{"title":"CATATAN KRITIS BUDAYA KEKUASAAN VERSUS ETIKA MODERN DALAM POLITIK INDONESIA","authors":"Fachry Ali","doi":"10.51353/jpb.v2i2.761","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Seperti terjangkiti pada semua penulis, selalu ada pertanyaan berkecamuk dalam hati tiap saya akan menulis sesuatu. Kecamuk ini kian kuat karena ketika makalah ini ditulis, saya tengah mengedit terjemahan bahasa Inggris karya saya tentang Tanri Abeng setebal 500 halaman. Maka, kecamuk pertanyaan tentang “apakah saya memberikan, jika bukan ‘baru’, makna tertentu dalam setiap tulisan” kian menekan. Maka, ketika mulai menulis makalah ini, saya terkungkung oleh sergapan pertanyaan tersebut. \nSepanjang belum melaksanakannya, pertanyaan itu biasanya terbawa ke mana saya pergi. Kali ini, ia terbawa ke restoran Cina Muslim di Casablanca, Kuningan, Jakarta Selatan pada sore yang cerah, 23 Februari 2020. Lama menunggu pesanan datang, saya keluar. Di kursi-kursi yang khusus disediakan untuk perokok, saya duduk. Di hadapan saya sederetan gedung-gedung megah memamerkan diri. Ketika melayangkan pandangan ke gedung tertinggi yang menempelkan angka “88” di puncaknya, mata saya terpergok pada sebuah layang-layang. Tak mampu terbang bahkan hingga setengah dari ketinggian gedung tersebut, layang-layang itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa menit kemudian, saya melihat layang-layang itu terbang rendah di belakang deretan gedung-gedung yang lebih pendek. Saya memperkirakan di balik deretan gedung-gedung yang lebih pendek itu terdapat perkampungan penduduk dari mana layang-layang itu berasal. Dan, mungkin sekitar 3 atau 4 menit kemudian, layang-layang itu tampak melayang tak terkendali. Dalam pengalaman saya, itu menunjukan bahwa layang-layang tersebut telah terputus dari talinya.","PeriodicalId":34326,"journal":{"name":"Nalar Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam","volume":"61 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-06-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Nalar Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.51353/jpb.v2i2.761","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Seperti terjangkiti pada semua penulis, selalu ada pertanyaan berkecamuk dalam hati tiap saya akan menulis sesuatu. Kecamuk ini kian kuat karena ketika makalah ini ditulis, saya tengah mengedit terjemahan bahasa Inggris karya saya tentang Tanri Abeng setebal 500 halaman. Maka, kecamuk pertanyaan tentang “apakah saya memberikan, jika bukan ‘baru’, makna tertentu dalam setiap tulisan” kian menekan. Maka, ketika mulai menulis makalah ini, saya terkungkung oleh sergapan pertanyaan tersebut.
Sepanjang belum melaksanakannya, pertanyaan itu biasanya terbawa ke mana saya pergi. Kali ini, ia terbawa ke restoran Cina Muslim di Casablanca, Kuningan, Jakarta Selatan pada sore yang cerah, 23 Februari 2020. Lama menunggu pesanan datang, saya keluar. Di kursi-kursi yang khusus disediakan untuk perokok, saya duduk. Di hadapan saya sederetan gedung-gedung megah memamerkan diri. Ketika melayangkan pandangan ke gedung tertinggi yang menempelkan angka “88” di puncaknya, mata saya terpergok pada sebuah layang-layang. Tak mampu terbang bahkan hingga setengah dari ketinggian gedung tersebut, layang-layang itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa menit kemudian, saya melihat layang-layang itu terbang rendah di belakang deretan gedung-gedung yang lebih pendek. Saya memperkirakan di balik deretan gedung-gedung yang lebih pendek itu terdapat perkampungan penduduk dari mana layang-layang itu berasal. Dan, mungkin sekitar 3 atau 4 menit kemudian, layang-layang itu tampak melayang tak terkendali. Dalam pengalaman saya, itu menunjukan bahwa layang-layang tersebut telah terputus dari talinya.