{"title":"INVESTING INTOLERANCE: ‘PENDIDIKAN KARAKTER’ AND CURRICULUM 2013","authors":"Frans A. Djalong, Hendrikus Paulus Kaunang","doi":"10.36928/jpkm.v11i1.132","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Artikel ini mengeksplorasi dan menganalisis debat publik tentang 'Pendidikan Karakter' dalam perumusan dan implementasi Kurikulum 2013. Ada dua pertanyaan kunci yang saling terkait: pertama, bagaimana dan sejauh mana perdebatan kebijakan antara berbagai artikulasi agama-budaya tentang toleransi membentuk konten dan orientasi 'Pendidikan Karakter' dalam kurikulum; dan kedua, sejauh mana kerangka kerja kurikulum dan konten mempengaruhi pembentukan kewarganegaraan multikultural. Dengan menggunakan pendekatan Wacana Mouffe, penelitian ini menghasilkan tiga temuan yang saling terkait: (1) Tidak satu pun dari kelompok agama-budaya dengan artikulasi toleransi masing-masing memiliki konsep yang jelas tentang 'pendidikan karakter'; (2) Kurikulum 2013, dalam isinya dan kegiatan pembelajaran, menunjukkan kecenderungan kuat untuk kekhususan agama dan perbedaan agama-budaya; (3) Pertemuan yang rumit antara Kompetensi Agama, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Pengetahuan telah relatif tidak ada dalam dokumen resmi Kurikulum dan debat publik. Analisis wacana kami tentang temuan menyimpulkan bahwa: pertama, kurikulum memprioritaskan etika perbedaan agama-budaya dan mengabaikan etika kewarganegaraan multikultural; kedua, kurangnya pendekatan integratif dalam kurikulum mencerminkan relatif tidak adanya kerangka kebijakan komprehensif dalam debat publik yang membuat kebijakan pendidikan ini terus diperebutkan dan direvisi dari waktu ke waktu; dan ketiga, kurikulum ternyata menjadi tempat berkembang biaknya intoleransi. Kami berpendapat bahwa kurikulum gagal memenuhi tantangan dan tuntutan kami untuk pembentukan kewarganegaraan demokratis yang mampu hidup bersama di Indonesia multikultural.","PeriodicalId":355721,"journal":{"name":"Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-01-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.36928/jpkm.v11i1.132","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Artikel ini mengeksplorasi dan menganalisis debat publik tentang 'Pendidikan Karakter' dalam perumusan dan implementasi Kurikulum 2013. Ada dua pertanyaan kunci yang saling terkait: pertama, bagaimana dan sejauh mana perdebatan kebijakan antara berbagai artikulasi agama-budaya tentang toleransi membentuk konten dan orientasi 'Pendidikan Karakter' dalam kurikulum; dan kedua, sejauh mana kerangka kerja kurikulum dan konten mempengaruhi pembentukan kewarganegaraan multikultural. Dengan menggunakan pendekatan Wacana Mouffe, penelitian ini menghasilkan tiga temuan yang saling terkait: (1) Tidak satu pun dari kelompok agama-budaya dengan artikulasi toleransi masing-masing memiliki konsep yang jelas tentang 'pendidikan karakter'; (2) Kurikulum 2013, dalam isinya dan kegiatan pembelajaran, menunjukkan kecenderungan kuat untuk kekhususan agama dan perbedaan agama-budaya; (3) Pertemuan yang rumit antara Kompetensi Agama, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Pengetahuan telah relatif tidak ada dalam dokumen resmi Kurikulum dan debat publik. Analisis wacana kami tentang temuan menyimpulkan bahwa: pertama, kurikulum memprioritaskan etika perbedaan agama-budaya dan mengabaikan etika kewarganegaraan multikultural; kedua, kurangnya pendekatan integratif dalam kurikulum mencerminkan relatif tidak adanya kerangka kebijakan komprehensif dalam debat publik yang membuat kebijakan pendidikan ini terus diperebutkan dan direvisi dari waktu ke waktu; dan ketiga, kurikulum ternyata menjadi tempat berkembang biaknya intoleransi. Kami berpendapat bahwa kurikulum gagal memenuhi tantangan dan tuntutan kami untuk pembentukan kewarganegaraan demokratis yang mampu hidup bersama di Indonesia multikultural.