{"title":"Sensibilitas Penerjemahan Al-Qur'an","authors":"Fathurrofiq Fathurrofiq","doi":"10.53563/ai.v1i2.24","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Kitab Al-Qur’an dan Terjemahnya (QT) memang tersedia di mana-mana dan memudahkan setiap muslim dan siapa saja untuk membaca. Namun ini tidak menjadikan umat Islam Indonesia lalu semata-mata bergantung pada QT dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an . Motivasi banyak umat Islam untuk belajar langsung menerjemahkan Al-Qur’an tetap tinggi. Buktinya, sejumlah buku yang berisi terjemahan Al-Qur’an kata per kata (TQK) banyak beredar di samping QIT. Aktivitas pembelaraan terjemahan kata per kata juga hidup menggejala di masyarakat perkotaan semisal Surabaya. Pada dasarnya, belajar terjemahan kata per kata menekankan pada pendekatan berbasis daftar kosakata (vocabulary) dan pemahaman gramatika bahasa Arab. Bagaimana menerjemahkan kata per kata yang bekerja dalam pikiran penerjemah (guru) terjemah Al-Qur’an adalah persoalan yang ingin dijelaskan oleh penelitian ini. Pendekatan linguistik dimanfaatkan untuk menjelaskan; 1) cara baca (act of reading) dalam menerjemahkan Al-Qur’an dan 2) praktik menerjemahkan Al-Qur’an yang dilakukan guru-guru terjemah Al-Qur’an . Dengan metode etnografis, penelitian ini menjelaskan horizon pandang guru-guru terjemah dalam membaca referensi: QT danTQK untuk pengembangan pembelajaran terjemah Al-Qur’an. Dalam menerjemahlan Al-Qur’an termasuk TQK, sejumlah tantangan akan menghadang para guru. Tantangan ini muncul mengingat bahasa Al-Qur’an (bahasa Arab) berbeda dari bahasa Indonesia. Setiap bahasa memiliki keistimewaan gramatikanya sendiri-sendiri. Secara kultural dan natural, setiap bahasa mengembangkan sistem konvensi dan arbitrasinya masing-masing yang pasti berbeda satu denganbahasa-bahasa yang lain. Maka sesungguhnya praktik TQK adalah upaya menjembatani perbedaan tersebut","PeriodicalId":32196,"journal":{"name":"ALMURABBI Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman","volume":"46 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-12-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"ALMURABBI Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.53563/ai.v1i2.24","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Kitab Al-Qur’an dan Terjemahnya (QT) memang tersedia di mana-mana dan memudahkan setiap muslim dan siapa saja untuk membaca. Namun ini tidak menjadikan umat Islam Indonesia lalu semata-mata bergantung pada QT dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an . Motivasi banyak umat Islam untuk belajar langsung menerjemahkan Al-Qur’an tetap tinggi. Buktinya, sejumlah buku yang berisi terjemahan Al-Qur’an kata per kata (TQK) banyak beredar di samping QIT. Aktivitas pembelaraan terjemahan kata per kata juga hidup menggejala di masyarakat perkotaan semisal Surabaya. Pada dasarnya, belajar terjemahan kata per kata menekankan pada pendekatan berbasis daftar kosakata (vocabulary) dan pemahaman gramatika bahasa Arab. Bagaimana menerjemahkan kata per kata yang bekerja dalam pikiran penerjemah (guru) terjemah Al-Qur’an adalah persoalan yang ingin dijelaskan oleh penelitian ini. Pendekatan linguistik dimanfaatkan untuk menjelaskan; 1) cara baca (act of reading) dalam menerjemahkan Al-Qur’an dan 2) praktik menerjemahkan Al-Qur’an yang dilakukan guru-guru terjemah Al-Qur’an . Dengan metode etnografis, penelitian ini menjelaskan horizon pandang guru-guru terjemah dalam membaca referensi: QT danTQK untuk pengembangan pembelajaran terjemah Al-Qur’an. Dalam menerjemahlan Al-Qur’an termasuk TQK, sejumlah tantangan akan menghadang para guru. Tantangan ini muncul mengingat bahasa Al-Qur’an (bahasa Arab) berbeda dari bahasa Indonesia. Setiap bahasa memiliki keistimewaan gramatikanya sendiri-sendiri. Secara kultural dan natural, setiap bahasa mengembangkan sistem konvensi dan arbitrasinya masing-masing yang pasti berbeda satu denganbahasa-bahasa yang lain. Maka sesungguhnya praktik TQK adalah upaya menjembatani perbedaan tersebut