{"title":"The State Penghulu vs The Non-State Penghulu: The Validity and Implementing Authorities of Indonesian Marriage","authors":"A. Farabi","doi":"10.21154/JUSTICIA.V17I2.2180","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This research gives rise to the following questions: What is a valid marriage? Who holds the authority to grant it? Moreover, how does the existing authority(s) manifest among societies? This inquiry employs the socio-legal method by relying on doctrinal and empirical (ethnographic) approaches to answer these questions. The doctrinal approach applies to the first question and looks at how both the law and case law define a valid marriage. The ethnographic approach applies to the last two questions and looks at this law's functioning among society. As a result, this study reveals that the Marriage Law utilized registration to force people to comply with the law; otherwise, a religious marriage would not have the law force. An exemption applies only to marriages before enacting the Marriage Law, which is liable for retroactive validation. Later, this procedure is extended through case laws that apply isbath nikah (marriage validation) retroactively even to marriages after 1974 to accommodate unregistered marriages pervasive among society. The extended use of isbath nikah has made registration a mere administrative matter which no longer stands as a restriction to a religious marriage. Second, in practice, the judges’ lenient attitude toward isbath nikah has blurred the distinction between registered and unregistered marriages. The fluid distinction between these two provides a basis for Non-State Penghulus to exercise their authority alongside the State Penghulu. In this sense, the Non-State Penghulu appears as an alternative to the State Penghulu invalidating marriage among Muslims.Penelitian ini mendorong pertanyaan-pertanyaan berikut: apa yang dimaksud dengan perkawinan sah? Siapa yang berwenang menentukan keabsahan suatu perkawinan? Dan bagaimana otoritas (ragam otoritas) di bidang ini mengambil bentuk di tengah masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan metode sociolegal dengan mengandalkan pendekatan doktriner dan empiris (etnografi). Pendekatan doktriner digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama dengan melihat baik peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun putusan-putusan pengadilan yang terkait. Pendekatan empiris digunakan untuk menjawab dua pertanyaan lainnya dengan melihat bagaimana aturan dogmatik tersebut berfungsi di tengah masyarakat. Sebagai hasilnya, pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan memenfaatan pencatatan sebagai mendium untuk memaksa masyarakat agar patuh terhadap hukum karena jika tidak maka sebuah perkawinan menjadi tidak berkekuatan hukum. Pengecualian hanya berlaku terhadap perkawinan yang diselenggarakan sebelum Undang-Undang Perkawinan yang masih bisa disahkan secara retroaktif. Belakangan prosedur ini diperluas dalam putusan-putusan pengadilan yang memberlakukan isbath nikah (pengesahan perkawinan) untuk mengesahkan perkawinan tidak tercatat, termasuk perkawinan setelah 1974 guna mengakomodir perkawinan tidak tercatat yang marak di tengah masyarakat. Perluasan isbath nikah ini selanjutnya menjadikan pencatatan ini perkara administrasi bukan sebagai pembatas terhadap perkawinan yang dilakukan secara agama semata. Kedua, dalam praktik, sikap lunak hakim dalam menggunakan isbath nikah telah mengaburkan perbedaan antara perkawinan tercatat dengan perkawinan tidak tercatat. Hal ini selanjutnya memberikan landasan bagi Penghulu Non-Negara untuk terus berperan di samping Penghulu Negara. Dalam hal ini, Penghulu Non-Negara muncul sebagai alternatif bagi Penghulu Negara dalam mengabsahkan perkawinan secara agama di kalangan muslim.","PeriodicalId":31294,"journal":{"name":"Justicia Islamica","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-12-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Justicia Islamica","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21154/JUSTICIA.V17I2.2180","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
This research gives rise to the following questions: What is a valid marriage? Who holds the authority to grant it? Moreover, how does the existing authority(s) manifest among societies? This inquiry employs the socio-legal method by relying on doctrinal and empirical (ethnographic) approaches to answer these questions. The doctrinal approach applies to the first question and looks at how both the law and case law define a valid marriage. The ethnographic approach applies to the last two questions and looks at this law's functioning among society. As a result, this study reveals that the Marriage Law utilized registration to force people to comply with the law; otherwise, a religious marriage would not have the law force. An exemption applies only to marriages before enacting the Marriage Law, which is liable for retroactive validation. Later, this procedure is extended through case laws that apply isbath nikah (marriage validation) retroactively even to marriages after 1974 to accommodate unregistered marriages pervasive among society. The extended use of isbath nikah has made registration a mere administrative matter which no longer stands as a restriction to a religious marriage. Second, in practice, the judges’ lenient attitude toward isbath nikah has blurred the distinction between registered and unregistered marriages. The fluid distinction between these two provides a basis for Non-State Penghulus to exercise their authority alongside the State Penghulu. In this sense, the Non-State Penghulu appears as an alternative to the State Penghulu invalidating marriage among Muslims.Penelitian ini mendorong pertanyaan-pertanyaan berikut: apa yang dimaksud dengan perkawinan sah? Siapa yang berwenang menentukan keabsahan suatu perkawinan? Dan bagaimana otoritas (ragam otoritas) di bidang ini mengambil bentuk di tengah masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan metode sociolegal dengan mengandalkan pendekatan doktriner dan empiris (etnografi). Pendekatan doktriner digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama dengan melihat baik peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun putusan-putusan pengadilan yang terkait. Pendekatan empiris digunakan untuk menjawab dua pertanyaan lainnya dengan melihat bagaimana aturan dogmatik tersebut berfungsi di tengah masyarakat. Sebagai hasilnya, pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan memenfaatan pencatatan sebagai mendium untuk memaksa masyarakat agar patuh terhadap hukum karena jika tidak maka sebuah perkawinan menjadi tidak berkekuatan hukum. Pengecualian hanya berlaku terhadap perkawinan yang diselenggarakan sebelum Undang-Undang Perkawinan yang masih bisa disahkan secara retroaktif. Belakangan prosedur ini diperluas dalam putusan-putusan pengadilan yang memberlakukan isbath nikah (pengesahan perkawinan) untuk mengesahkan perkawinan tidak tercatat, termasuk perkawinan setelah 1974 guna mengakomodir perkawinan tidak tercatat yang marak di tengah masyarakat. Perluasan isbath nikah ini selanjutnya menjadikan pencatatan ini perkara administrasi bukan sebagai pembatas terhadap perkawinan yang dilakukan secara agama semata. Kedua, dalam praktik, sikap lunak hakim dalam menggunakan isbath nikah telah mengaburkan perbedaan antara perkawinan tercatat dengan perkawinan tidak tercatat. Hal ini selanjutnya memberikan landasan bagi Penghulu Non-Negara untuk terus berperan di samping Penghulu Negara. Dalam hal ini, Penghulu Non-Negara muncul sebagai alternatif bagi Penghulu Negara dalam mengabsahkan perkawinan secara agama di kalangan muslim.
这项研究提出了以下问题:什么是有效的婚姻?谁有权力授予它?此外,现存的权威如何在社会中表现出来?这项调查采用社会法律方法,依靠理论和经验(人种学)的方法来回答这些问题。理论方法适用于第一个问题,并着眼于法律和判例法如何定义有效的婚姻。民族志方法适用于最后两个问题,并着眼于这一法律在社会中的作用。结果表明,《婚姻法》利用登记来强制人们遵守法律;否则,宗教婚姻就没有法律效力。豁免仅适用于《婚姻法》颁布之前的婚姻,该法具有追溯效力。后来,这一程序通过判例法得到扩展,甚至追溯适用于1974年以后的婚姻,以适应社会中普遍存在的未登记婚姻。isbath nikah的广泛使用使得登记仅仅是一项行政事项,不再是对宗教婚姻的限制。其次,在实践中,法官对isbath nikah的宽容态度模糊了登记婚姻和未登记婚姻之间的区别。这两者之间的不确定区别为非国家澎湖与国家澎湖一起行使其权力提供了基础。从这个意义上说,非国家婚姻法是对穆斯林婚姻无效的国家婚姻法的一种替代。Penelitian ini mendorong pertanyaan-pertanyaan berikut: apapyang dimaksud dengan perkawinan sah?这是什么意思呢?Dan bagaimana otoritas (ragam otoritas) di bidang ini mengambil bentuk di tengah masyarakat。Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan方法,社会发展和mengandalkan pendekatan doktriner dan imperiis(民族志)。Pendekatan doktriner digunakan untuk menjawab pertanangan pertanangan pertanangan perdangan yang berlaku maupun putusan putusan putusan pengadilan yang terkait。Pendekatan imperiis digunakan untuk menjawab dua pertanyaan lainnya dengan meliat bagaimana aturan教条主义,但berfungsi di tengah masyarakat。我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是,我的意思是我的意思。pengecalian hanya berlaku terhadap perkawinan yang diselenggarakan sebelum Undang-Undang perkawinan yang masih bisa disahkan secara retroaktif。卑拉甘检察官,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长,马来西亚州检察长。行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官,行政长官。Kedua, dalam praktik, sikap lunak, hakim dalam menggunakan isbath, nikah telah mengaburkan perbedaan, antara perkawanan tercatan, dengan perkawanan tercatan。Hal ini selanjutnya成员kan landasan bagi Penghulu Non-Negara untuk terus berperan di samping Penghulu Negara。马来语,马来语,马来语,马来语,马来语,马来语,马来语,马来语