{"title":"Iḥyā’ al-Mawāt dalam Kerangka Hukum Pertanahan di Indonesia","authors":"Ahmad Munif","doi":"10.21580/AHKAM.2018.18.1.2347","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This paper gives a new conception of iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt is an effort to revive, manage, and cultivate the land that has not been touched by human before, or has been managed but abandoned in a long time. Islam recommends that humans prosper the land (earth) mandated by God. In the classical fiqh study, iḥyā’ al-mawāt has implications for the acquisition of property rights on the land which is sought iḥyā’ al-mawāt and applies to all types of land. The fact is different from the provisions in the land law that applies in Indonesia. In Indonesia, every inch of land that is not in the name of private and customary rights, the land is a state land. So there is no land without a name. Although there are several types of state land that can be attempted to be managed by government permission. By doing descriptive analysis and comparison to the concept of iḥyā’ al-mawāt and land law in Indonesia, obtained two main conclusions. First, the land of al-mawāt in the framework of land law in Indonesia includes abandoned land, arising land, and reclaimed land. Against these three types of land, may be made iḥyā’ al-mawāt effort by permission of the government. Second, the implications of iḥyā’ al-mawāt in the framework of land law in Indonesia only on the right of utilization and management (ḥaq al-intifā'), not to the acquisition of ownership (al-tamlīk).[]Tulisan ini memberikan konsepsi baru atas iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt merupakan upaya menghidupkan, mengelola, dan mengolah tanah yang tidak terjamah oleh manusia sebelumnya, atau pernah dikelola namun ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama. Islam menganjurkan agar manusia memakmurkan tanah (bumi) yang diamanahkan oleh Tuhan. Dalam kajian fiqh klasik, iḥyā’ al-mawāt berimplikasi kepada pemerolehan hak milik atas tanah yang diupayakan iḥyā’ al-mawāt dan berlaku bagi segala jenis tanah. Kenyataan tersebut berbeda dengan ketentuan dalam hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia, tiap jengkal tanah yang bukan atas nama pribadi dan hak ulayat, tanah tersebut merupakan tanah negara. Sehingga tidak ada tanah yang tanpa atas nama. Meskipun terdapat beberapa jenis tanah negara yang boleh dikelola atas seijin pemerintah. Dengan analisis deskriptif dan perbandingan terhadap konsep iḥyā’ al-mawāt dan hukum pertanahan di Indonesia, diperoleh dua kesimpulan utama. Pertama, tanah al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia meliputi tanah terlantar, tanah timbul, dan tanah reklamasi. Terhadap ketiga jenis tanah tersebut, boleh dilakukan upaya iḥyā’ al-mawāt atas seizin pemerintah. Kedua, implikasi iḥyā’ al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia hanya pada hak pemanfaatan dan pengelolaan (ḥaq al-intifā'), tidak sampai kepada pemerolehan kepemilikan (al-tamlīk).","PeriodicalId":31042,"journal":{"name":"AlAhkam","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"2","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"AlAhkam","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21580/AHKAM.2018.18.1.2347","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 2
Abstract
This paper gives a new conception of iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt is an effort to revive, manage, and cultivate the land that has not been touched by human before, or has been managed but abandoned in a long time. Islam recommends that humans prosper the land (earth) mandated by God. In the classical fiqh study, iḥyā’ al-mawāt has implications for the acquisition of property rights on the land which is sought iḥyā’ al-mawāt and applies to all types of land. The fact is different from the provisions in the land law that applies in Indonesia. In Indonesia, every inch of land that is not in the name of private and customary rights, the land is a state land. So there is no land without a name. Although there are several types of state land that can be attempted to be managed by government permission. By doing descriptive analysis and comparison to the concept of iḥyā’ al-mawāt and land law in Indonesia, obtained two main conclusions. First, the land of al-mawāt in the framework of land law in Indonesia includes abandoned land, arising land, and reclaimed land. Against these three types of land, may be made iḥyā’ al-mawāt effort by permission of the government. Second, the implications of iḥyā’ al-mawāt in the framework of land law in Indonesia only on the right of utilization and management (ḥaq al-intifā'), not to the acquisition of ownership (al-tamlīk).[]Tulisan ini memberikan konsepsi baru atas iḥyā’ al-mawāt. Iḥyā’ al-mawāt merupakan upaya menghidupkan, mengelola, dan mengolah tanah yang tidak terjamah oleh manusia sebelumnya, atau pernah dikelola namun ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama. Islam menganjurkan agar manusia memakmurkan tanah (bumi) yang diamanahkan oleh Tuhan. Dalam kajian fiqh klasik, iḥyā’ al-mawāt berimplikasi kepada pemerolehan hak milik atas tanah yang diupayakan iḥyā’ al-mawāt dan berlaku bagi segala jenis tanah. Kenyataan tersebut berbeda dengan ketentuan dalam hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia, tiap jengkal tanah yang bukan atas nama pribadi dan hak ulayat, tanah tersebut merupakan tanah negara. Sehingga tidak ada tanah yang tanpa atas nama. Meskipun terdapat beberapa jenis tanah negara yang boleh dikelola atas seijin pemerintah. Dengan analisis deskriptif dan perbandingan terhadap konsep iḥyā’ al-mawāt dan hukum pertanahan di Indonesia, diperoleh dua kesimpulan utama. Pertama, tanah al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia meliputi tanah terlantar, tanah timbul, dan tanah reklamasi. Terhadap ketiga jenis tanah tersebut, boleh dilakukan upaya iḥyā’ al-mawāt atas seizin pemerintah. Kedua, implikasi iḥyā’ al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia hanya pada hak pemanfaatan dan pengelolaan (ḥaq al-intifā'), tidak sampai kepada pemerolehan kepemilikan (al-tamlīk).
本文提出了iḥyā ' al-mawāt的新概念。Iḥyā ' al-mawāt是对人类未曾涉足的土地,或长期被管理但被遗弃的土地的复兴、管理和耕种的努力。伊斯兰教建议人类在真主的土地(地球)上繁荣昌盛。在经典的fiqh研究中,iḥyā ' al-mawāt对土地产权的获取有影响,这是寻求iḥyā ' al-mawāt,适用于所有类型的土地。这一事实不同于适用于印度尼西亚的土地法的规定。在印尼,每一寸土地,只要不是以私人和习惯权利的名义,都是国有土地。所以没有没有名字的土地。尽管有几种类型的国有土地可以尝试通过政府许可进行管理。通过对iḥyā ' al-mawāt概念与印尼土地法的概念进行描述性分析和比较,得出两个主要结论。首先,印度尼西亚土地法框架下的al-mawāt土地包括弃地、生长地和复垦地。针对这三种类型的土地,可以做出iḥyā ' al-mawāt努力,经政府许可。其次,在印度尼西亚土地法的框架下,iḥyā ' al-mawāt只对使用权和管理权(ḥaq al- intifna ')的影响,而不是对所有权的获得(al- taml k)的影响。[]图里萨尼成员:konsepsi baru atas iḥyā ' al-mawāt。Iḥyā ' al-mawāt merupakan upaya menghidupkan, mengelola, dan mengolah tanah yang tidak terjamah oleh manusia sebelumnya, atau pernah dikelola namun ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama。伊斯兰教menganjurkan agar manusia memakmurkan tanah (bumi) yang diamanahkan oleh Tuhan。Dalam kajian fiqh klasik, iḥyā ' al-mawāt berimplikasi kepada peremerolhan hak milik atas tanah yang diupayakan iḥyā ' al-mawāt dan berlaku bagi segala jenis tanah。Kenyataan tersebut berbeda dengan ketentuan dalam hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia。在印度尼西亚,tiap jengkal tanah yang bukan atas nama pribadi dan hak ulayat, tanah tersebut merupakan tanah negara。seingga tidak ada tanah yang tanpa atas nama。Meskipun terdapat beberapa jenis tanah negara yang boleh dikelola atas seijin pemerintah。印尼分析网站danperbandingandterhadap konsep iḥyā ' al-mawāt danhukum pertanahan di Indonesia, diperoleh dua kespulpulan utama。印尼,印尼al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia meliputi tanah terlantar, tanah timbul, dan tanah reklamasi。Terhadap ketiga jenis tanah tersebut, boleh dilakukan upaya iḥyā ' al-mawāt atas缉获在peremerintah。Kedua, implikasi iḥyā ' al-mawāt dalam kerangka hukum pertanahan di Indonesia hanya padhak pemanfaatan dan pengelolaan (ḥaq al- intifna '), tidak sampai kepaada pemerolhan kepemilikan (al-tamlīk)。