{"title":"在自然灾害时期对腐败罪犯实施死刑的安排","authors":"Muhammad Rosikhu, Johan Rahmatulloh","doi":"10.33756/JELTA.V14I01.10286","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Tulisan ini membahas tentang pengaturan sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di waktu bencana alam. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) , yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan Pasal maupun Penjelasan Pasal tersebut terdapat kata atau frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum karena memiliki makna ganda yakni kata “dapat” dan frasa “bencana alam nasional” yang masih tidak jelas. Sehingga argumentasi yang dibangun oleh penegak hukum yakni didasarkan bahwa penerapan sanksi pidana mati tidak dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi jika tidak ada status bencana alam nasional. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang bersumber dari pendapat ahli hukum, buku-buku dan media massa.","PeriodicalId":241586,"journal":{"name":"JURNAL LEGALITAS","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-04-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":"{\"title\":\"Pengaturan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Waktu Bencana Alam\",\"authors\":\"Muhammad Rosikhu, Johan Rahmatulloh\",\"doi\":\"10.33756/JELTA.V14I01.10286\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Tulisan ini membahas tentang pengaturan sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di waktu bencana alam. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) , yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan Pasal maupun Penjelasan Pasal tersebut terdapat kata atau frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum karena memiliki makna ganda yakni kata “dapat” dan frasa “bencana alam nasional” yang masih tidak jelas. Sehingga argumentasi yang dibangun oleh penegak hukum yakni didasarkan bahwa penerapan sanksi pidana mati tidak dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi jika tidak ada status bencana alam nasional. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang bersumber dari pendapat ahli hukum, buku-buku dan media massa.\",\"PeriodicalId\":241586,\"journal\":{\"name\":\"JURNAL LEGALITAS\",\"volume\":\"22 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2021-04-30\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"3\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"JURNAL LEGALITAS\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.33756/JELTA.V14I01.10286\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"JURNAL LEGALITAS","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.33756/JELTA.V14I01.10286","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
Pengaturan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Waktu Bencana Alam
Tulisan ini membahas tentang pengaturan sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di waktu bencana alam. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) , yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan Pasal maupun Penjelasan Pasal tersebut terdapat kata atau frasa yang menimbulkan ketidakpastian hukum karena memiliki makna ganda yakni kata “dapat” dan frasa “bencana alam nasional” yang masih tidak jelas. Sehingga argumentasi yang dibangun oleh penegak hukum yakni didasarkan bahwa penerapan sanksi pidana mati tidak dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi jika tidak ada status bencana alam nasional. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yang bersumber dari pendapat ahli hukum, buku-buku dan media massa.