{"title":"TANGGAPAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN","authors":"Aah Tsamrotul Fuadah","doi":"10.30868/AM.V1I01.106","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Nikah sirri kembali menjadi isu hangat di Indonesia, hal ini mencuat ketika diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau yang populer dengan sebutan RUU Nikah Siri, yang mengancam pelaku nikah siri dengan sanksi pidana yakni ancaman hukuman bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai tiga tahun, dan denda mulai Rp. 6 juta sampai Rp. 12 juta. RUU ini mengundang pro dan kontra, pihak yang setuju menganggap bahwa hal ini adalah sebuah kemajuan karena menurut mereka penikaha sirri sering kali hanya merugikan pihak perempuan dan berdampak negative bagi anak keturunan hasil nikah sirri. Semantara pihak yang kontra berpendapat bahwa RUU ini justru akan mengarahkan orang untuk melegalkan perzinahan. \nDalam kajian fiqh klasik nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali atau saksi, sementara pengertian nikah sirri saat ini lebih bermakna pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan agama masing-masing tanpa dilakukan pencatatan di depan petugas Kantor Urusan Agama. Jika nikah sirri diartikan dengan pengertian yang pertama maka para ulama bersepakat tidak sahnya pernikahan tanpa adanya wali dan saksi. Adapun nikah sirri yang dilakukan secara Islam namun tidak dicatat oleh petuga KUA maka sebagian besar ulama memnaggapnya sah. \nDari sinilah muncul permasalahan tentang nikah sirri di Indonesia, jika RUU ini telah disahkan maka para pelaku nikah sirri akan dikenakan denda atau hukuman penjara. Melaksanakan perkawinan secara sah menurut hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perwujudan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam hal perkawinan. Sedangkan melaksanakan pasal 2 ayat (2) nya yakni tentang pencatatan perkawinan adalah wujud ketaatan kepada pemimpin. Namun demikian meskipun aturan Allah dan Rasul-Nya serta manusia sudah sangat baik, tetap akan ada yang melanggar aturan-aturan tersebut. Buktinya masih banyak orang Islam yang nikah tanpa dicatat, padahal itu untuk kemaslahatan semua pihak, sedangkan kemaslahatan itu merupakan tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah). \nMaka dari sini sudah selayaknya bagi mereka yang melaksanakan pernikahan siri karena masalah biaya, harus dibantu untuk melakukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama dengan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Sedangkan mereka yang melakukan nikah siri karena alasan lain, dianjurkan untuk melakukan itsbat nikah. Kalau tidak mau, maka sewajarnya diberi sanksi baik secara administratif maupun dengan sanksi pidana yang bisa membuat jera.","PeriodicalId":303095,"journal":{"name":"ALAMIAH: Jurnal Muamalah dan Ekonomi Syariah","volume":"61 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2017-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"ALAMIAH: Jurnal Muamalah dan Ekonomi Syariah","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.30868/AM.V1I01.106","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Nikah sirri kembali menjadi isu hangat di Indonesia, hal ini mencuat ketika diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau yang populer dengan sebutan RUU Nikah Siri, yang mengancam pelaku nikah siri dengan sanksi pidana yakni ancaman hukuman bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai tiga tahun, dan denda mulai Rp. 6 juta sampai Rp. 12 juta. RUU ini mengundang pro dan kontra, pihak yang setuju menganggap bahwa hal ini adalah sebuah kemajuan karena menurut mereka penikaha sirri sering kali hanya merugikan pihak perempuan dan berdampak negative bagi anak keturunan hasil nikah sirri. Semantara pihak yang kontra berpendapat bahwa RUU ini justru akan mengarahkan orang untuk melegalkan perzinahan.
Dalam kajian fiqh klasik nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali atau saksi, sementara pengertian nikah sirri saat ini lebih bermakna pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan agama masing-masing tanpa dilakukan pencatatan di depan petugas Kantor Urusan Agama. Jika nikah sirri diartikan dengan pengertian yang pertama maka para ulama bersepakat tidak sahnya pernikahan tanpa adanya wali dan saksi. Adapun nikah sirri yang dilakukan secara Islam namun tidak dicatat oleh petuga KUA maka sebagian besar ulama memnaggapnya sah.
Dari sinilah muncul permasalahan tentang nikah sirri di Indonesia, jika RUU ini telah disahkan maka para pelaku nikah sirri akan dikenakan denda atau hukuman penjara. Melaksanakan perkawinan secara sah menurut hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perwujudan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam hal perkawinan. Sedangkan melaksanakan pasal 2 ayat (2) nya yakni tentang pencatatan perkawinan adalah wujud ketaatan kepada pemimpin. Namun demikian meskipun aturan Allah dan Rasul-Nya serta manusia sudah sangat baik, tetap akan ada yang melanggar aturan-aturan tersebut. Buktinya masih banyak orang Islam yang nikah tanpa dicatat, padahal itu untuk kemaslahatan semua pihak, sedangkan kemaslahatan itu merupakan tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah).
Maka dari sini sudah selayaknya bagi mereka yang melaksanakan pernikahan siri karena masalah biaya, harus dibantu untuk melakukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama dengan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Sedangkan mereka yang melakukan nikah siri karena alasan lain, dianjurkan untuk melakukan itsbat nikah. Kalau tidak mau, maka sewajarnya diberi sanksi baik secara administratif maupun dengan sanksi pidana yang bisa membuat jera.