{"title":"Coming out ‘softly’","authors":"V. Pak","doi":"10.1558/genl.20008","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Given the social stigmatisation and legal disadvantages faced by gay men in Singapore, there is a general hesitance to be open about one’s gay identity for fear of discrimination and possible prosecution. The logic of illiberal pragmatism is taken up by the Singaporean government as a mode of governance that simultaneously constrains and frees its citizens, which forces its gay citizens to straddle the expression of their sexual identity and a sense of duty to their families. This same tension is found in gay men’s reflections on the coming out process. In ethnographic interviews conducted with 15 Singaporean gay men, concerns arise about the perceived strength and directness of coming out alongside the need to satisfy familial obligations. In response to these concerns, gay Singaporeans have adopted a ‘soft’ approach to coming out that aligns with national illiberal pragmatism.\nDi Singapura, ada ramai yang rasa curiga untuk menyebarluaskan identiti gay mereka kerana takut dikejam dan didakwa. Ini diakibatkan penindasan dalam masyarakat dan kekurangan perlindungan dari segi hukum yang dihadapi oleh golongan gay. Pemerintah Singapura menggunakan logik pragmatisme yang tidak liberal (‘illiberal pragmatism’) sebagai alat pemerintahan yang saling mengekang dan membebas warganya. Penggunaan logik ini memaksa warga negara gaynya untuk memilih antara menyebarluaskan orientasi seksual mereka atau memenuhi kewajiban keluarga. Pilihan sukar ini sering dibentangkan oleh lelaki-lelaki gay dalam renungan mereka tentang proses melela (‘coming out’). Dalam wawancara etnografi dengan 15 lelaki gay Singapura, kebimbangan mengenai keberkesanan proses melela dan tekanan memenuhi tanggungjawab keluarga kerap timbul. Sebagai pembalasan terhadap kebingungan tersebut, warga negara gay Singapura melela menggunakan cetak biru yang ‘lembut’ dan selaras dengan logik pragmatisme Singapura.","PeriodicalId":0,"journal":{"name":"","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"","FirstCategoryId":"98","ListUrlMain":"https://doi.org/10.1558/genl.20008","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
Abstract
Given the social stigmatisation and legal disadvantages faced by gay men in Singapore, there is a general hesitance to be open about one’s gay identity for fear of discrimination and possible prosecution. The logic of illiberal pragmatism is taken up by the Singaporean government as a mode of governance that simultaneously constrains and frees its citizens, which forces its gay citizens to straddle the expression of their sexual identity and a sense of duty to their families. This same tension is found in gay men’s reflections on the coming out process. In ethnographic interviews conducted with 15 Singaporean gay men, concerns arise about the perceived strength and directness of coming out alongside the need to satisfy familial obligations. In response to these concerns, gay Singaporeans have adopted a ‘soft’ approach to coming out that aligns with national illiberal pragmatism.
Di Singapura, ada ramai yang rasa curiga untuk menyebarluaskan identiti gay mereka kerana takut dikejam dan didakwa. Ini diakibatkan penindasan dalam masyarakat dan kekurangan perlindungan dari segi hukum yang dihadapi oleh golongan gay. Pemerintah Singapura menggunakan logik pragmatisme yang tidak liberal (‘illiberal pragmatism’) sebagai alat pemerintahan yang saling mengekang dan membebas warganya. Penggunaan logik ini memaksa warga negara gaynya untuk memilih antara menyebarluaskan orientasi seksual mereka atau memenuhi kewajiban keluarga. Pilihan sukar ini sering dibentangkan oleh lelaki-lelaki gay dalam renungan mereka tentang proses melela (‘coming out’). Dalam wawancara etnografi dengan 15 lelaki gay Singapura, kebimbangan mengenai keberkesanan proses melela dan tekanan memenuhi tanggungjawab keluarga kerap timbul. Sebagai pembalasan terhadap kebingungan tersebut, warga negara gay Singapura melela menggunakan cetak biru yang ‘lembut’ dan selaras dengan logik pragmatisme Singapura.
鉴于新加坡男同性恋者在社会上的耻辱和法律上的劣势,人们普遍不愿公开自己的同性恋身份,因为担心受到歧视和可能被起诉。新加坡政府采纳了狭隘实用主义的逻辑,将其作为一种既约束公民又解放公民的治理模式,迫使其同性恋公民在表达自己的性别身份和对家庭的责任感之间跨越。在男同性恋者对出柜过程的反思中也发现了同样的紧张。在对15名新加坡男同性恋者进行的人种学采访中,人们对出柜的力量和直接性以及满足家庭义务的需要感到担忧。为了回应这些担忧,新加坡的同性恋者采取了一种“温和”的出柜方式,与国家狭隘的实用主义相一致。在新加坡,我是同性恋,我是同性恋,我是同性恋,我是同性恋。Ini diakibatkan penindasan dalam masyarakat dankekurangan perlindungan dari segi hukum yang dihadapi oleh golongan gay。Pemerintah Singapura menggunakan loggik pragmatic me yang tidak liberal(非自由实用主义)sebagai alat Pemerintah han yang saling mengekang dan mebehas warganya。彭家南的逻辑是,我的记忆是,我的记忆是,我的记忆是,我的记忆是,我的记忆是,我的记忆是,我的记忆是,我的记忆是。Pilihan sukar ini sering dibentangkan oleh lelaki-lelaki gay dalam renungan mereka tentang proses melela(“出镜”)。Dalam wawancara民族志(15 lelaki gay Singapura), kebimbangan mengenai keberkesanan提出melela和tekanan memenuhi tanggjawab keluarga kerap timbul。这句话的意思是:“我是新加坡的主人,我是新加坡的主人,我是新加坡的主人,我是新加坡的主人。”