorang peneliti kualitatif mensyaratkan keterlibatan aktif peneliti pada dunia yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, peneliti kualitatif mestinya melakukan pengamatan yang jeli, mendengarkan, merekam, dan mengkontekstualisasikan pengalaman nyata, pikiran, tindakan, dan refleksi manusia untuk kemudian melakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dari hasil proses tersebut. Sekalipun demikian, proses interpretasi ini bukan “barang” baru dalam penelitian Psikologi. Sebagaimana ditunjukkan dalam oleh Danziger (1990) proses interpretasi (atau yang lebih subtil, yakni introspeksi) tergeser dan terdominasi oleh penelitian eksperimen dan survei yang tadinya peneliti menjadi subjek pengamat menjadi pencari respons. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa selama kurun waktu satu abad lebih sejarah ilmu Psikologi, pendekatan kualitatif cenderung tersembunyi (hidden) dalam berbagai hasil penelitian.Sifat tersembunyi atau obskur tersebut muncul sebagai gejala methodolatry dalam Psikologi. Methodolatry merupakan kecenderungan untuk menghindari teori dan mengidolakan metode yang dianggap bisa menggambarkan keahlian tertentu dari peneliti (Rogers Willig, 2017). Kecenderungan methodolatry ini kemudian membuat keilmuan dalam ranah para ahli saja. Dengan demikian, rezim ilmu pengetahuan sebagai digagas Foucault (1969/2002), dengan terang-terangan menampilkan diri pada perkembangan penelitian Psikologi. Apabila dicermati, struktur jurnal Psikologi cenderung memberi porsi bagian diskusi yang cukup minim, artinya proses interpretasi dan kemungkinan untuk membuka ruang alternatif terhadap pemahaman suatu fenomena bukan menjadi perkara yang penting untuk dielaborasi.Agaknya, kecenderungan methodolatry tersebut mengalami perlawanan yang cukup sengit dari para pemikir yang tidak puas dengan penjelasan kuantitatif. Setidaknya, ada dua palingan yang secara pelan tapi pasti berupaya untuk melakukan resistensi dengan pendekatan yang terlampau realisme naif. Palingan tersebut adalah palingan bahasa (language turn) dan palingan interpretasi (interpretation turn) (Rogers Willig, 2017). Kedua paling tersebut bermula dari metode interpretasi dan kesadaran sebagai subjek studi yang dikesampingkan oleh Psikologi mainstream. Sebagai contoh adalah kelahiran Psikologi Feminis yang berupaya mempertanyakan mengapa dalam penelitian Psikologi (juga penelitian sosial) cenderung menemukan atau mengkonfirmasi kemampuan intelektual dan karakter moral perempuan yang digambarkan inferior. Oleh karena itu, persoalannya bukan sekadar inferioritas perempuan, melainkan lebih pada inferiorisasi perempuan (Gilligan, 1982; bdk. Žižek, 2009).Pada palingan pertama, yakni palingan bahasa, ditunjukkan bahwa bagaimana cara seseorang berbicara dan merepresentasikan realitas berkontribusi dalam mengekspresikan mentalitas orang tersebut. Dalam palingan bahasa, seorang peneliti akan berfokus pada konstruksi makna. Palingan ini muncul secara gradual sejak 1930an dalam gerakan ilmu kemanusiaan dan seni surealisme (Roudinesco, 1993/1997) – yang kemudian berpuncak di Psikologi pada sekitar 1980an dan 1990an (Rogers Willig, 2017). Sumbangan besar palingan bahasa adalah membawa kesadaran bahwa bahasa bukanlah produk kultural yang netral. Dalam kajian ilmu yang lain, palingan bahasa ini disebut dengan palingan budaya (cultural turn). Sifat kultural dari bahasa menunjukkan bahwa wicara a","PeriodicalId":225204,"journal":{"name":"Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-05-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"Posisi Obskur Psikologi Kualitatif\",\"authors\":\"A. Harimurti\",\"doi\":\"10.24071/suksma.v4i1.6245\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Pada mulanya adalah perihal obskur. Psikologi Kualitatif diposisikan seperti anak tiri dalam Psikologi. Secara teoretis dan metodologis, pendekatan kualitatif tidak diragukan eksistensinya. Namun secara praktis penelitian, pendekatan kualitatif tampak dan terdengar seperti wilayah yang jauh dan teramat asing, setidaknya dalam peta psikologi mainstream. Sejak awal kelahiran Psikologi, pendekatan kualitatif telah eksis sebagai sebuah tradisi berpikir tersendiri, yang misalnya dicomot dari tradisi fenomenologi. Bahkan, dalam karya-karya Wilhelm Wundt (1832-1920) dan William James (1842-1910) – dua tokoh awal Psikologi – kedudukan unsur subjektif dan objektif telah menjadi bagian dalam pembahasan risalah intelektual. Kedua tokoh tidak luput membicarakan makna, budaya, dan identitas yang kerap kali menjadi diskusi serius dalam tradisi kualitatif. Selain itu, apabila dicermati dengan sungguh, psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud (1856-1932) memanfaatkan wawancara dan serakan data remeh sebagai dasar dalam memahami psikologi subjek. Namun, mengapa pendekatan kualitatif seolah-olah begitu obskur?Menurut Danziger (1990), keberadaan pendekataan kualitatif sebagai “the excluded” dalam Psikologi dimulai dari penelitian-penelitian yang dianggap menjadi ciri khas Psikologi. Dalam sejarah keilmuan Psikologi sejak 1800an hingga hari ini, terjadi pergeseran dalam cara kerja penelitian yang tadinya dipraktikkan dengan pencatatan lewat observasi kemudian direduksi menjadi respons diri yang bersifat naif. Dalam eksperimen, yang dicatat si peneliti adalah respons perilaku dan bukan mental (mind) manusia. Oleh karena itu, intensi Psikologi untuk menangkap dan mengeksplorasi “mind” berubah menjadi pencatatan respons perilaku. Artinya, penelitian Psikologi cenderung menjadi ilmu mengenai mind terhadap mindless individual (Rogers Willig, 2017).Apa yang ditunjukkan di atas adalah cara manusia untuk menjawab bagaimana dan apa yang bisa diketahui. Dalam tradisi keilmuan, hal demikian diperdebatkan melalui Epistemologi. Cabang Filsafat tersebut upaya untuk menjawab mengenai bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Dalam tradisi Psikologi yang dominan (mainstream psychology), epistemologi yang bekerja adalah positivis (Rogers Willig, 2017; Willig 2008, 2013). Epistemologi positivis dalam keilmuan dapat ditelusur secara historis untuk kemudian akan ditemukan beberapa modelnya, yakni positivisme klasik, positivisme kritis, dan positivisme logis (Rogers Willig, 2017). Secara umum, dalam ketiga model positivisme tersebut, subyektivitas, sejarah, dan masyarakat menjadi tidak relevan untuk menentukan kebenaran pengalaman. Seorang peneliti perlu melakukan isolasi terhadap manusia agar kebenaran dapat diperoleh. Apa yang digagas Karl Popper (1902-1994) sebagai rasionalisme kritis juga memiliki asumsi serupa, sehingga sekalipun ia memberi kritik terhadap positivisme, tetapi ia dianggap sebagai seorang positivis (Ormerod, 2009).Secara dominan, Teo (2018) menunjukkan bahwa tradisi berpikir ala Popper direproduksi dengan keyakinan dari filsafat pengetahuan yang menunjukkan bagaimana suatu pernyataan keilmuan dapat dijustifikasi atau disebut dengan konteks justifikasi (context of justification). Karena penekanan pada justifikasi, maka konteks penemuan (context of discovery) atau pertanyaan mengapa suatu ilmu berminat pada suatu pertanyaan, bukan lagi menjadi hal yang menjadi perhatian serius. Sebagai implikasi, peneliti akan cenderung berminat pada kecanggihan metodologi alih-alih asal-usul sosiohistoris disiplin Psikologi, termasuk di dalamnya adalah subyektivitas peneliti. Ketiadaan dimensi sosiohistoris tersebut akan membatasi peneliti psikologi untuk tidak melibatkan minat personal dalam rangka mengarahkan cara pandang terhadap dunia (Willig, 2013). Problem yang muncul kemudian adalah ketidakmungkinan untuk netral secara murni, seseorang senantiasa melakukan penciptaan makna mengenai objek tertentu yang terbangun selama pengalaman hidupnya.Tradisi berpikir positivis dengan berbasis pada konteks justifikasi tersebut kemudian dikritik oleh seorang pemikir bernama Thomas Kuhn (1922-1996) yang menyatakan bahwa dalam proses keilmuan terdapat elemen yang melampaui-yang-logis dan melampaui-yang-rasional yang kemudian nantinya akan berujung pada sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan dalam cabang Epistemologi. Secara khusus, kelemahan dari perspektif positivis adalah absennya sejarah, budaya, dan masyarakat dalam upaya menjelaksan serta memahami dunia. Menurut Teo (2018), proses dalam keilmuan tidak hanya konteks justifikasi, melainkan juga konteks penemuan, konteks interpretasi (context of interpretation), dan konteks aplikasi (context of application). Bahkan, konteks justifikasi sendiri nyatanya tidak luput dari subjektivitas peneliti. Letak Psikologi sebagai ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mestinya juga memposisikan Psikologi tidak hanya berfokus pada kecanggihan metodologi untuk memotret kehidupan individual, melainkan juga menempatkan pengalaman subjektif individual dalam tegangan antara subjek dengan sistem (Keucheyan, 2011).Bergeser dari tradisi positivis, tokoh Psikologi asal Jerman, yakni Klauz Holzkamp (1927-1995), menyebut tradisi dalam Psikologi dengan istilah yang sangat tepat, yakni realisme naif (naive realism) (Holzkamp, 1972). Realisme naif berupaya menggambarkan penelitian empiris sebagai cerminan dunia luar dengan meminimalisasi bias, menanggalkan gagasan sebelumnya (purifikasi), dan melakukan penetralan metodologi. Dengan melakukan purifikasi tersebut, maka tradisi berpikir Psikologi mengasumsikan tidak terdapat dimensi societal atau historis. Persoalannya kemudian adalah bahwa sebuah persepsi beroperasi secara selektif dan orang bisa melihat satu hal dengan cara yang berbeda, tergantung dari tujuan pengamatan yang dilakukan (Rogers Willig, 2017).Selain tradisi positivis dan realisme naif, problem lain yang ditunjukkan dalam filsafat ilmu adalah hypothethico-deductivism (Willig 2008, 2013). Gagasan tersebut dimulai dari kritik Popper tehadap induktivisme yang tidak bisa memberikan pernyataan kategoris seperti “a mengikuti b”. Dalam induktivisme, tidak dapat dipastikan bahwa kejadian selanjutnya akan mengikuti pola “a mengikuti b”. Karena tidak tertebak, maka akan muncul kesulitan untuk melakukan verifikasi. Lantas Popper mengusulkan bahwa sebuah ilmu sebaiknya menganut sistem deduksi dan falsifikasi, misalnya dengan membuat hipotesis di awal. Dengan adanya falsifikasi, maka akan bisa ditentukan mana yang benar dan tidak benar.Kontras dengan tradisi positivis dan realisme naif, Henwood (2014) menyatakan bahwa seorang peneliti kualitatif mensyaratkan keterlibatan aktif peneliti pada dunia yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, peneliti kualitatif mestinya melakukan pengamatan yang jeli, mendengarkan, merekam, dan mengkontekstualisasikan pengalaman nyata, pikiran, tindakan, dan refleksi manusia untuk kemudian melakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dari hasil proses tersebut. Sekalipun demikian, proses interpretasi ini bukan “barang” baru dalam penelitian Psikologi. Sebagaimana ditunjukkan dalam oleh Danziger (1990) proses interpretasi (atau yang lebih subtil, yakni introspeksi) tergeser dan terdominasi oleh penelitian eksperimen dan survei yang tadinya peneliti menjadi subjek pengamat menjadi pencari respons. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa selama kurun waktu satu abad lebih sejarah ilmu Psikologi, pendekatan kualitatif cenderung tersembunyi (hidden) dalam berbagai hasil penelitian.Sifat tersembunyi atau obskur tersebut muncul sebagai gejala methodolatry dalam Psikologi. Methodolatry merupakan kecenderungan untuk menghindari teori dan mengidolakan metode yang dianggap bisa menggambarkan keahlian tertentu dari peneliti (Rogers Willig, 2017). Kecenderungan methodolatry ini kemudian membuat keilmuan dalam ranah para ahli saja. Dengan demikian, rezim ilmu pengetahuan sebagai digagas Foucault (1969/2002), dengan terang-terangan menampilkan diri pada perkembangan penelitian Psikologi. Apabila dicermati, struktur jurnal Psikologi cenderung memberi porsi bagian diskusi yang cukup minim, artinya proses interpretasi dan kemungkinan untuk membuka ruang alternatif terhadap pemahaman suatu fenomena bukan menjadi perkara yang penting untuk dielaborasi.Agaknya, kecenderungan methodolatry tersebut mengalami perlawanan yang cukup sengit dari para pemikir yang tidak puas dengan penjelasan kuantitatif. Setidaknya, ada dua palingan yang secara pelan tapi pasti berupaya untuk melakukan resistensi dengan pendekatan yang terlampau realisme naif. Palingan tersebut adalah palingan bahasa (language turn) dan palingan interpretasi (interpretation turn) (Rogers Willig, 2017). Kedua paling tersebut bermula dari metode interpretasi dan kesadaran sebagai subjek studi yang dikesampingkan oleh Psikologi mainstream. Sebagai contoh adalah kelahiran Psikologi Feminis yang berupaya mempertanyakan mengapa dalam penelitian Psikologi (juga penelitian sosial) cenderung menemukan atau mengkonfirmasi kemampuan intelektual dan karakter moral perempuan yang digambarkan inferior. Oleh karena itu, persoalannya bukan sekadar inferioritas perempuan, melainkan lebih pada inferiorisasi perempuan (Gilligan, 1982; bdk. Žižek, 2009).Pada palingan pertama, yakni palingan bahasa, ditunjukkan bahwa bagaimana cara seseorang berbicara dan merepresentasikan realitas berkontribusi dalam mengekspresikan mentalitas orang tersebut. Dalam palingan bahasa, seorang peneliti akan berfokus pada konstruksi makna. Palingan ini muncul secara gradual sejak 1930an dalam gerakan ilmu kemanusiaan dan seni surealisme (Roudinesco, 1993/1997) – yang kemudian berpuncak di Psikologi pada sekitar 1980an dan 1990an (Rogers Willig, 2017). Sumbangan besar palingan bahasa adalah membawa kesadaran bahwa bahasa bukanlah produk kultural yang netral. Dalam kajian ilmu yang lain, palingan bahasa ini disebut dengan palingan budaya (cultural turn). Sifat kultural dari bahasa menunjukkan bahwa wicara a\",\"PeriodicalId\":225204,\"journal\":{\"name\":\"Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma\",\"volume\":\"1 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2023-05-05\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.24071/suksma.v4i1.6245\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24071/suksma.v4i1.6245","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
Pada mulanya adalah perihal obskur. Psikologi Kualitatif diposisikan seperti anak tiri dalam Psikologi. Secara teoretis dan metodologis, pendekatan kualitatif tidak diragukan eksistensinya. Namun secara praktis penelitian, pendekatan kualitatif tampak dan terdengar seperti wilayah yang jauh dan teramat asing, setidaknya dalam peta psikologi mainstream. Sejak awal kelahiran Psikologi, pendekatan kualitatif telah eksis sebagai sebuah tradisi berpikir tersendiri, yang misalnya dicomot dari tradisi fenomenologi. Bahkan, dalam karya-karya Wilhelm Wundt (1832-1920) dan William James (1842-1910) – dua tokoh awal Psikologi – kedudukan unsur subjektif dan objektif telah menjadi bagian dalam pembahasan risalah intelektual. Kedua tokoh tidak luput membicarakan makna, budaya, dan identitas yang kerap kali menjadi diskusi serius dalam tradisi kualitatif. Selain itu, apabila dicermati dengan sungguh, psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud (1856-1932) memanfaatkan wawancara dan serakan data remeh sebagai dasar dalam memahami psikologi subjek. Namun, mengapa pendekatan kualitatif seolah-olah begitu obskur?Menurut Danziger (1990), keberadaan pendekataan kualitatif sebagai “the excluded” dalam Psikologi dimulai dari penelitian-penelitian yang dianggap menjadi ciri khas Psikologi. Dalam sejarah keilmuan Psikologi sejak 1800an hingga hari ini, terjadi pergeseran dalam cara kerja penelitian yang tadinya dipraktikkan dengan pencatatan lewat observasi kemudian direduksi menjadi respons diri yang bersifat naif. Dalam eksperimen, yang dicatat si peneliti adalah respons perilaku dan bukan mental (mind) manusia. Oleh karena itu, intensi Psikologi untuk menangkap dan mengeksplorasi “mind” berubah menjadi pencatatan respons perilaku. Artinya, penelitian Psikologi cenderung menjadi ilmu mengenai mind terhadap mindless individual (Rogers Willig, 2017).Apa yang ditunjukkan di atas adalah cara manusia untuk menjawab bagaimana dan apa yang bisa diketahui. Dalam tradisi keilmuan, hal demikian diperdebatkan melalui Epistemologi. Cabang Filsafat tersebut upaya untuk menjawab mengenai bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Dalam tradisi Psikologi yang dominan (mainstream psychology), epistemologi yang bekerja adalah positivis (Rogers Willig, 2017; Willig 2008, 2013). Epistemologi positivis dalam keilmuan dapat ditelusur secara historis untuk kemudian akan ditemukan beberapa modelnya, yakni positivisme klasik, positivisme kritis, dan positivisme logis (Rogers Willig, 2017). Secara umum, dalam ketiga model positivisme tersebut, subyektivitas, sejarah, dan masyarakat menjadi tidak relevan untuk menentukan kebenaran pengalaman. Seorang peneliti perlu melakukan isolasi terhadap manusia agar kebenaran dapat diperoleh. Apa yang digagas Karl Popper (1902-1994) sebagai rasionalisme kritis juga memiliki asumsi serupa, sehingga sekalipun ia memberi kritik terhadap positivisme, tetapi ia dianggap sebagai seorang positivis (Ormerod, 2009).Secara dominan, Teo (2018) menunjukkan bahwa tradisi berpikir ala Popper direproduksi dengan keyakinan dari filsafat pengetahuan yang menunjukkan bagaimana suatu pernyataan keilmuan dapat dijustifikasi atau disebut dengan konteks justifikasi (context of justification). Karena penekanan pada justifikasi, maka konteks penemuan (context of discovery) atau pertanyaan mengapa suatu ilmu berminat pada suatu pertanyaan, bukan lagi menjadi hal yang menjadi perhatian serius. Sebagai implikasi, peneliti akan cenderung berminat pada kecanggihan metodologi alih-alih asal-usul sosiohistoris disiplin Psikologi, termasuk di dalamnya adalah subyektivitas peneliti. Ketiadaan dimensi sosiohistoris tersebut akan membatasi peneliti psikologi untuk tidak melibatkan minat personal dalam rangka mengarahkan cara pandang terhadap dunia (Willig, 2013). Problem yang muncul kemudian adalah ketidakmungkinan untuk netral secara murni, seseorang senantiasa melakukan penciptaan makna mengenai objek tertentu yang terbangun selama pengalaman hidupnya.Tradisi berpikir positivis dengan berbasis pada konteks justifikasi tersebut kemudian dikritik oleh seorang pemikir bernama Thomas Kuhn (1922-1996) yang menyatakan bahwa dalam proses keilmuan terdapat elemen yang melampaui-yang-logis dan melampaui-yang-rasional yang kemudian nantinya akan berujung pada sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan dalam cabang Epistemologi. Secara khusus, kelemahan dari perspektif positivis adalah absennya sejarah, budaya, dan masyarakat dalam upaya menjelaksan serta memahami dunia. Menurut Teo (2018), proses dalam keilmuan tidak hanya konteks justifikasi, melainkan juga konteks penemuan, konteks interpretasi (context of interpretation), dan konteks aplikasi (context of application). Bahkan, konteks justifikasi sendiri nyatanya tidak luput dari subjektivitas peneliti. Letak Psikologi sebagai ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mestinya juga memposisikan Psikologi tidak hanya berfokus pada kecanggihan metodologi untuk memotret kehidupan individual, melainkan juga menempatkan pengalaman subjektif individual dalam tegangan antara subjek dengan sistem (Keucheyan, 2011).Bergeser dari tradisi positivis, tokoh Psikologi asal Jerman, yakni Klauz Holzkamp (1927-1995), menyebut tradisi dalam Psikologi dengan istilah yang sangat tepat, yakni realisme naif (naive realism) (Holzkamp, 1972). Realisme naif berupaya menggambarkan penelitian empiris sebagai cerminan dunia luar dengan meminimalisasi bias, menanggalkan gagasan sebelumnya (purifikasi), dan melakukan penetralan metodologi. Dengan melakukan purifikasi tersebut, maka tradisi berpikir Psikologi mengasumsikan tidak terdapat dimensi societal atau historis. Persoalannya kemudian adalah bahwa sebuah persepsi beroperasi secara selektif dan orang bisa melihat satu hal dengan cara yang berbeda, tergantung dari tujuan pengamatan yang dilakukan (Rogers Willig, 2017).Selain tradisi positivis dan realisme naif, problem lain yang ditunjukkan dalam filsafat ilmu adalah hypothethico-deductivism (Willig 2008, 2013). Gagasan tersebut dimulai dari kritik Popper tehadap induktivisme yang tidak bisa memberikan pernyataan kategoris seperti “a mengikuti b”. Dalam induktivisme, tidak dapat dipastikan bahwa kejadian selanjutnya akan mengikuti pola “a mengikuti b”. Karena tidak tertebak, maka akan muncul kesulitan untuk melakukan verifikasi. Lantas Popper mengusulkan bahwa sebuah ilmu sebaiknya menganut sistem deduksi dan falsifikasi, misalnya dengan membuat hipotesis di awal. Dengan adanya falsifikasi, maka akan bisa ditentukan mana yang benar dan tidak benar.Kontras dengan tradisi positivis dan realisme naif, Henwood (2014) menyatakan bahwa seorang peneliti kualitatif mensyaratkan keterlibatan aktif peneliti pada dunia yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, peneliti kualitatif mestinya melakukan pengamatan yang jeli, mendengarkan, merekam, dan mengkontekstualisasikan pengalaman nyata, pikiran, tindakan, dan refleksi manusia untuk kemudian melakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dari hasil proses tersebut. Sekalipun demikian, proses interpretasi ini bukan “barang” baru dalam penelitian Psikologi. Sebagaimana ditunjukkan dalam oleh Danziger (1990) proses interpretasi (atau yang lebih subtil, yakni introspeksi) tergeser dan terdominasi oleh penelitian eksperimen dan survei yang tadinya peneliti menjadi subjek pengamat menjadi pencari respons. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa selama kurun waktu satu abad lebih sejarah ilmu Psikologi, pendekatan kualitatif cenderung tersembunyi (hidden) dalam berbagai hasil penelitian.Sifat tersembunyi atau obskur tersebut muncul sebagai gejala methodolatry dalam Psikologi. Methodolatry merupakan kecenderungan untuk menghindari teori dan mengidolakan metode yang dianggap bisa menggambarkan keahlian tertentu dari peneliti (Rogers Willig, 2017). Kecenderungan methodolatry ini kemudian membuat keilmuan dalam ranah para ahli saja. Dengan demikian, rezim ilmu pengetahuan sebagai digagas Foucault (1969/2002), dengan terang-terangan menampilkan diri pada perkembangan penelitian Psikologi. Apabila dicermati, struktur jurnal Psikologi cenderung memberi porsi bagian diskusi yang cukup minim, artinya proses interpretasi dan kemungkinan untuk membuka ruang alternatif terhadap pemahaman suatu fenomena bukan menjadi perkara yang penting untuk dielaborasi.Agaknya, kecenderungan methodolatry tersebut mengalami perlawanan yang cukup sengit dari para pemikir yang tidak puas dengan penjelasan kuantitatif. Setidaknya, ada dua palingan yang secara pelan tapi pasti berupaya untuk melakukan resistensi dengan pendekatan yang terlampau realisme naif. Palingan tersebut adalah palingan bahasa (language turn) dan palingan interpretasi (interpretation turn) (Rogers Willig, 2017). Kedua paling tersebut bermula dari metode interpretasi dan kesadaran sebagai subjek studi yang dikesampingkan oleh Psikologi mainstream. Sebagai contoh adalah kelahiran Psikologi Feminis yang berupaya mempertanyakan mengapa dalam penelitian Psikologi (juga penelitian sosial) cenderung menemukan atau mengkonfirmasi kemampuan intelektual dan karakter moral perempuan yang digambarkan inferior. Oleh karena itu, persoalannya bukan sekadar inferioritas perempuan, melainkan lebih pada inferiorisasi perempuan (Gilligan, 1982; bdk. Žižek, 2009).Pada palingan pertama, yakni palingan bahasa, ditunjukkan bahwa bagaimana cara seseorang berbicara dan merepresentasikan realitas berkontribusi dalam mengekspresikan mentalitas orang tersebut. Dalam palingan bahasa, seorang peneliti akan berfokus pada konstruksi makna. Palingan ini muncul secara gradual sejak 1930an dalam gerakan ilmu kemanusiaan dan seni surealisme (Roudinesco, 1993/1997) – yang kemudian berpuncak di Psikologi pada sekitar 1980an dan 1990an (Rogers Willig, 2017). Sumbangan besar palingan bahasa adalah membawa kesadaran bahwa bahasa bukanlah produk kultural yang netral. Dalam kajian ilmu yang lain, palingan bahasa ini disebut dengan palingan budaya (cultural turn). Sifat kultural dari bahasa menunjukkan bahwa wicara a