{"title":"后新秩序印尼的政治伊斯兰和宗教暴力","authors":"Abdil Mughis Mudhoffir","doi":"10.7454/MJS.V20I1.4796","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This paper tries to understand why religious violence increasingly occurs in post-New Order Indonesia. There are two dominant views in understanding this. First, the security approach that perceives the violence as a result of the emergent of “radical” agent of political Islam in the more open political space. In this regard, the state is considered weak because the iron hand as used by the authoritarian regime in the past New Order has disappeared. Thus, the strong security instruments are needed as a solution, such as the law on anti-terrorism and the police force of anti-terrorism (Densus 88). Second, the cultural approach views violence as caused by the inability of society to build the religious tolerance. Society is considered weak. Religious expression in the political arena is believed as the source of the emergent of intolerant acts. To conquer this, intensive inter-religious dialogues are required. The author argues that those two approaches are not adequate. The historical fact shows that the emergence of political Islam today is the result of the oscillated relationship between Islam and the authoritarian state during the New Order period. In addition, the Indonesian historical experience also clearly illustrates that the presence of political Islam is nothing but a form of response to the critical social-politicaleconomic situation. Political Islam does not appear in a vacuum, but it emerges from the crisis where another populist response from the left is absent. Tulisan ini berupaya memahami mengapa kekerasan agama meningkat di Indonesia pasca Orde Baru. Selama ini, ada dua pandangan dominan dalam memahami persoalan di atas. Pertama, pendekatan keamanan yang memandang kekerasan agama sebagai hasil dari munculnya agen Islam politik yang radikal dalam arena politik yang semakin terbuka. Dalam konteks ini, negara dianggap lemah karena kehilangan tangan besinya seperti yang sebelumnya digunakan oleh rezim otoriter Orde Baru. Konsekuensinya, dibutuhkan negara yang kuat dengan membentuk instrumen-instrumen keamanan semacam undang-undang anti-terorisme dan satuan khusus kepolisian anti-teror. Kedua, pendekatan kultural yang melihat meningkatnya kekerasan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat dalam membangun toleransi keagamaan. Dengan kata lain, masyarakat dianggap lemah. Solusinya, dibutuhkan dialog antar-agama yang intensif. Menurut penulis, dua pendekatan tersebut kurang memadai dalam memahami meningkatnya kekerasan agama pasca-Orde Baru. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam politik merupakan hasil dari hubungan yang fluktuatif antara Islam dan negara sepanjang Orde Baru. Dan, kehadiran eksponen Islam politik juga merupakan bentuk respon terhadap situasi sosial-ekonomi-politik. Artinya, Islam politik tidak hadir dalam ruang kosong, melainkan muncul sebagai respon terhadap krisis di tengah absennya respon populis lain dari kelompok kiri.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"20 1","pages":"1-22"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2016-01-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V20I1.4796","citationCount":"6","resultStr":"{\"title\":\"Political Islam and Religious Violence in Post-New Order Indonesia\",\"authors\":\"Abdil Mughis Mudhoffir\",\"doi\":\"10.7454/MJS.V20I1.4796\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"This paper tries to understand why religious violence increasingly occurs in post-New Order Indonesia. There are two dominant views in understanding this. First, the security approach that perceives the violence as a result of the emergent of “radical” agent of political Islam in the more open political space. In this regard, the state is considered weak because the iron hand as used by the authoritarian regime in the past New Order has disappeared. Thus, the strong security instruments are needed as a solution, such as the law on anti-terrorism and the police force of anti-terrorism (Densus 88). Second, the cultural approach views violence as caused by the inability of society to build the religious tolerance. Society is considered weak. Religious expression in the political arena is believed as the source of the emergent of intolerant acts. To conquer this, intensive inter-religious dialogues are required. The author argues that those two approaches are not adequate. The historical fact shows that the emergence of political Islam today is the result of the oscillated relationship between Islam and the authoritarian state during the New Order period. In addition, the Indonesian historical experience also clearly illustrates that the presence of political Islam is nothing but a form of response to the critical social-politicaleconomic situation. Political Islam does not appear in a vacuum, but it emerges from the crisis where another populist response from the left is absent. Tulisan ini berupaya memahami mengapa kekerasan agama meningkat di Indonesia pasca Orde Baru. Selama ini, ada dua pandangan dominan dalam memahami persoalan di atas. Pertama, pendekatan keamanan yang memandang kekerasan agama sebagai hasil dari munculnya agen Islam politik yang radikal dalam arena politik yang semakin terbuka. Dalam konteks ini, negara dianggap lemah karena kehilangan tangan besinya seperti yang sebelumnya digunakan oleh rezim otoriter Orde Baru. Konsekuensinya, dibutuhkan negara yang kuat dengan membentuk instrumen-instrumen keamanan semacam undang-undang anti-terorisme dan satuan khusus kepolisian anti-teror. Kedua, pendekatan kultural yang melihat meningkatnya kekerasan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat dalam membangun toleransi keagamaan. Dengan kata lain, masyarakat dianggap lemah. Solusinya, dibutuhkan dialog antar-agama yang intensif. Menurut penulis, dua pendekatan tersebut kurang memadai dalam memahami meningkatnya kekerasan agama pasca-Orde Baru. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam politik merupakan hasil dari hubungan yang fluktuatif antara Islam dan negara sepanjang Orde Baru. Dan, kehadiran eksponen Islam politik juga merupakan bentuk respon terhadap situasi sosial-ekonomi-politik. Artinya, Islam politik tidak hadir dalam ruang kosong, melainkan muncul sebagai respon terhadap krisis di tengah absennya respon populis lain dari kelompok kiri.\",\"PeriodicalId\":31129,\"journal\":{\"name\":\"Masyarakat Jurnal Sosiologi\",\"volume\":\"20 1\",\"pages\":\"1-22\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2016-01-01\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V20I1.4796\",\"citationCount\":\"6\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Masyarakat Jurnal Sosiologi\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.7454/MJS.V20I1.4796\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.7454/MJS.V20I1.4796","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 6
摘要
本文试图理解为什么宗教暴力在新秩序后的印尼越来越多地发生。在理解这一点上有两种主要观点。首先,将暴力视为政治伊斯兰“激进”代理人在更开放的政治空间中出现的结果的安全方法。在这一点上,国家被认为是软弱的,因为在过去的“新秩序”中,独裁政权使用的铁腕已经消失。因此,需要强有力的安全手段作为解决方案,例如反恐法和反恐警察部队(Densus 88)。第二,文化视角认为暴力是由于社会无法建立宗教宽容造成的。社会被认为是脆弱的。政治舞台上的宗教表达被认为是出现不宽容行为的根源。为了克服这一点,需要进行密集的宗教间对话。作者认为,这两种方法是不充分的。历史事实表明,今天政治伊斯兰的出现,是新秩序时期伊斯兰与专制国家关系摇摆不定的结果。此外,印尼的历史经验也清楚地表明,政治伊斯兰的存在只不过是对危急的社会政治经济形势的一种回应形式。政治伊斯兰不是凭空出现的,而是在危机中出现的,而在危机中,左翼没有另一种民粹主义回应。tuisan ini berupaya memahami mengapa kekerasan agama meningkat di Indonesia pasca Orde Baru。Selama ini, ada dua pandangan dominan dalam memahami个人数据。Pertama, pendekatan keamanan yang memandang kekerasan agama sebagai hasil dari munculnya agen伊斯兰政治yang激进的dalam竞技场政治yang semakin terbuka。Dalam konteks ini, negara dianggap lemah karena kehilangan tangan bessinya sebelumnya digunakan oleh rezim作家Orde Baru。Konsekuensinya, dibutuhkan negara yang kuat dengan membentuk仪器-仪器keamanan semacam undang-undang反恐丹satuan khusus kepolisian反恐。我的意思是,我的文化,我的文化,我的文化,我的文化,我的文化,我的文化。登干卡塔兰,masyarakat dianggap lemah。索卢辛亚,迪布图罕对话,反-反-反-杨激烈。menuut penulis, dua pendekatan tersebut kurang memadai dalam memahami脑膜炎katnya kekerasan agama pasca-Orde Baru。伊斯兰教政治,伊斯兰教政治,伊斯兰教政治,伊斯兰教政治,伊斯兰教政治,伊斯兰教政治Dan, kehadiran eksponen Islam politik juga merupakan bentuk对社会-经济-政治局势的反应。阿廷雅,伊斯兰教的政治人物达迪尔·达拉姆·鲁昂·科松,梅兰坎·穆巴加的反应是,危机的反应是,人民的反应是达德里·克隆波克·基里。
Political Islam and Religious Violence in Post-New Order Indonesia
This paper tries to understand why religious violence increasingly occurs in post-New Order Indonesia. There are two dominant views in understanding this. First, the security approach that perceives the violence as a result of the emergent of “radical” agent of political Islam in the more open political space. In this regard, the state is considered weak because the iron hand as used by the authoritarian regime in the past New Order has disappeared. Thus, the strong security instruments are needed as a solution, such as the law on anti-terrorism and the police force of anti-terrorism (Densus 88). Second, the cultural approach views violence as caused by the inability of society to build the religious tolerance. Society is considered weak. Religious expression in the political arena is believed as the source of the emergent of intolerant acts. To conquer this, intensive inter-religious dialogues are required. The author argues that those two approaches are not adequate. The historical fact shows that the emergence of political Islam today is the result of the oscillated relationship between Islam and the authoritarian state during the New Order period. In addition, the Indonesian historical experience also clearly illustrates that the presence of political Islam is nothing but a form of response to the critical social-politicaleconomic situation. Political Islam does not appear in a vacuum, but it emerges from the crisis where another populist response from the left is absent. Tulisan ini berupaya memahami mengapa kekerasan agama meningkat di Indonesia pasca Orde Baru. Selama ini, ada dua pandangan dominan dalam memahami persoalan di atas. Pertama, pendekatan keamanan yang memandang kekerasan agama sebagai hasil dari munculnya agen Islam politik yang radikal dalam arena politik yang semakin terbuka. Dalam konteks ini, negara dianggap lemah karena kehilangan tangan besinya seperti yang sebelumnya digunakan oleh rezim otoriter Orde Baru. Konsekuensinya, dibutuhkan negara yang kuat dengan membentuk instrumen-instrumen keamanan semacam undang-undang anti-terorisme dan satuan khusus kepolisian anti-teror. Kedua, pendekatan kultural yang melihat meningkatnya kekerasan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat dalam membangun toleransi keagamaan. Dengan kata lain, masyarakat dianggap lemah. Solusinya, dibutuhkan dialog antar-agama yang intensif. Menurut penulis, dua pendekatan tersebut kurang memadai dalam memahami meningkatnya kekerasan agama pasca-Orde Baru. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kemunculan kelompok-kelompok Islam politik merupakan hasil dari hubungan yang fluktuatif antara Islam dan negara sepanjang Orde Baru. Dan, kehadiran eksponen Islam politik juga merupakan bentuk respon terhadap situasi sosial-ekonomi-politik. Artinya, Islam politik tidak hadir dalam ruang kosong, melainkan muncul sebagai respon terhadap krisis di tengah absennya respon populis lain dari kelompok kiri.