Peluang dan Tantangan Implementasi Model Pertanian Konservasi di Lahan Kering

A. Rachman
{"title":"Peluang dan Tantangan Implementasi Model Pertanian Konservasi di Lahan Kering","authors":"A. Rachman","doi":"10.2018/JSDL.V11I2.7182","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstrak. Pertanian konservasi adalah salah satu alternatif model pada praktek pertanian di lahan kering yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, efisiensi usahatani, dan kualitas lingkungan melalui perbaikan kualitas tanah. Tulisan ini membahas prospek penerapan pertanian konservasi untuk meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas lahan kering. Model pertanian konservasi lebih menekankan pada perbaikan kandungan bahan organik tanah melalui kombinasi 3 pendekatan yaitu olah tanah minimum, pemulsaan, dan pengaturan pola tanam. Introduksi model pertanian konservasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang umumnya lahan pertaniannya berskala sempit (<1 ha) dihadapkan pada masalah perkembangan gulma dan penurunan produktivitas pada fase awal implementasi, dan lahan yang tidak bersih sehingga berpotensi memicu munculnya hama dan penyakit tertentu. Namun demikian, model pertanian konservasi ini berpotensi untuk mengubah lahan kering terdegradasi atau tidak produktif menjadi lahan pertanian produktif dengan efisiensi usahatani yang tinggi. Dengan manfaat jangka panjang tersebut, maka implementasi pertanian konservasi di lahan kering, yang potensinya mencapai 29,4 juta ha, akan meningkatkan secara signifikan kontribusi lahan kering terhadap upaya mempertahankan swasembada pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani lahan kering. Diperlukan proses dan modifikasi untuk mengadaptasikan teknologi ini yang disesuaikan dengan karakteristik agroekosistem, konidisi sosial, dan ekonomi lokal setempat, sehingga berbagai kendala adopsi dapat diminimalisir dan manfaat dapat dioptimalkan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah dalam bentuk pelatihan, advokasi, dan bantuan input usahatani untuk meminimalisir resiko kerugian petani terutama pada tahap awal implementasi teknologi.Abstract. Conservation agriculture is an alternative model to agricultural practices in dryland which in the long term provides a number of benefits including an increase in crop productivity, farm input efficiency and environmental quality through the improvement of soil quality. This paper discusses the prospect for implementing conservation agricultural to improve soil quality and productivity of dryland. The conservation agriculture model emphasizes the improvement of soil organic matter content through a combination of 3 approaches, namely minimum tillage, mulching, and cropping pattern. Introduction of conservation agriculture into developing countries like Indonesia, which are generally small-scale farming (<1 ha), will face a number of obstacles caused by short-term and immediate shortcomings of the technology. These shortcomings include weed development and productivity decline in the early phase of implementation, and the potential to trigger the emergence of certain pests and diseases due to unclean land. However, the practice has the potential to transform degraded or unproductive drylands into more efficient and productive agricultural land. With those long-term benefits of conservation agriculture, its implementation to 29.4 million ha of dryland of Indonesia will boost significantly the contribution of dryland agriculture in sustaining national food self sufficiency and improving the welfare of dryland farmers. Processes and modifications are needed to adapt this practice to suit local agroecosystem, social and local economic characteristics so that various adoption constraints can be minimized and short-term and long-term benefits can be optimized. In addition, government supports are needed in the form of training, advocacy and farm inputs subsidies to minimize the risk of loss of farmers especially in the early stages of technology implementation.","PeriodicalId":261618,"journal":{"name":"Jurnal Sumberdaya Lahan","volume":"75 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-06-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"6","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Sumberdaya Lahan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.2018/JSDL.V11I2.7182","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 6

Abstract

Abstrak. Pertanian konservasi adalah salah satu alternatif model pada praktek pertanian di lahan kering yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, efisiensi usahatani, dan kualitas lingkungan melalui perbaikan kualitas tanah. Tulisan ini membahas prospek penerapan pertanian konservasi untuk meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas lahan kering. Model pertanian konservasi lebih menekankan pada perbaikan kandungan bahan organik tanah melalui kombinasi 3 pendekatan yaitu olah tanah minimum, pemulsaan, dan pengaturan pola tanam. Introduksi model pertanian konservasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang umumnya lahan pertaniannya berskala sempit (<1 ha) dihadapkan pada masalah perkembangan gulma dan penurunan produktivitas pada fase awal implementasi, dan lahan yang tidak bersih sehingga berpotensi memicu munculnya hama dan penyakit tertentu. Namun demikian, model pertanian konservasi ini berpotensi untuk mengubah lahan kering terdegradasi atau tidak produktif menjadi lahan pertanian produktif dengan efisiensi usahatani yang tinggi. Dengan manfaat jangka panjang tersebut, maka implementasi pertanian konservasi di lahan kering, yang potensinya mencapai 29,4 juta ha, akan meningkatkan secara signifikan kontribusi lahan kering terhadap upaya mempertahankan swasembada pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani lahan kering. Diperlukan proses dan modifikasi untuk mengadaptasikan teknologi ini yang disesuaikan dengan karakteristik agroekosistem, konidisi sosial, dan ekonomi lokal setempat, sehingga berbagai kendala adopsi dapat diminimalisir dan manfaat dapat dioptimalkan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah dalam bentuk pelatihan, advokasi, dan bantuan input usahatani untuk meminimalisir resiko kerugian petani terutama pada tahap awal implementasi teknologi.Abstract. Conservation agriculture is an alternative model to agricultural practices in dryland which in the long term provides a number of benefits including an increase in crop productivity, farm input efficiency and environmental quality through the improvement of soil quality. This paper discusses the prospect for implementing conservation agricultural to improve soil quality and productivity of dryland. The conservation agriculture model emphasizes the improvement of soil organic matter content through a combination of 3 approaches, namely minimum tillage, mulching, and cropping pattern. Introduction of conservation agriculture into developing countries like Indonesia, which are generally small-scale farming (<1 ha), will face a number of obstacles caused by short-term and immediate shortcomings of the technology. These shortcomings include weed development and productivity decline in the early phase of implementation, and the potential to trigger the emergence of certain pests and diseases due to unclean land. However, the practice has the potential to transform degraded or unproductive drylands into more efficient and productive agricultural land. With those long-term benefits of conservation agriculture, its implementation to 29.4 million ha of dryland of Indonesia will boost significantly the contribution of dryland agriculture in sustaining national food self sufficiency and improving the welfare of dryland farmers. Processes and modifications are needed to adapt this practice to suit local agroecosystem, social and local economic characteristics so that various adoption constraints can be minimized and short-term and long-term benefits can be optimized. In addition, government supports are needed in the form of training, advocacy and farm inputs subsidies to minimize the risk of loss of farmers especially in the early stages of technology implementation.
干旱土地上实现环保农业模型的机会和挑战
抽象。保护农业是干旱地区农业实践的替代模式之一,从长远来看,它可以通过改善土壤质量来提高作物生产力、农业效率和环境质量。这篇文章讨论了通过提高干旱土地质量和生产力来实现保护农业的前景。保育农业模式更强调通过三种方法来改善土壤有机材料的含量,即最小的耕作、恢复和种植模式。印度尼西亚等发展中国家的工业化农业转型模型,其规模通常较小(<1 ha)农业土地在实现初期面临杂草生长和生产力下降的问题,不卫生土地可能引发某些害虫和疾病。然而,这种农业模式有可能将干旱或低效的土地转化为高效率的农业用地。有了这些长期的好处,干旱土地保护农业的实施,其潜力将增加29.4亿公顷(4100万公顷),这将大大增加干旱土地对维持国家粮食自给自足的贡献,增加干旱农民的福利。我们需要过程和修改来适应适应当地农业生态系统、社会协进会和经济特征的技术,从而将不同的收养障碍最小化,以及优化短期和长期的好处。此外,我们还需要政府以培训、宣传和企业合作的方式提供资金支持,以减少农民损失的风险,特别是在技术实现的早期阶段。农业保护是可持续农业实践的一种替代模式,在长期的环境中,包括增广的农作物生产,通过改善的土壤质量的创造性输入和环境质量。这篇论文概述了为改善旱地质量和生产而进行的农业保护的前景。保护农业模型强调了通过三种方法接近、最小的倾斜、mulching和cropping模式所产生的有机物质满足的影响。《保护农业》介绍了像印度尼西亚这样的国家,这些国家通常是少数的farming (<1 ha),将面临一小段窄阶和immediate快捷技术造成的obstacles。这些游击手包括大麻开发和生产在实现的早期阶段的退化,以及潜在的触发器霍夫,实践有可能将旱地转化为更多的可吸收和农业生产土地。随着这些长期受保护农业的好处,印尼29.4百万干旱土地的实现将大大推动我国粮食供应自给自足、使旱地资源繁荣的努力。开发和修改需要对本地农贸系统、社会和地方经济特征进行这种实践,这样各种收养限制将是最小化和缩短和长期捐助者将是优化的。在补充中,政府支持的政府需要在形式的培训、宣传和农场中减少损失的风险,特别是在技术实施的早期阶段。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
求助全文
约1分钟内获得全文 求助全文
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
0
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:604180095
Book学术官方微信