{"title":"SANKSI HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING PASCA UU CIPTA KERJA","authors":"Christin N Tobing","doi":"10.54816/sj.v5i2.559","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Sejatinya Negara Indonesia mengutamakan penempatan tenaga kerja dalam negeri dari pada TKA sesuai amanat Konstitusi Pasal 27 ayat (2). Faktanya, keberadaan TKA masih dibutuhkan berkaitan dengan investasi di berbagai sektor yang memerlukan teknologi dan keahlian khusus yang belum dapat dipenuhi oleh tenaga kerja Indonesia. Problematikanya, TKA masuk ke sektor-sektor yang tidak membutuhkan keahlian khusus, padahal banyak unskill workers menganggur. UU Cipta Kerja memangkas proses perijinan penggunaan TKA dan menghapus beberapa sanksi pidana dan/atau menggantinya dengan sanksi administratif atas pelanggaran norma penggunaan TKA. Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan ratio legis perubahan sanksi hukum penggunaan TKA di Indonesia pasca UU Cipta Kerja. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Tahapan penelitian dilakukan dengan memeriksa peraturan perundang-undangan yakni UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dan UU Ketenagakerjaan serta peraturan pelaksananya terkait TKA, kemudian dianalisis ketentuan sanksi hukum dan ditarik kesimpulan. Hasil penelitian, UU Cipta Kerja mencabut sanksi pidana penjara dan denda kepada Pemberi kerja yang tidak mempunyai IMTA, dengan menghapus Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. sebelumnya merupakan tindak pidana kejahatan sesuai Pasal 185 ayat (1). Pasca UU Cipta Kerja Pemberi Kerja cukup hanya memiliki pengesahan RPTKA, dan terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi administratif berupa denda, padahal fungsi IMTA sama dengan RPTKA. UU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 44 ayat (1) tentang jabatan dan standar kompetensi (keahlian), menggantinya dengan sanksi administratif berupa pencabutan Pengesahan RPTKA. Ratio legis penghapusan sanksi pidana dan/atau menggantikannya dengan sanksi administratif dalam UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja menunjukkan menurunnya perlindungan hak konstitusional tenaga kerja Indonseia terhadap kesempatan bekerja dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan lebih pro investasi.","PeriodicalId":197876,"journal":{"name":"SOL JUSTICIA","volume":"115 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-01-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"SOL JUSTICIA","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.54816/sj.v5i2.559","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Sejatinya Negara Indonesia mengutamakan penempatan tenaga kerja dalam negeri dari pada TKA sesuai amanat Konstitusi Pasal 27 ayat (2). Faktanya, keberadaan TKA masih dibutuhkan berkaitan dengan investasi di berbagai sektor yang memerlukan teknologi dan keahlian khusus yang belum dapat dipenuhi oleh tenaga kerja Indonesia. Problematikanya, TKA masuk ke sektor-sektor yang tidak membutuhkan keahlian khusus, padahal banyak unskill workers menganggur. UU Cipta Kerja memangkas proses perijinan penggunaan TKA dan menghapus beberapa sanksi pidana dan/atau menggantinya dengan sanksi administratif atas pelanggaran norma penggunaan TKA. Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan ratio legis perubahan sanksi hukum penggunaan TKA di Indonesia pasca UU Cipta Kerja. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Tahapan penelitian dilakukan dengan memeriksa peraturan perundang-undangan yakni UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dan UU Ketenagakerjaan serta peraturan pelaksananya terkait TKA, kemudian dianalisis ketentuan sanksi hukum dan ditarik kesimpulan. Hasil penelitian, UU Cipta Kerja mencabut sanksi pidana penjara dan denda kepada Pemberi kerja yang tidak mempunyai IMTA, dengan menghapus Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. sebelumnya merupakan tindak pidana kejahatan sesuai Pasal 185 ayat (1). Pasca UU Cipta Kerja Pemberi Kerja cukup hanya memiliki pengesahan RPTKA, dan terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi administratif berupa denda, padahal fungsi IMTA sama dengan RPTKA. UU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 44 ayat (1) tentang jabatan dan standar kompetensi (keahlian), menggantinya dengan sanksi administratif berupa pencabutan Pengesahan RPTKA. Ratio legis penghapusan sanksi pidana dan/atau menggantikannya dengan sanksi administratif dalam UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja menunjukkan menurunnya perlindungan hak konstitusional tenaga kerja Indonseia terhadap kesempatan bekerja dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan lebih pro investasi.