{"title":"Psikologi dan Kehendak untuk Memperbaiki","authors":"Monica Eviandaru Madyaningrum","doi":"10.24071/suksma.v3i1.4957","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Judul tulisan ini diambil dari buku berjudul “will to improve” karya seorang antropolog, Tania M. Li. Buku yang terbit di tahun 2007 ini, ditulis berdasar hasil studi etnografi yang dilakukan di Indonesia tentang upaya-upaya para akademisi dan teknokrat ‘membangun’ Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang seringkali dinamai dan dikategorikan sebagai ‘daerah tertinggal’. Buku ini mengajak pembaca menyadari ironi yang melekat pada upaya-upaya para akademisi dan teknokrat untuk memperbaiki atau memajukan suatu kelompok atau daerah. Li berargumen bahwa entah disadari atau tidak, disengaja atau tidak, seringkali melalui kehendak baik untuk ‘memajukan’ suatu kelompok atau daerah, para akademisi dan teknokrat justru semakin meminggirkan dan merendahkan mereka yang hendak dimajukan tersebut.Menurut Li, ironi tersebut bersumber pada kegagalan atau keengganan para akademisi dan teknokrat untuk melihat persoalan dalam perspektif yang lebih luas. Para akademisi dan teknokrat dipandang cenderung abai pada peran faktor-faktor struktural (tatanan sosial, ekonomi dan politik) dalam membentuk persoalan hidup suatu kelompok, serta cara-cara yang mereka pakai untuk menghadapi persoalan tersebut. Sebagai akibatnya, para akademisi dan teknokrat cenderung melihat suatu persoalan semata-mata sebagai situasi yang berawal dan berakhir pada orang-orang yang mengalaminya. Dengan kata lain, persoalan dilihat sebagai akibat dari adanya sesuatu yang problematik dalam diri orang-orang yang mengalaminya.Dengan cara pandang semacam ini, para akademisi dan teknokrat cenderung lebih sibuk untuk menyusun berbagai teknik yang bisa digunakan untuk ‘mengintervensi’ (memodifikasi, mendidik, mengembangkan, memajukan) individu-individu yang mengalami persoalan tersebut. Sementara, sistem dan struktur sosial yang seringkali menjadi akar dari persoalan tersebut justru diabaikan. Melalui kecenderungan seperti inilah, para akademisi atau teknokrat justru berisiko untuk turut mereproduksiatau melanggengkan persoalan yang ingin diatasi. Mengacu pada argumen ini, Li mengajak pembaca untuk menyadari bahaya dari teknikalisasi persoalan atau kecenderungan untuk melihat suatu persoalan sosial sekedar sebagai persoalan teknis dari individu-individu yang mengalaminya. Istilah persoalan teknis disini merujuk pada cara atau strategi pengelolaan yang bisa dikembangkan atau dilakukan seseorang dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi.Diskursus publik tentang pandemi COVID-19 bisa menjadi salah satu contoh yang mencerminkan relevansi argumen Li di atas. Disiplin perilaku individu menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak) memang mempunyai peran yang krusial dalam pengendalikan penyebaran virus. Namun demikian, ketika diskursus publik maupun akademis melulu hanya difokuskan pada aspek tersebut, maka para pemangku kepentingan akan abai pada peran faktor struktural yang mempunyai peran lebih menentukan, seperti misalnya akses dan ketersediaan air bersih, vaksin, serta tempat isolasi (Pelupessy dkk., 2020).Psikologi sebagai sebuah disiplin dan profesi juga berisiko melakukan teknikalisasi persoalan seperti yang diargumenkan oleh Li. Didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku manusia dan proses mental yang mendasari, psikologi umumnya lebih banyak mengandalkan faktor atau atribut personal ketika mencoba menjelaskan atau mengintervensi suatu persoalan. Dengan fokus semacam ini, psikologi memang telah berhasil melahirkan berbagai teknik intervensi yang bisa digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan individu. Namun demikian, dengan kecenderungan semacam ini, psikologi juga mendapat banyak kritik. Psikologi dipandang naif dalam melihat suatu persoalan karena keengganan atau kegagalannya untuk meletakkan persoalan tersebut dalam konteks sosial yang lebih besar. Sebagai akibatnya, psikologi dipandang mempunyai kecenderung untuk bersifat ‘victim blaming’ (menyalahkan korban) dalam analisis dan intervensinya karena lebih sering melihat persoalan sebagai situasi yang berawal dan berakhir pada individu-individu yang mengalaminya (Riemer dkk., 2020).Kritik semacam inilah yang kemudian melahirkan perspektif ekolologis dalam psikologi. Salah satu yang terkenal adalah ecological system theory (Bronfenbrenner, 1992). Teori ini berpandangan bahwa baik buruk kualitas psikologis seseorang merupakan hasil interaksi dinamis antar berbagai faktor yang melingkupi kehidupan orang tersebut baik yang ada di level mikro (misalnya, faktor biologis, keluarga, pengasuh), level meso (misalnya, faktor sekolah, lingkungan tempat tinggal) maupun level makro (misalnya, faktor budaya, kebijakan ekonomi dan politik suatu negara). Perspektif teoritik semacam inilah yang mendorong psikologi baik sebagai ilmu maupun profesi untuk mengembangkan cara-cara analisis maupun intervensi yang lebih komprehensif. Psikologi sebagai ilmu maupun profesi didorong untuk tidak hanya berkutat pada level analisis maupun intervensi yang sifatnya individualistik. Melalui pendekatan ekologis, psikologi diharapkan mampu berperan dalam beragam upaya intervensi yang bersifat preventif dan promotif (Bronfenbrenner, 1992; Nelson Prilleltensky, 2005).Dengan kesadaran semacam inilah, kami menempatkan artikel-artikel yang diterbitkan di edisi kali ini. Dalam edisi kali ini terdapat tujuh artikel (3 artikel mengangkat topik psikologi pendidikan dan 4 artikel mengangkat topik psikologi industri organisasi) yang masing-masing berusaha melihat isu atau persoalan yang diteliti dalam keterkaitannya dengan dimensi sosial yang relevan. Artikel pertama menyoroti persoalan stres pada mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir serta keterkaitannya dengan perfectionism. Dalam penelitian ini, penulis melihat perfectionism bukan sekedar sebagai trait personal melainkan juga sebagai hasil konstruksi sosial. Artikel kedua mengkaji persoalan stres kerja pada para ibu dan keterkaitannya dengan tarik menarik antara peran domestik dan peran profesional yang harus dilakukan para perempuan. Artikel ketiga meneliti soal atribut yang menentukan citra telepon seluler di mata konsumen. Menarik bahwa studi ini dilatarbelakangi kesadaran tentang pentingnya menemukan atribut citra produk yang responsif dengan konteks kultural di Indonesia. Artikel keempat melihat keterkaitan antara dukungan sosial keluarga dan adaptabilitas karir pada mahasiswa tingkat akhir. Dengan menekankan peran dukungan sosial keluarga, penelitian seperti ini menunjukkan relevansi perspektif ekologis untuk memahami kondisi psikologis seseorang. Artikel kelima membahas persoalan job insecurity dan kaitannya dengan pemberlakuan sistem outsourcing di dunia kerja. Pada artikel keenam disajikan penelitian yang menyoal tentang identitas etnis dan keterkaitannya dengan penyesuaian diri seseorang. Terakhir, artikel ketujuh menyoroti tentang kualitas pelayanan kesehatan dokter di instalasi gawat darurat dan keterkaitannya dengan beban kerja dari para tenaga kesehatan.Secara keseluruhan artikel-artikel ini menegaskan pentingnya melihat isu dan persoalan psikologis sebagai situasi yang bersifat multidimensi. Pemahaman semacam ini penting untuk dikembangkan supaya psikologi dengan kehendak baiknya untuk memperbaiki (mempromosikan) kualitas hidup seseorang tidak terjebak pada cara pandang yang ‘menyalahkan korban’, melainkan mampu meletakkan persoalan yang dibahas dalam konteks yang lebih luas. ","PeriodicalId":225204,"journal":{"name":"Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma","volume":"39 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-08-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24071/suksma.v3i1.4957","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Judul tulisan ini diambil dari buku berjudul “will to improve” karya seorang antropolog, Tania M. Li. Buku yang terbit di tahun 2007 ini, ditulis berdasar hasil studi etnografi yang dilakukan di Indonesia tentang upaya-upaya para akademisi dan teknokrat ‘membangun’ Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang seringkali dinamai dan dikategorikan sebagai ‘daerah tertinggal’. Buku ini mengajak pembaca menyadari ironi yang melekat pada upaya-upaya para akademisi dan teknokrat untuk memperbaiki atau memajukan suatu kelompok atau daerah. Li berargumen bahwa entah disadari atau tidak, disengaja atau tidak, seringkali melalui kehendak baik untuk ‘memajukan’ suatu kelompok atau daerah, para akademisi dan teknokrat justru semakin meminggirkan dan merendahkan mereka yang hendak dimajukan tersebut.Menurut Li, ironi tersebut bersumber pada kegagalan atau keengganan para akademisi dan teknokrat untuk melihat persoalan dalam perspektif yang lebih luas. Para akademisi dan teknokrat dipandang cenderung abai pada peran faktor-faktor struktural (tatanan sosial, ekonomi dan politik) dalam membentuk persoalan hidup suatu kelompok, serta cara-cara yang mereka pakai untuk menghadapi persoalan tersebut. Sebagai akibatnya, para akademisi dan teknokrat cenderung melihat suatu persoalan semata-mata sebagai situasi yang berawal dan berakhir pada orang-orang yang mengalaminya. Dengan kata lain, persoalan dilihat sebagai akibat dari adanya sesuatu yang problematik dalam diri orang-orang yang mengalaminya.Dengan cara pandang semacam ini, para akademisi dan teknokrat cenderung lebih sibuk untuk menyusun berbagai teknik yang bisa digunakan untuk ‘mengintervensi’ (memodifikasi, mendidik, mengembangkan, memajukan) individu-individu yang mengalami persoalan tersebut. Sementara, sistem dan struktur sosial yang seringkali menjadi akar dari persoalan tersebut justru diabaikan. Melalui kecenderungan seperti inilah, para akademisi atau teknokrat justru berisiko untuk turut mereproduksiatau melanggengkan persoalan yang ingin diatasi. Mengacu pada argumen ini, Li mengajak pembaca untuk menyadari bahaya dari teknikalisasi persoalan atau kecenderungan untuk melihat suatu persoalan sosial sekedar sebagai persoalan teknis dari individu-individu yang mengalaminya. Istilah persoalan teknis disini merujuk pada cara atau strategi pengelolaan yang bisa dikembangkan atau dilakukan seseorang dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi.Diskursus publik tentang pandemi COVID-19 bisa menjadi salah satu contoh yang mencerminkan relevansi argumen Li di atas. Disiplin perilaku individu menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak) memang mempunyai peran yang krusial dalam pengendalikan penyebaran virus. Namun demikian, ketika diskursus publik maupun akademis melulu hanya difokuskan pada aspek tersebut, maka para pemangku kepentingan akan abai pada peran faktor struktural yang mempunyai peran lebih menentukan, seperti misalnya akses dan ketersediaan air bersih, vaksin, serta tempat isolasi (Pelupessy dkk., 2020).Psikologi sebagai sebuah disiplin dan profesi juga berisiko melakukan teknikalisasi persoalan seperti yang diargumenkan oleh Li. Didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku manusia dan proses mental yang mendasari, psikologi umumnya lebih banyak mengandalkan faktor atau atribut personal ketika mencoba menjelaskan atau mengintervensi suatu persoalan. Dengan fokus semacam ini, psikologi memang telah berhasil melahirkan berbagai teknik intervensi yang bisa digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan individu. Namun demikian, dengan kecenderungan semacam ini, psikologi juga mendapat banyak kritik. Psikologi dipandang naif dalam melihat suatu persoalan karena keengganan atau kegagalannya untuk meletakkan persoalan tersebut dalam konteks sosial yang lebih besar. Sebagai akibatnya, psikologi dipandang mempunyai kecenderung untuk bersifat ‘victim blaming’ (menyalahkan korban) dalam analisis dan intervensinya karena lebih sering melihat persoalan sebagai situasi yang berawal dan berakhir pada individu-individu yang mengalaminya (Riemer dkk., 2020).Kritik semacam inilah yang kemudian melahirkan perspektif ekolologis dalam psikologi. Salah satu yang terkenal adalah ecological system theory (Bronfenbrenner, 1992). Teori ini berpandangan bahwa baik buruk kualitas psikologis seseorang merupakan hasil interaksi dinamis antar berbagai faktor yang melingkupi kehidupan orang tersebut baik yang ada di level mikro (misalnya, faktor biologis, keluarga, pengasuh), level meso (misalnya, faktor sekolah, lingkungan tempat tinggal) maupun level makro (misalnya, faktor budaya, kebijakan ekonomi dan politik suatu negara). Perspektif teoritik semacam inilah yang mendorong psikologi baik sebagai ilmu maupun profesi untuk mengembangkan cara-cara analisis maupun intervensi yang lebih komprehensif. Psikologi sebagai ilmu maupun profesi didorong untuk tidak hanya berkutat pada level analisis maupun intervensi yang sifatnya individualistik. Melalui pendekatan ekologis, psikologi diharapkan mampu berperan dalam beragam upaya intervensi yang bersifat preventif dan promotif (Bronfenbrenner, 1992; Nelson Prilleltensky, 2005).Dengan kesadaran semacam inilah, kami menempatkan artikel-artikel yang diterbitkan di edisi kali ini. Dalam edisi kali ini terdapat tujuh artikel (3 artikel mengangkat topik psikologi pendidikan dan 4 artikel mengangkat topik psikologi industri organisasi) yang masing-masing berusaha melihat isu atau persoalan yang diteliti dalam keterkaitannya dengan dimensi sosial yang relevan. Artikel pertama menyoroti persoalan stres pada mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir serta keterkaitannya dengan perfectionism. Dalam penelitian ini, penulis melihat perfectionism bukan sekedar sebagai trait personal melainkan juga sebagai hasil konstruksi sosial. Artikel kedua mengkaji persoalan stres kerja pada para ibu dan keterkaitannya dengan tarik menarik antara peran domestik dan peran profesional yang harus dilakukan para perempuan. Artikel ketiga meneliti soal atribut yang menentukan citra telepon seluler di mata konsumen. Menarik bahwa studi ini dilatarbelakangi kesadaran tentang pentingnya menemukan atribut citra produk yang responsif dengan konteks kultural di Indonesia. Artikel keempat melihat keterkaitan antara dukungan sosial keluarga dan adaptabilitas karir pada mahasiswa tingkat akhir. Dengan menekankan peran dukungan sosial keluarga, penelitian seperti ini menunjukkan relevansi perspektif ekologis untuk memahami kondisi psikologis seseorang. Artikel kelima membahas persoalan job insecurity dan kaitannya dengan pemberlakuan sistem outsourcing di dunia kerja. Pada artikel keenam disajikan penelitian yang menyoal tentang identitas etnis dan keterkaitannya dengan penyesuaian diri seseorang. Terakhir, artikel ketujuh menyoroti tentang kualitas pelayanan kesehatan dokter di instalasi gawat darurat dan keterkaitannya dengan beban kerja dari para tenaga kesehatan.Secara keseluruhan artikel-artikel ini menegaskan pentingnya melihat isu dan persoalan psikologis sebagai situasi yang bersifat multidimensi. Pemahaman semacam ini penting untuk dikembangkan supaya psikologi dengan kehendak baiknya untuk memperbaiki (mempromosikan) kualitas hidup seseorang tidak terjebak pada cara pandang yang ‘menyalahkan korban’, melainkan mampu meletakkan persoalan yang dibahas dalam konteks yang lebih luas.