{"title":"Membangun Relasi Digital antara Orang Tua Siswa dengan Sekolah dalam Penanganan Tawuran Pelajar di Yogyakarta","authors":"Muhadjir M. Darwin, Henny Ekawati, F. Habib","doi":"10.22146/JP.36201","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Tawuran antarpelajar yang menjurus pada tindakan kriminalitas (klithih) sedang marak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kondisi ini tidak terlepas dari melemahnya peran keluarga dan sekolah dalam pola pengasuhan anak. Tindakan negatif dalam bentuk aksi klithih merupakan perwujudan dari pencarian jati diri yang tidak tepat karena tindakan tersebut semata-mata mengedepankan kontrol diri yang lemah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65,6 persen masyarakat Yogyakarta menyatakan kekerasan kelompok, terutama aksi klithih, meningkat dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah lemahnya peran orang tua dalam pengasuhan (65,7 persen), salah pergaulan (52,5 persen), dan lemahnya peran sekolah (36,2 persen). Upaya yang harus dilakukan dalam penanganan masalah tawuran pelajar adalah adanya sinergi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua, di antaranya dengan meningkatkan komunikasi yang baik antara keduanya dalam pembinaan dan pengawasan pelajar, terutama model komunikasi personal dengan sentuhan teknologi informasi. Student brawls that lead to criminal activities called klithih (a Javanese term for violence among teenage students) is currently rampant in Yogyakarta Special Region (DIY). This condition is related to the weakening role of families and schools in nurturing the students. The negative action, klithih, is a manifestation of improper identity searching because it demonstrates a lack of self-control. The research showed that 65.6% of the community of Yogyakarta were agreed that group violence especially klithih had increased in the last year, and the main cause was the weakening role of parents (65.7%), wrong association (52.5%) and schools (36.2 %). Therefore, efforts must be made to create a good synergy between the schools and parents in handling student brawls. One of the efforts is improving good communication between the two parties in coaching and supervising teenage students, especially through a model of personal communication involving information technology.","PeriodicalId":31592,"journal":{"name":"Populasi","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-06-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Populasi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.22146/JP.36201","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Tawuran antarpelajar yang menjurus pada tindakan kriminalitas (klithih) sedang marak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kondisi ini tidak terlepas dari melemahnya peran keluarga dan sekolah dalam pola pengasuhan anak. Tindakan negatif dalam bentuk aksi klithih merupakan perwujudan dari pencarian jati diri yang tidak tepat karena tindakan tersebut semata-mata mengedepankan kontrol diri yang lemah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65,6 persen masyarakat Yogyakarta menyatakan kekerasan kelompok, terutama aksi klithih, meningkat dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah lemahnya peran orang tua dalam pengasuhan (65,7 persen), salah pergaulan (52,5 persen), dan lemahnya peran sekolah (36,2 persen). Upaya yang harus dilakukan dalam penanganan masalah tawuran pelajar adalah adanya sinergi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua, di antaranya dengan meningkatkan komunikasi yang baik antara keduanya dalam pembinaan dan pengawasan pelajar, terutama model komunikasi personal dengan sentuhan teknologi informasi. Student brawls that lead to criminal activities called klithih (a Javanese term for violence among teenage students) is currently rampant in Yogyakarta Special Region (DIY). This condition is related to the weakening role of families and schools in nurturing the students. The negative action, klithih, is a manifestation of improper identity searching because it demonstrates a lack of self-control. The research showed that 65.6% of the community of Yogyakarta were agreed that group violence especially klithih had increased in the last year, and the main cause was the weakening role of parents (65.7%), wrong association (52.5%) and schools (36.2 %). Therefore, efforts must be made to create a good synergy between the schools and parents in handling student brawls. One of the efforts is improving good communication between the two parties in coaching and supervising teenage students, especially through a model of personal communication involving information technology.