在控制与赋权之间:地方政府与印尼阿达特村的承认

IF 0.1 Q4 LAW
Tine Suartina
{"title":"在控制与赋权之间:地方政府与印尼阿达特村的承认","authors":"Tine Suartina","doi":"10.15742/ILREV.V10N3.679","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"The local government’s acknowledgment of adat (customary) communities and adat villages, as regulated in the Village Law 6/2014 , appear to signal an increasing recognition of adat law. However, the current acknowledgment practices and adat village formalizations have become areas of legal contestation between adat communities and state-national and local governments. Despite the resurgence of formal legal pluralism, those acknowledgment and accommodation mechanisms are double-edged. They involve control and empowerment as emphasized in Hellman’s framework applied to analyze the dilemma in a plural society regarding cultural politics. On the one hand, the acknowledgment and accommodation mechanisms conducted through an official process necessitate the fulfillment of a list of requirements set by the government (controlled). Thus, there is a possible drawback for an asymmetrical position between the formal institution (recognition giver) and the community (recognition recipient). Conversely, the mechanisms are used by adat communities as a means to gain the rights of self-determination. Thus, empowerment is realized, because most local acknowledgment regulations include obligations of protection by the state and local governments. This paper discusses the dynamics of legal pluralism in Indonesia using cases of local acknowledgment and adat village institutionalization in which adat law becomes an element in formalizing the communities’ existence and adat village format. However, a question remains regarding whether the central position of adat law in such a mechanism is merely applied to fulfill the acknowledgment and accommodation requirement or whether it actually strengthens its capacity. \n \nAbstrak \nPengakuan Pemerintah Daerah atas masyarakat adat dan desa adat, sebagaimana diatur melalui Undang-undang Desa Nomor 6/2014, seperti menandakan semakin meningkatnya pengakuan terhadap hukum adat. Namun, praktik pengakuan pemerintah dan formalisasi desa adat saat ini merupakan arena kontestasi dalam bidang hukum antara pemerintah negara bagian dan nasional, dan masyarakat adat. Terlepas dari menguatnya pluralisme hukum secara formal, pengakuan dan mekanisme akomodasi tersebut memiliki dua sisi, kontrol dan pemberdayaan sebagaimana ditekankan oleh Hellman untuk menganalisis dilema dalam masyarakat plural dalam politik kebudayaan. Di satu sisi, mekanisme pengakuan dan akomodasi yang dilakukan melalui proses resmi mensyaratkan pemenuhan sejumlah persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah (kontrol); karena itu, memiliki potensi terjadinya posisi asimetris antara lembaga formal (pemberi pengakuan) dan masyarakat (penerima pengakuan). Sebaliknya, mekanisme-mekanisme tersebut juga digunakan oleh masyarakat adat sebagai alat untuk memperoleh hak penentuan nasib sendiri. Untuk itu, aspek pemberdayaan disertakan dalam sebagian besar peraturan pengakuan di daerah termasuk kewajiban perlindungan oleh negara dan pemerintah daerah. Tulisan ini mendiskusikan dinamika pluralisme hukum di Indonesia melalui kasus-kasus pengakuan daerah dan pelembagaan desa adat, di mana hukum adat menjadi elemen dalam formalisasi keberadaan masyarakat dan format desa adat. Pertanyaannya adalah apakah posisi sentral hukum adat dalam mekanisme tersebut sesuai dengan penguatan kapasitasnya, atau apakah hanya diterapkan untuk memenuhi persyaratan pengakuan dan akomodasi.","PeriodicalId":13484,"journal":{"name":"Indonesia Law Review","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.1000,"publicationDate":"2020-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"Between Control and Empowerment: Local Government and Acknowledgement of Adat Villages in Indonesia\",\"authors\":\"Tine Suartina\",\"doi\":\"10.15742/ILREV.V10N3.679\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"The local government’s acknowledgment of adat (customary) communities and adat villages, as regulated in the Village Law 6/2014 , appear to signal an increasing recognition of adat law. However, the current acknowledgment practices and adat village formalizations have become areas of legal contestation between adat communities and state-national and local governments. Despite the resurgence of formal legal pluralism, those acknowledgment and accommodation mechanisms are double-edged. They involve control and empowerment as emphasized in Hellman’s framework applied to analyze the dilemma in a plural society regarding cultural politics. On the one hand, the acknowledgment and accommodation mechanisms conducted through an official process necessitate the fulfillment of a list of requirements set by the government (controlled). Thus, there is a possible drawback for an asymmetrical position between the formal institution (recognition giver) and the community (recognition recipient). Conversely, the mechanisms are used by adat communities as a means to gain the rights of self-determination. Thus, empowerment is realized, because most local acknowledgment regulations include obligations of protection by the state and local governments. This paper discusses the dynamics of legal pluralism in Indonesia using cases of local acknowledgment and adat village institutionalization in which adat law becomes an element in formalizing the communities’ existence and adat village format. However, a question remains regarding whether the central position of adat law in such a mechanism is merely applied to fulfill the acknowledgment and accommodation requirement or whether it actually strengthens its capacity. \\n \\nAbstrak \\nPengakuan Pemerintah Daerah atas masyarakat adat dan desa adat, sebagaimana diatur melalui Undang-undang Desa Nomor 6/2014, seperti menandakan semakin meningkatnya pengakuan terhadap hukum adat. Namun, praktik pengakuan pemerintah dan formalisasi desa adat saat ini merupakan arena kontestasi dalam bidang hukum antara pemerintah negara bagian dan nasional, dan masyarakat adat. Terlepas dari menguatnya pluralisme hukum secara formal, pengakuan dan mekanisme akomodasi tersebut memiliki dua sisi, kontrol dan pemberdayaan sebagaimana ditekankan oleh Hellman untuk menganalisis dilema dalam masyarakat plural dalam politik kebudayaan. Di satu sisi, mekanisme pengakuan dan akomodasi yang dilakukan melalui proses resmi mensyaratkan pemenuhan sejumlah persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah (kontrol); karena itu, memiliki potensi terjadinya posisi asimetris antara lembaga formal (pemberi pengakuan) dan masyarakat (penerima pengakuan). Sebaliknya, mekanisme-mekanisme tersebut juga digunakan oleh masyarakat adat sebagai alat untuk memperoleh hak penentuan nasib sendiri. Untuk itu, aspek pemberdayaan disertakan dalam sebagian besar peraturan pengakuan di daerah termasuk kewajiban perlindungan oleh negara dan pemerintah daerah. Tulisan ini mendiskusikan dinamika pluralisme hukum di Indonesia melalui kasus-kasus pengakuan daerah dan pelembagaan desa adat, di mana hukum adat menjadi elemen dalam formalisasi keberadaan masyarakat dan format desa adat. Pertanyaannya adalah apakah posisi sentral hukum adat dalam mekanisme tersebut sesuai dengan penguatan kapasitasnya, atau apakah hanya diterapkan untuk memenuhi persyaratan pengakuan dan akomodasi.\",\"PeriodicalId\":13484,\"journal\":{\"name\":\"Indonesia Law Review\",\"volume\":null,\"pages\":null},\"PeriodicalIF\":0.1000,\"publicationDate\":\"2020-12-31\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Indonesia Law Review\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.15742/ILREV.V10N3.679\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"Q4\",\"JCRName\":\"LAW\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Indonesia Law Review","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.15742/ILREV.V10N3.679","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"Q4","JCRName":"LAW","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0

摘要

根据2014年6月《乡村法》的规定,地方政府对阿达特(习惯)社区和阿达特村庄的承认似乎标志着对阿达特法律的日益认可。然而,目前的承认做法和阿达特村的正式化已成为阿达特社区与州国家和地方政府之间法律争论的领域。尽管正式的法律多元化死灰复燃,但这些承认和调解机制是双刃剑。它们涉及赫尔曼框架中强调的控制和赋权,该框架用于分析多元社会中关于文化政治的困境。一方面,通过官方程序进行的承认和调解机制需要满足政府(受控)制定的一系列要求。因此,正式机构(承认给予者)和社区(承认接受者)之间的不对称地位可能存在缺陷。相反,这些机制被阿达特社区用作获得自决权的手段。因此,赋权得以实现,因为大多数地方承认条例都包括州和地方政府的保护义务。本文通过地方承认和阿达特村制度化的案例讨论了印度尼西亚法律多元化的动态,在这些案例中,阿达特法成为正式确定社区存在和阿达特村庄形式的一个要素。然而,关于adat法在这种机制中的核心地位是否只是为了满足承认和通融要求,或者它是否真的加强了其能力,仍然存在一个问题。第6/2014号村庄法规定的地区政府对习惯社区和习惯村庄的忏悔,这表明人们越来越认可习惯法。然而,政府承认和正式化习惯村的做法现在是州政府和国家政府以及习惯社会之间的一个有争议的法律领域。赫尔曼在分析多元社会文化政策困境时强调,承认和容纳机制除了形式上加强法律的多元性外,还具有控制和独立两个方面。一方面,通过官方程序实施的承认和便利机制需要满足政府规定的一些条件(控制);因此,有可能在正式机构和公众之间变得不对称。相反,这些机制也被习惯社会用作获得决定自己命运的权利的工具。为此,该地区的主权在很大程度上包含在该地区的承认规则中,包括国家和政府的保护义务。它通过地方承认和海关村发展的案例讨论了印度尼西亚法律多元化的动态,在这些案例中,海关法成为社会存在和海关村形式形式化的一个要素。问题是法律在该机制中的核心地位是否与其能力建设相一致,或者它是否只是为了满足承认和通融的条件而适用。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
Between Control and Empowerment: Local Government and Acknowledgement of Adat Villages in Indonesia
The local government’s acknowledgment of adat (customary) communities and adat villages, as regulated in the Village Law 6/2014 , appear to signal an increasing recognition of adat law. However, the current acknowledgment practices and adat village formalizations have become areas of legal contestation between adat communities and state-national and local governments. Despite the resurgence of formal legal pluralism, those acknowledgment and accommodation mechanisms are double-edged. They involve control and empowerment as emphasized in Hellman’s framework applied to analyze the dilemma in a plural society regarding cultural politics. On the one hand, the acknowledgment and accommodation mechanisms conducted through an official process necessitate the fulfillment of a list of requirements set by the government (controlled). Thus, there is a possible drawback for an asymmetrical position between the formal institution (recognition giver) and the community (recognition recipient). Conversely, the mechanisms are used by adat communities as a means to gain the rights of self-determination. Thus, empowerment is realized, because most local acknowledgment regulations include obligations of protection by the state and local governments. This paper discusses the dynamics of legal pluralism in Indonesia using cases of local acknowledgment and adat village institutionalization in which adat law becomes an element in formalizing the communities’ existence and adat village format. However, a question remains regarding whether the central position of adat law in such a mechanism is merely applied to fulfill the acknowledgment and accommodation requirement or whether it actually strengthens its capacity. Abstrak Pengakuan Pemerintah Daerah atas masyarakat adat dan desa adat, sebagaimana diatur melalui Undang-undang Desa Nomor 6/2014, seperti menandakan semakin meningkatnya pengakuan terhadap hukum adat. Namun, praktik pengakuan pemerintah dan formalisasi desa adat saat ini merupakan arena kontestasi dalam bidang hukum antara pemerintah negara bagian dan nasional, dan masyarakat adat. Terlepas dari menguatnya pluralisme hukum secara formal, pengakuan dan mekanisme akomodasi tersebut memiliki dua sisi, kontrol dan pemberdayaan sebagaimana ditekankan oleh Hellman untuk menganalisis dilema dalam masyarakat plural dalam politik kebudayaan. Di satu sisi, mekanisme pengakuan dan akomodasi yang dilakukan melalui proses resmi mensyaratkan pemenuhan sejumlah persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah (kontrol); karena itu, memiliki potensi terjadinya posisi asimetris antara lembaga formal (pemberi pengakuan) dan masyarakat (penerima pengakuan). Sebaliknya, mekanisme-mekanisme tersebut juga digunakan oleh masyarakat adat sebagai alat untuk memperoleh hak penentuan nasib sendiri. Untuk itu, aspek pemberdayaan disertakan dalam sebagian besar peraturan pengakuan di daerah termasuk kewajiban perlindungan oleh negara dan pemerintah daerah. Tulisan ini mendiskusikan dinamika pluralisme hukum di Indonesia melalui kasus-kasus pengakuan daerah dan pelembagaan desa adat, di mana hukum adat menjadi elemen dalam formalisasi keberadaan masyarakat dan format desa adat. Pertanyaannya adalah apakah posisi sentral hukum adat dalam mekanisme tersebut sesuai dengan penguatan kapasitasnya, atau apakah hanya diterapkan untuk memenuhi persyaratan pengakuan dan akomodasi.
求助全文
通过发布文献求助,成功后即可免费获取论文全文。 去求助
来源期刊
CiteScore
0.80
自引率
0.00%
发文量
0
审稿时长
14 weeks
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:481959085
Book学术官方微信