布朱·维维主义作曲家

Fathol Halik
{"title":"布朱·维维主义作曲家","authors":"Fathol Halik","doi":"10.19105/karsa.v12i2.137","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstrak: Tulisan ini berpijak pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin. Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura, seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep. Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’, bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain, tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil, yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia, kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan. Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan. Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub identik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan, tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers) rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis, dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi, berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang bersekolah di pesantren di Madura.   Kata kunci: rokat bhuju’, kompolan, keyae, metamorfosis","PeriodicalId":405728,"journal":{"name":"Karsa: Journal of Social and Islamic Culture","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2012-04-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":"{\"title\":\"ROKAT BHUJU’ VIS-À-VIS KOMPOLAN (Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru)\",\"authors\":\"Fathol Halik\",\"doi\":\"10.19105/karsa.v12i2.137\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"Abstrak: Tulisan ini berpijak pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin. Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura, seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep. Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’, bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain, tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil, yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia, kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan. Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan. Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub identik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan, tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers) rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis, dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi, berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang bersekolah di pesantren di Madura.   Kata kunci: rokat bhuju’, kompolan, keyae, metamorfosis\",\"PeriodicalId\":405728,\"journal\":{\"name\":\"Karsa: Journal of Social and Islamic Culture\",\"volume\":null,\"pages\":null},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2012-04-28\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"3\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Karsa: Journal of Social and Islamic Culture\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.19105/karsa.v12i2.137\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Karsa: Journal of Social and Islamic Culture","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.19105/karsa.v12i2.137","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3

摘要

抽象:这篇文章的前提是,社会变革并不总是伴随着领导者的变革。在已建立的社区中,领导者的改变并不是社会关系的核心,尤其是在马杜拉农村社区的传统中,就像在苏梅内普的布朱·马杜拉精英社会关系现象一样。在bhuju的传统中有趣的是bhuju的绳子。这是一个关于艺术、娱乐和社会活动的传统,包括matera、mama或mamaca阅读“宗教”。bhuju的吊索是由一个“不太了解宗教”、reng ledha”、reng mount bhato kalettak、tandha、bhajingan (bladha)和平民或平民所做的。这一传统是通过在祭祀仪式上放置在丧葬坛上的祭品、水果或大米来崇拜神圣的死者。这些现实似乎是对马杜拉宗教社会的矛盾。在bhuju Madura的社区里,情况与作曲家不同。一种宗教活动可以邀请其他人、邻居、亲戚或清真寺信徒祈祷,如阅读塔利尔、雅西因、巴赞吉、古兰经或宗教仪式。作曲家不是精神上的安西,也不是精神上的安西,也不是人类之间的社会网络,是社会化的需要,是通过宗教传统实现和团结的需要。社会和宗教动机成为作曲家传统的重要组成部分。作曲家的传统还将伊斯兰教徒基雅(keyae)的当地居民和追随者(agamis)联系起来。所以我们使用的媒体是不同的。Hadrah samroh dhiba’,爱使徒、tongtong qasidah kompolan中使用,而lodrok tandha’,saronen bhajang oreng鼓乐队,tayub rokat同义词bhuju”。对宗教人士(三,kyai和神职人员”)rokat bhuju”必须改变。一些马都拉人希望在这些活动中改变仪式活动,这是一种“反主流文化”,一种新的文化。bhuju的手杖是为了纪念死者的遗产、传统和服务而制作的。它的目的是让布朱的信徒皈依,或者回到上帝的道路上。虽然没有一个领导者的转变,但在这种情况下发生了蜕变的过程,在这种情况下,人物不再来自不丹的精神支柱。然而,来自布朱杰出的先驱者的后代,他更注重宗教活动,也更倾向于成为作曲家。这一策略是通过儿子/孩子在马杜拉寄宿学校学习的结果。关键词:bhuju的手杖,作曲家,keyae,变形
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
ROKAT BHUJU’ VIS-À-VIS KOMPOLAN (Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru)
Abstrak: Tulisan ini berpijak pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin. Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura, seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep. Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’, bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain, tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil, yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia, kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan. Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan. Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub identik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan, tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers) rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis, dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi, berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang bersekolah di pesantren di Madura.   Kata kunci: rokat bhuju’, kompolan, keyae, metamorfosis
求助全文
通过发布文献求助,成功后即可免费获取论文全文。 去求助
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
0
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:481959085
Book学术官方微信