重新解读哈达在运动中的思想:伊斯兰与民族主义之间

Rian Wahyudin
{"title":"重新解读哈达在运动中的思想:伊斯兰与民族主义之间","authors":"Rian Wahyudin","doi":"10.15408/mimbar.v38i1.21005","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstract. This article reviews the perspectives of Mohammad Hatta as one of the Indonesian founding fathers in regards between Islam and nationalism.  Many scholars, historians, and intellectuals have deemed that Hatta was a secular nationalist who separated national propositions from religious values.  Whereas, on the contrary, both his actions and thoughts were in line with the noble of Islamic values, not only when he wanted to establish the Indonesian Islamic Democratic Party in 1967 with several other activists such as alumni of Islamic Students Association (HMI), PII, the Indonesian Islamic Syarikat Party, and Nahdlatul Ulama (NU) figures, but also Hatta's Islamic integrity already seen during the movement, when he was active in both the Indonesian Association (PI) organization in 1921-1930 and the Indonesian National Education (PNI Baru) in 1931-1932. For instance, Hatta proposed his thoughts on peace, which he took from Qur’an surah al-Fatihah verse two.  According to him, the concept of peace is the highest law in Islam; therefore, every free nation must uphold peace. He continued, the statement \"God is the Most Gracious and Most Merciful\" must be applied to create security and convenience among human beings. In February 1927, while serving as the administrator of the Indonesian Association in the Netherlands, Hatta and Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja, and Abdul Manaf were serving as the administrator of the Indonesian Association became delegators at the presidium meeting \"Congress Against Imperialism and Colonial Oppression.\"  This event was organized by the “League Against Imperialism and for National Independence” in Brussels, Belgium.  There Hatta and his fellows sat on a par with delegates from other countries such as Chen Kuen and Liau Hansen (China), Roger Baldwin (United States), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg and Georg Ledebour (Germany), and several delegates from France, Belgium, Latin America, England, and Czechoslovakia to oppose all forms of oppression and demand the independence of Indonesia and other occupied countries to achieve world peace.  Moreover, the identity of  Mohammad Hatta is known well as a figure who came from a family of well-known merchants and scholars in Minang, coupled with his expertise in associating with nationalist figures, made Islamic integrity not appeared by attributive religious symbols, but rather by his behavior, thoughts, and attitudes in everyday life. Abstrak. Artikel ini mengulas tentang pemikiran salah satu bapak bangsa, Mohammad Hatta mengenai hubungan antara Islam dan nasonalisme. Banyak Sarjana, Sejarawan dan Cendikiawan masih menganggap bahwa Bung Hatta adalah seorang nasionalis sekuler, memisahkan soal-soal kebangsaan dari ajaran agama. Tindak-tanduk bahkan pemikirannya malah sejurus dengan nilai-nilai luhur Islam, bukan hanya saat dirinya dan beberapa aktivis lain seperti alumni HMI, PII, Partai Syarikat Islam Indonesia dan tokoh NU yang hendak mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1967, keberislaman Bung Hatta justru sudah terlihat pada masa pergerakan baik saat aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1921-1930 maupun di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) tahun 1931-1932. Pemikirannya tentang perdamaian misalnya Hatta justru mengambilnya dari Surat al-Fatihah ayat dua. Konsep damai menurutnya hukum yang paling tinggi dalam Islam, oleh karenanya tiap-tiap bangsa yang merdeka harus menjunjung tinggi perdamaian. Menurutnya, “Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang” itu harus diamalkan agar tercipta keamanan dan kenyamanan antar sesama umat manusia. Pada bulan Februari 1927 saat menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, Bung Hatta bersama Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf menjadi delegator pada rapat presidium “Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh “Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan nasional” di Brussel, Belgia. Di sana Hatta dan kawan-kawan duduk sejajar dengan delegator dari negara lain seperti Chen Kuen dan Liau Hansin, (China), Roger Baldwin (Amerika Serikat), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg dan Georg Ledebour (Jerman), dan beberapa utusan lain dari Prancis, Belgia, Amerika Latin, Inggris dan Cekoslovakia untuk menentang segala bentuk penindasan dan menuntut kemerdekaan negara Indonesia dan negara lainnya yang sedang dijajah agar terwujudnya perdamaian dunia. Jati diri Bung Hatta yang berasal dari keluarga saudagar dan ulama masyhur di Ranah Minang ditambah dengan kepiawaiannya dalam bergaul dengan tokoh-tokoh nasionalis membuat corak keberislaman Hatta tidak ditonjolkan dengan simbol-simbol agama yang atributif, melainkan ditonjolkan dengan tingkah laku, pemikiran dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. ","PeriodicalId":190687,"journal":{"name":"Mimbar Agama Budaya","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-06-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"RE-READING HATTA'S THINKING IN MOVEMENT: BETWEEN ISLAM AND NATIONALISM\",\"authors\":\"Rian Wahyudin\",\"doi\":\"10.15408/mimbar.v38i1.21005\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Abstract. This article reviews the perspectives of Mohammad Hatta as one of the Indonesian founding fathers in regards between Islam and nationalism.  Many scholars, historians, and intellectuals have deemed that Hatta was a secular nationalist who separated national propositions from religious values.  Whereas, on the contrary, both his actions and thoughts were in line with the noble of Islamic values, not only when he wanted to establish the Indonesian Islamic Democratic Party in 1967 with several other activists such as alumni of Islamic Students Association (HMI), PII, the Indonesian Islamic Syarikat Party, and Nahdlatul Ulama (NU) figures, but also Hatta's Islamic integrity already seen during the movement, when he was active in both the Indonesian Association (PI) organization in 1921-1930 and the Indonesian National Education (PNI Baru) in 1931-1932. For instance, Hatta proposed his thoughts on peace, which he took from Qur’an surah al-Fatihah verse two.  According to him, the concept of peace is the highest law in Islam; therefore, every free nation must uphold peace. He continued, the statement \\\"God is the Most Gracious and Most Merciful\\\" must be applied to create security and convenience among human beings. In February 1927, while serving as the administrator of the Indonesian Association in the Netherlands, Hatta and Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja, and Abdul Manaf were serving as the administrator of the Indonesian Association became delegators at the presidium meeting \\\"Congress Against Imperialism and Colonial Oppression.\\\"  This event was organized by the “League Against Imperialism and for National Independence” in Brussels, Belgium.  There Hatta and his fellows sat on a par with delegates from other countries such as Chen Kuen and Liau Hansen (China), Roger Baldwin (United States), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg and Georg Ledebour (Germany), and several delegates from France, Belgium, Latin America, England, and Czechoslovakia to oppose all forms of oppression and demand the independence of Indonesia and other occupied countries to achieve world peace.  Moreover, the identity of  Mohammad Hatta is known well as a figure who came from a family of well-known merchants and scholars in Minang, coupled with his expertise in associating with nationalist figures, made Islamic integrity not appeared by attributive religious symbols, but rather by his behavior, thoughts, and attitudes in everyday life. Abstrak. Artikel ini mengulas tentang pemikiran salah satu bapak bangsa, Mohammad Hatta mengenai hubungan antara Islam dan nasonalisme. Banyak Sarjana, Sejarawan dan Cendikiawan masih menganggap bahwa Bung Hatta adalah seorang nasionalis sekuler, memisahkan soal-soal kebangsaan dari ajaran agama. Tindak-tanduk bahkan pemikirannya malah sejurus dengan nilai-nilai luhur Islam, bukan hanya saat dirinya dan beberapa aktivis lain seperti alumni HMI, PII, Partai Syarikat Islam Indonesia dan tokoh NU yang hendak mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1967, keberislaman Bung Hatta justru sudah terlihat pada masa pergerakan baik saat aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1921-1930 maupun di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) tahun 1931-1932. Pemikirannya tentang perdamaian misalnya Hatta justru mengambilnya dari Surat al-Fatihah ayat dua. Konsep damai menurutnya hukum yang paling tinggi dalam Islam, oleh karenanya tiap-tiap bangsa yang merdeka harus menjunjung tinggi perdamaian. Menurutnya, “Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang” itu harus diamalkan agar tercipta keamanan dan kenyamanan antar sesama umat manusia. Pada bulan Februari 1927 saat menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, Bung Hatta bersama Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf menjadi delegator pada rapat presidium “Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh “Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan nasional” di Brussel, Belgia. Di sana Hatta dan kawan-kawan duduk sejajar dengan delegator dari negara lain seperti Chen Kuen dan Liau Hansin, (China), Roger Baldwin (Amerika Serikat), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg dan Georg Ledebour (Jerman), dan beberapa utusan lain dari Prancis, Belgia, Amerika Latin, Inggris dan Cekoslovakia untuk menentang segala bentuk penindasan dan menuntut kemerdekaan negara Indonesia dan negara lainnya yang sedang dijajah agar terwujudnya perdamaian dunia. Jati diri Bung Hatta yang berasal dari keluarga saudagar dan ulama masyhur di Ranah Minang ditambah dengan kepiawaiannya dalam bergaul dengan tokoh-tokoh nasionalis membuat corak keberislaman Hatta tidak ditonjolkan dengan simbol-simbol agama yang atributif, melainkan ditonjolkan dengan tingkah laku, pemikiran dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. \",\"PeriodicalId\":190687,\"journal\":{\"name\":\"Mimbar Agama Budaya\",\"volume\":\"24 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2021-06-13\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Mimbar Agama Budaya\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.15408/mimbar.v38i1.21005\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Mimbar Agama Budaya","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.15408/mimbar.v38i1.21005","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0

摘要

摘要本文回顾了印尼国父之一穆罕默德·哈达在伊斯兰教与民族主义之间的观点。许多学者、历史学家和知识分子认为八田是一个将国家主张与宗教价值分离的世俗民族主义者。然而,相反,他的行为和思想都符合伊斯兰价值观的崇高,不仅在1967年他想与伊斯兰学生协会(HMI)、PII、印度尼西亚伊斯兰教神学党(Indonesian Islamic Syarikat Party)和伊斯兰教士联合会(Nahdlatul Ulama)的校友等其他几位积极分子建立印度尼西亚伊斯兰民主党时,而且在运动中已经看到了哈达的伊斯兰诚信。1921年至1930年,他活跃于印度尼西亚协会组织(PI), 1931年至1932年,他活跃于印度尼西亚国民教育组织(PNI Baru)。例如,哈达提出了他对和平的看法,这是他从《古兰经》法提哈章第二节中得到的。在他看来,和平的概念是伊斯兰教的最高法则;因此,每一个自由国家都必须维护和平。他接着说,“上帝是最仁慈、最仁慈的”这句话必须应用于为人类创造安全和便利。1927年2月,哈达和纳齐尔·帕蒙贾克、艾哈迈德·苏巴尔乔、加托·塔鲁米哈贾、阿卜杜勒·马纳夫在荷兰担任印度尼西亚协会的行政长官期间,成为“反对帝国主义和殖民压迫大会”主席团会议的代表。这次活动是由比利时布鲁塞尔的“反帝国主义和争取民族独立联盟”组织的。在那里,哈达和他的同伴们与来自其他国家的代表,如陈权和刘汉森(中国)、罗杰·鲍德温(美国)、贾瓦哈拉尔·尼赫鲁(印度)、威利·芒曾伯格和格奥尔格·莱德堡(德国),以及来自法国、比利时、拉丁美洲、英国和捷克斯洛伐克的几位代表,坐在一起,反对一切形式的压迫,要求印度尼西亚和其他被占国家独立,以实现世界和平。此外,穆罕默德·哈达的身份是众所周知的,他来自米南一个著名的商人和学者家庭,再加上他与民族主义人物交往的专业知识,使得伊斯兰的诚信不是通过归因的宗教符号出现的,而是通过他在日常生活中的行为、思想和态度出现的。Abstrak。Artikel ini mengulas tentang pemikiran salah satu bapak bangsa, Mohammad Hatta mengenai hubungan antara Islam dan nasonalisme。我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿。印度尼西亚伊斯兰教党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,印度尼西亚伊斯兰教民主运动党,1921-1930年,印度尼西亚民族运动党,1931-1932年。Pemikirannya tentang perdamaian misalnya Hatta just stru mengambilnya dari Surat al-Fatihah ayat dua。康斯普达迈menurutnya hukum杨佩林,tinggi dalam伊斯兰教,oleh karenanya tiap-tiap bangsa杨佩林,merdeka harus menjunjung tinggi perdamaian。Menurutnya, " Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang " itharus diamalkan agar tercipta keamanan dan kenyamanan antar sesama umat manusia。一九二七年二月saat menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, Bung Hatta bersama Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf menjadi代表,“Kongres Menentang帝国主义和Penindasan殖民地”主席团。Kegiatan ini diselenggarakan oleh“Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan nasional”,布鲁塞尔,比利时。Di sana净化丹kawan-kawan杜sejajar dengan全权代表达里语negara躺seperti陈Kuen丹Liau Hansin,(中国)、罗杰·鲍德温(美利坚Serikat),贾瓦哈拉尔·尼赫鲁(印度),威利Munzenberg丹Georg Ledebour (Jerman),丹beberapa utusan躺达里语Prancis, Belgia,《亚美利加》拉丁文,Inggris丹Cekoslovakia为她menentang segala bentuk penindasan丹menuntut kemerdekaan negara印尼丹negara lainnya杨sedang dijajah琼脂terwujudnya perdamaian杜尼娅。印度人民尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬,尊敬的尊敬。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
RE-READING HATTA'S THINKING IN MOVEMENT: BETWEEN ISLAM AND NATIONALISM
Abstract. This article reviews the perspectives of Mohammad Hatta as one of the Indonesian founding fathers in regards between Islam and nationalism.  Many scholars, historians, and intellectuals have deemed that Hatta was a secular nationalist who separated national propositions from religious values.  Whereas, on the contrary, both his actions and thoughts were in line with the noble of Islamic values, not only when he wanted to establish the Indonesian Islamic Democratic Party in 1967 with several other activists such as alumni of Islamic Students Association (HMI), PII, the Indonesian Islamic Syarikat Party, and Nahdlatul Ulama (NU) figures, but also Hatta's Islamic integrity already seen during the movement, when he was active in both the Indonesian Association (PI) organization in 1921-1930 and the Indonesian National Education (PNI Baru) in 1931-1932. For instance, Hatta proposed his thoughts on peace, which he took from Qur’an surah al-Fatihah verse two.  According to him, the concept of peace is the highest law in Islam; therefore, every free nation must uphold peace. He continued, the statement "God is the Most Gracious and Most Merciful" must be applied to create security and convenience among human beings. In February 1927, while serving as the administrator of the Indonesian Association in the Netherlands, Hatta and Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja, and Abdul Manaf were serving as the administrator of the Indonesian Association became delegators at the presidium meeting "Congress Against Imperialism and Colonial Oppression."  This event was organized by the “League Against Imperialism and for National Independence” in Brussels, Belgium.  There Hatta and his fellows sat on a par with delegates from other countries such as Chen Kuen and Liau Hansen (China), Roger Baldwin (United States), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg and Georg Ledebour (Germany), and several delegates from France, Belgium, Latin America, England, and Czechoslovakia to oppose all forms of oppression and demand the independence of Indonesia and other occupied countries to achieve world peace.  Moreover, the identity of  Mohammad Hatta is known well as a figure who came from a family of well-known merchants and scholars in Minang, coupled with his expertise in associating with nationalist figures, made Islamic integrity not appeared by attributive religious symbols, but rather by his behavior, thoughts, and attitudes in everyday life. Abstrak. Artikel ini mengulas tentang pemikiran salah satu bapak bangsa, Mohammad Hatta mengenai hubungan antara Islam dan nasonalisme. Banyak Sarjana, Sejarawan dan Cendikiawan masih menganggap bahwa Bung Hatta adalah seorang nasionalis sekuler, memisahkan soal-soal kebangsaan dari ajaran agama. Tindak-tanduk bahkan pemikirannya malah sejurus dengan nilai-nilai luhur Islam, bukan hanya saat dirinya dan beberapa aktivis lain seperti alumni HMI, PII, Partai Syarikat Islam Indonesia dan tokoh NU yang hendak mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1967, keberislaman Bung Hatta justru sudah terlihat pada masa pergerakan baik saat aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) tahun 1921-1930 maupun di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) tahun 1931-1932. Pemikirannya tentang perdamaian misalnya Hatta justru mengambilnya dari Surat al-Fatihah ayat dua. Konsep damai menurutnya hukum yang paling tinggi dalam Islam, oleh karenanya tiap-tiap bangsa yang merdeka harus menjunjung tinggi perdamaian. Menurutnya, “Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang” itu harus diamalkan agar tercipta keamanan dan kenyamanan antar sesama umat manusia. Pada bulan Februari 1927 saat menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, Bung Hatta bersama Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf menjadi delegator pada rapat presidium “Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh “Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan nasional” di Brussel, Belgia. Di sana Hatta dan kawan-kawan duduk sejajar dengan delegator dari negara lain seperti Chen Kuen dan Liau Hansin, (China), Roger Baldwin (Amerika Serikat), Jawaharlal Nehru (India), Willi Munzenberg dan Georg Ledebour (Jerman), dan beberapa utusan lain dari Prancis, Belgia, Amerika Latin, Inggris dan Cekoslovakia untuk menentang segala bentuk penindasan dan menuntut kemerdekaan negara Indonesia dan negara lainnya yang sedang dijajah agar terwujudnya perdamaian dunia. Jati diri Bung Hatta yang berasal dari keluarga saudagar dan ulama masyhur di Ranah Minang ditambah dengan kepiawaiannya dalam bergaul dengan tokoh-tokoh nasionalis membuat corak keberislaman Hatta tidak ditonjolkan dengan simbol-simbol agama yang atributif, melainkan ditonjolkan dengan tingkah laku, pemikiran dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. 
求助全文
通过发布文献求助,成功后即可免费获取论文全文。 去求助
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
0
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:481959085
Book学术官方微信