{"title":"The Difference of a Child (Walad) Concept in Islamic Inheritance Law and its Implications on The Decisions of the Religious Courts in Indonesia","authors":"Ana Amalia Furqan, Alfitri Alfitri, Akhmad Haries","doi":"10.21093/mj.v17i2.1212","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"This article is based on the fact that there is still the disparity of decisions among the Religious Court Judges on heirs, especially a child (walad), when handling the inheritance disputes. This is because there is a general provision of the meaning of walad contained in the Indonesian Compilation of Islamic Law (KHI) in which it includes both a son and a daughter. In addition, there is no obligation for Religious Court Judges to use the KHI as the basis for legal considerations, allowing for some Religious Court Judges to use the classical Islamic Jurisprudence (fiqh) as the legal basis in deciding a case. This article aims to investigate the impact of the general concept of walad (a child) and measures should be taken the Government to accommodate the legal reference material for Religious Court Judges, especially the KHI and the classical Islamic Jurisprudence (fiqh). It employs normative legal research which primarily examines the decisions of the Religious Courts in East Kalimantan, specifically Samarinda, Tenggarong and Tanah Grogot. The findings reveal that since there is no obligation for the Judges to use the KHI, referring to the classical Islamic Jurisprudence when giving legal considerations and deciding cases of inheritance is not against the procedural law in Indonesia. Yet, this measure potentially creates the disparity of decisions in the Religious Courts since the fiqh differs in determining who the walad is: merely sons or include both sons and daughters. This has frustrated the objective of the KHI as the codification of Islamic Law in Indonesia which unites the differences of opinions in the fiqh and, thus, assures legal certainty in resolving the disputes. Hence, the government should enact the KHI as a Law in Indonesia in order to end the forum of choice for the Judges in basing their decisions so that the disparity of decisions in the Religious Court minimized and legal certainty assured for the justice seekers.Keywords: Islamic inheritance law, walad, fiqh, religious court's decision AbstrakArtikel ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih ada perbedaan keputusan di antara Hakim Pengadilan Agama tentang ahli waris, terutama anak (walad), ketika menangani sengketa warisan. Ini karena ada ketentuan umum tentang makna walad yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) di mana itu mencakup anak laki-laki dan perempuan. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi Hakim Pengadilan Agama untuk menggunakan KHI sebagai dasar untuk pertimbangan hukum, yang memungkinkan beberapa Hakim Pengadilan Agama untuk menggunakan fiqh sebagai dasar hukum dalam memutuskan suatu kasus. Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki dampak dari konsep umum walad (anak) dan langkah-langkah yang harus diambil Pemerintah untuk mengakomodasi bahan referensi hukum bagi para Hakim Pengadilan Agama, khususnya KHI dan fiqh. Artikel ini didasari oleh penelitian hukum normatif yang terutama meneliti keputusan Pengadilan Agama di Kalimantan Timur, khususnya Samarinda, Tenggarong dan Tanah Grogot. Temuan ini mengungkapkan bahwa karena tidak ada kewajiban bagi para Hakim untuk menggunakan KHI, merujuk pada Yurisprudensi Islam klasik ketika memberikan pertimbangan hukum dan memutuskan kasus-kasus warisan tidak bertentangan dengan hukum acara di Indonesia. Namun, langkah ini berpotensi menciptakan disparitas keputusan di Pengadilan Agama karena fiqh berbeda dalam menentukan siapa walad: hanya anak laki-laki atau termasuk anak laki-laki dan perempuan. Kondisi ini telah menggagalkan tujuan KHI sebagai kodifikasi Hukum Islam di Indonesia yang menyatukan perbedaan pendapat dalam fiqh dan, dengan demikian, memastikan kepastian hukum dalam menyelesaikan perselisihan. Oleh karena itu, pemerintah harus memberlakukan KHI sebagai UU di Indonesia untuk mengakhiri forum pilihan bagi para Hakim dalam mendasarkan keputusan mereka sehingga perbedaan keputusan di Pengadilan Agama diminimalkan dan kepastian hukum terjamin bagi para pencari keadilan.Kata Kunci: Hukum Kewarisan Islam, Konsep Walad, Fikih, Putusan pengadilan agama","PeriodicalId":31362,"journal":{"name":"Mazahib","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"3","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Mazahib","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.21093/mj.v17i2.1212","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 3
Abstract
This article is based on the fact that there is still the disparity of decisions among the Religious Court Judges on heirs, especially a child (walad), when handling the inheritance disputes. This is because there is a general provision of the meaning of walad contained in the Indonesian Compilation of Islamic Law (KHI) in which it includes both a son and a daughter. In addition, there is no obligation for Religious Court Judges to use the KHI as the basis for legal considerations, allowing for some Religious Court Judges to use the classical Islamic Jurisprudence (fiqh) as the legal basis in deciding a case. This article aims to investigate the impact of the general concept of walad (a child) and measures should be taken the Government to accommodate the legal reference material for Religious Court Judges, especially the KHI and the classical Islamic Jurisprudence (fiqh). It employs normative legal research which primarily examines the decisions of the Religious Courts in East Kalimantan, specifically Samarinda, Tenggarong and Tanah Grogot. The findings reveal that since there is no obligation for the Judges to use the KHI, referring to the classical Islamic Jurisprudence when giving legal considerations and deciding cases of inheritance is not against the procedural law in Indonesia. Yet, this measure potentially creates the disparity of decisions in the Religious Courts since the fiqh differs in determining who the walad is: merely sons or include both sons and daughters. This has frustrated the objective of the KHI as the codification of Islamic Law in Indonesia which unites the differences of opinions in the fiqh and, thus, assures legal certainty in resolving the disputes. Hence, the government should enact the KHI as a Law in Indonesia in order to end the forum of choice for the Judges in basing their decisions so that the disparity of decisions in the Religious Court minimized and legal certainty assured for the justice seekers.Keywords: Islamic inheritance law, walad, fiqh, religious court's decision AbstrakArtikel ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih ada perbedaan keputusan di antara Hakim Pengadilan Agama tentang ahli waris, terutama anak (walad), ketika menangani sengketa warisan. Ini karena ada ketentuan umum tentang makna walad yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) di mana itu mencakup anak laki-laki dan perempuan. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi Hakim Pengadilan Agama untuk menggunakan KHI sebagai dasar untuk pertimbangan hukum, yang memungkinkan beberapa Hakim Pengadilan Agama untuk menggunakan fiqh sebagai dasar hukum dalam memutuskan suatu kasus. Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki dampak dari konsep umum walad (anak) dan langkah-langkah yang harus diambil Pemerintah untuk mengakomodasi bahan referensi hukum bagi para Hakim Pengadilan Agama, khususnya KHI dan fiqh. Artikel ini didasari oleh penelitian hukum normatif yang terutama meneliti keputusan Pengadilan Agama di Kalimantan Timur, khususnya Samarinda, Tenggarong dan Tanah Grogot. Temuan ini mengungkapkan bahwa karena tidak ada kewajiban bagi para Hakim untuk menggunakan KHI, merujuk pada Yurisprudensi Islam klasik ketika memberikan pertimbangan hukum dan memutuskan kasus-kasus warisan tidak bertentangan dengan hukum acara di Indonesia. Namun, langkah ini berpotensi menciptakan disparitas keputusan di Pengadilan Agama karena fiqh berbeda dalam menentukan siapa walad: hanya anak laki-laki atau termasuk anak laki-laki dan perempuan. Kondisi ini telah menggagalkan tujuan KHI sebagai kodifikasi Hukum Islam di Indonesia yang menyatukan perbedaan pendapat dalam fiqh dan, dengan demikian, memastikan kepastian hukum dalam menyelesaikan perselisihan. Oleh karena itu, pemerintah harus memberlakukan KHI sebagai UU di Indonesia untuk mengakhiri forum pilihan bagi para Hakim dalam mendasarkan keputusan mereka sehingga perbedaan keputusan di Pengadilan Agama diminimalkan dan kepastian hukum terjamin bagi para pencari keadilan.Kata Kunci: Hukum Kewarisan Islam, Konsep Walad, Fikih, Putusan pengadilan agama
这篇文章是基于这样一个事实,即在处理继承纠纷时,宗教法院法官对继承人,特别是儿童(walad)的决定仍然存在差异。这是因为《印度尼西亚伊斯兰教法汇编》对walad的含义作了一般性规定,其中既包括儿子也包括女儿。此外,宗教法院的法官没有义务使用伊斯兰教法作为法律考虑的基础,允许一些宗教法院的法官使用经典的伊斯兰法理学(fiqh)作为裁决案件的法律基础。本文旨在调查walad(一个孩子)的一般概念的影响,以及政府应采取的措施,以适应宗教法院法官的法律参考材料,特别是KHI和古典伊斯兰法学(fiqh)。它采用规范性法律研究,主要审查东加里曼丹宗教法院的决定,特别是萨马林达、登加荣和塔纳格罗特。调查结果表明,由于法官没有义务使用KHI,在进行法律考虑和决定继承案件时参考古典伊斯兰法学并不违反印度尼西亚的程序法。然而,这一措施可能造成宗教法院的裁决差异,因为fiqh在确定谁是瓦利德方面有所不同:仅仅是儿子还是包括儿子和女儿。这阻碍了印度尼西亚伊斯兰教法委员会的目标,即编纂印度尼西亚的伊斯兰教法,统一伊斯兰教法中的不同意见,从而确保解决争端的法律确定性。因此,政府应在印尼颁布KHI作为一项法律,以结束法官在决定基础上的选择论坛,从而最大限度地减少宗教法院决定的差异,并为寻求正义的人确保法律确定性。【关键词】伊斯兰继承法,宗教遗产,宗教法庭判决。摘要:artikel ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih ada perbedaan keputusan di antara Hakim Pengadilan Agama tentang ahli waris, terutama anak (walad), ketika menangani sengketa warisan。Ini karena ada ketentuan umum tentang makna walad yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) di mana itu mencakup anak laki-laki dan perempuan。我要告诉你的是,我的女儿哈金,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿,我的女儿。Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki dampak dari konsep umum walad (anak) dan langkah-langkah yang harus diambil Pemerintah untuk mengakomodasi bahan referensi hukum bagi para Hakim Pengadilan Agama, khususnya KHI danfiqh。Artikel ini didasari oleh penelitian hukum normatiatif yang terutama meneliti keputusan Pengadilan Agama di Kalimantan Timur, khususnya Samarinda, tengarong dan Tanah Grogot。Temuan ini mengungkapkan bahwa karena tidak ada kewajiban bagi para Hakim untuk menggunakan KHI, merujuk pada urisprudensi Islam klasik ketika memberikan pertimbangan hukum dan memutuskan kasus-kasus warisan tidak bertentangan dengan hukum acara di Indonesia。这句话的意思是:“我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说。”印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚,印度尼西亚Oleh karenitu,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员,印尼人民民主联盟成员。Kata Kunci: Hukum Kewarisan Islam, Konsep Walad, Fikih, Putusan pengadilan agama