{"title":"PERAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI KAWASAN LAUT CHINA SELATAN PASCA PUTUSAN PERMANENT COURT OF ARBITRATION, 2016","authors":"Steve Michael Massie","doi":"10.35796/les.v8i2.28563","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan kawasan Laut Teritorial, ZEE dan landas kontinen ditinjau dari Hukum Laut Internasional dan bagaimana peran Diplomasi Indonesia Pasca Putusan PCA dalam Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan antara Tiongkok dan Filipina di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982, Bab II tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan memuat beberapa ketentuan tentang cara-cara penarikan garis pangkal oleh negara pantai. Pasal 3 menentukan hak negara pantai menetapkan lebar laut teritorial sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini. Demikian dengan cara penarikan garis pangkal pada ZEE dan Landas kontinen selebar 200 mil menurut Pasal 57. Sebaliknya pengaturan hukum disertai ekspansi sepihak oleh Tiongkok terkait dengan cara penarikan garis pangkal laut teritorial metode nine dash line yang dibentangkan hingga ke kawasan ZEE dan Landas Kontinen sekitar LCS karena alasan sejarah, tidak dikenal dan bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Tindakan Tiongkok merugikan negara-negara kepulauan yang berada di sekitar LCS, termasuk Indonesia khususnya kawasan wilayah pulau Natuna yang terdampak dari konflik kawasan LCS. 2. Peran diplomasi Indonesia Pasca Putusan PCA dalam Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan antara Tiongkok dan Filipina dilakukan berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Alinea Pertama dan Keempat serta Pasal 11, Pasal 13 UUD 1945, serta UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional UU No.37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri. Dilain pihak, peran diplomasi perbatasan atau border diplomacy harus dilakukan oleh Indonesia sebagai penguatan khususnya terhadap eksistensi perairan disekitar perairan kepulauan Natuna. Diplomasi perbatasan berupa negosiasi atau perundingan dengan strategi yang tepat, strategi tersebut adalah dengan lebih memfokuskan usaha penguatan ke dalam dengan membangun secara nyata daerah perbatasan sehingga penguasaan secara efektif atau effective occupation terjadi di daerah perbatasan.Kata kunci: kawasan laut; kawasan lautg china selaran;","PeriodicalId":428478,"journal":{"name":"LEX ET SOCIETATIS","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-05-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"LEX ET SOCIETATIS","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.35796/les.v8i2.28563","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
摘要
这项研究的目的是确定国际海洋法、ZEE和大陆起飞是如何看待国际海洋法的,以及PCA裁决后印尼外交在中国和菲律宾之间的南海争端中所起的作用。1982年《英克拉斯国际海法公约》第二章《领土海及附属区域公约》包含了一些关于沿海国家从该区域撤军的规定。第3条规定了沿海国家的权利,将领土的宽度限制在不超过12海里的范围内,并根据该公约规定的基线进行测量。因此,根据第57章,将齐线收回并继续起飞200英里。另一方面,由于不为人知的不符合1982年《国际海法公约》(UNCLOS international international sea convention)的不为人知的历史原因,中国的“九破折号线”(nine dash line)将其延伸到ZEE地区和LCS周围的大陆大陆。中国的行动伤害了周围的群岛国家,包括印度尼西亚,特别是LCS冲突影响的纳图纳岛地区。2。印度尼西亚在PCA裁决后在中国和菲律宾之间的南海问题上所起的作用,是根据1945年《宪法》第1条和第4段、第11条和第13条第1945条以及1999年《国际外交条约》第24号提出的。另一方面,作为对纳图纳群岛水域周围海域存在的一种特别强烈的加强,边境或边境外交的作用必须由印度尼西亚承担。边境外交是用正确的策略进行谈判或谈判,其战略是通过建立一个真正的边界区域,有效地控制或有效地控制边界。关键词:海洋区域;中国线销售;
PERAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI KAWASAN LAUT CHINA SELATAN PASCA PUTUSAN PERMANENT COURT OF ARBITRATION, 2016
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan kawasan Laut Teritorial, ZEE dan landas kontinen ditinjau dari Hukum Laut Internasional dan bagaimana peran Diplomasi Indonesia Pasca Putusan PCA dalam Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan antara Tiongkok dan Filipina di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982, Bab II tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan memuat beberapa ketentuan tentang cara-cara penarikan garis pangkal oleh negara pantai. Pasal 3 menentukan hak negara pantai menetapkan lebar laut teritorial sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini. Demikian dengan cara penarikan garis pangkal pada ZEE dan Landas kontinen selebar 200 mil menurut Pasal 57. Sebaliknya pengaturan hukum disertai ekspansi sepihak oleh Tiongkok terkait dengan cara penarikan garis pangkal laut teritorial metode nine dash line yang dibentangkan hingga ke kawasan ZEE dan Landas Kontinen sekitar LCS karena alasan sejarah, tidak dikenal dan bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982. Tindakan Tiongkok merugikan negara-negara kepulauan yang berada di sekitar LCS, termasuk Indonesia khususnya kawasan wilayah pulau Natuna yang terdampak dari konflik kawasan LCS. 2. Peran diplomasi Indonesia Pasca Putusan PCA dalam Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan antara Tiongkok dan Filipina dilakukan berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Alinea Pertama dan Keempat serta Pasal 11, Pasal 13 UUD 1945, serta UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional UU No.37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri. Dilain pihak, peran diplomasi perbatasan atau border diplomacy harus dilakukan oleh Indonesia sebagai penguatan khususnya terhadap eksistensi perairan disekitar perairan kepulauan Natuna. Diplomasi perbatasan berupa negosiasi atau perundingan dengan strategi yang tepat, strategi tersebut adalah dengan lebih memfokuskan usaha penguatan ke dalam dengan membangun secara nyata daerah perbatasan sehingga penguasaan secara efektif atau effective occupation terjadi di daerah perbatasan.Kata kunci: kawasan laut; kawasan lautg china selaran;