{"title":"A DISCURSIVE STRATEGY TO MAINTAIN THE CULTURAL ISLAM-POLITICAL ISLAM POWER RELATION IN INDONESIA IN TRIWIKROMO’S “LENGTU LENGMUA” (2012)","authors":"Sehla Rizqa Ramadhona","doi":"10.22146/poetika.v9i2.64116","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This study aims to reveal the discursive play of the short story “Lengtu Lengmua” (2012) by Triyanto Triwikromo in maintaining the unequal power relation in Indonesia. The study is carried out on the basis of Norman Fairclough’s Critical Discourse Analysis that elaborates intertextuality theory and social theory of discourse. The research questions are what discourses influence “Lengtu Lengmua”’s celeng construction? and what political interests are supported and legitimized by “Lengtu Lengmua”’s celeng construction? It is a descriptive qualitative study for which data were collected using a note-taking technique. The relationships between data are elucidated by describing how the text of the short story, its production and the interpretation process are connected to the prevailing social conditions in Indonesia. The results show that: (1) “Lengtu Lengmua” represents, manipulates, negates, and transcends the discourse that sees that “celeng is a despicable animal” from the texts of Berburu Celeng (1998), Celeng Dhegleng (1998), and Tak Enteni Keplokmu (2000); and (2) to generate a notion of celeng as a noble animal, “Lengtu Lengmua” also configures the existing discourse conventions, namely conventions that are related to magical realism, Javanese society, children, Islamic shari’ah, and Islamic makrifat. These two results indicate that “Lengtu Lengmua” gives a new meaning to celeng and recontextualizes the celeng, which in previous texts is associated with human greed (i.e. capitalistic and corrupt), in religious issues especially those related to the contradiction between political Islam and cultural Islam. In turn, this discursive play has contributed to the formation of political Islam-cultural Islam power relation in recent years in Indonesia where cultural Islam occupies a dominant position. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permainan diskursif cerpen “Lengtu Lengmua” (2012) karya Triyanto Triwikromo dalam pemertahanan relasi kuasa yang tidak setara di Indonesia. Kajian dalam penelitian ini mengacu pada Analisis Wacana Kritis dari Norman Fairclough yang mengelaborasi teori intertekstualitas dan teori sosial wacana. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah wacana apa yang memengaruhi konstruksi celeng “Lengtu Lengmua” dan kepentingan politik apa yang didukung dan dilegitimasi oleh konstruksi celeng “Lengtu Lengmua”. Kajian ini menggunakan metode penjabaran deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data simak-catat. Hubungan antardata dikaji melalui deskripsi atau penjelasan bagaimana teks cerpen, proses produksi dan interpretasinya berkaitan dengan kondisi sosial yang melatar belakangi cerita dalam cerpen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) “Lengtu Lengmua” merepresentasikan, memanipulasi, menegasikan, dan melampaui wacana “celeng adalah hewan hina” dari teks Berburu Celeng (1998), Celeng Dhegleng (1998), dan Tak Enteni Keplokmu (2000); (2) “Lengtu Lengmua” juga mengonfigurasikan konvensi-konvensi wacana yang ada untuk menghasilkan konstruksi celeng sebagai hewan mulia, yaitu konvensi wacana realisme magis, masyarakat Jawa, anak-anak, Islam syariat, dan Islam makrifat. Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa “Lengtu Lengmua” memberikan makna baru atas celeng dan membawa representasi celeng, yang pada teks-teks sebelumnya diidentikkan dengan kerakusan manusia yang kapitalistik dan korup, ke dalam konteks persoalan keagamaan khususnya yang terkait dengan pertentangan antara Islam politik dan Islam kultural. Pada gilirannya, permainan diskursif ini berkontribusi pada pembentukan relasi kuasa Islam politik-Islam kultural pada tahun-tahun terakhir di Indonesia di mana Islam kultural menduduki posisi yang dominan.","PeriodicalId":31482,"journal":{"name":"Jurnal Poetika","volume":"21 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-12-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"2","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Poetika","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.22146/poetika.v9i2.64116","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 2
Abstract
This study aims to reveal the discursive play of the short story “Lengtu Lengmua” (2012) by Triyanto Triwikromo in maintaining the unequal power relation in Indonesia. The study is carried out on the basis of Norman Fairclough’s Critical Discourse Analysis that elaborates intertextuality theory and social theory of discourse. The research questions are what discourses influence “Lengtu Lengmua”’s celeng construction? and what political interests are supported and legitimized by “Lengtu Lengmua”’s celeng construction? It is a descriptive qualitative study for which data were collected using a note-taking technique. The relationships between data are elucidated by describing how the text of the short story, its production and the interpretation process are connected to the prevailing social conditions in Indonesia. The results show that: (1) “Lengtu Lengmua” represents, manipulates, negates, and transcends the discourse that sees that “celeng is a despicable animal” from the texts of Berburu Celeng (1998), Celeng Dhegleng (1998), and Tak Enteni Keplokmu (2000); and (2) to generate a notion of celeng as a noble animal, “Lengtu Lengmua” also configures the existing discourse conventions, namely conventions that are related to magical realism, Javanese society, children, Islamic shari’ah, and Islamic makrifat. These two results indicate that “Lengtu Lengmua” gives a new meaning to celeng and recontextualizes the celeng, which in previous texts is associated with human greed (i.e. capitalistic and corrupt), in religious issues especially those related to the contradiction between political Islam and cultural Islam. In turn, this discursive play has contributed to the formation of political Islam-cultural Islam power relation in recent years in Indonesia where cultural Islam occupies a dominant position. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permainan diskursif cerpen “Lengtu Lengmua” (2012) karya Triyanto Triwikromo dalam pemertahanan relasi kuasa yang tidak setara di Indonesia. Kajian dalam penelitian ini mengacu pada Analisis Wacana Kritis dari Norman Fairclough yang mengelaborasi teori intertekstualitas dan teori sosial wacana. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah wacana apa yang memengaruhi konstruksi celeng “Lengtu Lengmua” dan kepentingan politik apa yang didukung dan dilegitimasi oleh konstruksi celeng “Lengtu Lengmua”. Kajian ini menggunakan metode penjabaran deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data simak-catat. Hubungan antardata dikaji melalui deskripsi atau penjelasan bagaimana teks cerpen, proses produksi dan interpretasinya berkaitan dengan kondisi sosial yang melatar belakangi cerita dalam cerpen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) “Lengtu Lengmua” merepresentasikan, memanipulasi, menegasikan, dan melampaui wacana “celeng adalah hewan hina” dari teks Berburu Celeng (1998), Celeng Dhegleng (1998), dan Tak Enteni Keplokmu (2000); (2) “Lengtu Lengmua” juga mengonfigurasikan konvensi-konvensi wacana yang ada untuk menghasilkan konstruksi celeng sebagai hewan mulia, yaitu konvensi wacana realisme magis, masyarakat Jawa, anak-anak, Islam syariat, dan Islam makrifat. Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa “Lengtu Lengmua” memberikan makna baru atas celeng dan membawa representasi celeng, yang pada teks-teks sebelumnya diidentikkan dengan kerakusan manusia yang kapitalistik dan korup, ke dalam konteks persoalan keagamaan khususnya yang terkait dengan pertentangan antara Islam politik dan Islam kultural. Pada gilirannya, permainan diskursif ini berkontribusi pada pembentukan relasi kuasa Islam politik-Islam kultural pada tahun-tahun terakhir di Indonesia di mana Islam kultural menduduki posisi yang dominan.
本研究旨在揭示Triyanto Triwikromo短篇小说《Lengtu Lengmua》(2012)在印尼维持不平等权力关系中的话语作用。本文以Norman Fairclough的《批判话语分析》为基础,阐述了话语的互文性理论和社会理论。研究的问题是:哪些话语影响了《冷图冷木》的卓越建构?“冷土冷木”的城市建设支持和合法化了哪些政治利益?这是一项描述性定性研究,使用笔记技术收集数据。通过描述短篇小说的文本,其制作和解释过程如何与印度尼西亚的主流社会条件相联系,阐明了数据之间的关系。结果表明:(1)“冷图冷木”代表、操纵、否定和超越了Berburu celeng(1998)、celeng Dhegleng(1998)和Tak Enteni Keplokmu(2000)文本中认为“celeng是一种可鄙的动物”的话语;(2)为了产生一种“仙”是一种高贵的动物的概念,《冷土冷马》还配置了现有的话语惯例,即与魔幻现实主义、爪哇社会、儿童、伊斯兰教法和伊斯兰教法有关的惯例。这两个结果表明,《冷图冷穆》赋予了“变”新的含义,并将“变”重新置于语境中,而“变”在以前的文本中是与人类的贪婪(即资本主义和腐败)联系在一起的,在宗教问题上尤其是与政治伊斯兰和文化伊斯兰的矛盾有关的问题上。反过来,这一话语游戏又促成了近年来文化伊斯兰占据主导地位的印尼政治伊斯兰-文化伊斯兰权力关系的形成。[中文]:[Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permaindiskursif cerpen " Lengtu Lengmua "(2012)。]在此基础上,作者提出了一种新的研究方法,即从社会的角度来分析中国的社会文化。我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说,我的意思是说。加健尼蒙古纳坎方法,penjabaran方法,定性和技术,企鹅种群数据模拟。胡邦干的数据dikaji melalui deskripsi atau penjelasan bagaimana teks cerpen,加工产品和解释berkaji denan kondisi social yang melatar belakangi cerita dalam cerpen。“Lengtu Lengmua”仅代表亚洲人,menanipulasi, menegasikan, dan melampaui wacana“celeng adalah hewan china”,dari teks Berburu celeng (1998), celeng Dhegleng (1998), dan Tak Enteni Keplokmu (2000);(2)“Lengtu Lengmua”juga mengonfigureasikan konvensi-konvensi wacana yang ada untuk menghasilkan konstruksi celeng sebagai hewan mulia, yitu konvensi wacana realisme magis, masyarakat Jawa, anak-anak,伊斯兰教经文,dan Islam makrifat。Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa“Lengtu Lengmua”成员makna baru atas celeng和成员代表celeng, yang pada teks-teks sebelumnya diidentikkan dengan kerakusan manusia yang资本主义和korup, ke dalam konteks个人keagamaan khususnya yang terkait dengan pertentangan an antara伊斯兰政治和伊斯兰文化。padadgilirannya, permainan diskursif ini berkontribusi padpadbentukan relasi kuasa伊斯兰政治-伊斯兰文化padadtahun - tahunterakhir di Indonesia伊斯兰文化menduduki posisi yang dominan。