{"title":"比利斯文化传统婚姻的心理动力学","authors":"Jacqlyne R.L. Mataradja, Doddy Hendro Wibowo","doi":"10.23887/jibk.v13i2.42570","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"The Alor society uses moko as the payment methods of belis and it is the treasure given by the groom to propose the bride (it is called dowry in East Nusa Tenggara). Moko cannot be remade because it is limited among the Alor society. In the tradition of the Alor society, moko must be given by the groom to the bride during the process of the traditional marriage ceremony. The tradition of giving moko refers the sacredness of marriage, social status, identity, and cultural preservation or conservation. Moko becomes the symbol of appreciation for women who will be married in a traditional marriage for the Alor society. The purpose of the study is to identify the impact and causes of the moko tradition that was experienced by married couples because of domestic violence still occurred in Alor district. This research was conducted in Alor district, East Nusa Tenggara by involving two research participants. The method used in this research was a qualitative method with a phenomenological approach. The results of the research showed that the practice of the moko tradition carried out by the Alor society made the women became an economic commodity and the expensive price of moko often triggered the domestic violence after marriage.\nAbstrak:\nBelis adalah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat melamar (sebutan untuk mas kawin di wilayah Indonesia timur) dan salah satunya adalah budaya belis berupa moko yang dijadikan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat masyarakat Alor. Moko tidak bisa dibuat ulang, artinya moko adalah benda yang jumlahnya terbatas di kalangan masyarakat Alor. Dalam tradisi masyarakat Alor, moko wajib diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita pada saat proses upacara perkawinan adat. Tradisi penyerahan belis berupa moko dapat bermakna sebagai sakralitas perkawinan, status sosial, identitas, dan pelestarian konservasi budaya. Moko sebagai simbol penghargaan terhadap seorang perempuan yang akan dinikahi dalam perkawinan adat bagi masyarakat Alor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dan penyebab tradisi belis berupa moko yang dialami pasangan yang sudah menikah karena masih terjadi kekerasan domestik terkait tradisi belis berupa moko di kabupaten Alor. Penelitian ini dilakukan di kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur dengan melibatkan dua partisipan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekan fenomenalogi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik tradisi belis berupa moko yang dilakukan masyarakat Alor adalah kesan perempuan dijadikan sebagai komoditas ekonomi, sehingga terkadang dengan harga belis yang terlalu mahal sering kali menjadi pemicu terjadinya Kekerasan dalam rumah tangga setelah menikah.","PeriodicalId":374740,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Undiksha","volume":"12 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-10-24","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":"{\"title\":\"Dinamika Psikologis Perkawinan Adat Budaya Belis\",\"authors\":\"Jacqlyne R.L. Mataradja, Doddy Hendro Wibowo\",\"doi\":\"10.23887/jibk.v13i2.42570\",\"DOIUrl\":null,\"url\":null,\"abstract\":\"The Alor society uses moko as the payment methods of belis and it is the treasure given by the groom to propose the bride (it is called dowry in East Nusa Tenggara). Moko cannot be remade because it is limited among the Alor society. In the tradition of the Alor society, moko must be given by the groom to the bride during the process of the traditional marriage ceremony. The tradition of giving moko refers the sacredness of marriage, social status, identity, and cultural preservation or conservation. Moko becomes the symbol of appreciation for women who will be married in a traditional marriage for the Alor society. The purpose of the study is to identify the impact and causes of the moko tradition that was experienced by married couples because of domestic violence still occurred in Alor district. This research was conducted in Alor district, East Nusa Tenggara by involving two research participants. The method used in this research was a qualitative method with a phenomenological approach. The results of the research showed that the practice of the moko tradition carried out by the Alor society made the women became an economic commodity and the expensive price of moko often triggered the domestic violence after marriage.\\nAbstrak:\\nBelis adalah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat melamar (sebutan untuk mas kawin di wilayah Indonesia timur) dan salah satunya adalah budaya belis berupa moko yang dijadikan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat masyarakat Alor. Moko tidak bisa dibuat ulang, artinya moko adalah benda yang jumlahnya terbatas di kalangan masyarakat Alor. Dalam tradisi masyarakat Alor, moko wajib diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita pada saat proses upacara perkawinan adat. Tradisi penyerahan belis berupa moko dapat bermakna sebagai sakralitas perkawinan, status sosial, identitas, dan pelestarian konservasi budaya. Moko sebagai simbol penghargaan terhadap seorang perempuan yang akan dinikahi dalam perkawinan adat bagi masyarakat Alor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dan penyebab tradisi belis berupa moko yang dialami pasangan yang sudah menikah karena masih terjadi kekerasan domestik terkait tradisi belis berupa moko di kabupaten Alor. Penelitian ini dilakukan di kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur dengan melibatkan dua partisipan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekan fenomenalogi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik tradisi belis berupa moko yang dilakukan masyarakat Alor adalah kesan perempuan dijadikan sebagai komoditas ekonomi, sehingga terkadang dengan harga belis yang terlalu mahal sering kali menjadi pemicu terjadinya Kekerasan dalam rumah tangga setelah menikah.\",\"PeriodicalId\":374740,\"journal\":{\"name\":\"Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Undiksha\",\"volume\":\"12 1\",\"pages\":\"0\"},\"PeriodicalIF\":0.0000,\"publicationDate\":\"2022-10-24\",\"publicationTypes\":\"Journal Article\",\"fieldsOfStudy\":null,\"isOpenAccess\":false,\"openAccessPdf\":\"\",\"citationCount\":\"0\",\"resultStr\":null,\"platform\":\"Semanticscholar\",\"paperid\":null,\"PeriodicalName\":\"Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Undiksha\",\"FirstCategoryId\":\"1085\",\"ListUrlMain\":\"https://doi.org/10.23887/jibk.v13i2.42570\",\"RegionNum\":0,\"RegionCategory\":null,\"ArticlePicture\":[],\"TitleCN\":null,\"AbstractTextCN\":null,\"PMCID\":null,\"EPubDate\":\"\",\"PubModel\":\"\",\"JCR\":\"\",\"JCRName\":\"\",\"Score\":null,\"Total\":0}","platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Undiksha","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.23887/jibk.v13i2.42570","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
摘要
Alor社会使用moko作为belis的支付方式,它是新郎向新娘求婚时给予的宝藏(在东努沙登加拉被称为嫁妆)。Moko不能被改造,因为它被限制在Alor社会中。在Alor社会的传统中,moko必须在传统的结婚仪式中由新郎送给新娘。“moko”的传统是指婚姻、社会地位、身份和文化保护的神圣性。在阿洛尔人的传统婚姻中,Moko成为了对女性的感激的象征。这项研究的目的是确定由于家庭暴力在Alor地区仍然发生,已婚夫妇所经历的moko传统的影响和原因。这项研究是在东努沙登加拉的Alor区进行的,涉及两名研究参与者。本研究使用的方法是一种带有现象学方法的定性方法。研究结果表明,阿洛族社会对摩科传统的实践使妇女成为一种经济商品,摩科昂贵的价格往往引发婚后家庭暴力。【摘要】【中文摘要】:Belis adalah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat melamar (sebutan untuk mas kawin di wilayah Indonesia),但salah satunya adalah budaya Belis berupa moko yang dijadikan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat masyarakat Alor。Moko tidak bisa dibuat ulang, artinya Moko adalah benda yang jumlahnya terbatas di kalangan masyarakat Alor。Dalam tradisi masyarakat Alor, moko wajib diberiikan,印度,印度,印度,印度,印度,印度,印度,印度,印度,印度,印度。Tradisi penyerahan belis berupa moko dapat bermakna sebagai sakralitas perkawinan,社会地位,身份,和巴勒斯坦的konservasi budaya。Moko sebagai象征着penghargaan terhadap seorang perempuan yang akan dinikahi dalam perkawinan adat bagi masyarakat Alor。Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dan penyebab tradisi belupa moko yang dialami pasangan yang sudah menikah masiah kekerasan home . terkai tradisi belupa moko di kabupaten Alor。Penelitian ini dilakukan di kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur dengan melibatkan dua partisipan Penelitian。方法杨地古那坎dalam penelitian ini adalah方法质量登坎pende坎现象。我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是。
The Alor society uses moko as the payment methods of belis and it is the treasure given by the groom to propose the bride (it is called dowry in East Nusa Tenggara). Moko cannot be remade because it is limited among the Alor society. In the tradition of the Alor society, moko must be given by the groom to the bride during the process of the traditional marriage ceremony. The tradition of giving moko refers the sacredness of marriage, social status, identity, and cultural preservation or conservation. Moko becomes the symbol of appreciation for women who will be married in a traditional marriage for the Alor society. The purpose of the study is to identify the impact and causes of the moko tradition that was experienced by married couples because of domestic violence still occurred in Alor district. This research was conducted in Alor district, East Nusa Tenggara by involving two research participants. The method used in this research was a qualitative method with a phenomenological approach. The results of the research showed that the practice of the moko tradition carried out by the Alor society made the women became an economic commodity and the expensive price of moko often triggered the domestic violence after marriage.
Abstrak:
Belis adalah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat melamar (sebutan untuk mas kawin di wilayah Indonesia timur) dan salah satunya adalah budaya belis berupa moko yang dijadikan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat masyarakat Alor. Moko tidak bisa dibuat ulang, artinya moko adalah benda yang jumlahnya terbatas di kalangan masyarakat Alor. Dalam tradisi masyarakat Alor, moko wajib diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita pada saat proses upacara perkawinan adat. Tradisi penyerahan belis berupa moko dapat bermakna sebagai sakralitas perkawinan, status sosial, identitas, dan pelestarian konservasi budaya. Moko sebagai simbol penghargaan terhadap seorang perempuan yang akan dinikahi dalam perkawinan adat bagi masyarakat Alor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dan penyebab tradisi belis berupa moko yang dialami pasangan yang sudah menikah karena masih terjadi kekerasan domestik terkait tradisi belis berupa moko di kabupaten Alor. Penelitian ini dilakukan di kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur dengan melibatkan dua partisipan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekan fenomenalogi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik tradisi belis berupa moko yang dilakukan masyarakat Alor adalah kesan perempuan dijadikan sebagai komoditas ekonomi, sehingga terkadang dengan harga belis yang terlalu mahal sering kali menjadi pemicu terjadinya Kekerasan dalam rumah tangga setelah menikah.