巴厘岛阿达特社区话语中的自我认同与再定位

I. W. Suyadnya
{"title":"巴厘岛阿达特社区话语中的自我认同与再定位","authors":"I. W. Suyadnya","doi":"10.7454/MJS.V24I1.10183","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstrak Bersama dengan agama Hindu dan budaya, adat dianggap sebagai karakteristik yang kuat untuk menggambarkan kadar kebalian (jati diri) orang Bali. Adat muncul sebagai kontrol bagi munculnya masalah-masalah sosial, agama, dan budaya. Pada praktiknya adat juga menunjukkan dominasi yang kuat untuk mendisiplinkan masyarakatnya untuk selalu patuh pada regulasi negara. Namun, wacana tentang adat juga memberikan gambaran bagaimana adat dapat digunakan sebagai strategi pembeda dalam praktik-praktik adat keseharian. Mengambil studi etnografi di Tenganan Pegringsingan, suatu komunitas di dalam pustaka kolonial sering disebut dengan Bali Aga, artikel ini menginvestigasi bagaimana adat dibentuk dan digunakan untuk mendefinisikan identitas dan mereposisi diri mereka dalam wacana dominan Bali selatan. Artikel ini menantang asumsi umum yang menyebutkan bahwa pasca-Reformasi, gerakan kebangkitan adat dilakukan untuk mencapai pengakuan dan mendapatkan proteksi dari negara. Artikel ini justru menunjukkan bahwa gerakan adat yang ada di Bali cenderung keluar dari pakem gerakan adat internasional. Gerakan adat yang dibangun tidak memiliki korelasi dengan gerakan masyarakat adat global. Artikel ini berargumentasi bahwa orang Tenganan hanya memanfaatkan strategi identifikasi diri untuk menegaskan perbedaan posisi kelompok mereka di Bali. Abstract Along with Hinduism ( agama ) and culture ( budaya ), adat is recognized as a strong characteristic to describe the level of kebalian . Adat appears as a control for the emergence of social, religious, and cultural problems. In practice, it also shows a strong dominance to discipline members of community to adhere to state regulations. However, the discourse on adat also provides an illustration of how adat can be used as a differentiating strategy in everyday customary practices. In performing an ethnographic study in Tenganan Pegringsingan, a community that in colonial literature is referred as “Bali Aga”, this article investigates how adat is shaped and deployed by various actors to define their identity and reposition themselves in the dominant discourse of southern Bali. This article challenges the general assumption that after the Reformation, the adat revival movement was carried out to achieve recognition and gain protection from the state. This article instead shows that the indigenous movement in Bali tend to come out of the grip of the global indigenous movement. The movement that was constructed does not correlate with the global indigenous movement. The article argues that the Tenganan people only used self-identification strategies to emphasize the differences in their group's position in Bali.","PeriodicalId":31129,"journal":{"name":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","volume":"7 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-05-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V24I1.10183","citationCount":"5","resultStr":"{\"title\":\"Self-Identification and Repositioning of the Tengananese in the Discourse of Adat Community in Bali\",\"authors\":\"I. W. Suyadnya\",\"doi\":\"10.7454/MJS.V24I1.10183\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Abstrak Bersama dengan agama Hindu dan budaya, adat dianggap sebagai karakteristik yang kuat untuk menggambarkan kadar kebalian (jati diri) orang Bali. Adat muncul sebagai kontrol bagi munculnya masalah-masalah sosial, agama, dan budaya. Pada praktiknya adat juga menunjukkan dominasi yang kuat untuk mendisiplinkan masyarakatnya untuk selalu patuh pada regulasi negara. Namun, wacana tentang adat juga memberikan gambaran bagaimana adat dapat digunakan sebagai strategi pembeda dalam praktik-praktik adat keseharian. Mengambil studi etnografi di Tenganan Pegringsingan, suatu komunitas di dalam pustaka kolonial sering disebut dengan Bali Aga, artikel ini menginvestigasi bagaimana adat dibentuk dan digunakan untuk mendefinisikan identitas dan mereposisi diri mereka dalam wacana dominan Bali selatan. Artikel ini menantang asumsi umum yang menyebutkan bahwa pasca-Reformasi, gerakan kebangkitan adat dilakukan untuk mencapai pengakuan dan mendapatkan proteksi dari negara. Artikel ini justru menunjukkan bahwa gerakan adat yang ada di Bali cenderung keluar dari pakem gerakan adat internasional. Gerakan adat yang dibangun tidak memiliki korelasi dengan gerakan masyarakat adat global. Artikel ini berargumentasi bahwa orang Tenganan hanya memanfaatkan strategi identifikasi diri untuk menegaskan perbedaan posisi kelompok mereka di Bali. Abstract Along with Hinduism ( agama ) and culture ( budaya ), adat is recognized as a strong characteristic to describe the level of kebalian . Adat appears as a control for the emergence of social, religious, and cultural problems. In practice, it also shows a strong dominance to discipline members of community to adhere to state regulations. However, the discourse on adat also provides an illustration of how adat can be used as a differentiating strategy in everyday customary practices. In performing an ethnographic study in Tenganan Pegringsingan, a community that in colonial literature is referred as “Bali Aga”, this article investigates how adat is shaped and deployed by various actors to define their identity and reposition themselves in the dominant discourse of southern Bali. This article challenges the general assumption that after the Reformation, the adat revival movement was carried out to achieve recognition and gain protection from the state. This article instead shows that the indigenous movement in Bali tend to come out of the grip of the global indigenous movement. The movement that was constructed does not correlate with the global indigenous movement. The article argues that the Tenganan people only used self-identification strategies to emphasize the differences in their group's position in Bali.\",\"PeriodicalId\":31129,\"journal\":{\"name\":\"Masyarakat Jurnal Sosiologi\",\"volume\":\"7 4\",\"pages\":\"\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2019-05-24\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"https://sci-hub-pdf.com/10.7454/MJS.V24I1.10183\",\"citationCount\":\"5\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Masyarakat Jurnal Sosiologi\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.7454/MJS.V24I1.10183\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Masyarakat Jurnal Sosiologi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.7454/MJS.V24I1.10183","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 5

摘要

抽象,再加上印度教和文化,传统被认为是描述巴厘岛人的善良程度的强大特征。习俗似乎是对社会、宗教和文化问题出现的控制。在实践中,风俗也表现出强烈的统治力,约束社会永远遵守国家规定。然而,关于风俗的论述也说明了风俗习惯如何被用作一种超然的策略。研究殖民图书馆中经常被称为巴厘岛的民族主义研究,这篇文章调查了习俗是如何形成并被用来在巴厘岛南部的主导论述中定义和重新确立自己的身份的。这篇文章挑战了改革后传统觉醒运动为获得国家的承认和保护而进行的一种普遍假设。相反,这篇文章指出,巴厘岛的传统运动倾向于超越国际传统运动。建立的部落运动与全球部落运动无关。这篇文章认为,冷静的人只是利用他们的自我认同策略来强调他们在巴厘岛的不同地位。随着印度教和文化的消失,风俗习惯被认为是一种强大的特点,可以描述犯罪的水平。文化呼吁是对社会、宗教和文化问题的卓越控制。在实际情况下,它还表现出一种强烈的统治,使社区成员来到这里监管。However,这篇关于海关的论述也提供了一种对海关如何使用的不同策略的说明。这篇文章提到了“巴厘岛·迦”(Bali Aga)的社区,这篇文章的目的是用不同的演员如何在巴厘岛南部的统治下定义自己的身份和位置。这一项挑战是在改革之后普遍存在的问题,复兴运动的习俗被考虑实现实现,从而获得国家的保护。这篇文章没有展示巴厘岛固有的运动是如何摆脱对全球不可抗拒的运动的控制的。其设计的运动与全球不可逆转的运动无关。这篇文章认为,人们担心的只是利用自我认同的策略来强调他们在巴厘岛的立场上的不同之处。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
Self-Identification and Repositioning of the Tengananese in the Discourse of Adat Community in Bali
Abstrak Bersama dengan agama Hindu dan budaya, adat dianggap sebagai karakteristik yang kuat untuk menggambarkan kadar kebalian (jati diri) orang Bali. Adat muncul sebagai kontrol bagi munculnya masalah-masalah sosial, agama, dan budaya. Pada praktiknya adat juga menunjukkan dominasi yang kuat untuk mendisiplinkan masyarakatnya untuk selalu patuh pada regulasi negara. Namun, wacana tentang adat juga memberikan gambaran bagaimana adat dapat digunakan sebagai strategi pembeda dalam praktik-praktik adat keseharian. Mengambil studi etnografi di Tenganan Pegringsingan, suatu komunitas di dalam pustaka kolonial sering disebut dengan Bali Aga, artikel ini menginvestigasi bagaimana adat dibentuk dan digunakan untuk mendefinisikan identitas dan mereposisi diri mereka dalam wacana dominan Bali selatan. Artikel ini menantang asumsi umum yang menyebutkan bahwa pasca-Reformasi, gerakan kebangkitan adat dilakukan untuk mencapai pengakuan dan mendapatkan proteksi dari negara. Artikel ini justru menunjukkan bahwa gerakan adat yang ada di Bali cenderung keluar dari pakem gerakan adat internasional. Gerakan adat yang dibangun tidak memiliki korelasi dengan gerakan masyarakat adat global. Artikel ini berargumentasi bahwa orang Tenganan hanya memanfaatkan strategi identifikasi diri untuk menegaskan perbedaan posisi kelompok mereka di Bali. Abstract Along with Hinduism ( agama ) and culture ( budaya ), adat is recognized as a strong characteristic to describe the level of kebalian . Adat appears as a control for the emergence of social, religious, and cultural problems. In practice, it also shows a strong dominance to discipline members of community to adhere to state regulations. However, the discourse on adat also provides an illustration of how adat can be used as a differentiating strategy in everyday customary practices. In performing an ethnographic study in Tenganan Pegringsingan, a community that in colonial literature is referred as “Bali Aga”, this article investigates how adat is shaped and deployed by various actors to define their identity and reposition themselves in the dominant discourse of southern Bali. This article challenges the general assumption that after the Reformation, the adat revival movement was carried out to achieve recognition and gain protection from the state. This article instead shows that the indigenous movement in Bali tend to come out of the grip of the global indigenous movement. The movement that was constructed does not correlate with the global indigenous movement. The article argues that the Tenganan people only used self-identification strategies to emphasize the differences in their group's position in Bali.
求助全文
通过发布文献求助,成功后即可免费获取论文全文。 去求助
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
5
审稿时长
12 weeks
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:481959085
Book学术官方微信